• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisa Data

Analisa data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).51

Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah analisis yuridis keabsahan perjanjian sewa menyewa yang ditandatangani oleh pihak yang bukan ahli

51Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal.53.

waris.Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu “cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik ke hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposes-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus”,52 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.

52Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal.109.

BAB II

KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI TANDATANGANI OLEH PIHAK YANG BUKAN AHLI WARIS

A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Buku III tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan aanvulendrecht atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal dalam Buku III boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.53

Kemudian, sistem terbuka yang mengandung suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.54

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam KUH Perdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUH Perdata (innominaat)

53Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta : Intermasa, 2004), hal. 13.

54 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 6.

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUH Perdata yang ada dalam Bab I dan Bab II.55

Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian Tukar-Menukar, dan sebagainya. Perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUH Perdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUH Perdata diundangkan. Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.56

Subekti memberikan definisi perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Ia juga menyebutkan bahwa perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak tersebut itu setuju untuk melakukan sesuatu.57

2. Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang memiliki asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Personalia

55 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73.

56Salim H.S, Op.cit., hal. 1.

57Subekti, Op.cit., hal. 1

Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja.58Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata, Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

b. Asas Konsensualitas

Asas konsesualitas atau asas sepakat adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul atau dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

Asas ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan tanpa menyebutkan harus adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

58Salim H.S., Op.cit., hal. 13.

Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan,59memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh Undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.60

d. Asas Kepercayaan.61

Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari.

e. Asas Kekuatan Mengikat.62

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar Undang-undang.

f. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

59Ibid.

60Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 30.

61Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 87.

62Ibid., hal. 88.

g. Asas Keseimbangan.63

Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya.

h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.64

Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa: “Perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku apabila perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut

63Ibid

64Ibid, hal. 89.

tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya

“cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.65

Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang adalah cakap menurut hukum, kecuali jika oleh Undang-undang tidak cakap.

Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.

c. Suatu hal tertentu;

65Ibid, hal. 73.

Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata. Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.66

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan tentu mempunyai isi.67

Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, yaitu syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat perikatan disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut

66 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 155.

67R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 37.

sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu.68

Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.69

4. Hapusnya Perjanjian

Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu pihak memberi hak pada pihak lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada debitur. Tentunya tidak dengan cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya pemaksaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.

Setelah perjanjian dilaksanakan maka kemudian akan diakhiri. Berakhirnya suatu perjanjian dapat disebabkan karena:70

a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

68Subekti, Op.cit., hal. 17.

69Ibid., hal. 20.

70R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1977), hal, 107.

c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah satu pihak meninggal dunia.

d. Karena putusan hakim.

e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai.

f. Dengan persetujuan para pihak.

Selanjutnya Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:71

a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu perjanjian ini habis.

b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:

1) Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan kewajiban masing-masing sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.

2) Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dan atau menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan yang sah.

Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.

3) Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu peristiwa yang belum atau tentu terjadi.

4) Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUH Perdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitive, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut daluwarsa extinctif.

Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUH Perdata menentukan apabila syarat batal dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.

71Subekti, Aspek-aspek Hukum Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

B. Perjanjian Sewa Menyewa

1. Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.72

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/ menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600). Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah : “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.

Dari defenisi Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu:

a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.

b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada sipenyewa untuk sepenuhnya dinikmati.

c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.

72Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, (Jakarta : Pradya Paramita, 1987), hal. 53.

Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang.

Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula.

Adapun unsur “waktu tertentu” di dalam definisi yang diberikan dalam undang-undang dalam Pasal 1548 tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai sifat mutlaknya atau tidak adanya batas waktu, tetapi ada beberapa pasal lain dalam yang menyinggung tentang waktu sewa : Pasal 1570 KUH Perdata.

“Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.”

Pasal 1571 KUH Perdata.

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Dari dua pasal tersebut, tampak bahwa di dalam perjanjian sewa menyewabatas waktu merupakan hal yang penting, dan meskipun dalam Pasal 1548 tidak secara tegas dicantumkan adanya batas waktu tetapi undang-undang

memerintahkan untuk memperhatikan kebiasaan setempat atau mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan berdasarkan kebiasaan setempat.

Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.73

Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya”.74

Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut M. Yahya Harahap adalah “sebagai berikut Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.75

Sedangkan menurut kamus hukum, sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu menyanggupi dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan kepada pihak yang lain agar pihak ini dapat menikmatinya untuk suatu jangka waktu

73Subekti, Ibid, hal. 1.

74Subekti, Ibid, hal. 164.

75M. Yahya Harahap, Op Cit, hal.220.

tertentu dan atas penerimaan sejumlah uang tertentu pula, yang mana pihak yang belakangan ini sanggup membayarnya.76 Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia sewa adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang.

Jadi dari pengertian diatas, jelas bahwa pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda dari pihak yang menyewakan.77Sewa meyewa sama halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensual.

Perjanjian sewa menyewa harus disesuaikan dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta tiga unsur pokok yang harus ada dalam perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu :78

a. Unsur Essensialia, adalah bagian perjanjian yang harus selalu ada didalam suatu perjanjian, bagian yang mutlak, dimana tanpa adanya bagian tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Unsur-unsur pokok perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga.

b. Unsur Naturalia, adalah bagian perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, sehingga bagian tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang sifatnya mengatur atau menambah.

c. Unsur Aksidentalia, adalah bagian perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak. Undang-Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut, jadi hal yang diinginkan tersebut juga tidak mengikat para pihak karena

76M. Marwan dan Jimmy P., Ibid, hal.565

77Salim. H.S, Hukum Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2010 ), hal.59.

78Rosa Agustina, Dkk, Hukum Perikatan (Law Of Obligations), Denpasar, Pustaka Larasan, 2002, Hal 153.

memang tidak ada dalam Undang-Undang, bila tidak dimuat, berarti tidak mengikat.

Klausula Aksidentalia yang berbentuk berdasarkan unsur Aksidentalia sebagai salah satu unsur pokok dari suatu perjanjian, mempunyai peranan yang penting dalam perjanjian sewa menyewa, karena dengan adanya klausula Aksidentalia yang dibuat dan disepakati sendiri oleh para pihak dapat melengkapi ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, peraturan Pemerintah maupun Hukum kebiasaan. Sehingga dapat terangkum dalam suatu perjanjian yang mengikat dan berlaku layaknya Undang-Undang bagi para pihak yang membuat dan menyepakati (facta surt servanda). Dengan demikian, perlindungan hukum bagi para pihak terutama pemilik atau pihak yang menyewakan akan lebih terjamin.79

Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang yang menyewakan.80

R. Subekti menyatakan bahwa jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.81

79Ibid.

80Qirom S. Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal.78.

81R Subekti, Op. cit., hal. 1.

Sewa menyewa berbeda dengan jual beli dan pemakaian. Adapun perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa menyewa :82

a. Pada sewa menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada penyewa, hanya terbatas pada suatu jangka waktu tertentu saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan didalam perjanjian. Pada jual beli, disamping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya tanpa jangka batas waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli tadi terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli.

b. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa menyewa, hanya sebagai imbalan atas hak penikmatan benda yang disewa. Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tiada lain untuk pemilikan barang yang dibeli.

b. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa menyewa, hanya sebagai imbalan atas hak penikmatan benda yang disewa. Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tiada lain untuk pemilikan barang yang dibeli.