• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GEREJA SETURUT TELADAN DAN AJARAN YESUS KRISTUS

B. Teladan dan Ajaran Yesus Kristus dalam Mewartakan Kerajaan

3. Ajaran Yesus Kristus

Yesus yang hidup di bumi lebih dari 2000 tahun silam telah mengajarkan jalan-jalan Allah. Dalam kothban-Nya di bukit Ia telah mengajarkan banyak hal bagi keselamatan manusia dari belenggu dosa dunia, agar manusia memiliki sikap baru

seperti yang diajarkan-Nya. Sikap baru terhadap sesama, penguasa, alam sekitar, harta benda, penderitaan, kematian, dan kejahatan telah Dia patri.

Dia juga telah menjanjikan ganjaran mulia bagi mereka yang berbuat kasih, ini merupakan hukum yang pertama dan terutama bagi umat perjanjian baru. Sejak Dialah sejarah hidup manusia bercorak lain yaitu: permusuhan diganti dengan damai, kebencian diganti kasih-mengasihi, egoisme diubah menjadi solidaritas, penindasan diganti dengan keadilan dan hormat kepada martabat hidup; perkawinan diberi-Nya nilai kesetiaan dan ketidakceraian; keterpakuan pada masa kini diganti ke orientasi ke masa depan; kelekatan pada kesementaraan digoyahkan-Nya dengan nilai-nilai yang kekal; penderitaan dan salib diberi-Nya dimensi paska penyelamatan; ketertutupan etnis diubah menjadi persaudaraan yang terbuka yang tidak kenal garis batas.

Singkatnya yaitu seperti dalam Perjanjian Baru “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Jadi hukum cinta kasih adalah menjadi dasar dan hukum utama dari Yesus Kristus yang diwariskan kepada Gereja dalam mengemban tugas perutusannya.

Sejarah dunia dan pola hidup bersama mengalami perubahan karena Yesus Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia telah menyatakan dengan sebenarnya siapa Allah dan rencana yang suci dari pihak Allah bagi manusia. Kita sekalian adalah anak Allah; Allah kita adalah Bapa Yang Maha Pengasih dan Maharahim. Panggilan hidup kita adalah untuk saling mengasihi hingga akhir zaman, sebab Allah adalah kasih (1Yoh 4:8), panggilan ini tidak mengenal titik henti karena kamu adalah garam dan terang dunia (Mat 5:13-14); Akulah pokok anggur dan kamu adalah ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak (Yoh 15:5); pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku (Mat 28:19). Kita ditinggikan-Nya menjadi saluran kasih-ditinggikan-Nya agar semua orang beroleh penebusan dan keselamatan berkat tetesan darah-Nya (Telaumbanua, 2000:90).

Allah menginginkan agar melalui diri anggota Gereja setiap orang mendapat terang dalam perjalanan hidup dan umat manusia kerasan di bumi yang diciptakan Allah sehingga hidup masing-masing dan bersama tidak percuma. Setiap orang hendaknya akan mendengarkan suara sang Hakim Mahaadil, “... Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan” (Mat 25:34).

Selama menjadi saluran kasih-Nya, harus ingat pada Tuhan Yesus sendiri yang telah bersabda “... Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Ajaran Yesus yang akan dibicarakan berikut merupakan beberapa dari sekian banyak bagian mengenai ajaran-Nya. Seperti diketahui, bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru banyak berbicara mengenai Yesus Kristus, dan bagian yang akan dibicarakan berikut ini tekanannya lebih pada ajaran-Nya.

a. Sabda Bahagia

Ketika Yesus pertama kali berkothbah di atas bukit dengan mengucapkan “Berbahagialah.” Melalui sabda bahagia, Yesus menyatakannya kepada banyak orang sesuatu yang tak terduga. Kelompok pertama sabda bahagia adalah pewartaan bahagia kepada orang miskin dalam Roh yang kondisinya menuntut kepercayaan total kepada Allah.

Orang yang sedih, yang lemah lembut, mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, yang tugas pokoknya dalam hidup adalah memenuhi kehendak Allah. Kebahagiaannya mereka umumnya ialah di masa mendatang, tetapi juga dimaksudkan untuk masa kini (Bergant, 2002:41). Dengan menghayati nilai-nilai kerajaan sorga di sini dan sekarang, mereka mengantisipasi dan mengambil bagian

dalam kebahagiaan yang akan diberikan oleh bentuk kehidupan yang lebih penuh dengan Allah. Allah adalah sumber segala kebahagiaan manusia.

Kelompok kedua sabda bahagia berpuncak pada penyebutan kebenaran. Suatu berkat di sini diucapkan bagi yang berbelas kasih, yang jujur, pembawa damai, dan mereka yang menderita demi mencari kebenaran. Kepada mereka juga dijanjikan kebahagiaan di masa mendatang dari Allah (Bergant, 2002:41). Penderitaan yang mereka alami, menurut Yesus bukan selalu berarti karena mereka sudah menempuh jalan buruknya dalam hidup mereka. Allah memperhatikan mereka sehingga orang lapar dikenyangkan, orang haus dipuaskan, orang miskin dicukupkan. Dengan sabda bahagia ini mereka yang mendengarnya seakan memperoleh suatu hiburan yang luar biasa.

b. Garam Dunia dan Terang Dunia

Peranan para pengikut Yesus terhadap dunia digambarkan dengan garam dan terang. Waktu zaman Yesus, garam selain dipergunakan untuk menambah rasa juga untuk mengawetkan daging dan ikan.

Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita dan meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di Sorga (Mat 5:13-16).

Dengan perumpamaan garam, Yesus mau mengatakan bahwa para murid dipanggil untuk menambah kaulitas eksistensi manusia dan mengawetkannya dari kehancuran. Bagi Yesus, garam adalah hikmat. Jika tidak ada hikmat maka tidak ada peranan atau pelayanan yang baik dari para pengikut-Nya, sebab sama seperti garam

yang tidak asin lagi, tidak ada manfaat apa-apa untuk segala sesuatu yang memerlukannya. Demikian juga dengan terang dunia, Yesus mengatakan bahwa dengan terang dunia tindakan para murid diharapkan akan bisa berperan seperti semacam kumpulan sinar dalam dunia. Para murid ditantang untuk membiarkan terang mereka sebagai kesaksian atau kesetiaan mereka kepada Yesus dan kepada Bapa di sorga (Bergant, 2002:41). Yesus menyebut terang dunia adalah Allah, Adam, Israel, hukum Taurat, dan Bait Allah atau Yerusalem dalam Perjanjian Baru. Terang yang terutama adalah Yesus sendiri. Kalau tujuannya baik, perbuatan benar di muka umum sangat dianjurkan. Sebagai murid Kristus terang itu harus dibawa kepada sesama supaya terang itu berguna sebagai pengusir kegelapan atau jawaban atas kebingungan manusia.

c. Ajaran Yesus Menanggapi Hukum Taurat

Dalam Matius 5:21-48, Yesus memperdalam tuntutan Allah dengan menyatakannya sebagai sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan manusia batiniah, dan yang hanya dapat dilaksanakan dengan kasih karunia. Ini memperlawankan ideal para ahli kitab mengenai kekudusan berdasar pada pembacaan harafiah Alkitab dan ajaran Yesus yang lebih radikal dan lebih menuntut.

Kontras ini digambarkan dengan enam antitesis, di mana sabda-sabda dari Perjanjian Lama ditempatkan di samping sabda Yesus. Yesus datang untuk menggenapi hukum dan nubuat para nabi dengan menerangkan makna dari hukum Perjanjian Lama dalam tahapnya yang paling dalam. Enam antitesis itu meliputi; pembunuhan dan kemarahan, zina dan hawa napsu, perceraian, sumpah, hukum pembalasan, dan mencintai musuh (Bergant, 2002:42-43).

Antitesis pertama, para pengikut Yesus tidak cukup hanya dengan menghindari tindakan pembunuhan tetapi harus menghapus juga kemarahan dan cacian yang bisa menyebabkan pembunuhan. Kemarahan hendaknya dianggap seserius pembunuhan.

Antitesis kedua, menuntut bahwa hawa nafsu sebagai akar penyebab perzinahan hendaknya dihindari. Keselamatan seluruh pribadi lebih berharga daripada memelihara salah satu bagian tubuh yang menyebabkan dosa seperti digambarkan dengan tangan kanan atau mata kanan.

Antitesis ketiga, Yesus tidak memperbolehkan perceraian, keculi itu karena zina. Dengan zina berarti ada hubungan yang melanggar hukum.

Antitesis keempat, mengenai sumpah. Sumpah dan janji merupakan kebiasaan dalam Yudaisme. Yesus menasihati para murid-Nya agar berlaku sopan dan berterus terang dalam ucapannya, karena tak seorang pun dapat mengontrol atau memiliki langit, bumi, atau Yerusalem, hanya Allah saja. Manusia bahkan tidak dapat mengontrol tubuhnya sepenuhnya, maka tak seorang pun mempunyai hak untuk bersumpah berdasarkan benda-benda sebagai saksi. Karena itu, janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit karena langit adalah tahta Allah, maupun demi bumi karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun tentang Yerusalem karena Yerusalem adalah kota Raja Besar (Mat 5:34-35).

Antitesis kelima, hukum pembalasan dimaksudkan untuk membatasi balas dendam dan kekerasan menurut aturan yang ditetapkan. Yesus mendesak para pengikutnya untuk mengatasi pembalasan terbatas yang diizinkan seperti dalam Perjanjian Lama. Para murid tidak boleh mengambil alih sikap dan tindakan para musuhnya.

Antitesis keenam, mencintai musuh, menuntut agar para pengikut Yesus tidak hanya mencintai anggota dari kelompok bangsa atau agamanya saja tetapi juga yang memusuhinya. Tuntutan baru ini tidak berdasar pada kodrat manusiawi, tetapi pada contoh Allah sendiri. Bila tidak, ini hanya sesuai dengan kodrat manusia yang diwakili para pemungut cukai dan orang yang tak mengenal Allah yang mengasihi mereka yang mengasihi, dan memberi salam hanya pada anggota keluarganya.

Yesus mengajarkan kepada Murid-Nya bahwa Allah membuat matahari terbit, baik bagi orang yang baik maupun orang jahat, juga menurunkan hujan baik bagi orang yang baik maupun orang yang jahat. Jika kasih yang ditunjukkan Allah kepada semua orang dijadikan ukuran, maka para murid Yesus tidak boleh membatasi kasih kepada kelompok mereka sendiri atau bangsa sendiri (Bergant, 2002:42-43). Kata Yesus kepada mereka:

Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga ... Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna (Mat 5:45-48).

Kesempurnaan para murid perlu mencerminkan dan mengacu pada kesempurnaan Allah. Kesempurnaan yang dituntut bukan berarti adanya dua patokan, patokan manusia dan Allah. Hidup yang baru sebagai anak dalam Kristus adalah satu-satunya dasar, di atas mana prinsip-prinsip yang diuraikan itu dapat dipenuhi. Hanya itulah yang dapat memberi pandangan yang benar dan punya arti yang pokok terutama bila dinyatakan dengan hubungan-hubungan pribadi, bukan tindakan-tindakan lahiriah (LBI, 1981:70-71).

d. Ajaran Yesus menanggapi Harta Duniawi dan Kekhawatiran

Orang Farisi menganggap kekayaan sebagai upah setelah melakukan hukum Taurat. Segala sesuatu diperoleh karena dianggap telah taat melakukan hukum itu. Ajaran Yesus, kalau upahnya upah rohani, ini bukanlah mementingkan diri sendiri, karena itu Ia berkata “kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkarnya” (Mat 6:20). Dalam bagian ini dibahas tentang kebutuhan hidup dan ditunjukkan motif-motif yang benar dalam iman. Harta kekayaan dalam segala bentuknya diistilahkan dengan mamon (LBI, 1981:77).

Apa yang dikatakan Yesus mengenai sikap hidup di sini bertentangan langsung dengan pendekatan manusiawi yang biasa yaitu berusaha untuk mengendalikan hidup dengan mengusahakan segala hal yang diperlukan, dan menutupi segala kekurangan.

Kerisauan mengenai hal-hal demikian adalah tanda kurangnya iman dan salah paham mengenai Allah. Mereka yang pandangannya tidak terfokus pada ketaatan terhadap kehendak Allah akan tercebur sendiri ke dalam kegelapan.

Keputusan untuk melawan atau memihak Allah perlu tampak dalam segala dimensi dari kehidupan seseorang. Manusia harus memilih antara Allah dan kesejahteraan duniawi belaka (Bergant, 2002:44), tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan, karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain (Mat 6:24). Tuntutan Yesus menjangkau jauh sampai ke dasar harta simpanan manusia.

Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan dan minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara ... Dan mengapa kamu kuatir akan ... Perhatikanlah bunga bakung di ladang yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal, ... Salomo dalam kemegahannya tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi ... tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?” (Mat 6:25-30).

Hidup itu adalah tubuh dan jiwa, yang lebih penting daripada harta seperti makan dan pakaian. Sebagaimana Yesus telah memenangkan perjuangan-Nya melewati godaan, Ia berkata “manusia bukan hidup dari roti saja” (Luk 4:4), dengan demikian bahwa ada yang lebih penting dalam hidup dari pada makanan. Tidak peduli bagaimana orang ingin melindungi hidupnya agar sehat dan selamat, panjangnya hidup adalah semata-mata dikendalikan oleh Allah (Bergant, 2002:138-139). Manusia sendiri lebih penting dari perabotan dan perlengkapannya. Bukan

berarti makan dan pakaian tidak penting bagi manusia, melainkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus lebih menggantungkan kepercayaan kepada Allah penyelenggara hidup.

Jadi, hal-hal yang duniawi tidak sepenuhnya mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Yesus menyampaikan, bahwa Allah telah menyelenggarakannya juga untuk manusia, juga untuk ciptaan-Nya yang lebih rendah. Pandanglah burung-burung di langit (ay. 26), perhatikanlah bunga bakung di ladang (ay. 28). Jadi, tentu Ia akan lebih lagi memperhatikan manusia (LBI, 1982:76). Hal yang dilarang adalah kekhawatiran, jadi bukannya mengurus dan memikirkan lebih dulu apa yang diperlukan dirinya sendiri saja. Menyediakan dan mencari kebutuhan benda bukannya tidak penting, tetapi motif pertama haruslah kehendak Allah. Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu (ay. 10).

e. Ajaran Yesus Tentang Sesama

Perumpamaan Yesus melalui kisah orang Samaria yang baik hati, memberikan suatu gambaran mengenai pemuridan kristen dalam istilah kasih kepada sesama atau pelayanan aktif, dan kasih kepada Yesus atau doa. Keduanya digabungkan untuk melukiskan jalan kepada kehidupan kekal.

Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko, ia jatuh ke tangan penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu, ia melihat orang itu tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang lewi datang ke tempat itu, ketika ia melihat orang itu ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan ke tempat itu, dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan

orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya (Luk 10:29-34).

Cerita mengenai orang Samaria yang baik hati dimaksudkan untuk menentang suatu pola pikir yang salah tetapi diterima, sehingga nilai-nilai dari Kerajaan Allah dapat masuk ke dalam sistem yang ketat. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan seorang Samaria, anggota dari kelompok yang dihina dan dicemooh orang-orang Yahudi tetapi melakukan pelayanan kasih yang dihindari oleh pemimpin agama Yahudi (Bergant, 2003:135-136). Ini mengejutkan, dan bagi orang Yahudi tidak dapat dipercaya dan diterima. Seorang imam Yahudi jika melakukan pertolongan kepada orang yang luka, secara otomatis ia menjadi najis.

Untuk menjadi tahir kembali, ia harus menjalani upacara khusus selama seminggu dan tidak boleh mengikuti keagamaan bersama umat lain. Begitu juga kaum Lewi ikut melayani ibadat di Bait Suci sebagaimana para imam, walaupun mereka tidak berstatus sebagai imam. Baik imam maupun Lewi tidak mau menolong orang yang terluka berat itu (Stefan Leks, 2003:3001).

Pelayan-pelayan Bait Suci tersebut hanya sebagai sarana kontras yang tajam. Mereka tidak mengasihi, sedangkan orang Samaria justru mengasihi, malah berbelas kasih. Tindakan belas kasihan orang Samaria sungguh ironis karena di mata orang Yahudi, orang Samaria bukan sesama. Namun, justru orang Samarialah yang membuktikan dirinya sebagai sesama bagi orang lain meskipun tak dikenalnya. Menurut Yesus, sesama bukanlah soal darah, kebangsaan atau persekutuan keagamaan tetapi ditentukan oleh sikap yang dimiliki seseorang terhadap orang lain (Bergant, 2003: 136).

Sesama ialah setiap orang yang sedang membutuhkan bantuan dan uluran tangan dari individu. Imam dan kaum Lewi tahu benar mengenai perintah Allah, tetapi mereka tidak memiliki tujuan yang mendalam, sementara apa yang dilakukan oleh orang Samaria menunjukkan bahwa ia mengetahui hukum daripada para wakil resmi agama Yahudi. Inti dari ajaran Yesus ini ialah memperlakukan orang lain sebagai sesama dan saudara dengan kasih. Sebab dengan kasih orang dapat membawa manusia kepada Allah dan keselamatan.