• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL SEBAGAI PRAKSIS

B. Bentuk Hidup Menggereja

1. Komunitas Basis Kristiani

Komunitas Basis Kristiani disebut juga dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Komunitas Basis Gerejawi menekankan partisipasi antar umat dengan umat, dan gembala dengan umat serta dengan semua orang. Dengan adanya partisipasi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang, maka diharapkan Gereja mampu

menggerakkan umat menjadi aktif karena merasa ikut memiliki. Umat merasa ikut bertanggung jawab terhadap maju mundurnya Gereja. Komunitas Basis Gerejawi dipanggil untuk memberikan kesaksian akan kehidupan masyarakat yang sederajat dan memberi tempat satu sama lain demi kebaikan hidup bersama.

Dalam negara Filipina, cara menggereja dengan KBK/BEC (Basic Ecclesial Community), yang dikatakan basic itu adalah bahwa Gereja itu sendiri merupakan derivasi/turunan dari Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja (Margana, 2004:87-88). Gereja memiliki derivasi ke-imam-an Yesus karena komunitas basis senantiasa beribadat baik dalam perayaan liturgi seperti Ekaristi, sabda, dan Sakramen-Sakramen maupun perayaan liturgis yang sesuai dengan kalender liturgi. KBG juga membawa ke-Nabi-an Yesus karena memberikan kesaksian, mewartakan Injil, mendapatkan dan memberikan pewartaan, serta tak henti-hentinya mengingatkan mereka yang melenceng dari jalan yang benar.

Selanjutnya KBG mewujudkan ke-Raja-an Kristus yaitu dengan selalu melayani, peduli terhadap kebutuhan sesama, berjuang demi tegaknya keadilan dan kebebasan. Dengan melaksanakan sikap Kristus tersebut, Gereja sudah menjalankan beberapa fungsinya yaitu sebagai Kerygma, Diakonia, Martyria, Leitourgia.

Komunitas berarti relasi vital antar anggota yang mengungkapkan adanya solidaritas dan sikap tolong menolong antar anggota, dan merupakan suatu bentuk yang mendalam, stabil, terencana, menggairahkan dalam hidup bersama. Secara teologis, basis berarti apa yang mendasar pada prinsip kristiani yaitu tingkatan di mana Gereja sungguh-sungguh merupakan kehadiran keselamatan bagi masyarakat yang terdiri dari individu-individu (Hardaputranta, 1993:38). Sunarko (1991:38), memaparkan bahwa Komunitas Basis Gerejawi mempunyai sembilan karakter;

Pertama, KBG adalah komunitas yang berusaha untuk sadar akan kenyataan hidup dan kehidupan, misalnya; harapan, perjuangan, ketakutan, impian kegembiraan, dan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri komunitas.

Kedua, KBG adalah komunitas yang dengan Sabda Allah mampu melihat kembali pengalaman-pengalaman hidup dan mengambil sikap tertentu untuk membangun hidup komunitas, serta makin menyadari panggilan Allah dalam diri supaya dapat menghadapi situasi nyata.

Ketiga, KBG adalah suatu komunitas yang menyembuhkan dan memperdamaikan. Artinya komunitas yang sadar bahwa akibat dosa dapat menimbulkan perpecahan dalam diri manusia. Namun juga menyadari bahwa komunitas memiliki kekuatan yang dapat mempersatukan karena diri setiap orang merindukan damai, persatuan, persaudaraan dan rasa aman.

Keempat, KBG adalah suatu komunitas yang kokoh dan tersusun secara teratur, komunitas yang sengaja dibentuk untuk membangun hidup yang penuh persaudaraan, persatuan, kekompakan, kedamaian, dan aman dengan memanfaatkan seluruh kekuatan komunitas.

Kelima, KBG adalah suatu komunitas yang kuat imannya, komunitas yang menyadari bahwa dalam menghadapi kenyataan hidup tidak hanya mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi memerlukan kekuatan Allah yang terungkap dalam doa dan perayaan iman.

Keenam, KBG adalah komunitas yang berpusat pada Kristus. Artinya komunitas yang mengikuti pola hidup Kristus yang membebaskan manusia dari penindasan dan mengutamakan mereka yang lemah, berani mengkritik ide-ide yang merendahkan martabat manusia. Dalam seluruh segi hidupnya komunitas menampakkan diri sebagai murid Kristus.

Ketujuh, KBG adalah komunitas yang terbuka bagi masyarakat luas. Komunitas ini tidak hanya berpusat pada anggota-anggota dan permasalahannya, tetapi juga mau ikut serta menerima dan memikirkan permasalahan yang dihadapi orang-orang di luar komunitasnya dan mau bekerjasama dengan orang yang berkehendak baik.

Kedelapan, KBG adalah komunitas yang mau membangun seluruh segi kehidupan manusia. Komunitas yang dibangun bukan saja segi hidup iman, tetapi seluruh segi hidup di mana iman akan Kristus mewarnai segi-segi hidup yang lain.

Kesembilan, KBG adalah komunitas yang membebaskan anggota-angotanya dari ikatan-ikatan yang terdapat dalam seluruh segi hidupnya sehingga mereka dapat berkembang sebagai murid Kristus.

Dengan adanya uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa Komunitas Basis Gerejawi terdiri dari berbagai golongan/tingkatan yang mempunyai keprihatinan yang sama, komunitas yang mendengarkan dan sadar akan kondisi kehidupan, harapan, kekuatan dan perjuangan semua anggotanya. Pada prinsipnya

Komunitas Basis Gerejawi memiliki empat ciri utama yaitu; 1) jumlah yang dibatasi dengan heterogenitas usia, 2) merupakan kelompok masyarakat akar rumput, 3) menafsirkan semua persoalan kehidupan dalam terang Kitab Suci dan tradisi Gereja, 4) merupakan kelompok pemberdayaan umat awam (KomKat KWI, 2005:35).

Model Gereja komunitas basis adalah Gereja dalam konteksnya, artinya ciri-ciri tersebut tidak ditafsirkan secara statis dan kaku, melainkan bersifat dinamis dan fleksibel mengingat perbedaan tahap perkembangan perwujudan konsep dan cita-cita Komunitas Basis Gerejawi tersebut di setiap keuskupan. Sementara itu Margana (2005:71) meringkas ciri yang sering dipakai dalam Komunitas Basis Gerejawi sebagai berikut:

Pertama, persekutuan umat beriman yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama, secara tetap berkumpul.

Kedua, mereka berdoa, membaca Kitab Suci, mengadakan sharing iman berdasarkan Sabda Tuhan yang direnungkannya.

Ketiga, mereka membicarakan masalah nyata keseharian, mencari solusi, dan mengadakan aksi nyata bersama-sama, baik untuk anggota, masyarakat di sekitar, maupun alam lingkungannya.

Keempat, persekutuan itu senantiasa berada di bawah naungan Gereja universal.

Dengan demikian tidak semua paguyuban bisa disebut sebagai Komunitas Basis Gerejawi. Keempat ciri tersebut secara bersama-sama harus dimiliki oleh suatu Komunitas Basis Gerejawi nyata di lapis akar rumput. Sebagai satuan Gereja di akar rumput, komunitas basis bukan hanya berhimpun atau berdoa, mereka juga merancang aksi nyata selaras dengan terang Injil yang mereka baca dan renungkan bersama. Hal itu dilakukan karena Gereja di tingkat akar rumput merupakan sakramen atau karya keselamatan bagi manusia di sekitarnya. Karya keselamatan

yang nanti diperjuangkan oleh Gereja akar rumput adalah memerangi kemiskinan, ketidakadilan dan membantu yang terpinggirkan (Margana, 2005:73).

Ciri-ciri KBG yang ada itu sering dijadikan formula di mana-mana dan diringkas menjadi tiga hal yakni: Berpusat pada Kristus, bercirikan persaudaraan terbuka, dan membawa pelayanan kasih. Suatu komunitas basis mestinya bukan hanya asyik di sekitar altar atau sibuk dengan urusan liturgis. Persekutuan umat yang hanya berhimpun, berdoa dan membaca Kitab Suci belumlah cukup disebut sebagai komunitas basis, ini lebih cocok disebut sebagai persekutuan doa. Sebaliknya kelompok orang yang berhimpun dan mengadakan aksi sosial juga belum cukup disebut sebagai Komunitas Basis Gerejawi, ini lebih cocok disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau kelompok aksi sosial.

Mengingat paguyuban umat di lapis yang paling dasar itu memiliki keterbatasan-keterbatasan, pemberdayaan komunitas basis perlu memperhatikan hal-hal seperti yang diperingatkan oleh Paus Paulus VI dalam surat Apotolik Evangelii Nuntiandi mengenai pewartaan Injil di dunia modern yang menjadi dasar pemberdayaan KBG, di antaranya:

1) Jangan membiarkan diri direkayasa oleh kepentingan politik sempit. Kesadaran politik dalam arti luas harus diimbangi dengan pendalaman Injil.

2) Jangan hanya menyibukkan diri dengan urusan rohani semata, dan menutup diri terhadap kebutuhan dan derita rakyat di sekitarnya.

3) Jangan sampai menafsirkan Kitab Suci secara harafiah, tertutup, eksklusif, dan menjurus ke sifat sektarian.

4) Jangan terlalu banyak bergiat dalam proyek-proyek pembangunan, bisnis, apalagi karena dorongan kepentingan uang atau nilai-nilai konsumerisme.

Keterlibatan dalam urusan uang, bisnis, dan proyek ekonomi akan menjadi sumber korupsi.

5) Jangan tertutup atau terlalu eksklusif terhadap sesama Komunitas Basis Gerejawi.

6) Jangan membiarkan anggotanya mengabaikan menggereja secara baru, sebab kalau tidak menggereja secara baru tidak melakukan perbaikan dan perubahan secara tuntas demi tegaknya keadilan dan hak azasi manusia.

Hal yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa komunitas basis hendaknya tidak menutup mata bagi kebutuhan dan derita masyarakat di sekitarnya. Sekalipun komunitas basis terlibat dalam lembaga-lembaga lain non gerejawi, namun ia lebih hanya sebagai mitra, sebab kalau terjadi ketidakpahaman, korupsi, kerugian dan lainnya dalam mengurus dalam instansi lain, maka akan menjadi bibit perpecahan dalam komunitas basis itu sendiri.

Dalam gerak menggereja mestinya bisa mencari solusi bersama umat/masyarakat di mana ia berada demi karya keselamatan dunia. Menurut apa yang dirumuskan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000, Komunitas Basis Gerejawi harus terbuka bagi berkembangnya komunitas lain di luar dirinya yaitu Komunitas Basis Manusiawi (KBM) dan Komunitas Basis Antariman (KBAI). Mestinya KBG sudah membuka jaringan dan jalinan dengan saudara-saudari yang datang dari berbagai latar belakang (suku, ras agama, golongan, dan kebudayaan). SAGKI menghimbau demikian sebab aksi nyata yang mereka lakukan senantiasa disesuaikan dengan situasi nyata di sekitarnya, baik dengan anggota maupun masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Komunitas basis merupakan gerakan umat atau gerakan menggereja kontekstual/cara menggereja.

Komunitas basis adalah yang benar-benar mengandung keempat ciri tersebut dan diharapkan menjadi gerakan umat beriman yang senantiasa berpusat pada Kristus dan sekaligus terbuka untuk mewartakan karya keselamatan ke masyarakat dan ikut memperhatikan alam sekitarnya. Sebagai cara menggereja berarti sebagai umat beriman yang senantiasa diterangi oleh Sang Sabda, mereka akan menyapa, membantu, manjalin persaudaraan dengan masyarakat di sekitarnya demi terwujudnya keadilan, kesejahteraan dan kehidupan bersama yang bermartabat.

Sebagai strategi pastoral, Komunitas Basis Gerejawi memungkinkan jangkauan pelayanan pastoral yang semakin jauh dan luas, Komunitas Basis Gerejawi juga hendaknya menjangkau semua umat manusia. Kini Komunitas Basis Gerejawi sudah merupakan sistem struktur paroki yang menjadi isi, bentuk, dan strategi kehidupan parokial dan pastoral. Perubahan KBG dari sub struktur sistem paroki ke sistem struktur paroki bukan hanya menyentuh hal formal, melainkan perubahan dalam pemahaman diri Gereja. Pemahaman diri Gereja dalam pola pikir Komunitas Basis Gerejawi mempunyai dampak pastoral yang berisikan keterlibatan umat yang semakin luas dan intensif dalam katekese, ibadat, dan tugas tanggung jawab kepemimpinan.

Selain itu mempunyai dampak spiritual jika berhubungan dengan sosial politik yaitu mengandung makna bahwa kelompok umat basis merupakan kelompok umat solidaritas yang sadar dan melek akan persoalan sosial politik kemasyarakatan umumnya. Komunitas Basis Gerejawi tidak membatasi diri pada persoalan dan tema internal gerejawi, melainkan terlibat secara utuh dalam kehidupan masyarakat umum, baik masyarakat homogen secara kultural maupun yang plural dalam pelbagai aspek (Woy, 2005:40).

Sebagai suatu keterarahan untuk memahami Komunitas Basis Gerejawi dan mungkin juga spiritualitas KBG itu sendiri, Putranto (2005:117), memberikan model pendekatan teologis untuk memahaminya sebagai berikut:

Pertama, model inkarnatif paskah. Kelompok basis bisa mengidentifikasi dirinya sebagai yang diutus untuk menjadi sesungguhnya dengan membenamkan diri sebagai manusia yang paling tragis dengan segala penderitaan, penganiayaan dan kematian. Inkarnasi muaranya selalu pada paskah, karena inkarnasi tanpa paskah tidak ada artinya.

Kedua, model penyeberangan. Dalam Kitab Suci, bangsa Israel ragu-ragu/takut menyeberangi laut merah untuk menuju kebebasan. Penyeberangan menuju kebebasan memang penuh resiko, menjadi orang bebas ternyata tidak gampang karena lebih enak menjadi manusia tergantung dengan hidup terjamin.

Ketiga, model dialogal – pengutusan profetis. Allah mengutus, memanggil seperti seorang nabi yang menyatakan “Inilah aku, utuslah aku”. KBG mengidentifikasikan dirinya sebagai utusan dan harus mau bertanggung jawab, bersusah payah dan tahu bahwa pengutusan bukan hanya demi kemampuan dan prestasi dari dirinya sendiri.

Keempat, model kemuridan. Menjadi murid Yesus berarti harus menjalani hidup seperti Yesus dan mempraktekkan hidup Yesus, maka KBG sebagai murid Yesus harus mengenal Yesus dan mempraktikkan hidup-Nya itu.

Hidup menggereja dengan KBK/KBG/BCC berarti sesuai dengan ciri-cirinya, dan ciri-ciri itu dapat berarti membangun Gereja yang terdiri dari kelompok kecil, mengurus dan menghidupi diri sendiri, mampu berdikari (self governing, self nourishing, and self supporting basic communities), dan peduli pada pihak lain yang berada dalam kesulitan.