• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GEREJA SETURUT TELADAN DAN AJARAN YESUS KRISTUS

B. Teladan dan Ajaran Yesus Kristus dalam Mewartakan Kerajaan

2. Teladan Yesus Kristus

Yesus tampil untuk memulai karya-Nya di dunia ini, orientasi hidup-Nya ialah kehendak Allah, Bapa-Nya. Kehendak Bapa-Nya yaitu cinta bagi sesama, demi keselamatan manusia. Hal itu Ia lakukan dengan mengamini tanggung jawab pribadi yaitu tanggung jawab yang kritis terhadap diri sendiri dan orang lain.

Inti pewartaan Yesus adalah Kerajaan Allah: “waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat”(Mrk 1:15). Kedatangan Allah sebagai Raja penyelamat dinyatakan akan segera terjadi (KWI, 1996:261). Bagi Yesus pewartaan Kerajaan Allah mempunyai arti yang khusus karena sabda Allah paling pokok adalah dalam sabda dan karya-Nya, dan juga Kerajaan Allah mempunyai cir-ciri khas dalam

pewartaan Yesus sendiri. Yesus meninggalkan ketenangan hidup dalam keluarga di Nazaret dan mulai mengembara. Ia berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa, memberitakan Injil Kerajaan Allah. Tuntutan Kerajaan Allah ialah sabda bahagia yang dinyatakan bukan kepada orang-orang saleh melainkan orang miskin, orang lapar, orang yang menangis (KWI, 1996:263).

Dengan demikian Yesus memaklumkan suatu revolusi yang membalikkan nilai-nilai dan tata hubungan sebagaimana yang dipahami oleh umat manusia. Ucapan “bahagia” yang disampaikan Yesus bagi orang kalangan bawah mempunyai sangkut paut dengan sikap hidup atau cara hidup yang dimiliki oleh orang semacam itu, singkatnya adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa dan tidak berdaya di dunia ini paling condong mengharapkan segalanya dari Tuhan.

Segala harapan, sandaran, kekayaan, dan kekuatan mereka adalah Tuhan. Dalam perjalanan-Nya mewartakan Injil Kerajaan Allah, Yesus berjumpa dengan beraneka ragam orang dengan latar belakang yang beraneka ragam pula dan berelasi dengan mereka. Yesus bukan saja berbicara tentang Kerajaan Allah dan memberi kesaksian, tetapi juga disertai tindakan-tindakan-Nya karena memang ada kesatuan antara sabda dan karya-Nya. Ia tampil sebagai nabi dan juga tabib yang masing-masing mewakili unsur perkataan dan perbuatan, di dalam hidup Yesus hal ini merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

Kitab Suci Perjanjian Baru khususnya Injil banyak berbicara mengenai teladan Yesus Kristus dalam tugas perutusan-Nya mewartakan Kerajaan Allah kepada dunia. Sikap dan tindakan Yesus Kristus untuk berbuat kebaikan terhadap manusia mendapat pro dan kontra di antara orang-orang sekitar-Nya. Ada di satu pihak yang menolak karena tindakan Yesus melawan hukum dan tata aturan Yahudi, namun di

lain pihak ada yang menerima bahwa Yesus adalah Sang penyembuh dari berbagai penyakit dan pengaruh jahat yang membelenggu manusia.

Dari sekian banyak orang yang ada di sekitar Yesus itu ada orang Farisi, orang Saduki, kaum Zelot, dan rakyat biasa yang terdiri dari orang miskin, lemah, kusta, pemungut cukai, orang cacat, dan kaum perempuan. Berbagai macam orang yang dihadapi-Nya itu tentu saja Ia mempunyai sikap tersendiri terhadap orang kebanyakan itu. Sebagai Anak Allah Ia telah menjelma menjadi manusia dan menjadi saudara bagi setiap orang. Dia sungguh Allah dan sungguh manusia, Dialah titik acuan manusia yang berziarah di bumi menuju kepenuhan hidup dalam kebersamaan Allah Tritunggal (Telaumbanua, 2000:89). Teladan Yesus terhadap sesama dapat dilihat pada relasi-Nya teman-teman-Nya, Yesus dan murid-murid-Nya.

a. Yesus dan Teman-teman-Nya 1). Yesus dan perempuan pendosa

Kisah Yesus dan kaum pendosa terdapat pada Injil Lukas 7:36-50 yaitu mengenai Yesus diurapi perempuan berdosa. Perempuan pendosa di kalangan orang Yahudi dianggap sebagai pelanggar kode kelakuan baik yang dipegang oleh mereka. Kedosaannya tidak diragukan lagi sebab dosanya memang banyak. Perempuan tersebut setiap hari selalu dihina oleh para penduduk kotanya.

Yesus sebagai orang yang dianggap suci oleh mereka semakin terasa tidak pantas didatangi oleh perempuan pendosa itu. Pada jaman Yesus, peraturan tentang pergaulan cukup ketat. Yesus bergaul dengan siapa saja. Sebagai guru agama dilarang bergaul dengan wanita, bergaul dengan orang yang dianggap berdosa seperti

para antek penjajah, dengan anak-anak, dan dengan orang yang tidak sebaya. Dimata orang Farisi peristiwa itu sesuatu yang memalukan baik bagi Simon orang Farisi maupun perempuan itu sendiri, yang keberaniannya tampak dalam tindakannya (Bergant, 2002:130).

...ketika perempuan itu mendengar bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia dengan membawa sebuah botol pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis...membasahi kaki-Nya dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu (Luk 7:37-38).

Perempuan ini mungkin sebelumnya pernah berjumpa dengan Yesus sebagaimana orang muda dan kaya dalam kisah lain. Perempuan itu merasa dihargai, bahkan dikasihi oleh Yesus dan sambil menangis perempuan itu datang kepada-Nya. Ada yang mengartikan sebagai air mata pertobatan, tetapi ada juga yang menilainya sebagai air mata sukacita atas pengampunan dosa yang dialami perempuan itu. Dalam Injil, Lukas menganut paham yang kedua yaitu sebagai air mata sukacita (Stefan Leks, 2003:220-221).

Keadaan ini sangat berbeda dengan pandangan dan sikap orang kebanyakan. Yesus bersikap netral terhadap orang yang dianggap berdosa besar. Ia bahkan mengasihinya supaya nantinya jangan berbuat dosa lagi. Sikap Yesus ini mencerminkan pengampunan sebagai Bapa yang mengasihi dan memanggil orang yang berdosa seperti yang pernah ia katakan bahwa, Ia datang untuk mencari yang berdosa untuk bertobat. Yesus menyatakan bahwa dosa perempuan itu sudah diampuni, ini jelas karena kasih-Nya yang besar. Ia menggarisbawahi hal yang sudah nyata dalam diri perempuan itu (Bergant, 2002:130).

Kaum pendosa biasanya juga diidentikkan dengan seorang pemungut cukai. Dalam hal ini Zakheus adalah seorang pemungut cukai sebagaimana kaum Lewi yang kemudian mengikuti Yesus. Mereka dikatakan sebagai pemeras rakyat, dan bagi masyarakat Yahudi orang seperti itu harus dikucilkan dalam pergaulan atau relasi. Mereka tidak boleh didekati apalagi berteman akrab.

Yesus masuk kota Yeriko dan berjalan terus melintasi kota itu. Di situ ada orang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek. Ia pun berlari mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang akan lewat di situ. Ketika Yesus di tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata kepadanya, Zakheus, segera turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu (Luk 19:1-5). Bangsa Yahudi yakin bahwa para pemungut cukai melakukan pekerjaan yang sungguh-sungguh kafir, sebab mereka tergantung sepenuhnya dari penjajah yang kafir itu. Pemungut cukai adalah petugas lembaga fiskal Romawi, tugas itu dipercayakan oleh bangsa penjajah kepada yang mampu menawarkan paling banyak uang kepada mereka. Jumlah itu harus ditagihnya dengan segala macam akal. Kepala pemungut cukai hidup dari selisih uang antara jumlah yang ditetapkan penjajah dan jumlah yang berhasil ditagihnya.

Demi memperoleh jumlah yang harus disetor, terpaksa mereka memeras. Ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemungut cukai lebih berat daripada bea cukai itu sendiri. Karena itu juga mereka tidak boleh bertindak sebagai saksi dalam pengadilan Yahudi, bisa ada indikasi bahwa mereka akan bersaksi dusta karena motivasinya mendapat uang lebih dari penggugat, dan kemungkinan mereka untuk bertobat sangat diragukan. Para pemungut cukai cenderung menutup diri dan mengandalkan diri mereka sendiri karena dikucilkan oleh masyarakat. Bergaul

dengan mereka dianggap sama jahatnya dengan bekerja sebagai pemungut cukai (Stefan Leks, 2003:490).

Orang banyak bersungut-sungut bahwa jika seseorang tinggal di rumah seorang pendosa maka ia mengambil bagian dalam hidupnya yang salah. Dalam hal ini, Yesus yang dianggap sebagai orang suci telah bergaul dengan orang berdosa seperti Zakheus, bagi orang Yahudi hal ini tidak pantas dan melanggar hukum. Yesus bertindak melawan sopan santun yang biasa. Ia tidak menunggu diundang ke rumah pemungut cukai, Ia mengundang diri sendiri, gembala mencari domba yang hilang (Bergant, 2002:150). Bagi Yesus dalam sikap-Nya ini tampak seperti pangeran yang menjadikan dirinya pengemis. Yesus tidak menunggu Zakheus datang terlebih dahulu kepada-Nya sambil berlutut dan memohon berkat pengampunan-Nya. Justru Dialah yang mendekati Zakheus bahkan mencarinya ibarat seorang gembala yang baik yang dombanya hilang. Ia menyambutnya searti dengan melangkah lebih dulu ke arah sesama (Stefan Leks, 2003:492). Yesus mengambil prakarsa dalam pertobatan Zakheus ini, meskipun ia pemungut cukai hendaknya jangan dikucilkan karena kegagalannya, melainkan dibantu untuk menemukan jalannya kembali kepada kawanan. Kasih Yesus terhadapnya telah membangkitkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk kasih dan pelayanan bagi sesama yang membutuhkan uluran tangan menuju pembaharuan hidup.

3) Yesus dan kaum perempuan

Kisah Yesus dan kaum perempuan dapat dilihat juga pada Injil Lukas 10:38-42 yaitu mengenai diri-Nya, Maria dan Marta. Kisah Marta dan Maria di sini lebih melihat pelayanan perempuan terhadap Yesus. Salah satu komentator kisah ini

adalah Martin Harun, OFM. Ia tidak bermaksud mempertentangkan pelayanan dan doa atau hidup aktif dan kontemplatif. Ia mencontohkan bahwa mendengarkan sabda Tuhan merupakan cara melayani Tuhan yang lebih tepat dan perlu daripada memenuhi jasmani-Nya secara berlebihan.

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah desa. Seorang perempuan bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai saudara yang bernama Maria. Maria duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya. Sedangkan Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata:Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku. Tetapi Tuhan menjawabnya: Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia (Luk 10:38-42).

Dari kisah itu, orang hendaknya menyambut Tuhan dengan memberikan segala perhatian pada sabda-Nya. Hal ini mutlak perlu sebab seorang tidak dapat menghasilkan buah dan memperoleh hidup kekal kalau ia tidak mulai dengan sungguh-sungguh mendengarkan sabda itu dan menyimpannya dalam hati. Perlu diakui juga bahwa kisah ini sebenarnya merupakan tindakan kasih manusia kepada Tuhan, sedangkan kisah Yesus dan perempuan Samaria Ia menekankan tindakan kasih terhadap sesama (Bergant, 2002:136). Tanpa mau melihat sepenuhnya apa yang dilakukan Marta dan Maria, kutipan Injil Lukas ini mau melihat bagaimana Yesus disambut oleh kaum perempuan. Rombongan Yesus terdiri pula dari sejumlah perempuan, dan beberapa di antaranya pastilah bukan perempuan terhormat (Luk 8:1-3).

Dengan menegaskan keperempuanan itu ingin menggarisbawahi sesuatu yang penting antara lain sikap keterbukaan Yesus terhadap kaum perempuan. Sikap itu

bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Yahudi (Stefan leks, 2003:307).

Agama Yahudi memang tidak melarang perempuan mempelajari Kitab Suci. Namun, tidak seorang rabi pun yang mau mengajarkan kepada kaum perempuan. Yesus memang melanggar adat yang berlaku. Ia juga makan bersama kaum pendosa dan menyembuhkan banyak orang yang sama sekali tidak dipedulikan oleh masyarakat Yahudi. Ia bergaul akrab dengan perempuan-perempuan berdosa, malah membiarkan diri-Nya disentuh oleh mereka.

Kisah Yesus terhadap kaum perempuan dapat juga dilihat pada Injil Yohanes 4:1-42 yaitu sikap Yesus terhadap perempuan Samaria.

Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: Berilah Aku minum. Sebab murid-murid-Nya telah pergi ke kota membeli makanan. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria? (sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria). Jawab Yesus kepadanya: Jika engkau tahu karunia Allah dan engkau tahu siapakah Dia yang berkata-kata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau akan meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup..., Jawab Yesus kepadanya: Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa yang minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya (Yoh 4:7-14a).

Secara kultur dan geografis, Yesus dan orang Samaria berbeda karena memang Yesus orang Yahudi. Baik Yesus maupun perempuan Samaria itu saling tidak bergaul satu sama lain dan tidak punya ikatan apapun.

Hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang tinggal di antara bagi utara Galilea dan bagian selatan Yudea adalah buruk (Bergant, 2002:169). Yesus tidak mempersoalkan hal itu tetapi Ia memberikan sesuatu yang tidak dipahami dan memberikan tanda untuk keselamatan orang lain.

b. Yesus dan Lawan-lawan-Nya

Menurut Injil Markus, karya Yesus diliputi oleh ketegangan. Namun begitu, sampai saat Yesus ditangkap, para lawan-Nya itu lebih suka memata-matai ataupun menjebak-Nya secara licik daripada berperang dengan-Nya secara terbuka. Para lawan-Nya itu adalah orang Farisi, ahli-ahli Taurat, dan para pemuka agama Yahudi yang selalu bertentangan dengan sikap, tindakan maupun ajaran Yesus. Hal perlawanan ini nampak ketika orang Yahudi memasuki hari Sabat, dan Yesus diundang untuk datang dan makan di rumahnya.

Pada suatu hari Sabat...murid-murid-Nya memetik bulir gandum lalu orang Farisi berkata kepada-Nya: Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat? Jawab-Nya kepada mereka: Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud ketia ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam rumah rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai imam besar lalu makan roti sajian itu-yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam-dan memberikannya juga kepada pengikut-pengikutnya? Lalu kata-Nya kepada mereka: Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk 2:23-28).

Hukum Sabat adalah karunia Allah bagi umat-Nya, bukan beban yang tidak terpikulkan. Demikianlah patokan umum yang seharusnya dipegang dalam segala situasi. Dalam Injil Markus 3:1-6, Yesus juga diamat-amati oleh orang Farisi yang tidak se-visi dengan mereka. Mereka melakukan hal itu supaya dapat mempersalahkan Dia. Pada waktu itu Yesus telah menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya. Lalu Yesus berkata kepada orang Farisi itu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan orang atau membunuh orang? (Mrk 3: 4). Para lawan Yesus yakin bahwa Dia seorang pemerkosa hari Sabat karena Yesus membuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari itu, dalam hal ini Yesus menyembuhkan orang sakit.

Sikap mereka secara tepat terungkap dalam pernyataan seorang kepala sinagoga yang dikutip dalam Lukas “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat” (Luk 3:14). Penyembuhan pada hari Sabat diatur secara ketat, dan hanya orang dalam bahaya maut yang dapat ditolong oleh tabib (Stefan Leks, 2003:141).

Dimata mereka, sabda dan tindakan Yesus ini menjungkirbalikkan interpretasi hukum serta paham kesalehan yang mereka pelihara, sehingga menurut mereka Yesus juga sebagai pemberontak, pelanggar tradisi dan penentang kuasa. Para lawan Yesus ingin mempersalahkan-Nya secara resmi, yaitu mendakwa-Nya di depan sidang agama.

Lewat pertanyaan “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat...?” Yesus berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh hadirin. Sebetulnya mereka tahu bahwa menyelamatkan nyawa setiap hari harus diusahakan secara baru dengan amanat Allah dalam kitab Ul. 30:15 “Ingatlah bahwa Aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan”. Tradisi Yahudi selalu menafsirkan Ul. 30:15 ini sebagai keharusan mutlak.

Tidak ada satu hari pun yang membebaskan manusia dari kewajiban berbuat baik. Jadi, Yesus sesungguhnya tidak mngajukan pertanyaan melainkan mengingatkan kewajiban utama mereka. Bila mereka menetapkan batas-batas dalam pelaksanaan perintah utama itu, karena interpretasi salah mengenai hari Sabat, maka mereka akan tertimpa kutuk. Nama mereka akan terhapus sedangkan Yahwe akan murka. Pilihan yang salah mengantarkan manusia kepada kejahatan (Stefan Leks, 2003:143). Program Yesus ialah mengantarkan manusia kepada pilihan yang tepat.

Konsekwensinya bahwa setiap hukum seharusnya demi manusia. Setiap situasi hidup harus selalu demi kesejahteraan manusia, juga kalau tanpa hukum. Hal yang ditolak oleh Yesus ialah pemenuhan atas tuntutan lahir hukum belaka karena sekedar penyesuaian diri atas keinginan lingkungan.

Yesus ingin supaya kejahatan dikalahkan dengan perbuatan baru, bukan dengan ketaatan harafiah atau balas dendam. Selain menyelamatkan dan memulihkan umat manusia dari penyakit, Yesus juga berlaku merdeka terhadap hukum. Hukum harus selalu ditinjau dari sudut kepentingan manusia, termasuk hukum yang sesuci hukum Taurat sendiri. Ia tidak meniadakan hukum itu tetapi mengembalikan maknanya yang sesungguhnya. Yesus tidak mau terikat oleh aturan yang mengakibatkan manusia celaka, sebab bagi-Nya keselamatan manusia lebih penting daripada hanya mematuhi hukum yang terkadang mendatangkan kehancuran bagi umat manusia. Biarpun dimata-matai, Ia tetap menempuh jalan hidup-Nya, Ia tidak segan melanggar hukum suci, kemerdekaan yang menyatu dengan-Nya dipakai demi menyelamatkan manusia. Ia ingin memulihkan keadaan manusia yang sakit sehingga dapat mengembangkan lagi seluruh potensinya. Untuk itulah Yesus datang (Stefan Leks, 2003:134).

c. Yesus dan Murid-murid-Nya

Teladan Yesus semakin memuncak dan menjadi kenangan bagi murid-murid-Nya bahkan bagi Gereja sampai saat ini. Teladan Yesus itu tampak ketika Ia bersama para murid-Nya pada malam sebelum Ia menderita sengsara. Kisah ini terdapat dalam Injil Yohanes 13:2-20 yaitu Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya.

Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saat-Nya telah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia

senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. Mereka sedang makan bersama ... Yesus tahu bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu (Yoh 13:1-5).

Yesus menjadi hamba Allah, hamba kemanusiaan dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya. Membasuh kaki orang lain yang kotor karena berjalan melintasi jalan-jalan berdebu dengan memakai sandal merupakan pekerjaan hina bahkan tidak diinginkan oleh hamba-hamba Yahudi sekalipun (LBI, 1981:100-101). Dengan membasuh kaki para murid Yesus ingin menunjukkan kerendahan hati-Nya terhadap sesama. Yesus melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh seorang hamba, maka murid-murid-Nya juga harus mau melayani atau saling melayani. Gereja dipanggil untuk saling melayani satu sama yang lain tanpa harus melihat latar belakang sesamanya. Pembasuhan kaki melambangkan kesediaan Yesus melakukan sebagaimana halnya yang dilakukan oleh hamba. “Sebab Aku telah memberikan suatu teladan bagi kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (ay. 15). Yesus mau supaya warga Gereja atau murid-murid-Nya bukan memerintah tetapi melayani, kata-murid-murid-Nya (Mrk 10:44-45): “..., hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan..., hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.