• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara maju seperti Amerika Serikat sejak tahun 1946 sudah menetapkan program makan siang - National School Lunch Program (NSLP) di sekolah dan masuk ke dalam Undang-undang yang ditanda tangani oleh Presiden Truman. Program sarapan di sekolah dimulai sebagai pilot program pada tahun 1966 dan diberlakukan sebagai program yang permanen oleh Congress tahun 1975. National School Breakfast Program (NSBP) khususnya melayani anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah dan bertempat tinggal jauh dari sekolah sehingga tidak sempat sarapan (Pannell 1999).

Keluarga yang dikategorikan berada di bawah garis kemiskinan di Amerika Serikat adalah yang berpenghasilan di bawah US $ 10.000 per tahun untuk keluarga dengan jumlah anggota 3 orang dan di bawah US 13.000/tahun untuk keluarga dengan jumlah anggota 4 orang. Kira-kira 84% peserta program

NSBP tersebut menerima makanan gratis atau dengan harga yang sudah

disubsidi oleh pemerintah (Pannell 1999). Pada tahun 1992, Pemerintah Federal Amerika Serikat mengeluarkan biaya sekitar US $ 5,5 miliar atau setara dengan sekitar Rp. 12,4 trilyun untuk penyelenggaraan makan siang bagi 24,6 juta anak sekolah dari kelas 1 sampai kelas 9 dan sekitar 5 juta anak sekolah yang berpartisipasi dalam NSBP. Salah satu tujuan program NSLP dan NSBP yang dianggap sangat penting adalah membiasakan anak sekolah mengonsumsi makanan sesuai dengan Pedoman Gizi yang ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1989. Sudah ada tekad dari Pemerintah Amerika Serikat bahwa pada tahun 2000, sebagian besar rakyat akan mempunyai pola menu yang sesuai dengan Pedoman Gizi bagi orang Amerika. Selain itu NSLP juga bertujuan agar komoditi pertanian setempat dapat terserap untuk dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Palacio & Theis 2009; Pannell 1999).

Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di negara ini adalah penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur merupakan dapur terpusat. Hal ini berarti bahan pangan lokal dipersiapkan dan diolah di sekolah. Dapur dan ruang makan berada di dalam gedung sekolah.

Tenaga penjamah makanan yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah. Sekolah yang jumlah siswanya banyak di perkotaan sering mempergunakan dapur produksi terpusat, dan mengirimkan makanan jadi ke sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya. Manajemen terpusat dengan pengawas dari masing-masing sekolah merupakan karakteristik sistim dapur terpusat (Palacio & Theis 2009).

Contoh penyelenggaraan makanan anak sekolah yang diamati adalah Clinton Elementary School, dan Southwest High School, di Nebraska, USA pada Januari 2009. Model yang dipergunakan Southwest High School dan Clinton Elementary School adalah penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Hal ini berarti dapur tidak berada di Clinton Elementary School, tetapi lokasi dapur berada di Southwest High School. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di dapur Southwest High School yang letaknya tidak jauh dari Clinton Elementary School. Makanan yang sudah matang dimasukkan ke dalam kereta makan dan diangkut dengan

menggunakan mobil khusus pengangkut makanan. Clinton Elementary School

memiliki ruang makan yang dilengkapi dengan televisi. Cara pelayanan yang dilakukan di Clinton Elementary School adalah dengan cara kantin bergilir yaitu siswa secara bergilir mengambil baki makanan yang telah diisi dalam bentuk 1 porsi. Selama makan, guru mengawasi siswa agar menghabiskan makanannya. Setelah makan, alat saji yang kotor ditempatkan di atas ban berjalan (conveyor) yang terhubung sampai di ruang pencucian alat saji (dishwashing machine). Kegiatan pelayanan makanan Clinton Elementary School dan Southwest High School, di Nebraska, USA dapat dilihat pada Lampiran 9.

Peru

Peru merupakan salah satu negara berkembang seperti halnya Indonesia. Pemberian makanan pada anak sekolah di Peru berupa sarapan yang terdiri dari sekitar 80 gr roti dan 200 cc susu. Sejak April 1993, Peru menerapkan program sarapan di sekolah di ibukota dan lima desa di lima provinsi Andean yang miskin. Kriteria seleksi daerah miskin adalah kombinasi tingkat kemiskinan dan prevalensi bayi dan anak penderita gizi kurang di suatu daerah. Tujuannya untuk mempromosikan gizi yang lebih baik, meningkatkan pendidikan, dan meningkatkan jumlah kehadiran anak-anak yang terdaftar di sekolah dasar. Manfaat ini diharapkan dapat menggantikan kerugian biaya sosial dari kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah sejak tahun 1990 (Powell 1998).

Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Peru adalah penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat yaitu sekolah memanfaatkan pabrik roti untuk memenuhi kebutuhan sarapan siswa.

Jepang

Jepang mulai melaksanakan program makan siang di sekolah sejak 1946. Program ini ditetapkan sebagai Undang-Undang tahun 1954. Pada tahun 1996, lebih dari 90% sekolah dasar di Jepang telah menerapkan program ini (Florencio 2001). Di negara Jepang, disebutkan bahwa penanaman nilai-nilai melalui program makan siang di sekolah berjalan dengan sangat baik. Kecintaan siswa pada menu tradisional, sekaligus cinta produk lokal negerinya, menghargai jerih payah petani, peternak, nelayan dan disiplin mengikuti etika makan terpatri dalam diri anak sekolah tanpa merasa dipaksa untuk melakukan semua kegiatan tersebut (Roosita 2007). Model penyelenggaraan yang dilaksanakan di Jepang adalah model penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan di bayar oleh sekolah.

Chili

Di negara Chili, program pemberian makan di sekolah dimulai tahun 1963. Program ini diperuntukkan bagi anak-anak sekolah yang pendapatan orang tuanya termasuk rendah. Pada tahun 1988, lebih dari setengah juta anak- anak sekolah menerima pelayanan makanan sebagai sarapan dan makan siang atau makan siang dan makanan kecil (Florencio 2001). Pada tahun 1988, pemerintah Chili memasukkan program pemberian makanan anak sekolah ke dalam Undang-Undang Pendidikan (Winch R. 2009). Model penyelenggaraan yang dilaksanakan di Chili adalah model penyiapan makanan dilakukan di

sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang

dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.

Jamaika

Penyelenggaraan makan siang di sekolah di Jamaika dimulai tahun 1926, yang dibiayai oleh sekelompok dermawan dalam wilayah perusahaan- perusahaan. Marcus Garvey Drive merupakan perusahaan yang bertanggung jawab mempersiapkan makan siang untuk 60.000 siswa di daerah

perusahaannya. Pendistribusian makanan yang sudah matang dilakukan dengan menggunakan truk milik pemerintah (Simeon 1998). Partisipasi pemerintah dimulai pada 1939, di beberapa sekolah, dan diperluas pada tahun 1955, dengan bantuan komoditas pangan dari Amerika Serikat. Dapur terpusat didirikan di daerah perusahaan untuk memasak makan siang yang panas bagi anak-anak. Pada tahun 1976, USAID melaksanakan Program Perdamaian sebagai hasil kesepakatan antara Pemerintah Jamaika dan Pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan perjanjian ini ada tambahan komoditas pangan yang diterima dari USAID, antara 1975 dan 1988. Makanan juga diterima dari donor lain seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional Kanada (CIDA). Komoditas yang diterima dari EEC adalah: minyak, mentega, susu bubuk, dan tepung jagung, dari USAID berupa tepung terigu, tepung jagung, bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), dari CIDA berupa bubuk susu skim. Pemerintah Jamaika kemudian memperkenalkan program makan siang di sekolah sejak tahun 1973 dengan menyediakan makanan kepada 135 sekolah (Chang 1996). Pada tahun 1976, Departemen Pendidikan Jamaika dengan bantuan dari Program USAID, memperkenalkan program pemberian susu di sekolah. Program susu ini berakhir pada awal tahun 1980.

Pada tahun 1984 bantuan dari World Food Programme (WFP),

memperkenalkan Program Nutribun sebagai Pilot Project. Percontohan ini melayani 14.500 penerima di St Thomas dan Trelawny. Pada tahun 1985 program Nutribun memberi makan 95.000 siswa di taman kanak-kanak, dan Sekolah Menengah. Program ini diperluas untuk memberi makan 150.000 siswa Dasar, Bayi, SD, semua sekolah umum di paroki-paroki St. Catherine, St. Thomas, Trelawny, St. Ann, St. James, dan St. Andrew. Sebagai tambahannya 45.000 penerima makanan di paroki-paroki di Manchester, Kingston, Portland dan St. Mary (Simeon 1998). Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan di Jamaika adalah model penyiapan makanan dilakukan di

dapur terpusat sekolah dengan bahan pangannya berasal dari bantuan. Tenaga

yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.

Banglades

Pemerintah Banglades meluncurkan program makanan untuk pendidikan (Food for Education/FFE) pada tahun 1993. Program FFE menyediakan ransum makanan bulanan gratis (beras atau gandum) kepada keluarga-keluarga miskin

di pedesaan jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pada tahun 2002, Program Primary Education Stipend (PESP), diberlakukan untuk menggantikan program FFE, dengan cara memberikan bantuan uang tunai kepada keluarga miskin jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pemerintah Banglades juga menyediakan bantuan tunai kepada anak-anak perempuan di sekolah menengah melalui program yang disebut ”four secondary school stipends". Program pemindahan tunai ini bertujuan meningkatkan pendaftar dan tingkat bertahannya siswa di sekolah dasar dan menengah di pedesaan Banglades. Studi terbaru mengindikasikan bahwa ada pengaruh positif program ini untuk peningkatan bidang pendidikan (Ahmed 2003). Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Banglades merupakan model membawa pulang uang (bantuan langsung tunai) atau makanan dalam jumlah tertentu. Dalam model ini makanan tidak di konsumsi di sekolah, tetapi di bawa pulang ke rumah masing-masing siswa.

Philipina

Pada tahun 1963, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Philipina

melaksanakan Applied Nutrition Program (ANP) yang bertujuan untuk

mengeliminasi kekurangan gizi pada siswa berusia 7 sampai 14 tahun. Pelatihan dalam bidang gizi, cara memproduksi makanan, cara pemberian makanan tambahan dan penyuluhan gizi diselenggarakan untuk mencapai tujuan tersebut. Pemberian makanan tambahan berupa kue/makanan kecil dan sup sayuran dengan metode self-help supplementary feeding, yaitu pemberian makanan tambahan swadaya. Pemberian makanan tambahan dilakukan 2 sampai 3 kali dalam seminggu, dan siswa membayar sebesar US $ 0,02 untuk setiap kali makan. Hasil pemberian makanan menunjukkan bahwa berat badan dan kondisi fisik anak-anak meningkat, lebih responsif dan aktif bermain di dalam kelas. Angka ketidakhadiran di sekolah juga berkurang (Florencio 2001;Muhilal 1998).

Pada tahun 1979 CARE (Cooperatives for American Relief Everywhere)

memberikan makanan tambahan kepada 3,6 juta anak sekolah di Pilipina. CARE

menyediakan roti (pan de sal) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi dengan kedelai. Satu buah roti mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gr protein. Sup sayuran sebagai tambahannya mengandung 50 kilokalori, dan dipersiapkan di dapur sekolah serta bahan-bahannya berasal dari kebun sekolah, atau bahan makanan lokal, sehingga total energi yang dikonsumsi anak 300 kilokalori. CARE menyediakan dana untuk roti, sedangkan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Pilipina menyediakan dana untuk transportasi, alat, tempat, tenaga dan dana operasional. Roti dipersiapkan dan dimasak oleh pabrik roti lokal yang dikontrak oleh sekolah. Roti diberikan gratis jika siswa tidak dapat membayar

sebesar US $ 0,014. Total biaya yang dikeluarkan oleh CARE pada tahun 1979-

1980 adalah sebesar US $ 280.259,17. Hasil pemberian makanan tambahan menyebutkan bahwa 35,6% anak kurang gizi pada awal program, menurun menjadi 29,1% di akhir program. Sekolah dengan persentase tertinggi anak gizi kurang menunjukkan peningkatan tertinggi dalam perbaikan status gizi siswa (Florencio 2001;Muhilal 1998).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pilipina dan The Catholic Relief Services (CRS) melaksanakan Targetted School Feeding Program (TSFP) yaitu memberikan makanan tambahan kepada siswa TK dan SD yang berat badannya kurang serta untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan siswa. Pada tahun ajaran 1980/1981, sebanyak 200.000 siswa yang kurang berat badannya ikut dalam program pemberian makanan tambahan tersebut. Pemberian makanan tambahan berupa pan de sal (roti) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi dengan kedelai, mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gram protein. Sekolah mengolah sup dan jus buah-buahan yang mengandung 50 kilokalori, sehingga total energi makanan tambahan adalah 300 kilokalori/hari. CRS memesan kepada pabrik roti untuk membuat dan mendistribusikan roti ke sekolah-sekolah yang terlibat dalam program. Siswa membayar US $ 0,02 per roti, dan anak-anak dengan status gizi kurang diberi roti pan de sal gratis (Florencio 2001;Muhilal 1998).

The World Food Program-Assisted Elementary School Feeding di Mindanao (WFP-ESFP) pada tahun 1979-1981 menyelenggarakan pemberian makanan tambahan kepada 1 juta siswa (kelas 1 sampai 6) di 2.856 SD. Sekolah-sekolah dalam program tersebut sebagian besar berada di daerah terbelakang. WFP menyediakan 2 macam makanan yaitu tepung yang difortifikasi dengan kedelai dan susu jagung-kedelai. Seperti halnya program yang dilaksanakan CARE dan CRS, makanan diberikan dalam bentuk roti pan de sal yang mempunyai kandungan energi 380 kilokalori, 15 gram protein, 6 gram lemak dan 882 IU vitamin A dalam satu pasang roti. Makanan diberikan setiap hari kepada 500.000 siswa. Untuk meningkatkan nilai gizi roti, diberikan jus buah- buahan atau sup sayur 2 kali dalam satu minggu. Siswa membayar US $ 0,0135 sampai US $ 0,04 yang ikut dalam program tersebut. Dana ini dipergunakan

untuk membeli bahan pangan lokal dan biaya untuk pengolahan makanan. Susu jagung-kedelai ditambahkan kedalam bubur, sup atau kue-kue kecil. Sayuran dari kebun sekolah atau rumah, dan makanan lokal dimasak menggunakan susu jagung-kedelai, sehingga makanan tersebut mengandung 370 kilokalori, 13 gram protein, 6 gram lemak dan 1.700 IU vitamin A. Makanan diberikan sebanyak 2 sampai 3 kali perhari karena siswa tidak dapat mengonsumsi sekaligus. Roti dibuat di pabrik roti, sedangkan susu jagung-kedelai dibuat di sekolah. Makanan ini diberikan selama 5 hari dalam seminggu pada tahun pertama, selama 4 hari dalam seminggu pada tahun kedua, dan selama 3 hari dalam seminggu pada tahun ketiga. Selama 3 tahun proyek ini diselenggarakan, WFP mengeluarkan dana sebesar US $ 16,2 juta (Florencio 2001;Muhilal 1998).

Pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap tingkat kesehatan dan status gizi dapat dilihat dengan membandingkan berat dan tinggi badan pada awal dan akhir periode pemberian makanan tambahan tersebut. Setelah satu tahun, WFP dan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan mengamati adanya peningkatan terhadap jumlah kehadiran siswa di kelas, menurunnya angka siswa putus sekolah, dan meningkatnya jumlah siswa yang berstatus gizi normal. Partisipasi dari ibu-ibu yang anaknya terlibat dalam penelitian cukup baik. Ibu-ibu PKK dalam program ini menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan

penting bagi kesehatan anak-anak mereka (Muhilal 1998). Model

penyelenggaraan yang dilaksanakan di Pilipina adalah model penyiapan makanan dilakukan di dapur sekolah dan di luar sekolah. Hal ini berarti bahan pangan lokal untuk pembuatan sup dan jus dilakukan di sekolah, dan roti diserahkan ke pabrik roti. Tenaga yang dipergunakan untuk membuat sup dan jus merupakan tenaga sekolah.

Indonesia

Di Indonesia perbaikan gizi anak usia sekolah tertuang dalam pasal 11 Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Dalam UU ini tercantum bahwa upaya kesehatan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, salah satunya adalah perbaikan gizi. Dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, pemerintah sebenarnya telah menetapkan program, sebagaimana dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Sosial dan Budaya. Salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini adalah melaksanakan perbaikan gizi institusi, seperti di sekolah, rumah sakit, perusahaan, panti asuhan, dan lain-lain, akan tetapi program perbaikan gizi di

sekolah belum dapat dilaksanakan semestinya (Sinaga 2009). Dalam UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 79 ayat 1 tercantum bahwa, kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas, dan ayat 2 menyatakan bahwa, kesehatan sekolah diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.

Indonesia pada hakekatnya telah melaksanakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang dilakukan sebagai pilot tested di beberapa provinsi awal tahun 1990 dan dikenal sebagai kebijakan nasional, dan disetujui oleh presiden, tahun 1996. Pada tahun 1996/1997 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) di wilayah luar Jawa-Bali. Selanjutnya tahun 1997/1998, program tersebut diperluas ke provinsi di wilayah Jawa-Bali. Tujuan PMT-AS adalah mengurangi angka ketidakhadiran murid di sekolah, menghilangkan kelaparan dalam jangka pendek, meningkatkan asupan energi, pendidikan gizi dan kesehatan bagi anak sekolah, dan mengurangi penyakit kecacingan melalui pemberian obat cacing 2 kali setahun. Pada tahun 1997/98 pengeluaran pemerintah Indonesia untuk PMT-AS lebih dari US$ 100 juta (Studdert & Soekirman 1998).

Secara umum, program ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak-anak sekolah dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Persyaratan makanan yang diberikan kepada anak-anak sekolah adalah: 1) makanan berwujud sebagai makanan kecil, bukan makanan lengkap, 2) makanan menggunakan bahan pangan lokal, dan 3) makanan sebagai makanan kecil yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penyiapan pembuatan PMT-AS, program ini melibatkan masyarakat, guru sekolah, dan tenaga gizi dari pusat kesehatan masyarakat (KEMENDAGRI 2010).

Program ini mencakup anak-anak di sekolah dasar yang berumur 6-12 tahun, baik di kota maupun di desa. Program ini juga menyediakan tablet deworming diberikan dua kali satu tahun. Makanan kecil pada awalnya direncanakan untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak minimal selama 108 hari dalam satu tahun, tetapi karena keterbatasan anggaran, diberlakukan hanya selama 90 hari dalam satu tahun. Makanan kecil ini sebagai pemberian makanan

tambahan di sekolah berupa makanan tradisional yang bertujuan dapat memperpendek waktu penyiapan dalam pengolahannya. Biaya yang disediakan untuk program ini sebesar 10-15 sen US$ per anak. Makanan ini merupakan makanan lokal yang diproduksi dengan kandungan 300 kilokalori dan 5 gram protein.

Tujuan lain dari program ini adalah untuk menghindari makanan industri yang menghasilkan makanan kecil, karena sasaran lain juga untuk meningkatkan produksi makanan lokal. Bahan pembuat makanan kecil yang digunakan adalah kaya karbohidrat, seperti akar umbi-umbian (singkong, ubi manis, keladi, dan lain-lain), serealia (beras, jagung, dan lain-lain), buah-buahan (pisang, dan lain- lain) serta sayur-sayuran. Makanan ini juga bukan sebagai makanan pengganti dalam makanan keluarga, karena tujuan pemberian makanan sekolah ini adalah sebagai tambahan terhadap makanan sehari-hari yang dikonsumsi (Studdert & Soekirman 1998).

PMT-AS juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan fisik anak misalnya dengan menurunnya angka ketidakhadiran karena sakit, meningkatnya kegairahan di kelas, menurunnya angka murid yang pingsan ketika upacara bendera, dan dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan status gizi (di Manado dari 8,42% status gizi kurang pada tahun 1996 menjadi 5,06% pada tahun 1997), absensi dan putus sekolah menurun (kasus di kecamatan Cibal Nusa Tenggara Timur, absensi turun dari 18% Tahun Ajaran 95/96 menjadi 12% Tahun Ajaran 96/97), dan meningkatnya prestasi murid, contoh di kecamatan Muarabulian Jambi yang mengungkapkan adanya peningkatan rata-rata nilai Matematika, IPA dan IPS (Riyadi 2006).

Pada tahun 2000, pemberian makanan mencakup 9,8 juta anak-anak sekolah di Indonesia, tetapi sejak 2001, hanya 30% distrik/daerah yang melakukan program ini. Hal tersebut karena keterbatasan anggaran ekonomi sehingga masyarakat tidak bisa melanjutkan program. Program pemberian

makanan sekolah dari NGO Amerika bekerjasama dengan Departemen

Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyediakan susu untuk Program Kesehatan Sekolah (Program Susu UKS). Pada tahun 2003 susu dan/atau biskuit dibagikan kepada 580,000 anak sekolah, tiga kali dalam satu minggu yang mencakup sekitar 2,900 sekolah dasar (SD negeri dan Islam) di 70 daerah di sembilan provinsi (Judhiastuty 2005). Model yang dipergunakan dalam

program tersebut adalah penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, melibatkan faktor swasta, yaitu pabrik makanan.

Pada tahun 2010 sebanyak 1.385.000 siswa Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar serta Raudlatul Atfal dan Madrasah Ibtidaiyah di 27 kabupaten dan kota di 27 provinsi yang termasuk daerah tertinggal menerima makanan tambahan berupa kudapan. Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010, Kementerian Pendidikan Nasional mendapatkan sebesar Rp 218 miliar dan Kementerian Agama sebanyak Rp 32 miliar. Setiap peserta didik pada setiap kali makan akan mendapatkan kudapan dengan kandungan energi berkisar 300 kilokalori dan 5 gram protein. Biaya per orang program ini (biaya pembelian bahan pangan, ongkos masak dan biaya operasinal lainnya) untuk kawasan Indonesia Barat sebesar Rp 2.250,- dan untuk Kawasan Indonesia Timur sebesar Rp 2.600. Program ini merupakan upaya bersama berbagai kementerian/lembaga. Penetapan sasaran kabupaten berdasarkan pada kriteria kabupaten tertinggal, persentase penduduk miskin yang tinggi, dan prevalensi gizi penduduk (KEMENDAGRI 2010).

Menu kudapan ditentukan oleh ibu-ibu PKK yang melaksanakan pengolahan bahan pangan sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan dari pemerintahan pusat. Bahan kudapan dianjurkan berasal dari lokasi setempat. Ibu PKK dapat juga mempergunakan buku pedoman pembuatan kudapan dari berbagai provinsi yang disediakan oleh tim pusat PMT-AS (KEMENDAGRI 2010). Pada tahun 2011, PMT-AS dilakukan dengan biaya per orang di kawasan Indonesia Barat ditingkatkan menjadi Rp 2.500 (KEMENDIKNAS 2011).

Model penyelenggaraan PMT-AS di Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1996 sampai pada tahun 2011 adalah model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan bahan pangan lokal, melibatkan partisipasi masyarakat khususnya ibu PKK. Dapur yang dipergunakan merupakan dapur yang disediakan oleh Tim PKK. Ibu PKK membeli langsung bahan pangan di pasar