• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Proses Terjadinya Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub Di Dusun Ngrajek Jawa Timur

4.4.1 Komodifikasi Waranggana dalam Modernitas

Tayub pada masa dahulunya dipercayai masyarakat sekitar mempunyai kekuatan magi simpatetis dan dianggap sebagai sebuah ritual yang sakral. Ritual yang sakral dalam pertunjukkan tayub termasuk ke dalam ritual kolektif. Menurut Durkheim (Raditya, 2014: 83) ritual kolektif memiliki kemampuan daya emosi yang mendalam, cepat, dan akurat. Di dalam ritual kolektif tersebut terdapat sebuah elaborasi dari kekuatan kelompok dan pikiran kolektif. Sebuah elaborasi ini yang menghasilkan suatu energi yang membakar emosi kelompok sehingga bisa mendatangkan suatu energi magic yang sangat kuat dan bisa mendekatkan secara emosional antara personal satu dengan personal yang lainnya. Oleh karenanya tari tayub terdapat unsur magi simpatetis, artinya tarian ini dapat dikatakan sebagai tari yang mendatangkan magic.

Tari yang mendatangkan magic dapat dikategorikan sebagai tari sakral. Dalam bahasa Jawa istilah sakral ini dapat disamakan dengan suci, kramat, wingit, angker, dan ghaib. Ritual-ritual yang dilakukan di masyarakat Jawa selalu identik dengan “sakral” karena ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa merupakan upaya pendekatan diri kepada yang Maha Suci atau Maha Ghaib yaitu sang pencipta (Tuhan) (Suyanto, 2014: 50).

Sejalan dengan pendapat Eliade bahwa manusia yang dengan kecenderungannya untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan atau dengan objek yang suci yang sama artinya dengan kekuasaan atau kekuatan, dan dengan realitas yang sakral identik dengan “Ada” (being) disebut dengan masyarakat arkais (2002: 6). Ciri masyarakat arkais adalah masyarakat yang menurut Mircea Eliade (dalam Susanto, 1987: 43-44) memiliki karakter-karakter sebagai berikut.

1. Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai prototype ilahi atau tindakan itu

commit to user

mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula (arketipe penciptaan dan kehidupan ilahi yang suci)

2. Kosmologi menduduki tempat utama dalam kehidupan kesehariannya. 3. Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk

simbol-simbol.

4. Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos, karena sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai produk akhir dari suatu sejarah mistis.

5. Tingkah lakunya bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan supranatural.

6. Kehidupan mereka sangat religius

Ritual tari kesuburan dalam rangkaian tayub merupakan sebuah komunikasi manusia dengan pencipta-Nya dan manusia dengan alam. Terkait dengan tari kesuburan, Ben Suharto menjelaskan bahwa hampir semua yang menyangkut tentang kesuburan ternyata selalu ada kaitannya dengan kehidupan seksual yang dihubungkan dengan kejadian alam yang menimpanya.

Tari yang menggambarkan kesuburan, manusia di dalam bentuk pengungkapannya yang murni dapat dibagi dalam tingkat hubungan seksual (1999: 15), yaitu: 1) Pertemuan ; 2) Sentuhan ; 3) Persetubuhan.

Di dalam pertunjukkan tayub, gerakan yang dilakukan bukan dalam berbentuk gerakan yang menggambarkan bercocok tanam, mencangkul, atau menuai padi, tetapi dalam bentuk tari berpasangan antara putera dan puteri yaitu antara waranggana dan pengibing.

commit to user

Waranggana dalam pertunjukkan tayub pun sebagai aktor utama dan mengandung unsur magi simpatetis kaitannya dengan kesuburan pertanian di Dusun Ngrajek. Karena itulah wanita secara mistis dianggap menjadi satu dengan bumi, melahirkan anak dipandang pada tataran manusia, sebagai bagian dari kesuburan bumi. Sakralitas wanita terkait pada kesucian tanah. Kesuburan feminin memiliki model kosmik = Terra master = Genetrix Universal ( Eliade, 2002: 149).

Mitos kosmogonik yang diyakini adalah hierogamy antara Tuhan-Langit dan Ibu Bumi. Dengan bertemunya waranggana dan pengibing dipercaya dapat memberikan keberkahan bagi masyarakat Desa Ngrajek. Waranggana dan pengibing sebagai penjaga gerbang keberkahan.seperti yang diungkapkan dalam Brihadaranyaka Upanishad “Aku adalah Langit” Kata sang suami, “ Engkau adalah Bumi”, bahkan sejak masa Atharva Veda (XIV, 2,71) mempelai laki-laki dan perempuan sudah diserupakan dengan langit dan bumi (Eliade, 2002: 150)

Terkait dengan pernyataan di atas, hubungan antara alam dan manusia digambarkan dalam bentuk skema yang dalam prosesnya terdapat jalinan-jalinan yang saling membangun. Berikut skema ekologi kesuburan yang dipercaya dan diyakini membawa keberkahan bagi masyarakat Ngrajek.

commit to user Petunjuk Model:

: Hubungan Langsung Satu Arah (Garis yang mempengaruhi) : Hubungan langsung dua arah ( Garis yang salng mempengaruhi) Skema 3, Ekologi kesuburan yang membawa keberkahan masyarakat

(Modifikasi Tia, disadur dari pemikiran Duija, 2014). Bapa angkasa dan Ibu pertiwi

(Asal muasal kesuburan, Lingga Yoni)

Bapa Angkasa

(Pengibing) (Ngibing)

Representasi pertemuan Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi

Ibu Pertiwi (Waranggana

)

Klimaks Pertunjukkan

Pertunjukkan Langen Tayub di Desa Ngrajek

Harapan masyarakat Ngrajek terhadap ritual langen tayub terhadap kesuburan dan keberkahan hidup masyarakat Ngrajek.

commit to user

Pesta pora ritual yang merayakan keberhasilan panen memiliki model ritual hierogamy Ibu Bumi dan Dewa yang menyuburkan. Kesuburan tanah lahan pertanian distimulasikan oleh hiruk-pikuk genetik yang tidak terbatas (Eliade, 2002: 151). Hal ini nampak jelas dengan skema yang telah disajikan yaitu pada klimaks pertunjukkan “ngibing” yang merupakan representasi pertemuan antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi yang menyimbolkan keberkahan bagi masyarakat Dusun Ngrajek.

Dalam pandangan Eliade bahwa sakralitas dalam masyarakat disebabkan oleh sesuatu yang sakral memang telah menjadikan dirinya dalam setiap ciptaan-Nya. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral karena ia memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya, sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan (2002: 4). Tetapi, dalam pandangan modern sakralitas sesuatu, tergantung pada ruang yang menyertainya. Ditambahkan dalam konteks Bali bahwa sakralisasi tergantung pada ruang, waktu, dan proses. Ruang yang berbeda menyebabkan sesuatu tersebut bisa dikatakan sakral atau profan (Duija, 2014: 43).

Tayub erat hubungannya dengan ritus kesuburan. Simbol laki-laki dan perempuan merupakan simbol kesuburan. Dalam falsafah Jawa tayuban berarti pertemuan antara bapa angkasa dan ibu pertiwi. Tari yang dipakai untuk upacara kesuburan tidak nampak penuangan tema dengan memperlihatkan cara-cara menanam dari proses awal orang menanam, atau memetik hasilnya, tetapi dengan meuangkan cara hubungan seksual, lewat penari laki-laki dan wanita atau lewat simbol ( Soeharto, 1999: 18).

Dalam kaitannya dengan upacara kesuburan Jamake Highwater (1992) dalam tulisannya yang berjudul Dance: Rituals of Experience, memaparkan bahwa tarian tayub mempunyai kekuatan yang dapat menimbulkan kesuburan bagi alam, pendapatnya sebagai berikut.

commit to user

“Primal people regard an action as the embodiment of a mysterous force. They believe that dance can shape the circumstances of nature. If it can focus its contagios power on animals and supernaturals. This premise of sympathetic magic is at the root of most ceremonial use of dance. This practice, called homeopathic rital, is the basis of most hunting and fertility rites”.

Oleh karena itu pertunjukkan tayub tidak bisa dilepaskan dari masyarakat agraris di masyarakat Jawa, tayuban dianggap masyarakat sekitar memiliki kekuatan ghaib yang dapat mendatangkan rezeki, dan mendatangkan panen yang berlimpah. Mereka mempercayai ada kekuatan yang tidak kasat mata.

Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono (1991) yang dinyatakan dengan pendapatnya sebagai berikut.

“Dalam Masyarakat Agraria, sadar atau tidak mereka beranggapan bahwa kesuburan tanah juga perkawinan tidak cukup hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu antara lain berupa magis simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan, yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hubungan ini pada masyarakat yang masih melestarikan budaya purba kadang-kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi masyarakat yang sudah maju dilakukan secara simbolis. Magi simpatetis yang mampu mempengaruhi pembuahan atau kesuburan dapat dilakukan lewat tari dan drama tari”.

Ekspresi-ekspresi budaya yang dilakukan oleh masyarakat, dilakukan atas dasar keyakinan dan penghayatan mereka, bagaimana bisa berinteraksi dengan alam. Komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada alam sebagai wujud bagaimana masyarakat dapat menjaga harmonisasi dan keseimbangan alam. Oleh karenanya tayuban dipandang memiliki kekuatan ghaib dan sangat berarti bagi warga desa.

Menjamurnya pentas tayub di wilayah pesisir tidak terlepas dari dukungan dari masyarakat pendukungnya. Biasanya ritual tayub diselenggarakan setelah panen padi atau acara bersih desa. Masyarakat mempercayai bahwa dengan diadakan tayub maka panen akan berlimpah dan desa pun bersih dari bala‟. Oleh karenanya tayuban di wilayah Jawa masih tetap dipegang teguh, karena dengan menyelenggarakan tayuban, masyarakat percaya akan

commit to user

diberikan rezeki panen yang berlimpah lagi. Kaitannya masyarakat Jawa umumnya berada pada sektor agraria.

Tayub yang dahulunya dianggap masyarakat sebagai tari kesuburan yang bersifat sakral, kini mengalami pergeseran menjadi seni komersialisasi. Proses seni komersialisasi bekerja pada ruang dan waktu yang dihadapkan sekarang, yakni pada kondisi modernitas, sehinggga posisi tayub sekarang tidak pada sakralnya upacara tari kesuburan melainkan kondisi bersenang-senangnya antara pengibing dan waranggana. Kondisi hari ini menawarkan seni tradisi dihadapkan pada sebuah komoditi. Mau tidak mau para waranggana harus membuka diri dalam merespon pergeseran zaman, oleh karenanya waranggana harus menginterpretasi ulang terhadap pemahaman nilai-nilai sakralitas ritual dalam pertunjukkan tayuban. Tidak dipungkiri bahwa realitas yang dihadapi sekarang, bahwasanya pertunjukkan tayub sebagai arena bisnis, arena adu gengsi, sarana mobilitas sosial dan sebagai arena pendekatan komunikasi secara intensif. Dalam pemahaman seni komersialisasi berarti setiap pertunjukkan diukur atas permintaan pasar. Kegiatan komersialisasi memaksa untuk melakukan perubahan terhadap wujud seni pertunjukkan tayub tersebut. Seni pertunjukkan tayub yang di dalamnya mengandung nilai-nilai khusus kini dimodifikasi sesuai dengan permintaan pasar. Tidak bisa dielakkkan pada hari ini pasar mendominasi tubuh pertunjukkan tayub tersebut.

Tuntutan pasar dalam tubuh pertunjukkan tayub menitik beratkan pada body image atau citra image dari pelaku seni tersebut. Semakin cantik dan bagus suara yang dimiliki dari aktor langen tayub, maka semakin mahal bayaran yang diterima oleh seorang waranggana. Body image tersebut merupakan bagian dari kontruksi sosial (Meliana, 2006:2) kontruksi sosial merupakan stimulus lingkungan yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh para perempuan, yang kemudian diinterpretasi dan dipersepsi oleh mereka sesuai pengalaman masing-masing, kemudian terinternalisasi yang akhirnya menghasilkan respon-respons dalam

commit to user

menghayati citra tubuh. Dalam hal ini waranggana menghayati tubuh mereka dengan membentuk citra cantik dalam rangka memenuhi selera pasar sekarang. Kontruksi kecantikan tersebut benar-benar melihat dirinya sebagai objek yang cantik secara seksual, oleh karena itu pengaruh pasar tersebut menempatkan waranggana sebagai objek seksual.

Memiliki tubuh yang langsing, hidung yang mancung, bagian pinggul yang montok mereka akan laris di pasaran atau banyak yang nanggap. Tetapi, di lain sisi harus disadari bahwasanya kecantikan secara fisik tidaklah abadi. Kontruksi tersebut membuat ketakutan bagi waranggana sendiri, yakni menyadari bahwa tubuh akan menua dan kecantikan mereka lambat laun akan luntur dengan proses penuaaan tersebut. Apalagi sekarang banyak waranggana yang memiliki paras yang cantik sehingga keadaannya lebih kompetitif dalam rangka memenangkan pangsa pasar. Salah satu waranggana Musrini melakukan suntik silikon di bagian hidung, bibir dan rahang wajah. Hal ini dilakukan untuk mempertajam bentuk hidung yang mancung, menambah kesan sensual pada bibir, dan membuat wajah semakin tirus. Pengakuan Musrini ketika diwawancarai bahwasanya pada awalnya ia merasa percaya diri dengan aplikasi suntik silikon tersebut, tetapi, seiring berjalannya waktu, proses penuaan tak dapat dihindari. Suntik silikon yang dilakukan Musrini berdampak besar, hal ini terlihat dari permukaan hidung Musrini yang menggembung, permukaan bibir yang lebih tebal, dan rahang wajah yang bergelambir dan terlihat turun sehingga ada kesan „aneh” ketika melihat wajah Musrini sekarang.

commit to user

Gambar 4.32. Waranggana Musrini yang melakukan suntik silikon (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014).

Tidak hanya memenuhi permintaan selera pasar. Tubuh waranggana kini, sebagai suatu wahana pertempuran antara yang sakral dan profan. Sejalan dengan Raditya (2014: 125) mengatakan bahwa sekarang tubuh sudah menjadi tubuh abjektif yang berarti tubuh tidak hanya bergerak pada aturan sosial melainkan tubuh yang menjadi medan pertempuran. Dengan kata lain pertempuran tersebut merupakan akibat dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang berada di dalamnya dalam menghadapi kuatnya pengaruh pasar di tengah masyarakat modern. Akibatnya komodifikasi waranggana dalam pertunjukkan tayub berimplikasi pada pudarnya nilai-nilai sakral yang dipahami dan dihayati oleh pelaku seni itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan sikap apatis waranggana akan penghayatan ritual dalam serangkaian prosesi ritual menjadi seorang waranggana. Para waranggana tiba-tiba langsung mementaskan diri di panggung pertunjukkan tayub, tidak memiliki skill menyanyi dan menari yang cukup diperhitungkan, bahkan banyak yang terkesan asal-asalan. Tidak hanya demikian, mereka (baca: waranggana) tidak sama sekali melewati serangkaian langkah yang panjang, seperti mandi suci di Air Terjun Sedudho, pengucapan Tri Prasetya Waranggana, pelatihan olah vokal dan olah bekso, ataupun gembyangan atau wisuda waranggana yang proses

commit to user

selanjutnya mendapatkan SIP (surat izin pentas) dari Dinas Pariwisata Nganjuk ketika ingin menjadi waranggana yang benar-benar sah.

Hal ini dilatarbelakangi oleh iming-iming dari uang yang didapat menjadi seorang waranggana. Para waranggana yang amatir ini sudah silau dengan kilauan rupiah yang didapat setelah manggung di panggung pertunjukkan tayub. Pergeseran seni tayub sebagai pertunjukkan yang sakral dan mengandung unsur magi simpatetis kini telah direduksi menjadi seni komersialisasi.

Oleh karena itu, ritual-ritual yang dijalankan dan langkah-langkah yang wajib ditempuh tidaklah penting oleh waranggana yang amatir ini, yang menjadi prioritas mereka adalah dapat manggung dalam pertunjukkan tayub dan dengan manggung dalam pertunjukkan tayub tersebut, mereka mendapatkan honor atau tip dari para pengibing dan pihak penyelenggara.

Kelakuan para waranggana yang amatir ini membuat resah para waranggana yang senior yang sudah mempunyai jam terbang manggung pertunjukkan yang sudah sering. Implikasi dari tindakan para waranggana yang amatir ini menurunkan kredibilitas waranggana senior, sehingga harga manggung mereka pun turun secara drastis.

Seperti penuturan Andriyani, wawancara 29 Desember 2015 pukul 20.00 wib, di kediaman waranggana Andriyani.

“Niki mbak, gegoro junior sing anyar sok-sok melu wae iku, saiki dadi turun drastis mbak. Mbiyen dari magrib sampe pagi sekitar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) sampe Rp. 3.500.000 (Tiga juta lima ratus ribu rupiah) saiki mudhun dadi Rp. 500.000,00 (Lima ratus ribu rupiah)”.

Tubuh tidak saja menjadi objek dalam relasi kekuasaan, tetapi juga sarana komunikasi dan penyampaian pesan, tubuh atau organ-organ tubuh dijadikan serangkaian penanda (signifier) atau dimuati dengan berbagai makna atau konotasi, sensual, elegan, lembut, macho, jantan atau kuasa. Tubuh menjadi sebuah narasi, yaitu rangkaian tanda bermakna, sebuah proses produksi tubuh menjadi penanda sosial (Piliang, 2014: xxii).

commit to user

Tubuh waranggana yang menjadi daya pemikat dalam pertunjukkan tayub adalah sesuatu yang tampak dan dipertontonkan sebagai proses penanda sosial. Penanda sosial bagi kebiasaan yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. sesuai dengan pandangan Ranciere yang memandang tentang tubuh sebagai pandangan materialisme. Pandangan materialisme melihat tubuh sebagai tubuh “yang mengindera” (sensible): “yang tampak” yang ditampilkan” dan yang dipertontonkan”.

Pusat-pusat sensualitas yang dimiliki seorang waranggana adalah titik sentral yang dipertontonkan oleh seorang waranggana, yaitu bagian tubuh seperti payudara, bibir, pinggul, serta rambut. Bagian-bagian tersebut dikemas dalam balutan pakaian dengan warna yang mencolok sehingga menjadi titik sentral penonton ketika melihat pertunjukkan mereka (Baca: waranggana). Seperti, rambut yang diyakini sebagai mahkota wanita digelung atau disanggul dengan sedemikian rupa, biasanya para waranggana menyanggul rambutnya dengan bentuk sanggul tekuk, lengkap dengan accesories untuk mempermanis tampilan rambut sehingga apik untuk dilihat dan dipertontonkan. Bibir dipakaikan dengan pemerah bibir dengan warna yang tajam, balutan pakaian yang ketat sehingga tampak dengan jelas detail tubuh dari tubuh bagian atas sampai tubuh bagian bawah. Semakin ketat balutan pakaian yang dipakai oleh waranggana serta didukung oleh bentuk tubuh yang proporsional maka jam terbang seorang waranggana tersebut semakin padat dan tentu saja, hal tersebut berimplikasi pada kas pribadinya.

Modal tubuh yang dimiliki waranggana merupakan suatu praktek ekonomi, praktek tersebut dimulai ketika waranggana sendiri memasang tarif atas modal tubuhnya. Semakin menawan modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana maka semakin tinggi tarif atas modal tubuhnya. Sejalan dengan pendapat Piliang, bahwa tubuh menjadi urat nadi ekonomi politik dan budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (2011: 291)

commit to user

Ada tiga politik tubuh yang diuraikan oleh Piliang, sebagai berikut.

1. Ekonomi-politik tubuh yaitu bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarki), berkaitan dengan sejauh mana tubuh perempuan secara fisik dieksplorasi ke dalam bentuk komoditi, dengan tubuh perempuan sebagai entitas fisik, ditempatkan di dalam konteks dan relasi sosial ekonomi yang lebih luas dalam rangka penciptaan mistifikasi sosialnya.

2. Politik ekonomi tanda tubuh yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sistem pertanda-tandaan kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamnya. Tubuh sebagai entitas tanda dan citra dieksploitasi segala potensi tanda dan citranya, yaitu kemampuan menghasilkan tanda dan citra tertentu yang dapat menciptakan nilai ekonomi dalam dipertukarkan di dalam sistem pertukaran ekonomi yang ada, dalam rangka mencari keuntungan.

3. Ekonomi-politik hasrat, yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi, yaitu bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan, atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi. Ekonomi politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan strategi di dalam politik eksplorasi ( dan sekaligus represi) hasrat perempuan, di dalam relasi psikis yang dibentuk kapitalisme.

Kaitannya dengan waranggana modal tubuh yang dimiliki oleh waranggana sebagai entitas fisik dari dirinya sendiri, masuk ke ruang publik dalam pertunjukkan langen tayub. Masuknya tubuh ke ruang publik memposisikan tubuh sebagai komoditi. Oleh karenanya, para waranggana mematok harga mereka ketika pertunjukkan tayub, baik itu untuk ritual tari

commit to user

kesuburan atau pentas pertunjukkan tayub biasa, dan biasanya hitungan honor para waranggana bisa dinegosiasikan sebelum tayuban berlangsung, biasanya satu minggu sebelumnya atau lima hari sebelumnya (wawancara Andriyani, 29 Desember 2014).

Komoditi yang bernilai ekonomis tersebut sesuai dengan negosiasi yang terjadi antara waranggana dan penikmat sajian tayub. Semakin tinggi tarif yang ditawarkan oleh waranggana, semakin tinggi citra atau identitas yang dikontruksi oleh waranggana sebagai waranggana yang mempunyai level tinggi dan dapat diperhitungkan.

Identitas waranggana yang diperhitungkan di kalangan waranggana dan para pendukung tayub lainnya menelurkan sebuah strategi secara tidak disadari. Pesona kecantikan dapat menundukkan pengibing. Sehingga pengibing ingin menciptakan relasi yang lebih dekat bahkan intim dengan waranggana. Pada tingkat inilah waranggana telah menguasai secara penuh relasi yang ia ciptakan lewat ia sebagai waranggana dalam pertunjukkan tayub. Hal ini sejalan dengan pendapat Lubis ( 2014: 176), Komoditas memiliki karakter yang sanggup memenuhi kebutuhan manusia maupun karakter sosial yang digunakan untuk mengekspresikan relasi-relasi eksploitatif di antara orang-orang sebagai relasi antara objek-objek (bukan subjek dengan subjek).