• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP MENGGEREJA KONTEKSTUAL SEBAGAI PRAKSIS

D. Tantangan Menggereja di Indonesia Zaman Sekarang

2. Lingkup Masyarakat

Kehidupan umat dalam masyarakat seringkali tidak mencerminkan imannya, bahwa sikapnya tidak cukup dibentuk oleh iman, tidak terkecuali orang-orang kristiani. Hampir setiap orang juga mengalami krisis iman sebagai pegangan hidup karena banyak faktor penyebabnya. Bukan saja imannya tetapi juga pola hidup yang sedang dialami masyarakat mengalami pergeseran. Hidup bermasyarakat yang tadinya sebagai wujud kebersamaan yang rukun, damai, tenang, dan aman telah berubah seiring dengan perkembangannya.

Sikap hidup umat beriman dalam masyarakat sudah menjadi kontras dengan yang semestinya. Umat kristiani pun mengalami hal yang demikian sehingga nilai-nilai

iman kristiani itu semakin memudar. Orang kristiani yang sudah dibaptis mestinya mengikuti pola dan cara hidup Kristus, mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya.

Sikap saling mengampuni, saling menolong, rendah hati, dan setia pada imannya adalah kunci pokok yang harus dimiliki oleh seorang yang mengaku diri pengikut Kristus. Tidak jarang umat beriman dalam masyarakat berbuat menyimpang dari ajaran imannya karena bermacam-macam persoalan (tekanan/desakan/ancaman/hawa nafsu), dapat dikatakan telah mengikuti keinginannya sendiri.

Pada zaman sekarang, ketika uang/kekayaan, kekuasaan, dan popularitas dijadikan motivasi utamanya, segala cara dapat dihalalkan atau dianggap lumrah. Uang dipakai sebagai simbol dan pengganti dari tercapainya kebutuhan manusia, akibatnya terjadilah pertukaran nilai. Kepuasan tidak dihitung dari kepuasan manusiawi lagi tetapi dihitung oleh banyaknya uang. Misalnya rasa aman tidak lagi diperoleh melalui rasa saling percaya dan saling melindungi, tetapi diperoleh dengan membayar para penjaga yang belum tentu dapat dipercaya, akibatnya manusia merasa khawatir terus menerus. Karena daya tarik uang, orang terperangkap dalam hidup bermasyarakat yang tidak memperdulikan orang lain. Bagi yang berhasil memang memiliki banyak uang, namun karena semuanya dicapai dalam ketegangan dan persaingan, maka diri mereka sudah terlanjur tercabik oleh rasa tidak mencintai sesama. Akibatnya setelah berhasil mereka tetap buas dan gelisah seperti harimau di dalam kandangnya. Mereka yang gagal semakin tersingkir dan terinjak-injak harga dirinya. Sistem dunia modern yang bermotivasikan uang/kekayaan, kekuasaan, popularitas sampai kepada produksi-konsumsi, memunculkan prioritas nilai dalam

berprilaku. Reksosusilo (1997:129), menggambarkan akibat yang terjadi dari motivasi tersebut:

Pertama, nilai kerja yang efektif dan efisien bagi sebuah usaha, dalam proses produksi yang dikejar ialah hasil yang sebanyak mungkin dalam waktu yang sesingkat mungkin, maka akan diraih pula uang sebanyak mungkin meskipun belum tentu memperhitungkan kualitasnya karena kreatif dan rekreatif tidak diperhitungkan lagi.

Kedua, nilai kebebasan individu. Manusia merupakan makhluk yang ingin bebas, tetapi keterarahan pada uang membuat manusia menekankan kebebasan untuk mencarinya, dengan demikian merebaklah semangat individualisme, dan akibatnya rasa kebersamaan yang mendahulukan kepentingan sesama telah hilang.

Ketiga, relativisme. Wujud kebutuhan manusia tidak ditentukan lagi oleh manusia yang bersifat sosial dan rasional, tidak ada lagi nilai-nilai mutlak. Semuanya bersifat nisbi dan relatif, akibatnya hilanglah kepastian dan kemantapan hidup.

Segala urutan itu begitu menggerogoti manusia sehingga prilaku manusia juga mengalami perubahan yang cukup kentara. Misalnya, cinta kasih yang terwujud dalam memberi pertolongan yang penuh perhatian diganti dengan menolong secara jarak jauh, sumbangan, tanpa keterikatan kasih sayang. Bisa menolong tapi dengan pamrih atau do ut des, dengan memberi berarti harus menerima juga. Upacara sakral atau ibadat yang semestinya mendekatkan manusia kepada Tuhan diganti dengan acara untuk melepas ketegangan. Tujuan agama untuk memberikan pendalaman nilai yang mapan dihadang oleh kebutuhan fasilitas-fasilitas yang tentu saja memerlukan dana, tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Begitu juga dalam banyak kasus untuk suatu kedudukan seperti yang diungkapkan para uskup Indonesia, bahwa agama yang merupakan hak azasi setiap orang pun dijadikan bahan pertimbangan untuk menduduki jabatan tertentu (Reksosusilo, 1997:89).

Waktu senggang yang seharusnya dapat dipakai untuk memantapkan keadaan rohani, diisi dengan aktivitas yang secara efektif dan efisien menghasilkan sesuatu.

Keadaan yang demikian itu juga bisa membawa dampak bagi keluarga-keluarga, tidak terkecuali keluarga kristiani.

Dalam situasi modern ini, keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama mendapatkan kebutuhan rasa aman, rasa untuk mencintai dan dicintai sudah diganti dengan kelimpahan benda-benda terutama dalam keluarga-keluarga kaya. Atau sebaliknya, kekurangan benda-benda dalam keluarga miskin, mendesak setiap anggotanya dengan dilibatkan untuk mencari nafkah meski belum waktunya. Karena itu manusia dalam keluarga zaman modern ini tidak sampai dalam tingkat harga diri yang menghargai sesama, karena harga diri diukur dengan benda/kekayaan, uang atau pun kedudukan. Apalagi soal pengembangan diri hampir tidak ada yang tercapai. Pengembangan harga diri sudah disamakan dengan memuaskan segala hawa nafsu (Reksosusilo, 1997:130). Dalam keluarga yang mestinya ditemukan rasa aman, perlindungan dan cinta kasih ternyata cuma ditemukan kelimpahan benda, atau kekurangan benda-benda yang tentu saja membawa tantangan untuk mencari kebahagiaan yang telah hilang. Keadaan ini membawa kebingungan mendalam, akibatnya dapat membuat orang menjadi stres. Keluarga yang tidak bisa mengatasi persoalannya dapat saja bersikap membiarkan begitu saja keadaan itu, dalam keluarga kristiani pun dapat terjadi demikian.

Kurangnya didikan, pengajaran dan pendampingan kepada anggota keluarga berakibat pada kurangnya pemahaman akan hidup terutama ketika sudah dewasa. Tidak jarang dijumpai banyak orang muda yang terjerumus dalam kawin campur, padahal dari segi pandangan katolik kawin campur membuat perkawinan tidak sah. Dapat menjadi sah apabila dispensasi diberikan dengan syarat tertentu, tetapi kemungkinan untuk melanggar konsekwensi dispensasi pun tidak jarang terjadi.

Demikian juga persoalan yang muncul akibat kemajuan teknologi, sudah merambat sampai ke pelosok desa.

Pola hidup masyarakat pun menjadi begitu berubah dan cenderung ke arah relatif negatif. Menghadapi beban hidup yang berat menimbulkan stres yang berlebihan jika tidak disikapi dengan baik, akibatnya jalan pintas begitu gampang ditempuh. Karena sikap pesimis, putus asa, dan serakah begitu melekat dalam diri manusia, tidak jarang terjadi pencurian, perampasan sesuatu yang bukan haknya, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain atau dirinya sendiri. Sifat yang demikian itu sama sekali bukan sikap seorang pengikut Kristus.

Situasi-situasi seperti itu masih dialami dan dirasakan oleh umat sampai saat ini. Meskipun sekarang ini makin marak perjuangan golongan-golongan demi hak-hak asasi manusia, tetapi masih deras sekali arus-arus dehumanisasi dan sekularisasi. Ini merupakan tantangan berat bagi Gereja untuk memfiltrasikan nilai-nilai manusiawi-kristiani (Hardawiryana, 2001:41). Orang kristiani perlu berpegang pada imannya akan Yesus Kristus dalam menghadapi berbagai situasi termasuk yang tidak meng-enakkan. Ini adalah sebagai konsekwensi menjadi pengikut-Nya. Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya:

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang akan diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat 16:24-26).

Untuk menjadi pengikut Kristus, manusia mesti berbuat apa saja untuk tidak berpusat pada dirinya sendiri. Bukan hanya penolakan terhadap dosa atau perbuatan salah saja, bukan juga semacam matiraga, melainkan usaha terus-menerus untuk menolak dan meninggalkan dirinya sebagaimana diri itu terbentuk sebelum mengikut Kristus. Segala sesuatu yang tidak sesuai iman kristiani harus ditolak, agar Kristus bisa menjadi tuan kehidupan. Pengikut Kristus harus membuktikan ketaatannya, bukan hanya dalam situasi tertentu saja tetapi sungguh bergabung dengan-Nya dengan segala konsekwensinya sampai akhir (Stefan Leks, 2003:248).

Gereja ditantang tanggung jawabnya dalam membina anggotanya untuk sampai kepada pemahaman akan hidup sebagai murid Kristus. Tidak membiarkan diri tercebur dan ikut saja arus perkembangan zaman dengan segala situasinya, tetapi perlu menjadi teman seperjalanan senasip sepenanggungan yang sedang berziarah menuju Bapa di surga. Mencari kehendak Allah adalah menjadi tugas perutusan Gereja yang utama yaitu peka terhadap segala situasi yang membawa kebaikan atau tidaknya bagi umat.

Gereja perlu menjalankan fungsi-fungsinya sebagai aktualisasi keprihatinannya karena dirinya memperoleh warisan misteri sebagaimana diwahyukan oleh Allah dalam Kristus dan tugas perutusan untuk menyinari, membimbing, menyuburkan dan mendorong sejarah umat manusia agar menjadi wahana perwujudan Kerajaan Allah. Fungsi-fungsi itu menyangkut: Diakonia; Kerajaan Allah direalisir dalam cinta kasih dan pelayanan yang penuh persaudaraan di mana Gereja merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia, yang menemukan dirinya dalam situasi tertindas dan egois.

Koinonia; Gereja dipanggil untuk memberi kesaksian akan adanya kemungkinan hidup yang didasari persekutuan seperti dicita-citakan Kerajaan Allah, karena Gereja dihadapkan dengan dunia yang terpecah belah oleh egoisme, kebencian, gila hormat dan kekayaan, penyingkiran kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkirkan (KLMT).

Kerygma; Gereja dipanggil untuk menjadi saksi dan pembawa harapan dengan mewartakan Yesus dan Injil-Nya, karena dihadapkan dengan dunia yang penuh kemalangan, penderitaan, keburukan dan kejahatan, tidak jarang membuat orang putus asa atau bersikap fatalistis. Leitourgia; menjawab kebutuhan manusia untuk merayakan kehidupan. Gereja dipanggil untuk menciptakan tempat dan kesempatan setelah dibaharui dan diselamatkan, karena berhadapan dengan keterbatasan daya pikir manusia dalam masyarakat yang menekankan kebebasan, tetapi sekaligus mengalami kesepian. (Adisusanto, 2000:16-17).

E. Hambatan menggereja di Indonesia Zaman Sekarang