• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL SEBAGAI PRAKSIS

A. Hidup Menggereja Kontekstual

Hidup sebagai murid Kristus berarti hidup sebagai anggota Gereja yang sudah dikuduskan oleh Allah dengan segala konsekuensinya. Hidup menggereja berarti menampakkan iman akan Yesus Kristus, dalam arti luas adalah perwujudan iman dalam hidup sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Menggereja yang memasyarakat berarti pula berhubungan dengan masyarakat sebagai konteks.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:458), istilah konteks berarti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau keadaan. Banawiratma (1999:190) menjelaskan bahwa, kontekstual berarti suatu usaha yang berhubungan dengan fungsi pelayanan terhadap kelompok yang hidup dalam konteks tertentu. Selain itu usaha kontekstual juga ingin menyapa seluruh kelompok manusia, tidak

hanya berdasarkan otoritas eksternal, melainkan berpangkal pada otoritas internal dari kenyataan hidup sebagai konteks. Banawiratma juga memberikan alasan bahwa dengan kontekstualisasi lebih bersifat komunikatif dalam dialog karena adjektif kontekstual dipergunakan oleh bidang atau ilmu lain.

Kontekstual secara eksplisit mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya kultur, melainkan juga ekonomi, politik, dan seluruh pengalaman hidup umat beriman. Dengan demikian, hidup menggereja kontekstual berarti menggereja dalam hubungannya dengan situasi atau kejadian yang dialami. Dalam menggereja kontekstual, situasi yang dimaksudkan adalah realitas hidup konkrit yang dialami dalam masyarakat. Realitas hidup konkret itu sifatnya aktual dan mendesak untuk ditanggapi dengan segera mengambil sikap bertindak. Gereja masa kini sedang berada dalam situasi itu, dan diharapkan bersikap serta bertindak sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan oleh Yesus Kristus.

Hidup menggereja kontekstual dilakukan dalam jaringan berbagai macam komunitas basis kontekstual yang menurut bahasa Injil terdiri dari siapa saja yang melakukan kehendak Allah, sebagaimana yang dikatakan Yesus “Barangsiapa yang melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku (Mrk 3:35). Cara hidup menggereja kontekstual memberikan penghargaan kepada setiap orang, dengan demikian cara hidup ini juga mengembangkan demokrasi dan keluhuran nilai-nilai hidup serta hak azasi manusia. Dalam hidup menggereja kontekstual diharapkan, semua kharisma baik yang dianugerahkan kepada laki-laki maupun perempuan dapat lebih diterima dan diperkembangkan demi pelayanan bersama (Banawiratma, 2000:195). Pedoman

Gereja Katolik Indonesia (1996:5,9,126) menempatkan hidup Gereja Katolik Indonesia di tengah bangsa serta masyarakat Indonesia dengan menyebutnya sebagai

... diutus oleh Tuhan menjadi musyafir-hidup bersama seluruh bangsa Indonesia... merasakan segala kegembiraan dan harapan yang serupa dengan kegembiraan dan harapan seluruh rakyat Nusantara... sepenuhnya terintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, maka segala problem dan permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia dihadapi pula oleh Gereja Katolik Indonesia. Gereja Indonesia mengemban tugas dalam kemajemukan masyarakat dengan suka-duka, kegembiraan dan harapan, maka sudah selayaknya Gereja bersama anggotanya membaharui dirinya terus menerus. Dalam Arah Dasar Gereja Katolik Indonesia (1996:8) butir ke-11 dikatakan bahwa:

Dengan pendirian dipanggil untuk membangun koinonia yang mengalirkan diakonia, ia ingin mengungkapkan penghayatan sebagai bagian integral rakyat Indonesia, ... mau mencurahkan segenap tenaga guna menyingkirkan segala hal yang dapat memecah belah persatuan bangsa, dan berpadu dengan seluruh Gereja semesta.

Paus Yohanes Paulus II juga meminta Gereja Indonesia untuk menjadi betul-betul Indonesia dan sungguh-sungguh Katolik sebagaimana terungkap dalam Pedoman Gereja Katolik Indonesia butir ke-16. Dari situ Gereja bertekad hendak terus menerus melibatkan diri dalam pembentukan hidup keluarga, politik, dan ekonomi, mengabdikan diri dalam pendidikan, kesehatan, komunitas massa, pelbagai karya sosial, dan amal di tengah masyarakat. Pertanyaan yang bisa muncul adalah “Apa yang diharapkan pada Gereja Indonesia sebagai Umat Allah di tengah masyarakat masa kini?” Sebagai himpunan umat Allah ia seperti kawanan domba dengan Yesus sebagai Gembala Utama. Dialah Gembala yang baik yang menyerahkan hidup-Nya bagi domba-domba-Nya (Yoh 10:11).

Menurut Wibowo Ardhi, seorang penulis buku dengan judul “Arti Gereja” memaparkan bahwa sebagai Umat Allah, Gereja memperlihatkan: 1) Aspek komunio, yaitu yang dibentuk dan dipersatukan oleh pembaptisan. Oleh sebab itu maka adanya kesamaan martabat para anggotanya karena satu dalam Kristus. 2) Aspek misioner, yaitu Gereja yang selalu dan terus menerus mewartakan Kabar Gembira guna menghimpun semua orang kepada Yesus Kristus. 3) Aspek eskatologis, yaitu Umat Allah yang berziarah dalam persatuan dengan Kristus dan dibimbing oleh Roh Kudus menuju Kerajaan Bapa. Keselamatan sudah terjadi dalam Gereja-Nya tetapi belum sempurna (Ardhi, 1993:13).

Dalam Perjanjian Baru terdapat unsur universalitas umat Allah yang sangat menonjol karena Perjanjian Baru tidak membatasi diri sebagaimana dalam Pejanjian Lama. Universalitas umat Allah mengungkapkan bahwa Gereja dimaksudkan untuk semua orang. Semua orang dipanggil untuk menjadi umat Allah. Gereja memberi tempat dan menerima semua yang baik, semua bakat, kekayaan budaya atau adat-istiadat sejauh tidak bertentangan dengan Injil. Sifat universalitas umat Allah mencakup dan menghapus perbedaan anggota, semua memiliki derajat sama dalam Gereja. Hal ini ditegaskan pula oleh Konsili Vatikan II dalam konstitusi dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja sebagai berikut: Segala sesuatu yang telah dikatakan tentang umat Allah, sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam, para religius, dan kaum rohaniwan (LG, art. 30).

Dengan demikian di dalam Gereja Kristus, semua orang yang dibaptis dalam nama-Nya telah mengenakan Dia. Karena itu, tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena semua adalah satu dalam Kristus Yesus (Gal 3:27:28). Jadi baik awam,

rohaniwan, para religius sama-sama mengemban tugas sebagai anggota Gereja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Keterbukaan Gereja bagi semua orang memiliki konsekwensi, seperti yang dikatakan oleh Y. Suratman, Pr dalam buku yang berjudul “Membangun Komunitas Basis Gerejani” bahwa semua orang dalam kebersamaan bertanggung jawab terhadap Gereja. Semua orang yang dipermandikan mempunyai tanggung jawab bersama untuk ikut serta membangun hidup Gereja, termasuk mereka yang miskin dan kecil. Dengan demikian Gereja tidak menjadi monopoli orang-orang tertentu saja (Suratman, 1999:24).

Konsili Vatikan II juga menekankan ciri komuniter Gereja dalam berbagai dimensi di antaranya kesatuan antara anggota Gereja, kesatuan Gereja partikular dan Gereja Universal, kesatuan Gereja universal dengan seluruh umat. Ciri-ciri komunitas yang ditegaskan oleh Konsili itu pertama-tama terungkap dalam keluarga dan dalam berbagai komunitas gerejawi yang kecil. Berkaitan dengan hal itu, Suratman menjelaskan bahwa dalam komunitas itu orang saling mengenal, mendukung dan melayani satu sama lain, dan juga semakin dipersatukan dengan sesama, Tuhan dan seluruh Gereja (Suratman, 1999:25).