commit to user
49 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Desa Ngrajek
4.1.1 Keadaan Geografis Desa Ngrajek
Ngrajek merupakan suatu dusun yang tercakup dalam Desa Sambirejo Kecamatan Tanjunganom yang termasuk dalam kabupaten Nganjuk. Jarak dari Dusun Ngrajek ke Kota Nganjuk sekitar 10 km. Letak Dusun Ngrajek apabila dilihat dari kawasan kecamatan Tanjunganom berada di sebelah utara Tanjunganom, sedangkan jika dilihat dari Kabupaten Nganjuk berada di sebelah timur Kabupaten Nganjuk.
Letak geografis Dusun Ngrajek mempengaruhi tingkat kesuburan tanah di Desa Ngrajek. Oleh karenanya masyarakat di Desa Ngrajek mayoritas bermatapencaharian bertani. Hal ini dikarenakan Dusun Ngrajek merupakan areal yang subur dilihat dari letak geografisnya. Ditambahkan oleh Cindy seorang seniman yang menggeluti tari, kebanyakan masyarakat Ngrajek bermatapencaharian menjadi petani dikarenakan kawasan sekitar Desa Ngrajek subur (Cindy, wawancara, 10 Oktober 2014). Dikarenakan banyak masyarakat yang bertani, hal ini berimplikasi pada kontruksi aktivitas kultural masyarakat. Aktivitas kultural yang dilahirkan biasanya pengungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah yang dilimpahkan kepada masyarakat Ngrajek yang diberikan kesuburan dan panen yang
melimpah. Wujud dari pengungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dengan tayub.
Tayub dipercaya masyarakat sebagai simbol kesuburan dalam rangka mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan keberkahan dalam kehidupan
masyarakat Ngrajek. Tayub ditarikan oleh perempuan dan laki-laki. Masyarakat mempercayai
bahwa dengan melakukan ritual tersebut, maka Desa Ngrajek akan selalu diberikan keberkahan.
commit to user 4.1.2 Sistem Pendidikan
Wilayah Sambirejo Ngrajek merupakan wilayah yang masyarakatnya memiliki angka melek huruf yang tinggi, dikarenakan banyaknya masyarakat Desa Sambirejo yang sudah menempuh pendidikan dari tingkat jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai dengan Magister. Oleh karena itu, banyaknya masyarakat yang mengenyam pendidikan mengurangi angka buta huruf di wilayah Desa Sambirejo Tanjunganom Kabupaten Nganjuk.
Berdasarkan Data Dasar Profil Desa Sambirejo yang didapat di lapangan dapat disimpulkan bahwa rata-rata penduduk Desa Sambirejo menamatkan pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama. Untuk penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan doktoral atau S3 belum ada (Data Dasar Profil Desa Sambirejo, 2014: 5)
Tingkat pendidikan dalam masyarakat Dusun Ngrajek mempengaruhi bagaimana masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Semakin banyaknya masyarakat yang bisa membaca dapat membantu masyarakat sendiri dalam menyelesaikan urusan dalam
kehidupannya. Dalam kehidupan waranggana walaupun jarang sekali atau bahkan tidak ada
yang menamatkan ke tingkat sarjana, waranggana bisa membaca dan menulis. Kemampuan
membaca bagi waranggana sangat membantu waranggana dalam menjalankan profesinya
sebagai seorang waranggana. Oleh karena itu, mereka dapat membaca teks syair tembang
yang ingin dilantunkan. Selain bisa membaca teks syair tembang, keuntungan yang didapat
dari kemampuan membaca yakni kerja profesional waranggana yang bisa menjangkau
daerah di luar kota, dengan kemampuan membaca waranggana ia bisa memahami kerjasama
yang biasanya dinamakan dengan kotrak kerja, sehingga terhindar dari penipuan-penipuan yang biasanya dilakukan oknum-oknum dalam kontrak kerja.
commit to user 4.1.3 Agama
Sebagian besar masyarakat Ngrajek, Sambirejo Nganjuk menganut agama Islam, jika dipersentasekan masyarakat yang memeluk agama Islam sekitar 80 %. Selain Islam, ada agama lain yang dianut oleh masyarakat Ngrajek, Sambirejo Nganjuk, yakni, Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Berdasarkan observasi peneliti di lapangan ditemukan bahwa masyarakat Desa Sambirejo banyak memeluk agama Islam. Salah satu pendukungnya adalah di Kecamatan
Tanjunganom terdapat pusat kota santri yang dikenal dengan Krapyak. Hal tersebut yang
menyebabkan banyak pemeluk agama Islam yang terdapat dalam Desa Sambirejo.
Walaupun banyak masyarakat Desa Sambirejo yang memeluk agama Islam, sebagian besar masyarakat Desa Sambirejo masih melakukan ritual, seperti mengunjungi makam yang dianggap keramat yang bertujuan untuk menyampaikan permohonan dan memohon berkah sebelum mengadakan acara besar. Sama halnya dengan cerita-cerita mitos, pengaruhnya kepada masyarakat sangat kuat, bahkan sudah mengakar dalam masyarakat desa.
Terkait dengan pernyataan di atas, masyarakat Desa Sambirejo tidak bisa dilepaskan
dengan tradisi upacara selametan. Tradisi upacara selametan sudah menyatu dengan
kebiasaan masyarakat Desa Sambirejo, selain dilaksanakan secara konsisten, tradisi tersebut tidak berhenti pada satu atau dua generasi, tetapi digeneralisasikan dari generasi ke generasi sehingga tradisi dalam Desa Sambirejo terpelihara. Menurut Giddens (Atmaja, 2010: 31) tradisi menyediakan kerangka acuan bertindak yang dianggap benar sehingga orang tidak lagi perlu mempertanyakannya.
Tradisi memiliki penjaga, serta muatan normatif atau moral yang merupakan pembentuk karakter yang mengikat (Atmaja, 2010: 31). Oleh karena itu tradisi upacara,
commit to user
seperti upacara selametan dan upacara bersih desa tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Desa
Sambirejo.
Selametan melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak-keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati serta dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama dan karena itu, terikat ke dalam sebuah kelompok sosial tertentu yang berikrar untuk tolong- menolong dan bekerjasama (Geertz, 2014: 3).
Masyarakat menganggap upacara selametan merupakan pengungkapan syukur kepada
Yang Maha Kuasa, di dalam Islam sendiri esensi bersyukur diajarkan, tetapi pelaksanaan secara prosedural yang dilaksanakan masyarakat Desa Sambirejo merupakan sebuah elaborasi dari peninggalan agama Hindu dan Budha. Masyarakat menganggap hubungan
antara manusia dan manusia sangat penting (Habluminannnas) oleh karenanya di dalam
sebuah tradisi upacara, seperti ritual upacara selametan terkandung sebuah ikatan sosial yang erat antara manusia yang satu dengan yang lain.
4.1.4 Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian
Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Nganjuk Jawa Timur berada di wilayah dataran rendah, yang dialiri oleh Sungai Widas, dengan kondisi lingkungan yang demikian maka Desa Sambirejo mempunyai lahan tanah yang cukup produktif di bidang agraria, oleh karena itu kondisi yang demikian dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mengolah tanah menjadi areal pertanian. Luas wilayah pertanian sawah menurut penggunaannya di Desa Sambirejo adalah sawah irigasi 100,6 Ha, sawah setengah 111,5 Ha (Data Dasar Profil Desa Sambirejo, 2014: 1). Sebagian besar masyarakat Desa Ngrajek berprofesi sebagai seorang petani karena kondisi lingkungan yang mendukung di sektor agraria. Selain produktifitas di bidang pertanian berupa padi, intensifikasi pertanian pun dilakukan dari tanaman tebu, jagung, dan kedelai.
commit to user
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di lapangan, ditemukan sebagian
masyarakat Desa Sambirejo bekerja di bidang pertanian, dan mayoritas sebagai buruh pertanian, baik sebagai buruh ladang dengan areal lahan sendiri ataupun milik orang lain. Biasanya masyarakat Desa Sambirejo mulai pergi ke areal pertanian setelah matahari terbit atau sekitar pukul 07.00 wib dan menyelesaikan sampai sore tiba, atau sekitar pukul 16.30 wib.
Oleh karenanya masyarakat Desa Sambirejo secara berkala, yaitu satu tahun sekali memperingati bersih desa yang diperingati pada bulan Besar dalam kalender Jawa dengan
mengadakan gelar tayub di dekat pendhopo pundhen Mbah Ageng, atau di alun-alun Desa
Sambirejo. Hal ini dilakukan sebagai pengungkapan rasa syukur atas berkah panen yang melimpah di Desa Sambirejo, Ngrajek.
Bulan Besar dalam penanggalan Jawa adalah bulan yang baik, dikarenakan pada bulan itu dipercaya sebagai bulan yang mendatangkan banyak keberkahan, setelah bulan Suro dilewati, bulan penuh keberkahan datang (Mbah Mijo, wawancara,14 Oktober 2014).
Tabel 1. Penanggalan Bulan Jawa Menurut Sumber Mbah Mijo Juru kunci Pundhen Mbah Ageng Desa Ngrajek.
No Penanggalan Jawa Lama Hari
² Sura 30
2 Sapar 29
3 Mulud 30
commit to user No Penanggalan Jawa Lama Hari
5 Jumadilawal 30
6 Jumadilakir 29
7 Rejeb 30
8 Ruwah (Arwah, Saban) 29
9 Pasa (Puwasa, Siyam,
Ramelan) 30
10 Sawal 29
11 Sela (Dulkangidah, Apit) 30
12 Besar (Dulkahijjah) 29/(30)
Total 354/(355)
Puncak gelar tayub diadakan pada hari Jumat Pahing. Hari Jumat Pahing adalah nama
hari dalam pasaran penanggalan masyarakat Jawa (Edy, wawancara, 5 Oktober 2015). Tayub
pada hari tersebut dikolaborasikan dengan wisuda gembyangan waranggana. Oleh karena itu,
pada hari tersebut merupakan puncak pergelaran tayub di Desa Ngrajek.
Terkait dengan pergelaran tayub, menurut masyarakat setempat fungsi tayub yaitu; (1)
commit to user
pertiwi; (2) sebagai tari hiburan, yaitu menghibur masyarakat untuk melepaskan kepenatan ditengah rutinitas dalam bekerja selama seharian (Musrini, wawancara 10 Oktober 2014)
Dalam gelar tayub, aktor utama di Desa Sambirejo yaitu waranggana, seorang penyanyi yang
mempunyai suara merdu dan piawai dalam menyanyikan gending-gending Jawa, selain lihai
dalam menyanyi, seorang waranggana mempunyai keterampilan dalam menari terutama
menari gambyong, sehingga dengan keterampilan dari seorang waranggana yang multitalenta
membuat waranggana mendapatkan kuasa sebagai seorang primadona dalam gelar tayub
tersebut. Selain itu, posisi waranggana di mata masyarakat mempunyai posisi yang penting,
yaitu sebagai penghubung antara masyarakat dan roh-roh penunggu desa (Winarto,
wawancara, 30 Desember 2014). Oleh karenanya tayub tidak bisa dilepaskan dari kehadiran
waranggana.
4.1.5 Sistem Organisasi Sosial
Masyarakat Desa Sambirejo merupakan masyarakat yang komunal, dan tentunya masih memegang teguh tradisi yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya, hal ini
terlihat dalam kebiasaan mereka melakukan ritual selametan.
Dalam upacara selametan sarat dengan kegotong-royongan dan keikatan batin yang
kuat antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain. Masyarakat Desa Sambirejo yang termasuk dalam masyarakat Jawa terkenal dengan kesopanan dan cenderung tunduk, mereka tidak pernah bertindak kasar, meski terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak mengusik orang lain (Raffles, 2014:35).
Oleh karenanya kegotongroyongan yang merupakan sistem dalam bermasyarakat senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat sekitar yang bisa dilihat dari organisasi-organisasi yang diikuti oleh masyarakat Desa Sambirejo. Di antaranya; Karang taruna; kelompok tani; PKK. Tiga organisasi tersebut merupakan kelompok organisasi yang sudah berjalan baik dalam kelangsungan hidup bermasyarakat di Desa Sambirejo. Ditambah lagi dengan
commit to user
organisasi kesenian yang sudah dikelola oleh masyarakat, karena mengingat Desa Sambirejo
merupakan pusat kelahiran waranggana di Kabupaten Nganjuk, maka di Desa Sambirejo
terdapat Padepokan Anjuk Ladang yang merupakan sentral pendidikan pelatihan menjadi
seorang waranggana.
Selain pelatihan mendidik waranggana, di dalam Padepokan Anjuk Ladang dilatih
pelatihan karawitan dan tari menari untuk menunjang menjadi seorang waranggana yang
profesional.
4.2 Sejarah Langen Tayub di Desa Ngrajek
4.2.1 Ngrajek sebagai Pusat Penyemian Waranggana di Kabupaten Nganjuk
Ngrajek merupakan tempat waranggana dilahirkan sebagai pelestari seni
tradisi yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Aktivitas kultural masyarakat yang
masih hidup sampai sekarang yakni pertunjukkan langen tayub. Di Dusun Ngrajek terdapat
Padepokan Anjuk Ladang. Tempat tersebut berfungsi sebagai tempat pelatihan waranggana
(lihat gambar 4.1).
Selain tempat pelatihan waranggana, Padepokan Anjuk Ladang merupakan tempat
prosesi gembyangan waranggana atau tempat wisuda para waranggana yang telah
menyelesaikan pelatihan kemampuan dasar yakni tari dan vokal. Di tempat inilah peringatan
bersih desa berupa pertunjukkan langen tayub dilakukan, yaitu pada Jumat pahing bulan
Besar dalam kalender Jawa. Biasanya, ketika peringatan tersebut dilaksanakan, banyak berdatangan para tetangga dari kampung sebelah ataupun wisatawan yang ingin menyaksikan
commit to user
Gambar 4.1 Padepokan Langen Tayub Anjuk Ladang di Dusun Ngrajek
(dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
Terkait dengan pernyataan di atas, tayub erat kaitannya dengan kepercayaan
masyarakat terhadap mitos, masyarakat Desa Ngrajek tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan terhadap roh leluhur dan mempercayai tempat-tempat yang dianggap sakral. Oleh karenanya, di Dusun Ngrajek terdapat sebuah tempat yang dianggap sakral dan keramat yaitu sebuah pundhen.Pundhen yang terdapat di Dusun Ngrajek ada dua yaitu; (1) Mbah Ageng; (2) Mbah Budha Sambirejo. Pundhen Mbah Ageng digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan
commit to user Gambar 4.2 Pundhen Mbah Ageng (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014).
Di Padepokan Anjuk Ladang waranggana dilatih oleh waranggana senior, salah satu
waranggana senior yang menjadi primadona dari generasi sebelumnya. Setelah mengikuti
pelatihan dan dinyatakan mampu untuk tampil di muka publik sebagai waranggana, maka
waranggana tersebut sudah layak untuk digembyang atau diwisuda.
Gembyangan waranggana dilakukan setahun sekali, dilaksanakan pada Jum‟at pahing
bulan Besar dalam kalender Jawa. Prosesi Gembyangan waranggana dilakukan rutin setiap
tanggal tersebut, prosesi gembyangan waranggana dilakukan dimulai sejak tahun 1987
(Agung, wawancara, 16 Oktober 2014). Alasan pemerintah menyelenggarakan wisuda atau gembyangan waranggana adalah untuk menyelamatkan stereotip atau stigma negatif yang
mengancam waranggana di masa sekarang hingga masa selanjutnya.
Ekspektasi pemerintah dengan menyelenggarakan gembyangan waranggana adalah
menjamin kelestarian tradisi yang diaktori oleh waranggana, sehingga di masa mendatang
generasi selanjutnya mengetahui dan memahami bahwa waranggana merupakan pejuang
kearifan lokal.
Terkait dengan kalimat di atas, wisuda atau Gembyangan waranggana yang biasanya
commit to user
waranggana ditiadakan dari pemerintah dengan alasan agar sekaligus dengan prosesi atau
seremonial waranggana yang digembyang di tahun 2015 (Agung, wawancara, 29 Desember
2014)
Tempat wisuda atau gembyangan waranggana dilaksanakan di sekitar makam
pundhen Mbah Ageng dan Mbah Budha, kedua makam tersebut yang dipercaya masyarakat
sekitar mempunyai kekuatan magis, sehingga tempat tersebut dipercaya masyarakat untuk
mewisuda para waranggana. Waranggana yang diwisuda harus menguasai minimal sepuluh
gendhing Jawa yang biasa dibawakan dalam pertunjukkan langen tayub.
Gambar 4.3 Pemasangan cunduk menthul yang terdiri dari kantil dan daun waru dalam
prosesi gembyangan waranggana
(dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
Prosesi ceremonial gembyangan waranggana biasanya berlangsung sekitar 5,5 jam.
Ada beberapa perlengkapan yang digunakan dalam prosesi Gembyangan waranggana
diantaranya: Gamelan, dupa, genthong (tempat penyimpanan air), kembang setaman, dan
sampur. Dalam pelaksanaan gembyangan waranggana acara dipandu oleh pranata acara, hal
tersebut bertujuan agar prosesi gembyangan waranggana tertata dari awal sampai akhir.
commit to user
1) Kirab peserta yang terdiri dari waranggana sekaligus mengawali
prosesi gembyangan waranggana.
2) Pembuka acara dipandu oleh pranata acara.
3) Laporan panitia penyelenggara.
4) Sambutan Bupati Nganjuk atau yang mewakili.
5) Prosesi ceremonial gembyangan waranggana dimulai.
6) Pengukuhan sebagai waranggana oleh sesepuh yang dituakan dan
dihormati oleh sesepuh desa.
7) Penyerahan sertifikat sebagai waranggana yang secara administrasi
sudah diperbolehkan untuk pentas yang diserahkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Nganjuk.
8) Do‟a dan penutup.
9) Pentas langen tayub yang merupakan ritual dari bersih desa pada Jumat
pahing bulan Besar dalam Kalender Jawa.
Dalam prosesi ritual gembyangan waranggana ada beberapa tahapan ritual yang
didapat oleh waranggana. Berikut tahapan-tahapan ritual gembyangan waranggana.
1) Pengukuhan calon waranggana menjadi waranggana diawali dengan
pemberian cunduk menthul (lihat gambar 4.3)
2) Pemercikan air suci yang didapat dari Air Terjun Sedudho, yang
diambil sehari sebelumnya yaitu pada hari kamis legi (siang hari) oleh
salah satu waranggana yang sudah diwisuda sebelumnya, perangkat
Desa Ngrajek, juru kunci serta sesepuh desa Prosesi minum air suci dan pemberian daun waru, air suci dari Air Terjun Sedudho dipercaya masyarakat setempat untuk mensucikan tubuh secara jasmani dan rohani, sehingga kembali suci. Sedangkan daun waru yang merupakan
commit to user
perlambang cinta kasih, diharapkan agar waranggana selalu menjaga
loyalitasnya sebagai seorang waranggana (lihat gambar 4.4).
Gambar 4.4 Ritual pemercikan air suci (dokumen, Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
Gambar 4.5 Ritual minum air suci (dokumen, Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
commit to user
3) Setelah pemberian daun waru kepada waranggana, daun waru pun
disobek dengan tujuan agar waranggana tetap setia (Agung,
wawancara, 29 Desember 2014).
Gambar 4.6 Penyobekan Daun Waru
(dokumen Dinas Pariwisata Nganjuk, November 2009).
4) Tahapan selanjutnya dalam prosesi gembyangan waranggana adalah
mengelilingi sumur yang dianggap magis oleh masyarakat sekitar yaitu
sumur Mbah Ageng dengan menyanyikan sepuluh gendhing Jawa,
diantaranya; Gondoriyo, Gonggo mino, Astra Kara, Ono Ini, Ijo-Ijo,
Kembang Jeruk, Eling-eling, golekan, Bandungan, Ketawang Teplek Minggah Srempeg.
5) Setelah sepuluh gendhing sudah ditembangkan, tahapan selanjutnya
adalah pengucapan janji sebagai seorang waranggana di depan
khalayak ramai, diantaranya adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk, seniman dan senimawati, pengrawit, dan masyarakat sekitar
yang berapresiasi menjadi saksi sejarah pengucapan janji Tri Prasetya
commit to user
Berikut isi janji Tri Prasetya Waranggana.
1. Tansah Ngluhuraken Kebudayaan Nasional Mliginipun Ing
Babagan Langen Beksa Utawi Tayub.
2. Tansah Angudi Indahing Kawruh Saha Kualitas Minangka
Ingkang Sae, Saha Ngugemi Jejering Wanita Utami.
3. Sudi Aledadi Dumateng Bebrayan Ingkang Tumuju Ing Reh Lestari, Ngrembuka Luhuring Budaya Bangsa.
Terkait dengan pernyataan di atas, setelah waranggana melewati tahapan
Gembyangan waranggana atau diwisuda, maka waranggana berhak mendapatkan SIP (Surat
Izin Pentas) dan kartu induk yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Nganjuk (Agung, wawancara, 29 Desember 2014). Surat izin pentas tersebut sebagai tanda bahwa waranggana sudah layak untuk pentas dalam pertunjukkan.
Gambar 4.7 Surat Izin Pentas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014).
commit to user
Gambar 4.8 Kartu Induk Seniman dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014).
4.2.2 Tayub
Kata tayub memang tidak asing lagi di masyarakat Jawa. Clifford Gertz
(2014: 430) seorang antropolog sudah mendefinisikan tayub dalam bukunya “Agama Jawa”
menjelaskan bahwa tayub adalah sebuah kesenian yang digemari oleh masyarakat terutama di
kalangan abangan, berbeda halnya dengan priyayi, dari golongan priyayi kebanyakan tidak
suka dengan tayub. Padahal sebenarnya tayub sendiri adalah kesenian istana yang merambah
ke kalangan masyarakat pesisir.
Menurut penuturan R.T Kusumakesawa (Suharto, 1999: 61) arti tarian tayub sangat
berbeda dengan apa yang masih dikenal sekarang ini. Menurut beliau penjelasannya, tayub
hanyalah terdapat di dalam keraton saja, yaitu tarian yang dilakukan oleh raja apabila sedang
memberikan pelajaran tentang kepemimpinan (Astha Brata) kepada putera mahkota. Dengan
menari pelajaran ini disampaikan kepada sang calon raja. Tidak ada orang lain yang ikut menyaksikannya kecuali empat mata itu saja yang langsung terlibat . Dari penjelasan di atas,
commit to user
diuraikan bahwa tayuban sendiri tumbuh di istana dan merambah ke kerakyatan dan sekarang
berkembang menjadi tari pergaulan, identik dengan tarian berpasangan antara putra dan putri.
Sejalan dengan catatan Mangkunegaraan terdapat keterangan bahwa nayub berasal
dari dua kata mataya yang berarti tari, dan guyub yang berarti rukun bersama. Timbul
penafsiran bahwa tayub dari dua kata jadi satu: ma-ta-ya dan gu-yub jadi tayub. Ditambahkan
pula pada zaman Panembahan Senapati Raja Mataram pertama, sewaktu berkunjung ke daerah Pajang sebelah barat telah disuguhi dengan tarian bersama penari putri di sebut
dengan teledhek atau dedungik, yaitu tarian yang terkenal dengan nama nayuban ( Suharto,
1999: 62).
Berbeda halnya dengan penuturan Agung sebagai Kepala Dinas Pariwisata
menyebutkan bahwa tayub yang berada di Ngrajek merupakan sebuah kreativitas yang
ditularkan oleh Nyai Endhel. Nyai Endhel merupakan orang yang pertama kali
memperkenalkan tayub di Desa Ngrajek. Beliau merupakan keturunan Indo-Belanda. Nyai
Endhel merupakan leluhur thandak atau teledhek dalam pertunjukkan tayub di Ngrajek.
Makam beliau pun tidak jauh dari Desa Ngrajek.
Menurut penuturan Agung, tayub merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh
Nyai Endhel untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, tayub digunakan untuk menggelabuhi para kompeni Belanda. Para kompeni Belanda yang
mayoritas dari kalangan laki-laki disuguhkan oleh masyarakat pribumi dengan tayub
(Agung, wawancara, 30 Desember 2014).
Pengaruh minum-minuman keras dan kesenangan yang luar biasa dari jogetan para
teledhek tersebut membuat para kompeni Belanda tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, keadaan yang sudah tidak sadar yang dialami oleh para kompeni Belanda, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyerang dan membunuh para kompeni Belanda secara satu per satu.
commit to user
Oleh karena itu tayub pada zaman penjajahan Belanda adalah sebuah strategi untuk
menumpas penjajahan Belanda (Agung, wawancara, 30 Desember 2014).
Pada penjelasan Serat Centhini jilid ke IX (Partokusumo, 1990: 5-7) dalam tayuban
dijelaskan bahwa penari wanita disebut dengan istilah taledhek atau ledhek. Kata tersebut
diartikan dengan Nggeledhek yang kurang lebih berarti memikat hati, yang dimaksudkan agar
semua penontonnya dan lebih-lebih para yang diharapkan untuk ngibing agar menjadi tertarik
kepadanya. Baik tertarik pada gaya tarinya maupun pada kecantikan dirinya, agar dengan demikian tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang sebagai ajakan menari bersama taledhek tersebut.
Berangkat dari tari istana yang merambah ke tari pergaulan rakyat apalagi mencuri
hati masyarakat, pergelaran tayub tampaknya sangat digemari oleh masyarakat, yang
diwarnai dengan adegan tari berpasangan putera dan puteri, yaitu antara waranggana dan
pengibing. hingga dalam perjalanannya tayub pada masa penjajahan diwarnai dengan minuman yang beralkohol.
Dalam penjelasannya, Geertz (2014: 431) secara menukik memberikan pengertian
bahwa tayuban merupakan sebuah kombinasi dari pesta minum-minum dan menari, biasanya
diadakan pada peristiwa upacara peralihan tahap dan sebagainya Adat kebiasaan minum-minuman keras berasal dari Barat, orang-orang Barat membawa adat kebiasaan untuk minum minuman keras, dikarenakan hawa di Barat sangat dingin, untuk itu sangat diperlukan minuman penghangat badan yang sangat penting pula bagi kesehatan (Soeharto, 1999: 58).
Oleh karena itu, dalam perjalanannya tayub diwarnai dengan pesta minuman keras.
Pendapat tersebut tidak sejalan dengan Prof. Dr. Poerbotjaroko yang memberikan
penjelasan bahwa najub, najuban (baca: nayub, nayuban) bukan berasal dari kata tayub,
tetapi berasal dari kata sayub yang berarti minuman keras. Atau juga untuk menyebut
commit to user
bahasa Jawa Krama menjadi sajeng, yang berarti minuman keras, karena pertukaran “s”
menjadi “w” berubah menjadi wajeng atau minuman keras (Bharatayudha syair II bait 10).
Bentuk ngoko dari wajeng adalah wayu yaitu setengah basi atau menape, menjadi tape
(Poerbotjaroko dalam Soeharto, 1999: 58). Nampak dengan jelas bahwa tayub erat kaitannya
dengan suatu peristiwa yang menggunakan minuman keras sebagai bagian penting dalam sesuatu upacara.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan minuman keras merupakan bagian penting dari
pergelaran tayub dan hal tersebut sudah mendarah daging, sejak kemunculan tayub itu
sendiri, kemudian dalam perjalanannya ditambahkan dengan pengaruh penjajah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat pribumi untuk selalu menambahkan minuman keras
dalam pergelaran tayub.
Dalam pertunjukkan tayub, biasanya ada seputar tiga teledhek atau lebih. Mereka
mengenakan busana yang cukup merangsang bagi mata laki-laki (Soedarsono, 2002: 203). Selembar kain panjang membelit dengan ketat tubuh bagian bawah. Adapun dadanya
mengenakan kemben, yaitu kain ciut yang panjang yang membungkus dengan kencang
sebagian dadanya, hingga bagian yang paling merangsang menyembul ke atas. Kepala yang bersanggul dihias dengan bunga. Selembar selendang dengan warna panas yang tergantung di pundak kanan, merupakan properti tari yang sangat penting. Apabila melangkah, lipatan kain (wiron) yang berada di depan tubuh, sesekali diangkat, hingga betis teledhek akan sedikit kelihatan.
Dalam serat Centhini dijelaskan sebagai berikut (Partokusumo, 1990: 7)
“ Kakalihipun sami ngibing, kinurmatan ungeling drel. Ronggeng kalih ngibing ngebaraken kasa gedanipun, sadaya ngungun dene ronggeng wau kadosdene santun rupi ayu sanget”.
Waranggana yang dijelaskan dalam serat centhini tersebut mempunyai paras yang
ayu. Mereka menari dan mengibing dengan pengibing. Biasanya pada zaman penjajahan,
commit to user
sampai pagi, sebagian jogetan yang ditarikan oleh teledhek merupakan turunan dari
pengembangan tari gambyong pareanom. Selama ngibing, tentu ada kontak yang sangat
dekat dengan teledhek, kedekatan kontak tersebut dibumbui dengan kedipan mata, colekan,
cubitan hingga rangkulan. Selain itu, tidak hanya berjoget atau ngibing, pesta tayub pada
zaman penjajahan dibarengi dengan pesta minum-minuman keras.
Terkait dengan pernyataan di atas, selain pergelaran tayub yang diwarnai dengan
penggunaan minuman keras, tayub sendiri memiliki pola tari. Mengenai pola penyajian
dalam tayub, salah satu informan di Mojokuto dalam buku Agama Jawa (Geertz, 2014: 431)
mengutarakan sebagai berikut.
“ Biasanya ada seorang kledek (hampir selalu seorang pelacur), tetapi dalam
tayuban yang meriah, bisa ada dua atau tiga orang. Kledek tersebut menari
sejenak pada permulaannya. Ketika tayuban itu sendiri hampir dimulai, tuan
rumah menunjuk seorang pramugari (“pemimpin”) pria. Sekarang, merupakan
tugas pramugari untuk menunjuk kledek mana yang ingin diajak menari. Ia harus
pandai mengukur kedudukan orang, sebab urutan orang yang ikut serta di dalamnya sangat penting dan tak boleh salah”.
Penari tayub membawa sampur yang diletakkan dalam baki untuk diserahkan kepada
seseorang. Orang yang mendapatkan kesempatan tampil adalah orang yang paling terpandang di antara tamu dan penonton yang ada. Apabila hadir camat dan lurah, maka ia mendapat
kesempatan pertama untuk menari tayub, kalaupun bupati maka bupati didahulukan daripada
camat dan lurah untuk menari bersama taledhek.
Dari pernyataan di atas, jelas dalam pentas tayub ada sebuah arena permainan
kedudukan dari seseorang, karena memilih orang yang ingin diajak menari atau ngibing pun
harus melihat kedudukan dari strata yang tinggi sampai strata yang rendah. Pekerjaan rumah
bagi pramugari dan taledhek, yaitu mereka harus tau siapa saja penonton yang hadir, dan
mengetahui kedudukan mereka apakah mereka seorang pejabat birokrasi atau masyarakat biasa saja.
commit to user
Pertunjukkan tayub yang diaktori oleh teledhek atau waranggana merupakan
pertunjukkan yang dipenuhi dengan gemulai tarian suara indah yang dikeluarkan dari seorang
primadona teledhek atau warangggana. Erotisme menjadi bumbu penyedap dalam
pertunjukkan tayub tersebut. Jika pertunjukkan tayub tidak dibarengi dengan suasana yang
erotis, dapat dianalogikan bagaikan masakan yang tanpa garam. Tidak ada ruh sebagai penciri
dari pertunjukkan tayub tersebut.
Tahap-tahap pertunjukkan tayub pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
sebagai berikut.
1. Klenengan (Karawitan), Klenengan adalah permainan alat musik gamelan yang
disajikan oleh para pengrawit pertunjukkan tayub. Biasanya pada pertunjukkan
tayub, klenengan disajikan sebagai pembuka pertunjukkan tayub. Klenengan disajikan ketika menunggu para hadirin yang menikmati sajian makanan selamatan dan anggota masyarakat hadir untuk berkumpul di sekitar Makam
Mbah Ageng tempat pertunjukkan tayub di Dusun Ngrajek.
2. Gambyongan, merupakan bagian kedua dalam pertunjukkan tayub.
Gambyongan merupakan tari pembuka yang dilakukan para waranggana untuk mengawali pertunjukkan tayub. Biasanya dalam bagian gambyongan para waranggana menari tari gambyong pareanom yang dikombinasikan dengan srapatan. Tari gambyong pareanom yang ditarikan tidak utuh, biasanya hanya mengambil bagian-bagian gerak saja yang disesuaikan dengan iringan gamelan yang mengiringi (lihat gambar 4.9).
3. Bagian ketiga adalah gedhok, gedhok yaitu pada saat pramugari membuka memulai acara tayuban, peran pramugari untuk mengatur jalannya tayuban. (lihat gambar 4.11).
commit to user
4. Ndoro-doro (tuan atau majikan), tahapan keempat pada pertunjukkan tayub, pada saat bagian ini waranggana menghampiri para pengibing ke meja pengibing sambil menyanyikan gendhing-gendhing Jawa biasanya di meja pengibing sudah disediakan minuman keras, diantaranya: ciu, bir, anggur merah, dll (lihat gambar 4.10).
5. Tayuban, diawali dengan penentuan pengibing yang dilihat dari strata sosial yang dimiliki oleh pengibing tersebut. Mulai dari strata sosial yang tinggi sampai yang biasa saja. Jika ada bupati yang datang, maka yang wajib didahulukan bupati. Giliran selanjutnya menyesuaikan yang biasanya diatur
oleh pramugari tayuban tersebut.
Gambar 4.9 Waranggana yang sedang melakukan gambyongan
commit to user
Gambar 4.10 Waranggana yang sedang melakukan ndoro-ndoro yaitu saat menyanyi
gendhing di meja pengibing (dokumen Ningsih, 10 Oktober 2014).
Gambar 4.11 Pramugari mengawali tayuban dengan membawa baki sambil menari yang
berisi sampur
commit to user
4.2.3 Waranggana dalam Langen Tayub di Kabupaten Nganjuk
Waranggana secara umum dikenal sebagai sebutan pelaku seni yang menguasai olah
suara (menyanyi) atau olah tubuh (menari). Dahulu di Kabupaten Nganjuk waranggana
dikenal dengan nama thandhak atau teledhek (Musrini, wawancara, 30 Desember 2014).
Teledhek berasal dari kata ngeledhek yang artinya menggoda. Godaan yang dimaksud berasal dari kecantikan, kemolekan tubuh, nyanyian yang ditembangkan, dan tarian yang memikat
hati para pengibing.
Pertunjukkan teledhek sebagai hiburan bagi kaum pria, senantiasa melibatkan dan
mempengaruhi banyak pria. Oleh karenanya, masyarakat sekitar memberikan stereotip
negatif kepada teledhek, banyak yang beranggapan bahwa teledhek mengganggu
keharmonisan rumah tangga mereka dengan suaminya. Hal ini dikarenakan ketika adegan ngibing, jarak joged antara teledhek dan pengibing sangat dekat sehingga memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dari sekedar pertunjukkan di atas panggung.
Pemberian strereotip negatif untuk sebutan teledhek yang berakibat pada kehidupan
pribadi seorang teledhek, membuat para seniman ini berinisiatif untuk mengubah nama
penyebutan bagi penari tayub yang bisa menyindhen atau menguasai olah suara diganti
dengan sebutan waranggana.
Terkait dengan kalimat di atas, Pratt Walton (1996:1) menggambarkan penamaan baru yang
bertransformasi dari taledhek menjadi waranggana.
“She adopts the person of a seductive feminine ideal so that her audience in delicious fantacies with the “heavenly nymph”or waranggana of their imaginations. Waranggana means heavenly nymph: it is also one of the newer labels for a pesindhen. The oldest term, taledhek or ledhek, conveys almost the opposite notions: a low class temptress, prostitute and beggar”.
commit to user
Pergantian sebutan nama dari teledhek menjadi waranggana diharapkan mampu memutihkan
nama seorang aktor utama dari tayub yang menguasai olah suara dan olah tubuh. Sehingga
stigma-stigma negatif yang diberikan berkurang kadarnya.
Secara etimologis waranggana terdiri dari dua suku kata, yaitu wara dan anggana
Wara yang berarti perempuan, sedangkan anggana adalah seni suara. Jadi, waranggana
adalah sebutan untuk penari perempuan yang bisa menari dan olah suara (gendhing) dalam
pertunjukan tayub di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Winarto, wawancara, 30 Oktober
2014).
Menjadi waranggana tidak serta merta langsung menari dan menyanyi saja dalam
suatu pertunjukkan, tahapan menjadi waranggana setelah menguasai skill yang harus
dimiliki waranggana, tahapan selanjutnya adalah magang dengan waranggana senior dengan
syarat hanya beberapa lagu saja yang dinyanyikan, biasanya tiga lagu saja, diantaranya
Gondoriyo, Ijo-ijo, dll.
Setelah magang dengan senior waranggana, sebagai masa orientasi waranggana
junior sebelum secara sah sebagai waranggana yang siap manggung. Tahapan selanjutnya
adalah melakukan beberapa ritual untuk menjalankan syarat yang diyakini mereka, bahwa
ketika menjalankan ritual tersebut maka mereka (baca: waranggana) menjadi waranggana
seutuhnya. Berikut beberapa tahapan ritual yang harus dilaksanakan.
1. Mengelilingi sumur Mbah Ageng sebanyak sepuluh gendhing Jawa
2. Meminum air suci yang diambil dari mata Air Terjun Sedudho
3. Penyobekan daun waru dan pemakaian mentul kantil di atas kepala atau
sanggul waranggana.
Terkait dengan kalimat di atas, waranggana selalu dekat dengan prosesi yang
dianggap mitos oleh masyarakat, oleh karenanya waranggana merupakan agen pengukuhan
commit to user
ini diturunkan secara turun-temurun yang dianggap sebagai mitos yang terpercaya dan
diyakini oleh mereka (baca: waranggana). Mitos yang dipercaya waranggana adalah
penambah kekuatan bagi waranggana. Kekuatan yang dianggap mendatangkan keberkahan
bagi waranggana dan masyarakat.
Dengan kehadiran waranggana, mitos-mitos yang diyakini dan dipercaya
masyarakat sekitar dapat tumbuh sumbur sampai sekarang. Masyarakat pendukung percaya
bahwa kehadiran waranggana dalam pertunjukkan tayub dapat menghadirkan kekuatan magi
simpatetis, seperti pemberi kesuburan, penolak bala‟, dan sarana penyembuhan (Soedarsono, 2002: 201).
Beberapa versi lain terkait dengan mitos seorang waranggana dalam pertunjukkan
langen tayub bersih desa dituturkan oleh Mijo (wawancara, 28 Desember 2015) sebagai berikut.
“ Konon, pada hari kamis Legi bulan Besar (tahun Jawa) Pada hari Kamis Legi bulan Besar (tahun Jawa) di dekat sumur Ageng mbah Otho dikejutkan dengan adanya seekor rusa yang gemuk dan besar dalam keadaan cedera. Rusa itu tidak bisa lari meninggalkan sumur tersebut, maka dapat dengan mudah rusa dapat ditangkap oleh mbah Otho dan disembelih serta dimasak untuk
selamatan atau syukuran penduduk dalam melaksanakanbersih desa. Keesokan
harinya yakni hari Jum‟at Pahing bulan Besar, dengan sarana sebagaimana
yang telah direncanakan dan dipersiapkan oleh penduduk serta dimeriahkan
pertunjukkan langen tayub. Mulai saat itulah bersih desa yang dimeriahkan
dengan kesenian langen tayub diselenggarakan tiap tahun, pada hari Jum‟at
Pahing”.
Terkait dengan pernyataan di atas Sukirno dan Herminten selaku pengrawit dan waranggana
juga memberikan informasi mengenai waranggana dalam bersih desa, Berikut penuturannya.
“Pada tahun 1934, menjelang diselenggarakannya acara bersih desa atau syukuran di sumur mbah Ageng, para orang tua di Ngrajek mengalami
kegelisahan karena sulitnya mencari penari tayub sebagai salah satu sarana
dalam melaksanakan upacara bersih desa. Sementara itu secara tiba-tiba ada dua anak perempuan yang bernama Markawit (11 tahun) dan Jaminem (10 tahun) juga gelisah karena kemungkinan tidak dapat menyaksikan bersih desa karena sakit yang tidak kunjung sembuh”.
commit to user
Menjelang dilangsungkan bersih desa dan para sesepuh desa sedang gelisah karena tidak
adanya penari tayub, tiba-tiba Markawit dan Jaminem yang sedang sakit memohon kepada
orang tuanya agar diperkenankan tampil sebagai waranggana. Permohonan ini disampaikan
kepada para sesepuh desa, maka tanpa pikir panjang para sesepuh desa mengabulkan permohonannya. Malam sebelumnya kedua anak ini bermimpi bahwa dirinya akan sembuh
dan hidup berkecukupan bila tampil sebagai waranggana dalam upacara bersih desa di sumur
mbah Ageng.
Saat tiba dilaksanakan syukuran di sumur Ageng yang dimeriahkan dengan
waranggana, kedua anak tersebut mandi jamas di sumur Mbah Ageng dan meskipun mereka
tanpa latihan sedikitpun, ternyata mereka dapat tampil sangat baik dan mempesona para hadirin serta mereka juga sembuh dari sakitnya. Dua anak tersebut makin lama makin dewasa
dan menjadi waranggana yang tangguh penampilannya, mereka menambah pengetahuan
dengan belajar tentang gendhing-gendhing Jawa. Perkembangan selanjutnya, kedua anak
tersebut dapat berkembang menjadi waranggana yang laris dan terkenal serta sering
mendapat tanggapan dengan tarif yang tinggi (Herminten, wawancara, 28 Desember 2014).
Waranggana di Desa Ngrajek sebagai aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub
yang terangkum dalam acara bersih desa. Tradisi bersih desa merupakan sebuah ritual yang dilakukan masyarakat sekitar dalam rangka memperingati cerita yang terjadi di Dusun Ngrajek. Dahulu, Dusun Ngrajek adalah hutan belantara, yang didatangi oleh para pembabat hutan, dengan ditemukannya mata air yang besar yang dikenal dengan nama sumur Mbah Ageng, akhirnya para pembabat hutan tersebut memutuskan untuk memilih Dusun Ngrajek sebagai tempat tinggalnya dan menetap disana. Sumur Mbah Ageng memberikan rahmat yang begitu besar, dengan rahmat yang dialirkan dari sumur Mbah Ageng, masyarakat dapat melakukan kegiatan produksinya dengan lancar. Seperti pengairan sawah, ladang dan
commit to user
tentunya untuk kegiatan produksi dalam berumah tangga sehari-hari (Mijo, wawancara, 28 Desember 2014).
Sebagai ucapan syukur atas rahmat yang diberikan, masyarakat Dusun Ngrajek menyelenggarakan ritual bersih desa. Acara tersebut dilaksanakan di dekat sumur Mbah Ageng. Dalam ritual bersih desa ada beberapa perlengkapan ritual yang harus dipersiapkan,
diantaranya: nasi tumpeng (nasi yang biasanya berwarna kuning, yang berbentuk runcing di
atas atau berbentuk kerucut), ayam panggang utuh dengan ujub atau do‟a pengantar
menggunakan bahasa Jawa kuno dengan tujuan meminta restu kepada Yang Maha Kuasa agar Dusun Ngrajek dijauhkan dari bala‟ dan musibah serta diberikan rezeki yang berlimpah.
Setelah proses pembacaan do‟a pengantar nasi tumpeng dan ayam panggang selesai,
seluruh masyarakat Dusun Ngrajek yang hadir disana dipersilahkan untuk menyantap hidangan secara sama (lihat gambar 4.12). Dengan menyantap hidangan bersama-sama masyarakat percaya bahwa keselamatan dan keberkahan menyelimuti kehidupan mereka.
Gambar 4.12. Ayam Panggang yang masih ditutupi penutup kain yang dimasak oleh ibu-ibu yang berada di Dusun Ngrajek.
commit to user
Gambar 4.13 Ayam Panggang dan nasi tumpeng yang sudah di do‟akan, dan disuwir oleh
masyarakat setempat.
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Setelah santapan hidangan secara bersama-sama, acara selanjutnya adalah pergelaran tayuban. Acara tayuban merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat
sekitar. Para waranggana bersiap-siap di barisan waranggana untuk mengitari sumur Mbah
Ageng sebanyak sepuluh gendhing Jawa yang mereka tembangkan. Kostum yang dipakai
waranggana pun lebih sopan, yaitu memakai kebaya lengkap, dengan bawahan badan
memakai jarik, lengkap dengan perhiasan dan accesories layaknya seorang primadona
waranggana yang sedang pentas.
4.2.4 Unsur Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek 4.2.4.1 Waranggana
commit to user
Waranggana merupakan penyebutan untuk seniman yang menguasai olah suara dan
olah bekso. Di Kampung Ngrajek, waranggana dituntut untuk menguasai dasar-dasar teknik
vokal menyinden dan menari, salah satu tarian yang harus dikuasai adalah tari gambyong.
Istilah yang populer dalam lingkup waranggana adalah gambyongan. Gambyongan dalam
pertunjukkan tayub dilakukan setelah rangkaian klenengan. (lihat gambar 4.14).
Waranggana yang telah menguasai olah vokal dan olah bekso, diwajibkan untuk magang dengan para seniornya. Hal ini dilakukan agar ketika sudah sah menjadi seorang
waranggana, para waranggana junior tidak kaget panggung, mereka bisa memainkan
ekspresi wajah, dan tidak gugup dalam bernyanyi atau menjalankan profesi menjadi seorang waranggana.
Gambar 4.14 Waranggana dalam pertunjukkan tayub di Desa Ngrajek Nganjuk, Jawa Timur.
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Pada penampilan pergelaran tayub, waranggana junior hanya menyanyikan satu
tembang atau beberapa tembang saja, sesuai dengan izin yang diberikan oleh waranggana
senior. Waranggana junior menyanyikan tembang bersama pengibing dalam pertunjukkan
langen tayub. Selain menguasai olah vokal, olah bekso, dan magang dengan senior, para waranggana melakukan ritual yang sudah dipercaya dari turun temurun. Mulai dari minum
commit to user
air suci yang didapat dari Air Terjun Sedudho, sampai dengan pengucapan janji Tri Prasetya
Waranggana (tiga janji waranggana sejati).
Setiap Jumat pahing bulan besar dalam kalender Jawa, para waranggana dari junior
maupun senior berkumpul di makam pundhen Mbah Ageng. Tujuan mereka berkumpul di makam pundhen Mbah Ageng adalah untuk mendapatkan keberkahan dari upacara bersih
desa, dan menyaksikan wisuda waranggana atau yang lebih dikenal sekarang adalah
gembyangan waranggana. Penamaan wisuda waranggana diganti untuk menamai prosesi
ritual pemberkatan menjadi seorang waranggana, hal ini dikarenakan, ada beberapa lembaga
pendidikan mengkritisi penamaan wisuda, mereka berargumen bahwa kata wisuda, layak diberikan ketika seseorang tersebut sudah melalui tahap pendidikan secara formal dan akademis serta di legitimasikan oleh pemerintahan, oleh karenanya penamaan “wisuda”
diganti dengan gembyangan.
Menurut penuturan Agung, selaku pihak pariwisata Kabupaten Nganjuk kata gembyangan lebih sesuai dengan pemberkatan menjadi seorang waranggana yang disahkan oleh masyarakat dan pemerintah, dikarenakan kata tersebut lebih menunjukkan identitas Kabupaten Nganjuk yang berarti dalam terjemahan Jawa adalah disahkan, sehingga sampai
sekarang pengesahan dalam prosesi pemberkatan menjadi seorang waranggana dinamai
commit to user
Gambar 4.15 Wawancara dengan pihak Pariwisata Kabupaten Nganjuk, terkait dengan
pertunjukkan tayub di Nganjuk, 29 Desember 2014
(dokumen Ningsih, 29 Desember 2014).
Ritual pemberkatan pengesahan menjadi seorang waranggana dilakukan di Makam Pundhen
Mbah Ageng yang dilakukan setiap Jumat Bulan Besar Pahing dalam kalender Jawa biasanya
digabungkan dengan ritual bersih desa. 4.2.4.2 Pengibing
Pengibing adalah penonton pertunjukkan langen tayub yang khusus berjenis kelamin
laki-laki. Pengibing berperan secara akif dalam pertunjukkan langen tayub. Dalam konsep filosofi
Jawa pengibing disimbolkan sebagai bapa angkasa. Dalam pertunjukkan tayub peran seorang
commit to user
Gambar 4.16. Tampak para pengibing dan waranggana sedang melakukan tayuban, laki-laki
yang memakai baju merah adalah Sekretaris Desa, dan laki-laki yang berbaju biru adalah
Lurah Dusun Ngrajek. (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Syarat menjadi pengibing tidak khusus, yang terpenting adalah pengibing dapat
melakukan gerak-gerak yang biasanya menyesuaikan dengan iringan yang mengiringi
pertunjukkan tayub. Biasanya ketika berada di panggung, gerakan tari yang dilakukan oleh
pengibing spontan dan banyak melakukan improvisasi, sehingga tidak ada gerakan-gerakan
yang baku, ketika menari dengan para waranggana.
Biasanya para pengibing yang dipersilahkan untuk menari lebih dahulu berasal dari
kalangan pemerintahan misalnya, bupati, camat, atau lurah dan kepala desa. Setelah para
pejabat pemerintahan yang menjadi skala prioritas untuk mengibing pertama dengan para
waranggana, maka setelah itu biasanya masyarakat baru turun untuk menari dengan para waranggana.
Dalam pertunjukkan tayub, pengibing biasanya memberikan uang saweran kepada
para waranggana sebagai balas jasa atau tanda terimakasih karena sudah bersedia untuk
melakukan tari tayuban. Pada zaman dahulu pemberian uang atau dengan nama lain yang
commit to user
payudara waranggana, sehingga biasanya tangan pengibing seringkali “nakal” bukan hanya
memasukkan tangan, bahkan kelakuan yang tidak beretika adalah, seringkali pengibing
meremas payudara waranggana.
Kondisi yang seperti ini sangat memprihatinkan, sehingga waranggana sekarang,
mengantisipasi dengan solusi untuk memakai kebaya. Jarang ditemui waranggana sekarang
memakai kemben tanpa memakai penutup dada. Selain itu, untuk mengantisipasi kejadian
tersebut, pemberian saweran diatur oleh pramugari.
Peran pramugari adalah membantu waranggana, agar ketika mengambil atau menerima
saweran tidak kontak fisik dengan pengibing, karena kebanyakan pengibing banyak yang
bertindak “jahil” terhadap waranggana.
4.2.4.3 Pengrawit
Pengrawit adalah orang yang memainkan alat musik Jawa atau gamelan Jawa.
Gamelan Jawa terdiri dari dua jenis, yaitu gamelan pelog dan gamelan selendro. Dalam
pertunjukkan langen tayub biasanya alat musik yang ditabuh, diantaranya adalah: kendhang,
bonang. Bonang penerus, kempul, peking, selenthem, dan gong besar .
Iringan musik yang dimainkan oleh pengrawit diantaranya Gondoriyo, Ijo-ijo, dan selain itu
iringan yang mereka mainkan untuk menaikkan popularitas dan sesuai dengan perkembangan zaman atau kekinian dengan mengiringi lagu dangdut contohnya: sakitnya tuh dsini, goyang dombret, alamat palsu, minyak wangi, dan wakuncar.
commit to user
Gambar 4.17 Pengrawit dalam pertunjukkan langen tayub
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.4.4 Pramugari
Pramugari yang biasanya dikenal adalah orang yang melakukan pelayanan kepada
penumpang dalam jasa transportasi, seperti: pramugari pesawat terbang, dan pramugari
kereta api. Tetapi tidak halnya dengan pertunjukkan langen tayub. Pramugari dalam
pertunjukkan langen tayub adalah pramugari yang mempunyai tugas untuk mengatur
jalannya pertunjukkan tayub dan mengambil saweran dari pengibing.
Adanya peran pramugari dilatarbelakangi karena banyak perlakuan yang tidak senonoh yang
dialami oleh waranggana, sehingga masyarakat sepakat untuk menambahkan peran
pramugari sebagai perantara antara waranggana dan para pengibing dalam hal pemberian saweran.
Pramugari pun melakukan jogetan, ketika memutari sumur Mbah Ageng, gerakan tari pramugari pun tidak mempunyai patokan tertentu, yang terpenting adalah bisa selaras dengan
iringan musik. Terkait dengan kalimat sebelumnya, bahwa posisi pramugari berdiri sesuai
dengan kehendak hati mereka, tidak ada yang mengharuskan di depan atau di belakang waranggana .
commit to user
Gambar 4.18 Dua orang pramugari yang berperan sebagai perantara antara waranggana dan
pengibing dalam hal pemberian saweran (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.4.5 Juru Kunci
Juru kunci merupakan orang yang dipercaya menjaga makam keramat Sumur Mbah Ageng yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai pembawa keberkahan. Oleh
karenanya pertunjukkan langen tayub yang terangkum dalam acara bersih desa dilakukan di
sekitar sumur Mbah Ageng.
Gambar 4.19 Mbah Mijo sebagai juru kunci dan Sumur Mbah Ageng (dokumen Ningsih, 28 Desember 2014).
Juru kunci di Desa Ngrajek dipercayakan kepada Mbah Mijo, tugas dari juru kunci adalah memimpin putaran dalam ritual memutari sumur Mbah Ageng di Desa Ngrajek Para
commit to user
mengikat waranggana dari depan ke belakang. Fungsi tali putih yang mengikat para
waranggana adalah untuk selalu menjaga persaudaraan antara para waranggana sehingga
tidak ada kesenjangan antara sesama waranggana, khususnya waranggana senior dan junior
(lihat gambar 4.20).
Gambar 4.20 Tampak waranggana mengenakan tali putih yang berfungsi
untuk mengikat waranggana senior dan waranggana junior, agar tidak
terjadi perselisihan dan kesenjangan sosial (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Formasi waranggana tentunya di komandoi oleh seorang juru kunci. Pada saat
commit to user
gamelan seolah-olah dia berada pada dunia yang diimajinasikan dalam pikirannya. Tarian sederhana yang dilakukan oleh Mbah Mijo dilakukan sesuai dengan rasa yang dimilki oleh Mbah Mijo.
Dalam pelaksanaannya, Mbah Mijo mengenakan kostum Jawa, memakai baju hitam, dan jarik yang sudah diwiru, tidak lupa properti yang dipakai dalam ritual tersebut adalah sampur. Sampur merah dipakai oleh Mbah Mijo dan pengibing, penyeragaman sampur disebabkan oleh permintaan dari sponsor yang punya hajat, dalam upacara bersih desa yang
dilaksanakan Jumat Pahing bulan besar dalam kalender Jawa tahun 2014 kemarin, acara
tersebut disponsori oleh “Panther”. Oleh karenanya para waranggana, pengibing, pramugari,
dan juru kunci memakai sampur yang bertuliskan merk suatu minuman yaitu “Panther”.
Gambar 4.21 Juru kunci sedang memimpin ritual memutari
sumur Mbah Ageng dengan para waranggana diiringi dengan
sepuluh gendhing.
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014). 4.2.5 Unsur Pendukung Pertunjukkan
commit to user
Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh
alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah,
2006: 138). Masing-masing budaya mempunyai standarisasi mengenai pengukuran kecantikan. Dalam ukuran kecantikan tradisional kecantikan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ia memiliki akar budaya yang kuat dalam suatu masyarakat.
Begitupun kecantikan seorang waranggana yang menjadi primadona suatu
pertunjukkan tayub. Dikatakan indah jika mempunyai bentuk tubuh yang sintal, payudara dan
pinggul yang kencang, disertai dengan wajah yang cantik dan bersinar di panggung
pertunjukkan langen tayub. Untuk menunjang kecantikan di atas panggung, para waranggana
menggunakan make up atau riasan wajah tambahan sebagai penunjang kecantikan mereka.
Pada dasarnya riasan wajah merupakan rekayasa manusia untuk memperindah dan
mempercantik diri (Caturwati, 1997: 4.). Rias yang digunakan oleh waranggana adalah rias
korektif (lihat gambar 4.20). Rias wajah korektif adalah rias wajah yang menekankan prinsip koreksi bentuk wajah dan bagian-bagian wajah dengan cara menyamarkan bentuk-bentuk atau bagian wajah yang kurang sempurna dan menonjolkan bagian-bagian wajah yang sudah
indah dengan menerapkan teknik shading (memberi bayangan gelap) dan tinting (memberi
bayangan terang) dari base make up yang diaplikasikan.
Tata rias yang baik selain mempercantik penampilan secara lahiriah juga menunjang rasa percaya diri seseorang. Tujuan rias wajah adalah menonjolkan keindahan wajah dan menyamarkan atau menutupi kekurangan wajah. Untuk merias wajah dengan baik diperlukan keterampilan khusus yaitu pemahaman tentang beragam kosmetika dekoratif, peralatan penunjang serta teknik rias wajah korektif yang tepat.
commit to user
Tata rias wajah korektif diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan untuk menyempurnakan rias wajah dan mencapai bentuk wajah mendekati wajah ideal.
Terkait dengan pernyataan di atas para waranggana nampaknya sudah lihai dalam
urusan make up. Hal ini dibuktikan dengan ketika persiapan pentas mereka (baca:
waranggana) merias wajah mereka sendiri. Mereka tidak menyewa jasa salon untuk merias wajah mereka. Alasan mereka menguasai tata rias wajah adalah agar profesi mereka sebagai seorang seniman lebih profesional. Tidak selalu mengandalkan jasa orang lain, sehingga mereka bisa mandiri. Dan terlebih lagi alasan yang paling mendasar adalah agar lebih irit untuk pembiayaan produksi, sebab, dengan menyewa jasa salon, otomatis mereka harus membayar jasa salon tersebut, sehingga berakibat pada berkurangnya uang pentas yang diterima oleh mereka akibat jasa pembayaran salon. Seperi dituturkan Musrini (Wawancara,
26 Desember 2014), seorang waranggana senior:
“walah mbak, yang namanya dadi waranggana itu harus bisa merias wajahnya sendiri, biar mandiri. Sing paling penting ki mbak biar ngirit, karena biaya salon maharani mbak, alias mahal”.
Waranggana yang mempunyai jam terbang yang sudah tinggi, tampak sangat lihai
dalam memainkan kuas make up di wajahnya. Sebagian besar waranggana menggunakan
kryolan atau alas bedak yang berwarna sesuai dengan kulit mereka ada yang kuning langsat, cokelat ataupun kuning kencana.
Pemakaian alas bedak harus benar-benar terampil, jika tidak hasil nya akan
berantakan, karena alas bedak merupakan bangunan dasar dalam make up. Setelah memakai
alas bedak para waranggana menaburkan bedak tabur dan bedak padat di wajah mereka.
Penaburan bedak tabur dan bedak padat berfungsi untuk menghilangkan garis-garis di wajah sehingga tampak halus.
Untuk mempertegas garis dan bentuk wajah, dibutuhkan penambahan eyebrow pencil
commit to user
mata), eye liner (Penghitam garis mata), bulu mata palsu, dan mascara yang berfungsi untuk
menambah volume bulu mata.
Dalam hal merias wajah bagian yang paling penting dipertegas dan dipercantik adalah
mata. Dengan mata, pengibing dan waranggana terjalin suatu proses komunikasi. Mata
adalah bagian yang paling sensual dari tubuh, untuk itu hiasan mata harus benar-benar segar
dan tajam. Penambahan eye shadow yang beraneka warna di kelopak mata seperti warna
ungu, merah muda, biru, hitam disertai dengan gliter berwarna keemasan dan perak memberikan kesan segar dan tajam. Untuk merampingkan, menonjolkan, dan menambah
volume tulang pipi para waranggana membubuhkan rouge (pemulas pipi) yang dipakaikan
dengan kuas blush on .
Terkait dengan pernyataan di atas, setelah pembubuhan di bagian mata dan tulang
pipi, bagian selanjutnya adalah shading. Teknik shading digunakan untuk menambah
bayangan hidung agar kelihatan lebih mancung dan sempit. Pembubuhan shading
menggunakan rouge yang berwarna gelap kecokelatan, dilakukan di bagian kanan kiri
hidung, mulai dari atas sampai di cuping hidung, ditarik lurus kedua sisi. Di bagian tengah
hidung diberikan highlight warna putih atau bedak padat yang warnanya lebih terang,
sehingga agak lebih terang dari atas sampai ke bawah, sehingga terkesan mancung keluar . Bagian selanjutnya adalah bibir. Bibir merupakan pusat sensualitas dari wajah. Biasanya, di bagian bibir diberikan pemerah bibir, untuk menambah kesan seksi dan segar,
sehingga tidak kelihatan pucat. Para waranggana, biasanya menggunakan warna pemerah
bibir atau lips colour dengan warna yang terang atau menyala, hal ini dimaksudkan agar di
panggung lebih kelihatan apik.
Dengan kaca kecil di tangan kirinya dan peralatan make up di tangan kanan, mereka
tampak tidak kesulitan dalam merias wajah mereka. Para waranggana dapat mengubah
commit to user
Gambar 4.22 Musrini, seorang waranggana senior yang merupakan primadona
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Selain rias panggung bagi waranggana unsur penunjang lainnya adalah busana.
Busana yang digunakan waranggana memiliki trik-trik dalam penggunaan busana panggung.
Ada bagian busana waranggana yang harus diwiru, dan ada yang dipakai dengan ketat, hal
ini dimaksudkan agar bagian-bagian yang ditonjolkan oleh tubuh lebih kelihatan harmonis.
Para waranggana lebih suka menggunakan busana kebaya. Karena dengan memakai kebaya
terlihat lebih cantik, karena penggunaan kebaya ditubuh harus ketat, sehingga lebih indah dipandang.
Biasanya para waranggana lebih menyukai busana kebaya dengan warna yang cerah
seperti biru, kuning, merah dan dipadukan dengan busana bagian bawah yaitu menggunakan jarik atau kain polos yang bernada sama atau lebih soft yang dipadukan dengan busana
kebaya bagian atas. Jika waranggana menggunakan jarik maka penggunaan jarik pun diwiru.
Proses pewiruan kain yaitu ujung kain dilipat kecil-kecil dengan ukuran perbagian yaitu
dengan ukuran dua jari. Jika waranggana menggunakan kain polos maka, pemakaian pun
hanya dililitkan dengan rapi, dari kiri ke kanan sehingga bentuk tonjolan-tonjolan tubuh lebih kelihatan menarik (lihat gambar 4.23)
commit to user
Performa waranggana yang menuntut tidak hanya menyanyi tetapi juga menari
mengharuskan busana yang dipakai harus rapi dan aman, jangan sampai busana tersebut melotrok atau terlepas dari tubuh. Maka, pemasangan busana pun harus aman dan nyaman sehingga ketika menari pun busana yang dipakai tidak menimbulkan gangguan-gangguan
yang nantinya berdampak pada pertunjukkan waranggana itu sendiri.
Sejalan dengan tujuan pemakaian busana tari adalah meningkatkan atau memberikan keserasian badan dari penekanan pada postur tubuh yang statis atau dinamis, mendukung penari untuk bisa bergerak secara leluasa, serta mendekatkan peran atau karakter yang diinginkan (Ellfeldt dan Carnes, 1971:76).
Gambar 4.23. Busana yang dipakai oleh waranggana, memakai kebaya dan jarik
commit to user
Gambar 4.24. Busana yang dipakai oleh waranggana, pada saat adegan tayuban
(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).
Gambar 4.25. Busana yang dipakai oleh waranggana junior, memakai kebaya polos, tidak
dengan payet dan jarik
(dokumen Dinas Pariwisata, Oktober 2009). 4.2.5.2 Tata pentas
commit to user
Panggung pertunjukkan tradisional adalah tempat yang secara turun-temurun dan telah menjadi kebiasaan pada sebuah komunitas atau masyarakat etnis tertentu dalam mengekspresikan diri. Tempat pertunjukkan dapat menjadi simbol. Tempat pertunjukkan juga
bermacam-macam bentuknya, seperti : Proscenium, tapal kuda, teater arena, dan sebagainya.
Tempat pertunjukkan yang biasa digunakan dalam acara langen tayub bersih desa di Desa
Ngrajek yaitu bertempat di sekitar sumur Mbah Ageng yaitu di tengah-tengah Desa Ngrajek dan dekat sekali dengan pemukiman penduduk. Bentuk tempat pertunjukkan dalam acara langen tayub adalah berbentuk “U”, yaitu posisi panggung di depan dan penonton bisa menyaksikan pertunjukkan dari kiri-ke kanan.
4.2.5.3 Jimat
Dunia pertunjukkan adalah dunia dengan penuh gemerlap, seperti contohnya
pertunjukkan langen tayub, unsur pertunjukkan langen tayub yang didukung oleh musik
karawitan yang lengkap, sound yang menggelegar, ditambah dengan tata cahaya lampu yang
berkilauan. Oleh karena itu aktor utama tayub, dalam hal ini waranggana harus memiliki
kecantikan dan tubuh yang ideal, karena dengan memiliki kedua unsur tersebut maka hal tersebut berimplikasi dengan finansial yang didapat.
Kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi pengaruh dari alam, juga bukan pula kualitas moral sampingan, tetapi kualitas mendasar, wajib dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingan sebagai jiwanya ( Baudrillard,
2011: 170). Oleh karenanya para waranggana selalu menjaga makanan yang dimakan untuk
menjaga bentuk ideal dari tubuhnya, olahraga dengan latian tari dapat menjaga performa
tubuh seorang waranggana.
Terkait dengan pernyataan di atas, banyak cara yang digunakan oleh waranggana
untuk menjaga agar pesona kecantikan dan tampilan tubuh yang ideal tetap stabil. Menurut