• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.5 Implikasi Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Konteks Kekinian Sosial Budaya di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo,

4.5.3 Menurunnya Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Keagamaan

Moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) berarti kebiasaan, adat (Bertens, 2002:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:754--755) moral diartikan (a) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; (b) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (c) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Pengertian moral berhubungan dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dimana ia hidup. Nilai-nilai moral dipengaruhi oleh kebudayaan, pengertian baik di suatu kelompok dapat dianggap buruk dan sebaliknya.

Dari kata dasar “moral” muncul istilah-istilah yang berkaitan, antara lain “moralitas”, “amoral”, dan “immoral”. Moralitas berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral; di luar suasana moral; nonmoral. Sementara itu, immoral berarti bertentangan dengan moral yang baik; secara moral buruk; tidak etis (Bertens, 2002:7).

Dalam lingkungan sosial masyarakat Ngrajek, pandangan terhadap waranggana dihadapkan pada turunnya martabat sebagai seorang wanita dalam konotasi “wanita baik-baik”. Wanita yang baik-baik adalah wanita yang tidak berkeliaran di rumah apalagi di malam hari, hal ini sangat berbenturan dengan aktivitas yang dilakukan waranggana dalam menjalankan profesinya sebagai waranggana di pertunjukkkan tayub.

Dalam menjalankan aktivitas menjadi seorang waranggana tubuh menjadi titik sentral pertunjukkan tersebut. Pada perayaan modernitas, tubuh dilihat sebagai komoditas dikarenakan mampu menelurkan pundi-pundi rupiah dari hasil aktivitas tubuh pada

commit to user

pertunjukkan tayub. Hal ini mempunyai konsekuensi terhadap tubuh waranggana yang tergelincir dalam dekontruksi moral. Ditambahkan oleh Raditya (2014, 2014: xxvi) bahwa tubuh sebagai strategi menciptakan komoditas, tubuh dengan mudah tergelincir dalam dekontruksi moral.

Kenyataannya waranggana dalam situasi berkonflik batin pada diri sendiri. Ia terjebak pada dualitas hal yang dianggap baik dan hal yang dianggap tidak baik. Mereka (baca:waranggana) yang diperkenalkan dengan sesuatu yang bernilai baik secara kodrati, hingga pada perjalanannya sekarang mereka (baca: waranggana) dibenturkan pada hal yang sifatnya kontradiktif, yakni mengenai moral. Peran yang dijalani sebagai seorang waranggana terjerat dalam lingkaran kebenaran dan kebaikan. Menurut Sukarma (Sarad, No 110 Juni 2009) kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan, hal ini berlaku pada masyarakat tradisional, masyarakat di lingkungan waranggana masih merupakan masyarakat tradisional. Mereka menganggap profesi waranggana tidak baik dkarenakan wanita yang keluar malam-malam tidak benar. Hal ini bertentangan dengan waranggana., dalam keadaannya waranggana berayun pada modernitas dikarenakan situasi yang berbicara demikian. Logika yang terjadi dalam kehidupan waranggana adalah kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran. Ukuran tersebut terletak pada rasio (akal) jika masuk akal maka hal itu benar, jika tidak masuk akal maka hal itu salah. Oleh karenanya profesi waranggana yang menurut masyarakat tidak baik dikarenakan ukuran masyarakat secara normatif membuat waranggana terhimpit pada situasi kebingungan menurut waranggana sendiri.

Bertentangan dengan aktivitas waranggana di malam hari. Waranggana dalam pertunjukkan tayub harus memenuhi nafsu selera dari para pengibing. Tubuh mereka dikoordinasikan dari mekanisme kuasa yang mereka ciptakan dan mereka pilih sendiri. Banyak konsekuensi yang harus diterima ketika menjalani peran menjadi seorang waranggana. Ada beberapa waranggana yang mengalami nasib tidak baik dalam hubungan

commit to user

rumah tangga. Biasanya percekcokan dengan suami dan kecemburuan suami yang berlebihan terhadap waranggana.

Ditambah lagi tindakan pengibing yang sering bertamu ke rumah. Menurut penuturan masyarakat, hal yang membuat resah masyarakat sekitar adalah perilaku tamu waranggana yang sering kerumah. Kebanyakan tamu mereka berasal dari kalangan laki-laki. Masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan Ngrajek merasa ketika laki-laki sering bertamu sampai malam, tidak mengenal jam malam kadang sampai pagi serta sampai menginap di rumah waranggana. Ditambah lagi dengan tindakan para tamu yang mengalami cekcok dengan waranggana. Tamu laki-laki tersebut tidak segan-segan membuat keributan, diantaranya: berteriak dengan keras, melempari rumah waranggana dengan benda tumpul, sampai dengan mengirimkan algojo di halaman rumah waranggana dikarenakan persoalan pribadi mereka. Akibat dari percekcokan tersebut, banyak warga yang mengeluhkan tentang kenyamanan dalam bermasyarakat, dikarenakan mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.

Sistem moral yang berlaku dalam masyarakat perkampungan Ngrajek mengamini sebaiknya bertamu harus mengetahui cara-cara bertamu apalagi tamu tersebut tidak terikat dalam ikatan pernikahan. Tamu yang sering pulang larut malam bahkan menginap, tentu dalam sistem moral masyarakat tidak baik, dikarenakan bertentangan dengan sistem moral yang dianut oleh masyarakat. Selain itu, hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.

Hal ini berimplikasi pada hubungan sosial dengan masyarakat sekitar. Biasanya masyarakat agak kurang suka berteman atau menjalin keakraban secara emosional dengan waranggana, atau dengan kalimat lain, masyarakat sendiri yang menciptakan jarak dengan waranggana.

Performa dalam keseharian waranggana harus berusaha berpura-pura baik dihadapan keluarganya, terutama anak waranggana yang harus dididik atas ukuran etika dan moral. Hal

commit to user

ini menyiksa waranggana sendiri dalam perannya menjalankan peran sebagai panutan anaknya. Pengetahuan akan dirinya terhadap anaknya harus dibatasi, dikarenakan hal tersebut dapat membuat sang anak menjadi “down”. Apalagi waranggana harus menjamin pergaulan anaknya untuk tidak disakiti oleh teman sepermainannya. Andriyani seorang waranggana yang sukses, mempunyai treatment tersendiri untuk menjamin psikologis anaknya. Andriyani memutuskan untuk menjauhkan anaknya dari lingkungan masyarakat sekitar. Ia memasukkan anaknya ke pesantren dan menyekolahkan anaknya jauh dari tempat tinggalnya, hal ini dilakukan agar masa depannya lebih humanis dan religius.

Dengan treatment seperti itu Andriyani dapat menjamin mental anaknya untuk tidak di bully teman-teman sepermainan anaknya tersebut. Dikarenakan ibunya berprofesi sebagai seorang waranggana. Dilihat dari kenyataan sosialnya, anak-anak waranggana yang bersekolah di lingkungan tempat ia tinggal mendapatkan tekanan di lingkungan bermainnya. Biasanya anak-anak waranggana mendapatkan olok-olokan yang memperolok pekerjaan Ibunya. Hal tersebut merupakan tekanan yang berimplikasi pada perkembangan mental anak tersebut.

Penghakiman di masyarakat sekitar tidak membuat waranggana mundur dalam perjuangan hidupnya. Masyarakat mempunyai hak untuk memberikan opini apa saja terkait dengan waranggana dalam menjalankan profesinya. Baik opini positif atau negatif, tetapi penghargaan atas kehidupan waranggana adalah sikap tegas dan spirit hidup waranggana dalam menghargai hidupnya dengan cara bekerja. Hal ini membuktikan bahwa waranggana adalah manusia biasa yang setiap saat dihadapkan pada situasi kesulitan. Tetapi dengan menjalankan profesi waranggana ia mampu bertahan dalam kesulitan tersebut dan menghidupi keluarganya. Hematnya adalah tidak ada pengadilan seadil-adilnya yang dilakukan manusia, keadilan merupakan ”milik tuhan”.

commit to user