• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3. Sebab Terjadinya Diskursus Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek

4.3.1 Waranggana dalam Tekanan Modernitas

Waranggana dalam pertunjukkan langen tayub dihadapkan pada kenyataan hidup yang pada hari ini sedang berayun pada kondisi modernitas. Modernitas dipahami sebagai suatu konsekuensi dari proses modernisasi Weber (Hidayat, 2012: 22). Modernisasi adalah sikap dan pandangan hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini (Hidayat, 2012: 22). Dalam proses perjalanannya waranggana melahirkan sejarah bagi realitas hidupnya sendiri, sehingga hal tersebut berimplikasi pada sikap dan spirit hidup seorang waranggana dalam menjalankan hidup sebagai seorang waranggana.

Pada perjalanannya hal tersebut mengantarkan waranggana pada sebuah kesadaran. Seperti yang diungkapkan oleh Pitana (2014: 71) Kondisi modernitas yang menawarkan rasionalisasi dan komodifikasi mengantarkan masyarakat pada sebuah kesadaran. Kesadaran yang mengiringi masyarakat dalam hal ini waranggana dalam masa kekinian segalanya diukur dari penghitungan rasionalitas seseorang, artinya penghitungan dalam setiap mengambil sebuah kebijakan dalam hidupnya didasarkan pada akal budi di kehidupan praktis. Oleh karenanya pilihan hidup yang diambil oleh seorang waranggana didasarkan pada rasionalitas pengalaman pengetahuannya.

Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat

commit to user

guna mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan (Pitana, 2014: 71). Artinya modernitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam rangka persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Ketika pengetahuan akan komersialisasi menjadi sebuah kesadaran baru bagi waranggana, maka tidak ada suatu konsensus yang dipegang teguh sebagai suatu tata nilai yang dibagi bersama, (waranggana sebagai sarana penghubung dalam ritual pertunjukkan langen tayub). Waranggana yang perannya sebagai perantara hubungan antara manusia dan sang dewa tidak lagi dianggap sebagai sebuah keyakinan, dikarenakan ada rasionalisasi dalam diri waranggana. Konsekuensi dari praksis modernisasi ini, yakni munculnya modernitas yang radikal; sebuah proses yang mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional (Hidayat, 2012: 24). Peran waranggana dalam pertunjukkan tayub tidak pada utusan sebagai perantara dewi dan simbol Ibu Pertiwi, tetapi pada arena tawar menawar dalam dominasi pasar.

Hal ini menunjukkan terdapat kompleksitas realitas yang terjadi dalam kehidupan waranggana. Menurut Abdullah (2006: 143) kompleksitas realitas dalam kehidupan sosial masyarakat lazimnya didorong dengan adanya globalisasi yang tak dapat dihindari dari pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial. Dalam konteks kehidupan waranggana kompleksitas realitas eksternal yang menempatkan dominasi pasar sebagai kekuatan pembentuk tatanan sosial. Dominasi pasar merupakan salah satu penanda dari kapitalisme. Sejalan dengan Abdullah (2010: 169) Kapitalisme karenanya telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas dengan orientasi tertentu-tertentu. Setiap praktik sosial kemudian menjadi bagian dari politik

commit to user

identitas dalam rangka pemosisian sosial individu dalam suatu ukuran nilai dengan prinsip-prinsip yang baru yang mengarah pada konsep nilai lebih atau perbedaan.

Oleh karena kondisi kekinian yang dihadapkan pada tekanan kapitalis. Orang-orang yang bisa bertahan untuk bisa hidup di kehidupan ini adalah ia yang mempunyai kekuatan dana atau financial. Praktek sosial yang dilakukan oleh waranggana yakni menjadi seorang waranggana meletakkan pada posisi sosial waranggana dalam masyarakat. Hal tersebut yang membuat waranggana berbeda dari masyarakat pada umumnya.

Kekuatan dana merupakan power dalam rangka mempertahankan kehidupan Hal ini mengindikasikan bahwa waranggana harus mampu mengatasi masalah hidupnya. Semakin besar dana yang ia pegang maka ia bisa lebih lama bertahan. Perguliran zaman di dalam masyarakat mengharuskan manusia di masa kini berkompetisi dalam rangka bertahan untuk hidup.

Berbeda pada zaman sebelumnya, kompetisi dalam hidup belum terlalu terasa. Sebagai contoh, harga tanah tidak terlalu melonjak, kebutuhan pangan yang tidak terlalu melambung harga belinya, atau bahkan bisa dengan gratis mendapatkan kebutuhan pangan, dikarenakan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah ruah, sehingga dengan bebas manusia dapat memanfaatkan dan mengambil sumber daya alam tersebut. Jumlah penduduk pun belum terlalu padat sehingga pada zaman dahulu tidak ada masalah yang cukup serius terutama dalam ranah mencukupi kebutuhan hidup.

Setiap manusia lazimnya mempunyai harapan, begitupun bagi kehidupan waranggana. Harapan terhadap pembebasan merupakan harapan manusia pada umumnya. Masyarakat modern juga menginginkan adanya harapan pembebasan tersebut. Di alam kesadaran mereka menganggap bahwa memasuki dunia modern sama dengan berharap terjadinya pembebasan hidup dari kemiskinan, kelaparan, kebodohan, ketertinggalan, serta penyakit-penyakit yang mematikan (Raditya, 2014: 116)

commit to user

Oleh karenanya untuk mencapai pembebasan terhadap jeratan kemiskinan dan ketertinggalan, pilihan menjadi waranggana pun dilakoni. Pilihan ini dipilih dikarenakan menjadi waranggana tidak serumit menjadi seorang pegawai negeri sipil yang harus mempunyai historis pendidikan sampai ke sarjana. Menjadi seorang sarjana tentu bersedia untuk menghabiskan waktu di bangku pendidikan dengan waktu yang lama dan biaya pendidikan yang tidak murah atau dengan kata lain merogoh kocek yang dalam.

Pendidikan yang dienyam oleh seorang waranggana rata-rata paling tinggi berhenti pada jenjang Sekolah Menengah Atas atau SMA. Menjadi seorang waranggana tidak dituntut untuk menamatkan atau menyelesaikan sampai bangku kuliah. Pendidikan yang dienyam oleh seorang waranggana tidak mempengaruhi profesionalitas jogetan waranggana di atas panggung. Para waranggana cukup dibekali dengan pelatihan olah suara dan olah bekso, dengan dua pelatihan tersebut maka seorang waranggana bisa melalui tahap menjadi seorang waranggana.

Salah satu narasumber Andriyani merupakan seorang waranggana yang hanya meluluskan sampai tingkat Sekolah Dasar. Andriyani harus menerima kenyataan bahwa ia tidak seberuntung teman-temannya yang bisa meluluskan sekolahnya pada tingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi ia mempunyai harapan bahwa ia juga bisa sukses dengan jalur yang berbeda. Andriyani tidak menyalahkan orangtuanya karena belum bisa menyekolahkannya sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas. Hal ini dikarenakan situasi dan keadaan memang dalam paceklik dan harga buruh tani pada tahun tersebut memang dibawah standar.

Situasi pada masa tersebut berada pada masa orde baru . Pada masa orde baru buruh perkebunan dan pertanian tidak dibayar standar, bahkan dibawah standar, hal tersebut tidak mengakibatkan kesejahteraan bagi buruh pertanian dan buruh perkebunan. Walaupun dengan upah yang kecil Andriyani bersedia untuk menjadi seorang buruh perempuan perkebunan, karena mau tidak mau ia harus menjalani profesi tersebut karena keadaan.

commit to user

Sejalan dengan pendapat Heyzer (1991: 113) mengemukakan bahwa kondisi ini seperti juga kasus di Asia (Malaysia, Indonesia, Filiphina, Srilangka) terdapat lebih banyak pekerja perkebunan perempuan daripada lelaki. Pekerja-pekerja perempuan ini semula diperkerjakan dengan upah yang sangat rendah, dan sering dengan pekerjaan tidak tetap. Pekerja perempuan yang merupakan istri-istri atau anak-anak dari pekerja lelaki perkebunan telah tersedia di perkebunan dan merupakan cadangan yang dapat digunakan selama ada kekosongan diantara pekerja laki-laki

Minimnya upah buruh perempuan membuat keadaan tidak stabil dalam keluarga Andriyani. Tenaga kerja manusia di Indonesia memang dibayar dengan upah kecenderungan murah. Hal ini dilatarbelakangi dengan masuknya teknologi pertanian dalam masyarakat Jawa. Menurut hasil penelitian Collier (1974) dan Cain (1981) di Jawa menunjukkan, bahwa modernisasi teknologi pertanian dalam beberapa kasus mendorong buruh perempuan keluar dari pekerjaan bertani

Oleh karenanya, Andriyani yang pada saat usia tersebut berusia 14 tahun tidak memilih buruh tani lagi menjadi profesinya. Ia harus mencari jalan keluar lain untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang tengah menghimpit kehidupannya. Harapan Andriyani untuk bisa mandiri dan bisa mencukupi kebutuhan keluarganya adalah tekad yang tidak pernah padam bagi Andriyani.

Putusan menjatuhkan pilihan menjadi waranggana sebagai suatu sikap tegas yang dilakukan waranggana bagaimana ia membawa tubuhnya sendiri dalam ayunan modernitas. Dalam hal ini waranggana adalah perempuan cerdas yang dapat membaca tubuhnya. Bukan pada tataran membaca tubuh hanya sebagai melihat seonggok daging. Tetapi pemaknaan pembacaan tubuh waranggana melampaui hal demikian.

Pada pertunjukkan tayub, waranggana merupakan pemain sentral dalam tontonan tersebut. Pada akhirnya tubuh waranggana dipertukarkan sebagai nilai tukar yakni sebagai

commit to user

komoditas dalam pertunjukkan tayub. Segala potensi tubuh waranggana dieksploitasi sebagai cara menarik perhatian agar menjadi pusat ketertarikan penonton atas dirinya.

Tubuh pada kondisi hari ini dibaca oleh waranggana sebagai suatu modal kehidupan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Tubuh waranggana yang pada praksisnya bisa menari dan menyanyi mempunyai potensi besar dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah, sehingga hal ini berimplikasi pada kesejahteraan perekonomian waranggana.

Sikap yang dilakukan waranggana atas pembacaan tubuhnya merupakan strategi yang diformulasikan oleh waranggana dalam rangka memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi kehidupannya. Waranggana Andriyani berkeyakinan dengan modal suara dan kecantikan yang dimiliki olehnya. Hal ini membuat ia menyadari bahwa ia sendiri memiliki nilai tawarnya sendiri.

Sebuah modal salah satunya kecantikan adalah penunjang bagi keberlangsungan dirinya menjadi seorang waranggana. Hal ini sejalan dengan pendapat Baudrillard (2011: 170), yakni syarat wajib kecantikan adalah satu dari modalitas syarat wajib fungsional. Oleh karenanya, Andriyani yang memiliki paras cantik (good looking) dan suara yang indah mempunyai nilai tawar menjadi seorang waranggana. Nilai tawar yang dimiliki oleh Andriyani dibangun atas pembacaan dan pemeliharaan tubuh waranggana sendiri. Artinya waranggana sadar untuk melihat kekurangan dan kelebihan yang ada dalam tubuh waranggana itu sendiri. Oleh karenanya sejalan dengan Ritzer (2011: xxxiii) tubuh harus dibangun ulang oleh pemiliknya dan dilihat secara narsistik ketimbang secara fungsional Pengetahuan yang menghegemoni Andriyani membangun kesadaran bahwa Andriyani mempunyai modal tubuh yang dapat menyelamatkan hidupnya dari kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan. Modal tubuh menjadi kekuatan yang besar bagi diri Andriyani. Dengan modal tubuh yang dimilikinya, Andriyani mempunyai posisi atas dirinya dan keluarganya.

commit to user

Pilihan menjadi waranggana merupakan cara mereka (baca: waranggana) dalam menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya, terdapat motivasi yang kuat dalam diri waranggana sendiri untuk menjadi seorang waranggana. Motivasi yang paling mendasar adalah motivasi ekonomi. Dengan menekuni profesi sebagai seorang waranggana, mereka menginginkan agar kebutuhan-kebutuhan hidup mereka tercukupi.

Hal ini juga diperkuat dengan melihat pengalaman waranggana senior sebelum dia yang mempunyai historis kehidupan sukses dalam menjalankan profesinya sebagai seorang waranggana. Hal ini dibuktikan dengan memiliki rumah yang besar, usaha yang banyak, mobil yang mewah, dan terpenuhinya biaya pendidikan anak-anak mereka. Hal-hal tersebutlah yang mendorongnya untuk menjadi waranggana yang laris dan sukses mengikuti jejak waranggana senior sebelum Andriyani.

Terpenuhinya kebutuhan hidup yang berakibat pada kesejahteraan dalam perekonomian waranggana berimplikasi pada waranggana yang tidak dipandang sebelah mata. Sehingga dalam praktek sosial menjalankan profesi sebagai waranggana. Mereka berada pada pencapaian strata yang bisa diperhitungkan dalam urusan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung waranggana melakukan perjalanan mobilitas sosial.

Perjalanan mobilitas sosial yang ditandai dengan perubahan kehidupan waranggana dari kurang “mampu” menjadi keluarga yang “mampu” di bidang ekonomi. Hal ini berimplikasi pada kuatnya “power” waranggana dalam masyarakat. Sehingga, kehadiran waranggana merupakan suatu keberterimaan dalam masyarakat. Keberterimaan masyarakat terhadap waranggana dipengaruhi oleh sikap terbukanya masyarakat. Walaupun realitasnya waranggana dikontruksikan pada identitas negatif yang sudah lama dikontruksi, sehingga hal tersebut melekat dalam diri waranggana.

commit to user

Di dalam tekanan-tekanan yang dihadapi oleh waranggana, waranggana mampu mandiri dan berkuasa, mereka mampu menyihir penonton untuk tunduk pada tubuh mereka. Di dalam panggung pertunjukkan tayub, para waranggana merupakan orang yang paling berkuasa atas kuasa yang ia miliki dengan nyayian dan tarian mereka. Dengan kuasa tersebut, para waranggana secara sadar menyadari bahwa ada nilai ekonomis yang terkandung dalam nyanyian dan tarian mereka. Hal ini dapat dilihat, melalui harga patokan atau bayaran yang diterima oleh waranggana. Contoh: pementasan waranggana yang dimulai dari pukul 19.00 WIB, sampai dengan pukul 1:30 WIB dini hari biasanya berkisar antara Rp.1.500.000 sampai dengan Rp. 2.000.000,00.

Seorang waranggana merupakan seorang pejuang bagi keluarga dan kehidupan mereka. Di samping itu, waranggana melakukan tugasnya sebagai seorang pejuang kearifan lokal, dengan keberadaan mereka sebagai seorang waranggana. kehadiran mereka membuat kesenian tayub di Nganjuk tetap “ada” sampai sekarang walaupun kemasan, bentuk dan nilai berbeda dengan zaman dahulu.

commit to user

(dokumen Ningsih, 28 0ktober 2014).