• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Perencanaan Menu

Istilah “menu” berasal dari bahasa Perancis yang artinya daftar makanan yang dihubungkan dengan kartu, kertas, atau media lain dimana daftar makanan itu tertulis (Khan 1989). Menu itu sendiri “rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan atau dihidangkan untuk seseorang atau kelompok orang untuk setiap kali makan, yaitu dapat berupa susunan hidangan pagi, hidangan siang, ataupun hidangan malam” (Mukri dkk 1990).

Menu yang terencana baik dalam penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat menjadi suatu alat penyuluhan gizi yang baik untuk siswa, karena melalui menu tersebut dapat diajarkan pola makan yang baik. Pola makan yang baik, secara tidak langsung dapat berperan sebagai alat penyuluhan gizi yang

baik bagi siswa. Perencanaan menu merupakan rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan anak sekolah, karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya seperti anggaran belanja. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang tersedia dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan variasi bahan pangan (Mukri dkk 1990). Perencanaan menu merupakan salah satu tugas yang paling penting dalam sistem penyelenggaraan makanan anak sekolah (Khan 1989). Sistem penyelenggaraan makanan terdiri atas beberapa sub-sistem. Sub-sistem ”menu” merupakan unsur paling utama dalam kegiatan sistem penyelenggaraan makanan anak sekolah (Gambar 3).

Gambar 3 Hubungan sistem dan subsistem dalam penyelenggaraan

makanan (Sullivan 1989)

Dalam perencanaan menu anak sekolah, beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar tujuan penyelenggaraan makanan anak sekolah tercapai adalah jumlah dan keahlian tenaga penjamah makanan, dana yang dibutuhkan, peralatan yang dipergunakan, cara pembelian bahan pangan, cara memproduksi makanan dan jenis pelayanan yang akan diberikan kepada anak sekolah.

Gambar 4 menunjukkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1) faktor siswa, yang terdiri dari kecukupan gizi siswa, kebiasaan makan & kesukaan siswa terhadap makanan,

SUPRA SISTEM

SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN

MENU BIAYA TENAGA PENJAMAH MAKANAN PENYAJIAN MAKANAN PENGOLAHAN BAHAN PANGAN PEMBELIAN BAHAN PANGAN ALAT

karakteristik makanan & sifat rangsangannya, macam & jumlah siswa yang dilayani, dan 2) faktor manajemen, yang terdiri dari sasaran & tujuan penyelenggaraan makanan anak sekolah, dana yang tersedia, keahlian & jumlah tenaga penjamah makanan, sarana & prasarana, musim/iklim dan keadaan pasar, macam dan peraturan sekolah, serta metode produksi & sistem pelayanan (Sinaga 2007; Mukri dkk 1990; Khan 1989).

Skala Hedonik Wajah (Lampiran )

Gambar 4 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan

menu anak sekolah (Sinaga 2007)

Hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam menyusun menu adalah kecukupan gizi anak sekolah. Menu yang dibuat harus sesuai dengan angka kecukupan gizi berdasarkan pertimbangan umur & jenis kelamin. Untuk sarapan sebaiknya diberikan 20-25% dari kecukupan siswa dan makan siang diberikan 30% dari kecukupan siswa/hari. Menu yang direncanakan sebaiknya disesuaikan dengan kebiasaan makan siswa. Kebiasaan makan siswa ditentukan oleh faktor kejiwaan, faktor sosial-budaya, agama, kepercayaan, latar belakang pendidikan, pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari tempat asal dan demografi (Khan 1989).

Menurut Khan 1989, makanan kesukaan adalah pilihan makanan dari sekian banyak makanan yang dihidangkan kepada siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesukaan siswa terhadap makanan adalah: 1) faktor intrinsik, yaitu yang berasal dari penampilan makanan seperti warna, aroma, tekstur, rasa, kualitas dan suhu makanan. Siswa cenderung tertarik pada penyajian makanan yang menarik, dan warna yang serasi serta rasa yang enak; 2) faktor ekstrinsik, meliputi lingkungan, situasi, promosi, musim dan suhu lingkungan; 3) faktor

MENU SISWA

MANAJEMEN

SDM

SARANA & PRASARANA

MACAM & PERATURAN SEKOLAH TIPE PRODUKSI & SISTEM PELAYANAN MAKANAN

DANA PASAR & MUSIM

SASARAN DAN TUJUAN

JUMLAH SISWA KECUKUPAN GIZI SISWA

KEBIASAAN MAKAN & KESUKAAN SISWA TERHADAP MAKANAN

KARAKTERISTIK MAKANAN & SIFAT RANGSANGANNYA

Biologi, Fisiologi, dan Psikologi. Jika terjadi gangguan pada fungsi biologi, fisiologi dan psikologi ini, maka kesukaan siswa terhadap makanan akan berubah karena perubahan penilaian, persepsi, dan nafsu makan. Usia dan jenis kelamin juga merupakan faktor biologis yang berpengaruh terhadap kesukaan anak terhadap makanan. Contoh, anak sekolah cenderung senang makan yang mengandung gula-gula seperti permen atau coklat. Faktor ke 4) adalah faktor personal, yang berasal dari siswa itu sendiri, seperti tingkat keinginan dan prioritas; 5) pengaruh dari orang lain, selera, suasana hati, emosi, keluarga; 6) faktor Sosial Ekonomi. Faktor ini sangat berpengaruh sekali terhadap pemilihan makanan. Jika penghasilan orangtua minim, siswa akan cenderung mengurangi pengeluaran untuk makanan & minuman, sedangkan bagi siswa yang orang tuanya berpenghasilan tinggi, dapat memilih berbagai macam makanan; 7) faktor budaya & agama. Dalam ajaran agama, terdapat larangan pada setiap umatnya untuk menjauhi beberapa makanan yang dianggap haram dan mutlak tidak boleh dikonsumsi. Faktor agama & budaya sangat mempengaruhi kesukaan terhadap makanan, seperti, muslim dilarang mengonsumsi daging babi dan hasil produknya (Khan 1989).

Faktor-faktor tersebut diatas merupakan faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Kesukaan siswa terhadap makanan yang sifatnya lebih kompleks dapat diketahui dengan melakukan survey pertanyaan atau dengan pengamatan sisa makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Kesukaan siswa terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat suka atau ketidaksukaan terhadap makanan dan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Rasa kesukaan terhadap makanan terbentuk dari keinginan makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan kesukaan pada masa anak-anak. Suatu makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung dari pengaruh sosial, budaya, dan sifat fisik makanannya (Suhardjo 1986).

Menurut Gregoire & Spears (2007) untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap makanan, umumnya menggunakan skala hedonik yaitu makanan yang dinilai oleh seseorang memiliki tingkatan “sangat suka” sampai “sangat tidak suka”. Pengukuran tingkat kesukaan makanan untuk anak-anak umumnya menggunakan skala hedonik wajah atau yang biasa disebut dengan skala wajah tersenyum (smiley face). Gambar 5 menunjukkan contoh skala hedonik wajah untuk mengukur tingkat kesukaan anak-anak terhadap menu yang disajikan. Penggunaan metode hedonik wajah lebih mudah digunakan untuk anak-anak

sekolah dibandingkan dengan metode tulisan atau angka karena kedua metode tersebut membutuhkan komunikasi dan pemahaman yang baik, kecerdasan, atau kemampuan untuk berkomunikasi dalam bahasa.

Jenis Makanan Wajah anak

1. Makanan 1

Sangat Suka Suka Biasa-biasa Tidak Suka Sangat Tidak Suka

2. Makanan 2

Sangat Suka Suka Biasa-biasa Tidak Suka Sangat Tidak Suka

Gambar 5 Skala Wajah untuk mengukur tingkat kesukaan pada anak sekolah

(Gregoire & Spears 2007)

Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat dari jumlah makanan yang habis dikonsumsinya. Sisa makanan atau jumlah makanan yang tersisa (plate waste) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur daya terima makanan. Sisa makanan dapat digunakan dengan menimbang berat makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Pengamatan sisa makanan di alat saji merupakan salah satu cara memperkirakan makanan yang tidak dapat dihabiskan oleh siswa (Gregoire & Spears 2007). Cara mengukur sisa makanan lainnya adalah dengan cara mengisi konsumsi yang dihabiskan (self-reported consumption). Cara ini dapat dilakukan dengan memperkirakan atau mengestimasi jumlah sisa makanan yang terlihat di alat saji dengan menggunakan skala. Cara ini dikenal dengan metode Comstock yang sering dipergunakan pada program makan siang siswa di sekolah (Gregoire & Spears 2007). Comstock membagi skala dalam 6 kategori yaitu: dimakan habis, dimakan

3/4 bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi dan tidak dimakan (Gambar 6).

Jenis Makanan Saya tidak makan Saya hanya cicipi Saya makan ¼ bgn Saya makan ½ bgn Saya makan ¾ bgn Saya makan habis 1. Makanan 1 2. Makanan 2

Gambar 6 Skala Comstock untuk mengukur sisa makanan siswa (Gregoire &

Spears 2007)

Karakteristik makanan dan sifat rangsangannya meliputi aspek-aspek: 1) warna, kombinasi yang menarik dan saling berkaitan dapat membantu penerimaan terhadap makanan dan secara tidak langsung dapat menambah nafsu makan siswa. Betapapun lezatnya makanan apabila warna penyajian tidak menarik dapat mengakibatkan siswa enggan untuk mencoba memakannya. Hindarilah makanan dengan warna yang sama, karena akan mengurangi keindahan menu yang disajikan. Biasanya orang menghias menu dengan tambahan garnish, seperti: peterselli, cheri, tomat atau dengan daun slada; 2) bentuk makanan, dianjurkan untuk tidak dibuat dengan banyak variasi bentuk, karena dapat menimbulkan ketidakserasian dan dapat mengurangi keindahan menu. Bentuk makanan yang disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: sesuai bentuk asli bahan pangan, memotong bahan pangan dengan teknik tertentu, bentuk sajian khusus seperti nasi tumpeng; 3) aroma

makanan mampu merangsang indera penciuman sehingga dapat

membangkitkan selera makan siswa. Aroma sate bakar di pinggir jalan membuat orang yang sedang lewat ingin segera mampir untuk mencicipinya; 4) konsistensi makanan, yaitu padat atau kentalnya makanan dapat memberikan rangsangan

lebih lambat terhadap manusia. Oleh karena itu, menu yang berkonsistensi padat sebaiknya dicampur dengan yang lunak, seperti lontong sayur dengan kerupuk; 5) rasa makanan dapat berupa asin, asam, pahit, dan manis. Rasa ini dapat dipadukan satu dengan yang lainnya dengan perbandingan yang sesuai dan pas, agar tidak terjadi rasa yang tidak enak dalam masakan; 6) metode penyiapan, perlu diperhatikan, seperti pada anak sekolah sebaiknya potongan bahan pangan lebih kecil dari pada orang dewasa; 7) penyesuaian suhu, pada suhu udara yang dingin biasanya anak lebih suka menu yang dapat menghangatkan tubuh yaitu makanan panas. Pada suhu yang panas lebih disukai makanan dingin, seperti es campur; 8) penyajian, merupakan aspek yang sangat menentukan karena penyajian makanan adalah hal pertama yang dapat mempengaruhi indera penglihatan siswa, maka diperlukan penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Khan 1989).

Bila konsumen yang akan dilayani homogen seperti anak sekolah, menyusun menu dapat lebih sederhana. Dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, umumnya yang dilayani adalah para siswa, tetapi beberapa sekolah juga melayani para guru dan pegawainya. Tujuan utama penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah melayani makanan siswa selama berada di sekolah, dan umumnya bersifat pelayanan (service-oriented) bukan mencari

keuntungan (profit-oriented). Penyelenggaraan makanan anak sekolah

memberikan pelayanan yang sesuai dengan kecukupan gizi siswa dan harganya terjangkau sesuai kemampuan siswa. Menu yang disusun harus sesuai dengan dana yang ditetapkan. Makanan yang baik dan bergizi untuk anak sekolah bukan berarti makanan yang harus mahal, oleh karena itu makanan anak sekolah yang disusun hendaknya beragam dengan harga terjangkau (Sinaga 2007).

Dalam perencanaan menu dibutuhkan tenaga yang berkualitas dan memiliki keahlian khusus mulai dari pembelian bahan pangan, penyiapan bahan pangan, pemasakan bahan pangan sampai penyajian makanan. Sebaiknya penyelenggara makanan anak sekolah memiliki tenaga penjamah makanan yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitasnya (Mukri dkk 1990). Ketersediaan peralatan di dapur dapat menentukan jenis menu yang disusun baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Perencanaan menu yang baik & efisien membutuhkan keseimbangan hubungan antara bahan pangan, peralatan, dan tenaga penjamah makanan. Menu yang direncanakan harus dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat dan perlengkapan dapur yang tersedia. Jika alat dan

perlengkapan yang tersedia baik dan modern tentu menu yang dibuat dapat lebih bervariasi (Khan 1989).

Iklim dapat mempengaruhi selera dan kebutuhan tubuh siswa. Pada musim hujan, udara menjadi sejuk, siswa membutuhkan makanan yang sedikit lebih banyak dari biasanya dan makanan yang diinginkan adalah makanan panas. Iklim juga mempengaruhi musim terutama untuk buah-buahan dan sayuran yang sifatnya musiman. Ada beberapa buah yang selalu ada sepanjang hari dalam setahun seperti pisang, pepaya, dan nenas. Jika menyusun menu sesuai dengan keadaan pasar/musim akan lebih menguntungkan karena harganya relatif lebih murah (Mukri 1990). Peraturan sekolah yang menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk pengadaan makanan anak sekolah dan siapa yang harus diberi makan (murid, guru dan pegawai). Berapa besar biaya makanan (pembelian bahan pangan, biaya tenaga kerja, dan biaya bahan bakar) yang disediakan untuk penyelenggaraan makanan anak sekolah juga harus ditetapkan dalam peraturan sekolah (Sinaga 2007). Tipe produksi makanan anak sekolah memiliki dampak yang besar terhadap jenis menu dan waktu yang diperlukan untuk produksi dan penyajian makanan.

Sistem atau macam pelayanan yang diberikan kepada siswa dapat berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kemampuan tenaga penjamah makanan berdasarkan efisiensi dan efektivitas penyelenggara makanan anak sekolah. Macam pelayanan yang diberikan akan mempengaruhi susunan peralatan dan tata alur penyajian makanan siswa. Dengan demikian perlu diperhitungkan jadwal waktu pengolahan dan pelayanan makanan. Beberapa macam pelayanan makanan yang dikenal di penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: pelayanan cara cafetaria, prasmanan, dengan mesin makanan otomatis, dan lain-lain.

Pembelian Bahan Pangan

Pembelian bahan pangan merupakan serangkaian proses penyediaan bahan pangan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar tersedia bahan pangan dengan jumlah dan macam serta kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan pangan yang tepat dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana yang tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik dan kualitas bahan pangan yang dibeli. Cara pembelian bahan pangan untuk makanan anak

sekolah dapat dilakukan langsung ke pasar atau melalui pelelangan (Palacio & Theis 2009).

Pembelian langsung ke pasar biasanya dilaksanakan oleh sekolah yang jumlah siswanya sedikit. Di negara-negara maju, pada umumnya pembelian bahan pangan dikelola sendiri oleh penyelenggara makanan anak sekolah. Sistem ini dianggap efisien dan ekonomis dan menghemat waktu pengawasan. Penyelenggara makanan anak sekolah langsung mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dilaksanakannya mulai dari perencanaan menu, hingga tersedianya makanan siswa yang memenuhi standar. Penyelenggara makanan anak sekolah jelas lebih menekuni bidangnya, menguasai keadaan pasar dan sumber bahan pangan yang baik dan segar, matang ataupun setengah matang, serta mampu menilai kualitas bahan pangan dengan tepat (Sinaga 2007).

Penerimaan Bahan Pangan

Penerimaan bahan pangan merupakan kelanjutan dari proses pembelian bahan pangan. Penerimaan bahan pangan adalah kegiatan meneliti, memeriksa, mencatat dan melaporkan bahan pangan yang diperiksa sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan (Mukrie dkk 1990). Dalam penerimaan diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan dan batas waktu kadaluarsa (Moehyi 1992). Jika penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam skala kecil, tidak perlu ada penerimaan bahan pangan, karena petugas pembeli langsung belanja ke pasar dan membawa bahan ke tempat penyiapan untuk diproses (Sinaga 2007).

Penyimpanan dan Pengeluaran Bahan Pangan

Penyimpanan dan pengeluaran bahan pangan adalah proses kegiatan yang menyangkut penyimpanan dan penyaluran bahan pangan sesuai dengan permintaan untuk kegiatan penyiapan bahan pangan. Fungsi penyimpanan berbeda antara sekolah besar dan kecil. Bagi sekolah besar, penyimpanan dapat bertindak sebagai stok bahan pangan dan sistem penyimpanannya dipusatkan. Dalam sekolah kecil biasanya penyimpanan bahan pangan dilakukan hanya sementara karena fasilitas yang terbatas. Pembelian bahan pangan hari ini diperhitungkan untuk dihabiskan hari itu juga. Penyimpanan bahan pangan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah dilakukan jika ada fasilitas yang cukup. Tujuan penyimpanan bahan pangan adalah: 1) memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan pangan yang disimpan, 2) melindungi

bahan pangan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan dan gangguan lingkungan lainnya, 3) melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan mutu dan waktu yang tepat, 4) menyediakan stok bahan pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai (Palacio & Theis 2009).

Penyiapan Bahan Pangan

Penyiapan bahan pangan bertujuan untuk mempersiapkan racikan yang tepat dari berbagai macam bahan pangan untuk berbagai masakan dalam jumlah yang sesuai dengan standar porsi, dan jumlah siswa serta mempersiapkan berbagai bumbu masakan sesuai standar resep (Mukri dkk 1990). Ditjen Pelayanan Kesehatan (1981) menetapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penyiapan makanan anak sekolah yaitu: 1) penyiapan bahan pangan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik penyiapan bahan pangan dalam standar resep; 2) penyiapan bahan pangan memperhitungkan waktu dan menu yang diproduksi; 3) peralatan, bahan pangan, dan bumbu-bumbu disesuaikan dengan menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga memudahkan dalam melakukan pekerjaan; 4) pergunakan alat sesuai dengan menu yang dimasak; 5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien; 6) pergunakan peralatan dengan baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja; 7) perhatikan urutan langkah-langkah kerja sesuai dengan metode teknik penyiapan; 8) meja kerja, perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan disusun kembali setelah digunakan. Penyiapan sebaiknya dilakukan dengan baik agar penampilan makanan baik dan nilai gizi bahan pangan tidak berkurang.

Metode Pemasakan Bahan Pangan

Pemasakan bahan pangan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak) bahan pangan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi oleh siswa (Depkes 2003). Tujuan pemasakan bahan pangan pada penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah mempertahankan nilai gizi pangan, meningkatkan nilai cerna bahan pangan, mempertahankan dan menambah cita rasa, menambah aroma, memperindah rupa, warna & tekstur makanan, dan membunuh kuman yang berbahaya atau menghilangkan racun makanan sehingga aman dikonsumsi oleh siswa (Palacio & Theis 2009). Memasak merupakan suatu pengetahuan dan seni yang sudah dikenal sejak zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi selera makan siswa. Makanan yang disajikan di

sekolah harus dapat merangsang kelenjar ludah, mata, lidah dan perasaan sehingga makanan yang diproduksi sedap dipandang dan mempunyai rasa yang lezat. Kesalahan dalam urutan dan pencampuran bumbu akan menghasilkan makanan yang tidak menarik. Untuk dapat menghasilkan makanan yang berkualitas tinggi di sekolah maka diperlukan pengolahan dengan cara yang tepat, proporsi bahan pangan penyusun seimbang, bervariasi, disajikan dengan menarik serta memenuhi standar sanitasi yang tinggi (Ditjen Pelayanan Kesehatan 1981).

Proses pengolahan perlu mendapat perhatian karena kehilangan zat gizi sering terjadi pada saat memasak (Hardinsyah dan Briawan 1994). Dalam pemasakan bahan pangan di sekolah, beberapa peraturan yang harus dilaksanakan adalah menjaga kualitas bumbu, melaksanakan pemasakan yang benar, menetapkan tenggang waktu antara penyiapan dan waktu penyajian, serta memperhatikan kehilangan nilai gizi atau kerusakan akibat pemasakan yang terlalu lama.

Ada empat metode pemasakan bahan pangan yang sering dipergunakan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, yaitu metode konvensional, produksi yang dipusatkan, makanan matang lalu didinginkan dan makanan matang lalu dibekukan (makanan dimasak hari ini dan dikonsumsi hari berikutnya), serta assembly atau serve atau hanya penyajian makanan (Palacio & Theis 2009; Khan 1989). Metode konvensional berarti penyiapan, dan pemasakan bahan pangan dilakukan dalam satu tempat, serta penyajian makanan dilakukan pada hari yang sama. Metode produksi yang dipusatkan, berarti pembelian, penyiapan, pemasakan bahan pangan dalam jumlah besar dan dilakukan di sebuah dapur besar atau disebut juga dapur terpusat. Setelah makanan matang lalu dibagikan ke tempat pelayanan yang membutuhkan yang

lokasinya dekat dengan tempat pemasakan. Metode ready prepared ada 2 jenis

yaitu cook-chill (matang didinginan) dan cook-freeze (matang dibekukan). Pada metode ini, prinsipnya adalah makanan yang dimasak hari ini akan dikonsumsi pada hari berikutnya. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan pada hari yang berbeda dengan penyajian makanan. Metode assembly atau serve berarti tidak melakukan kegiatan pembelian, penyiapan, pemasakan bahan pangan, yang ada hanya kegiatan penyajian makanan. Jadi dalam metode assembly hanya ada tempat penyajian atau ruang makan dan makanan yang sudah matang saja.

Di dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, metode produksi mana yang akan diterapkan sangat bergantung dari fasilitas sekolah, seperti berapa jumlah tenaga penjamah makanan, adakah tempat penyimpanan bahan pangan, adakah tempat penyimpanan makanan matang, dan waktu yang tersedia untuk mengolah bahan pangan (Sinaga 2007). Metode produksi penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan dapur terpusat yang dilaksanakan di India dan Chili dapat berjalan dengan baik di daerah yang padat penduduknya, metode ini mungkin tidak berhasil di daerah yang lebih pedesaan seperti di Mali. Keterlibatan masyarakat dan tenaga sukarelawan untuk mempenyiapan makanan di Mali dapat menjadi metode yang baik di negara pertanian, dan mungkin tidak cocok dilaksanakan di negara industri, karena para keluarga tidak memiliki produk pertanian atau jadwal yang kondusif untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Winch 2009).

Masing-masing negara seperti di Mali, Chili, dan India mempunyai pengalaman yang berbeda dalam tujuan pemberian makanan bagi anak sekolah. Di Mali, tujuan pemberian makanan anak di sekolah adalah memberi anak kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan gizi dasar yang terpenuhi dan dapat menyelesaikan sekolah dasar. Pemberian makanan anak sekolah di Chili bertujuan untuk menjamin kesetaraan dalam pendidikan. Di India pemberian makanan anak sekolah merupakan hak dan kesempatan untuk hidup dan berkembang. Jadi tujuan pemberian makanan anak di sekolah tidak harus selalu sama di setiap negara. Pengalaman masing-masing negara menggambarkan bahwa pemberian makanan anak di sekolah lebih dari sekedar memberi makan siswa, tetapi juga akan membantu mereka memiliki sarana yang diperlukan untuk tumbuh, belajar, dan berkembang (Winch 2009).