• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3. Sebab Terjadinya Diskursus Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek

4.3.3 Membangun Identitas Diri

Tubuh waranggana mempunyai muatan strategi dalam kehidupan panggung dan luar panggung. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Faucault (1997: 29). Tubuh bukan sebagai milik, tetapi sebagai strategi. Dengan modal tubuh yang dimiliki mereka bisa melakukan suatu strategi perubahan di dalam kehidupannya. Hal ini didapat dengan menjadi primadona dalam pertunjukkan langen tayub.

Kuasa yang dimiliki seorang waranggana mampu menempatkan mereka menjadi sang penguasa yang bisa menguasai penikmat pertunjukkan langen tayub. Tubuh waranggana yang bermuatan politis mampu mempengaruhi penikmat tayub dengan menghegemoni secara persuasif. Penikmat tayub yang terhegemoni tersebut tidak merasa dalam paksaan, walaupun mereka harus mengeluarkan rupiah atas rasa terimakasih mereka telah diperkenankan menari bersama waranggana. Seperti yang diungkapkan Faucault dalam Discipline and Punish, yang mengungkapkan sebagai berikut.

commit to user

“Tubuh juga terlibat langsung dalam ranah politik, relasi kekuasaan, memunculkan cengkeraman langsung terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya, menandainya, memaksanya untuk melakukan banyak tugas. “Investasi politik” tubuh ini terikat sejalan dengan relasi-relasi timbal balik yang kompleks, dikaitkan dengan berbagai relasi kekuasaan dan dominasi. Menjadi tubuh yang bermanfaat, jika produktif sekaligus patuh dan menjadi budak” (Faucault dalam Lubis, 2014: 82)”.

Mekanisme yang terdapat dalam kuasa waranggana dalam pertunjukkan tayub adalah waranggana memberikan pengetahuan akan dirinya, melalui tampil dalam pertunjukkan langen tayub. Setelah pengetahuan terhadap diri waranggana ditangkap secara inderawi oleh pengibing, proses selanjutnya adalah menciptakan relasi dengan pengibing melalui interaksi yang dekat ketika proses ngibing. Pengibing yang terhegemoni secara persuasif merelakan dirinya bahkan mempunyai hasrat untuk melakukan interaksi yang lebih dekat kepada waranggana. Ketika pengibing sudah terhegemoni secara persuasif, disitulah kuasa dari seorang waranggana bekerja.

Kuasa waranggana yang bekerja tersebut menciptakan suatu diskursus baru, yakni, sebuah kesadaran baru. Suatu kesadaran yang menyelubungi diri seorang waranggana. Kesadaran yang berlandaskan rasionalitas dalam diri waranggana, bahwasanya modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana mempunyai nilai tawar, sehingga bernilai ekonomi. Nilai tawar dalam tubuh waranggana, membuat waranggana memasang tarif dalam setiap pementasan. Pertunjukkan tayub yang dilakukan waranggana dibedakan menjadi waktu siang dan malam. Waktu siang biasanya dari pukul 08.00 wib – 14.30 wib, sedangkan waktu malam sekitar pukul 20.30 wib – 03.00 wib dini hari.

Sebelum waranggana tampil dalam pertunjukkan tayub. Biasanya yang nanggap dan waranggana bernegosiasi mengenai kontrak uang nanggap terkait dengan pertunjukkan tayub dan mekanisme pertunjukkan tayub (terkait dengan waktu pementasan). Mekanisme sistem pemesanan untuk pertunjukkan tayub yakni, orang yang mempunyai hajat biasanya memesan waranggana sebulan atau sebelum melaksanakan hajatan. Hal ini dikarenakan

commit to user

waranggana harus mencocokkan jadwal terutama bagi waranggana yang mempunyai jam terbang yang tinggi. Kontrak pemesanan yang dilakukan sebelum pertunjukkan tayub dilakukan waranggana, harapannya agar tidak mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepada waranggana untuk menayub di hajatan mereka.

Biasanya para waranggana yang laris, intensitas manggung tayub berkisar antara enam sampai sepuluh kali dalam satu bulan. Dalam satu kali pertunjukkan mereka mendapatkan uang Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp. 3.000.000,00. Uang tersebut bersih dari yang punya hajat. Belum termasuk uang tip atau tekan (uang sukarela dari pengibing yang diberikan pada waranggana) yang diterima waranggana.

Pada umumnya pengibing memberikan uang tip dari mulai Rp. 75.000,00 sampai dengan Rp.500.000,00 atau bahkan lebih besar sesuai dengan keadaan kantong uang pengibing. Jika kantong uang pengibing “tebal” maka yang diterima oleh warangggana pun banyak. Akan tetapi jika kantong uang pengibing tipis maka uang yang didapat dari pengibing pun standar-standar saja.

Menurut Faucault, antara pengetahuan dan kuasa justru terdapat relasi yang saling memperkembangkan (1997: 30). Pengetahuan yang dimiliki penikmat tayub terutama pengibing mengenai waranggana adalah merasakan kesenangan, sehingga hasrat(desire) mereka dapat dipenuhi dengan penyaluran ekspresi melalui menari nayub bersama seorang waranggana.

Adanya pengetahuan antara waranggana dan pengibing menciptakan relasi antara keduanya. Sehingga secara tidak disadari muncullah kuasa di dalamnya. Ketika waranggana mampu menguasai pengibing, hal ini berarti waranggana telah melahirkan kuasa atas pengibing sendiri. Pengibing yang terhegemoni oleh kuasa yang dilahirkan oleh waranggana secara kontinu selalu ingin berkomunikasi dengan waranggana, terlepas dari pertunjukkan langen tayub di atas panggung.

commit to user

Komunikasi yang terjalin secara terus menerus berimplikasi pada kedekatan emosional antara waranggana dan pengibing. Banyak dari pengibing menawarkan cinta kepada waranggana bersedia untuk menjalin hubungan yang sah dan resmi,yaitu dengan pernikahan. Oleh karena itu, banyak waranggana yang menjadi istri seorang pelayan masyarakat, seperti polisi, tentara, dan ada diantaranya tokoh masyarakat. Identitas negatif tersebut dikontruksi oleh persepsi masyarakat mengenai waranggana. Apalagi seorang waranggana merupakan seorang perempuan. Perempuan dalam penafsiran budaya patriarki Menurut (Muhammad, 2002: 16) perempuan dalam penafsiran budaya patriarki merupakan sumber fitnah, sumber kekacauan, dan kerusakan sosial, serta sumber kegalauan hati atau kebringasan laki-laki. Pada pandangan normatif, perempuan harus membatasi ruang geraknya di luar rumah, tidak boleh berdandan, apalagi menari di depan umum. Oleh karenanya pandangan seperti ini yang memperkuat stigma negatif dalam kehidupan waranggana.

Konsekuensi menjadi seorang waranggana dengan jam kerja sampai pagi dan memulai pekerjaan kebanyakan pada saat malam membuat waranggana diberikan stigma-stigma negatif yang mengasingkan waranggana. Kegiatan waranggana sebagai seorang penari dan penyanyi dilihat masyarakat sebagai wanita penghibur, dinilai meresahkan wanita yang sudah bersuami.

Masyarakat mempunyai anggapan bahwa mereka (baca: waranggana) banyak menjadi simpanan dan bisa dibayar selain melakukan tugasnya sebagai waranggana. Selain sebagai penggoda bagi laki-laki yang sudah beristri, masyarakat menilai bahwa ada pementasan lain di luar panggung. biasanya dikenal dengan istilah booking atau bisa diajak ditempat lain oleh pengibing yang mengajak kencan.

Kencan tersebut dilakukan biasanya setelah acara pementasan selesai. Kebanyakan dari para waranggana yang mempunyai paras cantik dan karismatik didatangi oleh pengibing. Tubuh perempuan atau citra tubuh perempuan menjadi „objek hasrat‟ laki-laki di

commit to user

dalam sistem komoditas kapitalisme, maka tubuh mereka harus tampil dalam „kemasan‟ dan „citra‟yang menarik perhatian. Karenanya, citra-citra segar, muda, gadis, perawan atau lincah menjadi sangat penting dalam menciptakan daya tarik komoditas (Piliang, 2014: xxv). Oleh karenanya waranggana yang mempunyai paras yang cantik banyak digemari oleh pengibing. Bahkan, pengibing yang penasaran dengan pesona waranggana biasanya rela berjam-jam menunggu waranggana berganti kostum di belakang panggung.

Ada beberapa waranggana yang mau diajak oleh pengibing dan ada beberapa waranggana yang menolak permintaan pengibing tersebut. Keberterimaan permintaan pengibing biasanya dipengaruhi bagaimana waranggana menilai pengibing tersebut. Apakah layak untuk diajak kencan atau tidak. Waranggana yang menerima ajakan pengibing melihat status sosial pengibing tersebut. Jika pengibing yang mengajak dari kalangan mempunyai kelas sosial menengah ke atas, diantaranya; Polisi, TNI, atau pegawai negeri sipil, waranggana bersedia diajak kencan oleh mereka.

Umumnya masyarakat banyak mengetahui bagaimana praktek yang dilakukan waranggana setelah pentas. Seperti pengungkapan dari tetangga waranggana (Mbak te, wawancara 10 Oktober 2014).

“Ada beberapa waranggana yang tidak langsung pulang mbak, kalau setelah pentas. Biasane to pentas kelarnya pagi sekitar pukul 02.00 wib. Jadi ada beberapa pengibing yang nakal nungguin dan menemui waranggana”. Setelah ditemui waranggana mereka biasanya kencan mbak. Tempatnya sesuai dengan yang dijanjikan oleh pengibing”.

Aktivitas yang dilakukan setelah pentas yang dilakukan oleh waranggana merupakan hak kebebasan dari waranggana, dengan siapa mereka jatuh cinta, pada siapa mereka akan menikah dan menjalani rumah tangganya. Tetapi mayarakat memberikan penghakiman bagi seorang waranggana. Seakan-akan masyarakat memaksa terhadap rule yang mereka buat dan membuat waranggana untuk menerima rule tersebut. Opini masyarakat mengenai waranggana yakni penggoda laki-laki selalu yang dituduhkan oleh masyarakat terhadap

commit to user

waranggana. Padahal seharusnya masyarakat juga harus menjaga suaminya agar tidak merelakan dirinya untuk sengaja mendekati waranggana. Tetapi, selalu saja waranggana yang dituduh untuk mendekati suami mereka. Seperti yang diungkapkan oleh seorang waranggana (Herminten, Wawancara 10 Oktober 2014) sebagai berikut.

“Namanya asap tidak akan muncul jika tidak ada api, kadang bukan dari waranggana sendiri mbak. Waranggana berusaha menghindar, tetapi para laki-laki yang sering sekali menggoda bahkan ada yang memaksa mbak. Walaupun keadaannya seperti itu, tetap saja kita yang jadi bahan perbincangan mbak”.

Bagi waranggana mereka harus menebalkan telinga mereka. Tidak langsung memerah telinga ketika hujatan dan stigma negatif tersebut menghujani kehidupan waranggana. Opini masyarakat yang ditujukan kepada waranggana merupakan kebebasan masyarakat untuk berpendapat mengenai kehidupan waranggana. Hal tersebut bukanlah hal yang harus diperdebatkan menurut waranggana sendiri. Bijaknya sikap waranggana dalam menanggapi pemberian persepsi tersebut adalah tuntutan menjadi seorang waranggana.

Menikahnya antara waranggana dan pengibing dengan latar belakang pekerjaan seperti yang dicontohkan di atas, menaikkan prestige waranggana dalam kehidupan bermasyarakat. Pernikahan bagi waranggana merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Seperti yang dialami oleh Musrini, ia menikah dengan seorang polisi. Membuat kehidupannya berubah dari yang dulu hingga sekarang. Perubahan tersebut sangat dirasa, perlindungan dari pernikahan tersebut berdampak pada kehidupan Musrini. Hal ini dapat diidentifikasi, ketika Musrini berinteraksi dengan masyarakat ataupun pengibing dalam pertunjukkan tayub. Para pengibing segan untuk menjalin relasi dengan Musrini dikarenakan suaminya berprofesi sebagai seorang polisi.

commit to user

4.4 Proses Terjadinya Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana