Hasil tinjauan pustaka yang dilakukan, didapatkan bahwa ada 6 model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan. Model penyiapan makanan yang dilakukan di sekolah yang berasal dari sumbangan/bantuan berupa bahan pangan, umumnya diolah sebagai makanan lengkap, tetapi ada juga beberapa sekolah yang memasaknya sebagai makanan selingan atau berupa kue. Hal ini tergantung dari jenis bahan sumbangan yang diperoleh, dan peralatan yang tersedia, serta tenaga yang dapat mengolah jenis makanan (lengkap atau selingan) yang telah dimiliki oleh dapur sekolah.
Bahan pangan sumbangan dapat berasal dari satu negara atau organisasi internasional seperti World Food Program (WFP). Bahan pangan yang diberikan sebagai sumbangan akan diolah di dapur sekolah sehingga menjadi makanan yang siap disajikan kepada siswa. Kelemahan model ini adalah fasilitas dapur yang ada termasuk peralatan yang tersedia, dan tenaga penjamah makanan yang ada belum tentu mendukung pengolahan makanan yang akan dilaksanakan. Sumbangan yang diberikan oleh WFP umumnya berupa biskuit yang siap dikonsumsi oleh siswa, bukan berupa bahan pangan (UNESCO 2004). Di beberapa negara ada yang mendapatkan sumbangan berupa bahan pangan untuk diolah di dapur sekolah. Hal ini dimungkinkan karena sekolah sudah mempunyai fasilitas dapur. Pengalaman di negara Jamaika dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan bantuan komoditas pangan dari Amerika Serikat, diolah di dapur terpusat yang didirikan di daerah-daerah perusahaan. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang membangun dapur sekolah dan diperuntukkan untuk memasak makan siang bagi siswa yang berada di sekitar perusahaan. Bahan pangan yang diterima oleh Jamaika, yaitu dari Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional Kanada (CIDA). EEC memberikan bantuan berupa minyak, mentega, susu bubuk, dan tepung jagung, dan dari USA berupa tepung terigu, tepung jagung, bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), serta dari CIDA berupa bubuk susu skim.
Tenaga partisipasi masyarakat dapat berasal dari Komite Sekolah, atau masyarakat di sekitar sekolah, atau ibu PKK. Tenaga ini dapat bersifat sukarela atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Tenaga ini umumnya bekerja part-time, sedangkan tenaga yang bekerja di dapur sekolah adalah full-
time. Model ini dapat mempersiapkan dan memasak bahan pangan di sebuah dapur atau beberapa dapur yang berada diluar gedung sekolah. Dapur yang dipergunakan merupakan dapur masyarakat yang bersedia untuk dipergunakan sebagai pengolahan makanan anak sekolah (PCD 2010).
Model kupon bawa pulang atau tunai bawa pulang atau bahan pangan bawa pulang dalam jumlah tertentu. Pada model ini makanan tidak dikonsumsi di sekolah, tetapi dibawa pulang ke rumah masing-masing siswa. Dalam hal ini siswa mendapatkan bahan pangan dalam jumlah tertentu atau mendapatkan kupon atau uang tunai yang dapat dipergunakan untuk membeli makanan (UNESCO 2004; Gelli 2010). Negara yang pernah menerapkan model ini adalah Banglades, Laos, Nigeria (PCD 2010).
Menurut Perdigon (1989) untuk melayani 1.350 siswa yang tinggal di asrama (boarding school) di Pilipina, jenis menu ditetapkan (fixed menu), jenis pelayanan cafetaria self-service membutuhkan: satu ahli gizi, satu pengawas, satu tenaga penerima bahan makanan, tiga tukang masak, dua pembantu tukang masak, empat pelayan, lima pencuci alat saji, dan empat petugas kebersihan.
Model penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam perancangan ini merupakan model sarapan bersama di sekolah. Sarapan dipilih karena umumnya siswa yang berasal dari keluarga miskin mengonsumsi sarapan kurang dari standar yang telah ditentukan dan juga dipilih karena siswa hanya berada di sekolah sampai pukul 13.00. Sarapan yang dipilih dengan menyediakan menu sepinggan karena penyiapan dan pemasakannya lebih mudah, waktunya lebih cepat, penyajiannya lebih sederhana (dapat memakai satu alat saji) serta pencucian alat saji lebih praktis.
Pada saat efikasi model, siswa diberikan menu sepinggan yang bahan pangannya bersumber Fe seperti telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Daging dan ikan merupakan sumber makanan yang mengandung tinggi besi heme, tetapi dalam efikasi model ini tidak diberikan karena harganya mahal. Tempe dan tahu termasuk kedalam sumber besi non-heme (nabati) karena terbuat dari kedele dan harganya lebih murah.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dilakukan dengan baik, yaitu dengan menyediakan makanan lengkap, aman dan membiasakan siswa untuk disiplin menghabiskan makanan yang disajikan. Oleh karena itu, dengan adanya pemberian sarapan menu sepinggan di sekolah dapat memberikan efek yang positif terhadap
konsumsi energi dan protein siswa. Peningkatan konsumsi ini dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh faktor psikologi anak. Anak-anak sekolah cenderung lebih suka makan bersama teman-teman sebayanya, dibandingkan dengan makan sendirian di rumahnya.
Sekolah dapat melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi kekuatan dan mengetahui kelemahan yang ada, serta untuk mengetahui ancaman dari dalam dan dari luar, dan untuk mengetahui peluang yang ada bagi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dari hasil analisis ini sekolah dapat melakukan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala, kelemahan, dan ancaman yang timbul sehingga sekolah mampu menjalankan penyelenggaraan pendidikan secara baik dan profesional menurut kemampuan dan kondisi masingmasing (DEPDIKNAS 2007).
Analisis SWOT dipergunakan untuk memetakan faktor-faktor internal (kelemahan dan kekurangan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Dari diagram SWOT maka dibuat strategi-strategi untuk penguatan dan pengembangan peyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan.
Dari strategi jangka pendek dan menengah diperoleh langkah penguatan yang mudah dan dapat segera diterapkan. Langkah tersebut menyangkut sosialisasi, partisipasi, koordinasi, percontohan dan monitoring serta evaluasi yang dapat dilakukan dilingkungan yang terbatas.
Pada strategi jangka panjang dibutuhkan intervensi pemerintah dan hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Langkah dalam strategi jangka panjang meliputi masalah legalitas sebagai payung hukum program penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan, koordinasi yang terintegrasi antar departemen, sampai subsidi untuk penyediaan dana sehingga dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) program.
Dari diagram SWOT dapat juga ditunjukkan dampak positif lainnya dari penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan ini. Disamping Visi, Misi dan Tujuan utama program ini, juga diperoleh pendidikan etika sosial, pendidikan gizi, kebersamaan dan kepedulian sosial, dan lain-lain.