• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL SEBAGAI PRAKSIS

A. Hakikat Katekese

Ada begitu banyak pemahaman tentang katekese, hal ini karena berkaitan dengan pewartaan Injil Yesus Kristus dalam segala situasi dan zaman, dan pewartaan Injil itu menuntut supaya dapat menyentuh situasi hidup nyata umat. Menurut Paus Yohanes Paulus II katekese adalah “pendidikan dalam iman yang ditujukan untuk anak-anak, kaum muda dan kelompok orang dewasa” (CT, Art. 3.1). Pendidikan iman itu mengenai Yesus Kristus sebagai pewarta unatama dan guru sejati semua umat beriman. Sifatnya Kristosentris yaitu berpusat pada Yesus Kristus. Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia I (PKKI-I) merasa bahwa dengan mulai berkembangnya Gereja sebagai komunitas, katekese lebih bersifat komunikatif, maka katekese dilihat sebagai komunikasi iman atau lazim disebut katekese dari umat, oleh umat, dan untuk umat yang selanjutnya disebut Katekese Umat. Katekese diartikan sedemikian rupa sebagaimana yang dirumuskan kembali dalam PKKI-II yaitu:

a. Katekese Umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota kelompok atau jemaat. Melalui kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara makin sempurna, dan tekanannya diletakkan pada penghayatan iman meskipun pengetahuan iman tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan adanya perencanaan.

b. Dalam katekese itu, umat bersaksi tentang iman akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang bersabda kepada manusia dan pengantara manusia

menanggapi Sabda Allah. Yesus tampil sebagai pola hidup dalam Kitab Suci khususnya dalam Perjanjian Baru, yang mendasari penghayatan iman Gereja sepanjang tradisinya.

c. Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk lebih memahami-Nya. Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pula pola kehidupan kelompok. Jadi seluruh umat baik yang berkumpul dalam kelompok-kelompok basis, maupun di sekolah atau perguruan tinggi.

d. Pemimpin katekese bertindak terutama sebagai pengarah (fasilitator), pelayan yang siap menciptakan suasana komunikatif, membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka.

e. Katekese Umat merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Mereka berdialog dalam suasana terbuka, ditandai sikap saling menghargai dan saling mendengarkan. Proses terencana ini bersifat kontinyu dan holistik/menyeluruh.

Komunikasi iman yang dimaksud dalam katekese ialah komunikasi yang melibatkan seluruh peserta baik peserta dengan pendamping maupun antar peserta sendiri. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang, dan penekanan peranan umat pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada pengertian Gereja itu sendiri (KomKat KWI, 2005:5).

Peserta saling tukar pengalaman iman dan saling menanggapi sehingga saling meneguhkan satu sama lain dan diperkaya. Hal ini sesuai dengan katekese zaman sekarang bahwa peserta mampu mengungkapkan diri bagi pembangunan jemaat.

Komunikasi iman bertujuan: 1) Supaya dalam terang Injil umat semakin meresapi arti pengalaman sehari-hari. 2) Bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari. 3) Dapat semakin sempurna dalam beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan hidup kristiani semakin dikukuhkan. 4) Dapat makin bersatu dengan Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta. 5) Umat sanggup memberikan kesaksian tentang Kristus dalam hidup di tengah masyarakat. Adapun nilai-nilai yang melekat pada katekese menurut Telaumbanua dalam seri Umat Baru (2001:4) adalah sebagai berikut:

Pertama, katekese sebagai karya pastoral Gereja dalam dirinya adalah media utama untuk mengembangkan diri, untuk berakar dalam budaya setempat dan berbuah bagi hidup masyarakat.

Kedua, memelihara kesatuan Gereja dengan tetap menghargai setinggi-tingginya kemajemukan, pluralisme ide dan praksis, serta otonomi Gereja lokal malah hingga ke tingkat paroki. Katekese membela persekutuan Gereja sembari mengelakkan perpecahan dan keretakan, tanpa jatuh dalam uniformitas yang beku dan kaku.

Ketiga, katekese, sejauh ekspresi kehidupan Gereja menampung dengan leluasa sekaligus meningkatkan terus-menerus partisipasi awam dalam pelayanan sabda khususnya mereka yang punya hati dan kharisma untuk itu. Namun perlu dihindari praktek katekese yang liar dan sewenang-wenang.

Keempat, katekese berperan besar memperbaharui Gereja yang “Semper et Reformanda”. Gereja sebagai komunio, persekutuan orang-orang yang ditebus Kristus sedang mengukir diri di mana-mana sejak Konsili Vatikan II. Kepengurusan serta manajemen paroki dan penggarisan dinamika paroki tidak lagi semata dibahu sang gembala tertahbis.

Kelima, katekese juga merupakan media Gereja untuk menggalang dan menggiatkan kehidupan ekumene sembari tetap menghidupi kesetiaannya kepada Gereja. Dengan demikian katekese merupakan tugas setiap orang beriman akan Kristus sebagai gembala Gereja yang mempunyai keterbukaan hati dan kharisma untuk tugas itu. Gereja terus memperbaharui diri dalam situasi zaman yang terus berubah dari waktu ke waktu. Katekese memungkinkan terbentuknya komunio dan merupakan sarana yang menghantar orang untuk beriman kepada Kristus yang adalah jalan, kebenaran, dan hidup itu sendiri.

Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia yang kedelapan (PKKI VIII), telah menindaklanjuti Katekese Umat dalam membangun Komunitas Basis Gerejawi (KBG) dengan tema “Katekese Umat yang Membangun Hidup Gereja (KBG) yang Kontekstual. Stef. Agus mengatakan tema ini dipilih oleh panitia PPKI-VIII berdasarkan kebutuhan Gereja dalam konteks situasi dan kondisi zaman ini khususnya yang dihadapi Gereja di Indonesia. Lokakarya pada PKKI VIII ini beserta temanya itu menurut Ditjen Bimas Katolik Dapartmen Agama RI tersebut merupakan salah satu wujud dari upaya Gereja Katolik dalam membangun kualitas masyarakat katolik yang dimulai dari komunitas-komunitas basis. Katekese Umat masih menjadi agenda yang strategis dalam membangun Komunitas Basis Kristiani.

Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae artikel 24 tentang katekese, komunitas gerejawi menjadi basis (konteks) katekese. Katekese mempunyai misi Ad Intra dan Ad Extra dalam melaksanakan tugasnya demi pelayanan kepada masyarakat/umat Allah. Misi Ad Intra berarti misi ke dalam, yaitu katekese harus membantu membangkitkan semangat persaudaraan, persatuan dan saling meneguhkan.

Komunitas gerejawi berkewajiban menumbuhkan dengan melatih, mendampingi, dan memberi dukungan konkrit bagi semua umat beriman pada tahap awal, dalam hal ini baptisan baru yang telah menyerahkan diri pada Kristus. Ia harus membuka diri selebar-lebarnya, menciptakan kesempatan supaya mereka dapat semakin berintegrasi di dalam hidup Gereja. Katekese yang bertujuan membangun hidup Gereja dipahami sebagai aktualisasi perwujudan diri Gereja itu sendiri.

Sedangkan misi Ad Extra berarti misi ke luar. Melalui pelayanan kepada kehidupan masyarakat terutama yang paling membutuhkan, Gereja makin menghayati dirinya sebagai kesatuan umat yang dipanggil dan diutus oleh-Nya. Iman seseorang membutuhkan kehadiran jemaat, iman itu berkembang karena jemaat dan dalam jemaat. Semua anggota jemaat dapat berperan sebagai pendamping, oleh karena itu iman seseorang tidak semata-mata bersifat individual.

Pada PKKI IV yang diselenggarakan di Denpasar dengan tema: “Membangun iman yang terlibat dalam masyarakat” membawa suatu wawasan baru yang menantang suatu perubahan strategis dalam operasi katekese umat. PKKI IV merasa bahwa pelaksanaan ketekese belum terlaksana secara memadai seperti yang diharapkan, padahal pelaksanaan ketekese waktu itu berhadapan dengan permasalahan sosial yang menantang arus kepedulian Gereja. Oleh sebab itu PKKI IV yang merupakan suatu forum pemikiran bersama, turut menyumbang terbentuknya Gereja abad ke-21 yang benar-benar memasyarakat. Almarhum Romo Mangunwijaya, Pr. sebagai salah satu narasumber dalam PKKI IV itu merasa begitu pentingnya katekese yang berorientasi kemasyarakatan terkait dengan peranan Gereja di abad ke-21.

Pada abad ke-21 Gereja akan tetap minoritas bahkan tersebar dalam diaspora, namun diharapkan dalam kualitasnya dapat bersaing. Untuk inilah Romo Mangunwijaya menekankan pentingnya katekese umat yang tidak gerejasentris, tetapi dapat membina iman yang terlibat dalam masyarakat bahkan katekese yang dapat manampakkan wadah komunitas iman dan nilai-nilai Kerajaan Allah, pun di kalangan masyarakat yang beragama lain. Katekese di masa depan harus menjadi

tempat mengkomunikasikan pengalaman iman yang berakar pada kesadaran akan nilai-nilai Kerajaan Allah, yang diperlukan juga oleh sesama dalam masyarakat yang berasal dari berbagai tradisi keagamaan. Katekese kontekstual yang dimunculkan dalam PKKI IV dimaksudkan untuk memberi penekanan agar Katekese Umat lebih memasyarakat. Katekese kontekstual bukan merupakan hal yang baru sama sekali, melainkan sudah ada benihnya dalam PKKI II. Katekese kontekstual adalah katekese yang berusaha menanggapi situasi atau peristiwa tertentu yang dialami umat dalam hidup sehari-harinya sebagai wujud pengembangan hidup menggereja. Situasi tersebut merupakan realitas dalam hidup konkrit, sifatnya aktual dan mendesak untuk ditanggapi permasalahannya, misalnya: kegelisahan, ketakutan/kecemasan, ketidakadilan, kemiskinan, bencana alam, tindak kriminalitas yang semuanya itu dialami dalam kehidupan orang di tengah masyarakat.

Situasi-situasi tersebut sebenarnya berakar pada situasi hidup dalam keluarga. Ketidakharmonisan keluarga, tingkat pendidikan yang tidak memadai untuk mengubah kehidupan yang lebih baik, sementara tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi sehingga orang mengalami ketertekanan, selain itu juga bencana alam yang kerap melanda masyarakat.

Keluarga sebagai basis kesejatian hidup beriman lambat laun mulai mengalami krisis seperti halnya yang diangkat oleh panitia APP KAS 2007 bahwa keluarga seharusnya menjadi dasar atas kehidupan beriman jemaat dan masyarakat. Situasi krisis ini sangat kontekstual untuk zaman sekarang sehingga menuntut pihak-pihak yang bergerak di bidang pemberdayaan hidup beriman untuk melakukan suatu pembaharuan-pembaharuan yang dapat memberikan kontribusi berarti. Secara

khusus Gereja sebenarnya berpeluang untuk melakukan pembaharuan itu. Salah satunya adalah pembaharuan dalam hal katekese. Menurut hemat penulis katekese yang sungguh relevan adalah katekese kontekstual. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi Kateketik KWI bahwa Kontekstualisasi katekese bergerak dalam tiga konteks, yakni: aktual, Alkitabiah, dan historis dalam komunikasi kritis-kreatif, demikian pun dengan praktek katekese dalam situasi zaman sekarang hendaknya sesuai dengan ketiga konteks di atas (KomKat KWI, 1997:23). Berdasarkan penjelasan di atas, katekese kontekstual dapat diartikan sebagai komunikasi iman dalam usaha menanggapi secara konkrit pewahyuan Allah yang tersirat di balik realitas hidup masyarakat sehingga iman umat berkembang semakin sempurna (Adisusanto, 1989). Tanggapan iman yang ditekankan dalam katekese kontekstual bersifat praktis, yaitu terarah pada keterlibatan dalam hidup masyarakat. Dengan katekese kontekstual peserta katekese didorong untuk mengambil tindakan konkrit guna mengatasi masalah yang dialami dalam hidup konkritnya sehari-hari.