• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup Menggereja sebagai upaya menghayati Iman Kristiani

BAB III. HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL SEBAGAI PRAKSIS

F. Menghayati Iman Kristiani Dalam Hidup Menggereja

1. Hidup Menggereja sebagai upaya menghayati Iman Kristiani

Dalam bahasa Yunani, iman disebut pistis, Latin fides, Inggris faith. Semua itu biasanya diartikan sebagai keyakinan dan penerimaan akan wahyu Allah, terlaksana berkat pewartaan nabi-nabi-Nya dan diungkapkan dalam Kitab Suci atau sarana lain yang ada dalam agama. Dalam konteks teologis, iman menunjukkan hubungan manusia dengan Allah terutama dalam menerima wahyu-Nya (Sutrisnaatmaka, 2002:47-48). Iman merupakan tanggapan atas wahyu Allah seperti yang terungkap dalam konstitusi dogmatis Konsili Vatikan II Dei Verbum artikel 5:

Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan.

Sutrisnaatmaka (2002:49) menjelaskan, paling tidak ada tiga segi-segi hidup yang melibatkan seluruh diri manusia seperti yang dinyatakan di atas: 1) Ketaatan iman dan penyerahan bebas seluruh diri manusia kepada Allah itu menyangkut akal budi (intelektual, pengetahuan, keyakinan, dan pengertian serta pemahaman). 2) Kehendak, menyangkut segi emosi atau perasaan agar manusia dapat menentukan sikap. 3) Kerelaan hati atau keterbukaan untuk menerima kebenaran wahyu walaupaun kerelaan dan ketaatan dapat saja bertentangan antara kehendak dan pikiran sendiri.

Dalam tradisi Gereja dimunculkan istilah iman, harapan, dan kasih (1Kor 13:13), dan yang paling besar di antaranya menurut St. Paulus adalah kasih, yaitu yang lebih menekankan pemberian diri personal berdasar hubungan pribadi dengan Allah. Yang menjadi khas dalam iman kristiani ialah iman akan Yesus Kristus, Ia merupakan pribadi yang mencerminkan kepenuhan wahyu Ilahi. Oleh sebab itu umat kristiani tidak hanya beriman akan apa yang diajarkan Yesus, tetapi hubungan pribadi manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus dikonkritkan dengan tindakan nyata dalam kasih terhadap sesama.

Jadi, mengimani Allah berarti mengamini kehidupan ini sepenuhnya sehingga nilai-nilai yang baik muncul daripadanya. Mengimani Allah tidak cukup hanya dalam kesadaran atau dalam doa/ibadat sebagai rutinitas, tetapi mengalami situasi hidup masyarakat menjadi penting karena tidak dapat terpisahkan dari praksis hidup manusia sebagai umat Allah. Gereja tidak lepas dari padanya. Hal ini dimaksudkan sebagai kelanjutan dari apa yang ditimba melalui spiritualitas atau doa/ibadat. Hidup menggereja itu hidup dengan busana Kristus, jadi setiap kegiatan yang

menampakkan iman akan Kristus adalah hidup menggereja. Hampir terdengar di mana-mana dibicarakan dan diupayakan penghayatan iman yang tidak hanya di dalam Gereja Katolik, tetapi juga di luarnya yaitu iman yang memasyarakat. Dengan kata lain hidup menggereja itu mau dikembalikan pada aspek profannya. Jadi, hidup menggereja itu juga hidup memasyarakat.

Dalam hidup menggereja dibedakan dua hal tetapi juga disatukan, yaitu segi batin yang diterima lewat pembaptisan dan segi lahir yang diwujudkan dalam hidup bersama. Segi batin merupakan segi iman yang disebut sacramen cum fide yang berarti pintu masuk, gerbang Gereja (dapat dikatakan pintu rohani iman dilihat dari segi sikap batin). Segi lahir ialah keanggotaan Gereja yang kemudian berbentuk komunio, dari situ diperolehlah hidup bersama dalam Gereja terutama dalam Ekaristi. Menghadiri perayaan Ekaristi harus disertai dengan sikap batin yang sesuai, itulah sebabnya kedua segi (batin dan lahir) tidak dapat dipisahkan. Sikap batin perlu diwujudkan dalam bentuk lahir, demikian sebaliknya bentuk lahir itu tidak cukup tanpa disertai sikap batin.

2. Hidup Menggereja Kontekstual Sebagai Praksis Perwujudan Iman Kristiani

Inti dari surat Yakobus 2:14-26 yaitu bahwa iman tanpa perbuatan itu pada hakekatnya adalah mati. Maksud dari Yakobus mengandung asumsi pokok bahwa orang yang mendengarkan firman harus melaksanakannya juga. Iman tidak boleh berhenti pada masalah liturgi atau terkurung di sekitar tembok Gereja, melainkan harus peduli terhadap pelbagai situasi aktual dan lingkungan hidup. Dalam dunia yang semakin berkembang ini muncul gejala-gejala yang mengakibatkan krisis

berbagai dimensi kehidupan yang menimbulkan masalah kemiskinan kaum terlantar, anonimitas, para pengungsi yang mendapat tekanan politik, dsb. dengan akibat orang cenderung lebih berusaha memenuhi kebutuhan jasmani daripada yang rohani termasuk yang berhubungan dengan iman itu sendiri, padahal iman juga menuntut perjuangan demi perdamaian, pembangunan dan pembebasan mereka yang berada dalam kesulitan.

Iman Kitab Suci itu diwartakan kepada segala bangsa dengan pelbagai cara dan bahasa, serta melalui pelbagai kebudayaan. Meskipun situasinya selalu berubah dari waktu ke waktu, namun iman itu tidak berubah sebagaimana ditegaskan dalam Evangelii Nuntiandi artikel 65 tentang pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dinyatakan:

Meskipun diterjemahkan ke dalam semua ungkapan, isinya (iman) tidak boleh dilemahkan atau dikurangi. Kendati diselubungi oleh bentuk-bentuk lahiriah yang cocok dengan tiap bangsa, dieksplisitkan dengan ungkapan-ungkapan teologis yang memperhatikan perbedaan budaya, lingkungan sosial, dan suasana kesukuan, isinya harus tetap mengenai iman Katolik seperti yang diterima oleh magisterium Gereja dan disampaikan magisterium.

Dengan demikian, juga hendaknya anggota Gereja menghayati imannya akan Yesus Kristus dalam situasinya dengan memperhatikan iman akan Yesus itu, bukan terbawa oleh arus yang gampang berubah, tetapi mesti melihat situasi nyata dengan terang iman yang sejati pada Kristus. Hidup menurut Injil Yesus Kristus merupakan ungkapan orang beriman dalam menjawab kehendak Allah di dalam kehidupan pribadi maupun bersama. Mewujudkan iman itu bersifat mutlak karena de facto iman itu perlu perwujudannya. Yang hendak dicapai oleh Gereja adalah menggereja secara kontekstual, yaitu menggereja dalam hubungannya dengan situasi aktual masyarakat dan begitu mendesak untuk ditanggapi dengan mengambil tindakan. Gerak hidup

menggereja kontekstual orang kristiani itu ialah sebagaimana yang diwujudkan dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG).

Komunitas Basis Gerejawi ini dipahami sebagai wadah gerakan Gereja menuju hidup yang menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat dan bagi masyarakat. Gereja Indonesia mau setia mengemban tugas perutusannya untuk membawa Kabar Gembira, kini, dan disini, di negeri yang diwarnai kemiskinan, ketidakadilan, dan situasi yang kurang menguntungkan lainnya, termasuk juga adanya kemajemukan dalam masyarakat Indonesia yang diakibatkan oleh lingkungan alam sekitarnya. Para uskup Asia sebagaimana pada FABC VII, merefleksikan usaha-usahanya sebagai gerakan menuju pembaharuan hidup yang bermuara pada keterlibatan aktif dalam menciptakan dan melayani kehidupan.

Gereja sebagai gerakan adalah suatu cara mengikuti Yesus, ia mau tampil dan terlibat dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu Gereja menegaskan semangat dasarnya yaitu mengikuti Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan (ArDas KAS. 2001-2005). Gereja meniru pola Yesus dalam arti tertentu juga tampil sebagai pelopor gerakan pembaharuan hidup. Pembaharuan yang disampaikan Yesus yaitu solidaritas dan pemerdekaan yang menurut St. Paulus digambarkan dengan semangat mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba (Fil 2:7). Solidaritas Yesus dengan manusia ini menjadikan Dia merasakan apa yang dirasakan manusia. Sedangkan pemerdekaan oleh Yesus yaitu pewartaan Kerajaan Allah yang membawa pemerdekaan bagi mereka yang menerima-Nya. Ia berkata: Roh Tuhan ada pada-Ku..., menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang tawanan, orang-orang tertindas, penglihatan bagi orang-orang buta,... (Luk 4:18-19).

Gereja dipanggil menjadi penggerak pembaharuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, gerakan ini perlu dibangun dari komunitas-komunitas basis yang terlibat dalam hidup, sehingga orang-orang yang berada di dalamnya mengalami kebebasan dan membuat juga orang-orang di sekitarnya mengalami kebebasan pula, antara lain; orang yang tertekan mengalami kelegaan, yang kesepian mengalami sapaan, yang terbelakang merasa diperhitungkan, dsb.

Sebagai sebuah gerakan, Gereja Indonesia perlu bergerak dalam masyarakat, membawa daya penyelamat Ilahi. Oleh sebab itu Gereja harus menjadi sebuah peristiwa, di mana ia berada, harus terjadi perubahan ke arah perdamaian, persaudaraan dalam kasih yang membangun paguyuban untuk bersama-sama membawa pesan Kristus ke dalam masyarakat (Dossiers, http://mirifica.net, 2002).

BAB IV

KATEKESE KONTEKSTUAL SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL DI INDONESIA MASA KINI

Pada bab empat ini, penulis bermaksud menguraikan: Hakikat Katekese, Tujuan Katekese Kontekstual, Proses Katekese Kontekstual, dan Usulan Katekese Sebagai Alternatif untuk Mengembangkan Hidup Menggereja Kontekstual di Indonesia Masa Kini.

Seluruh anggota Gereja dipanggil dan diutus untuk mewartakan kasih Allah dengan menjadi saluran rahmat bagi umat manusia. Ada banyak cara yang dilakukan oleh Gereja untuk mewartakan imannya kepada manusia. Pada prinsipnya pewartaan iman mesti menyentuh hati orang. Memang, tugas ini merupakan tugas yang tidak mudah dalam praksisnya, namun Gereja tetap berusaha agar hal itu sampai ke hati orang sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Hal ini semakin nyata dalam pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam salah satu dekrit tentang kegiatan misioner Gereja Ad Gentes artikel 1. Beliau menyatakan:

Kepada para bangsa, Gereja diutus oleh Allah menjadi Sakramen universal keselamatan. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya, menaati perintah pendirinya, Gereja sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang.

Jelas bahwa mewartakan Injil itu berarti sebagai suatu unsur yang melekat dalam identitas Gereja. Gereja mengisahkan bagaimana proses kehadiran Allah yang menyelamatkan sungguh-sungguh memberikan inspirasi bagi segenap anggota jemaat kristiani untuk berjuang dalam menghadapi pelbagai tantangan zaman.

Pewartaan berarti Gereja berkisah tentang campur tangan Allah dalam segala hidup manusia.