• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi

2. Kerangka Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.31Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.32

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa “kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritisyang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian”.33

29Bernard L Tanya, dkk, Op.cit, hal.171.

30Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hal.146.

31Sumadi Suryabarata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal.3.

32H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1999), hal.5.

33Sumadi Suryabarata, Op.cit, hal. 28.

Agar terdapat persamaan persepsi dalam memahami penulisan di dalampenelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa konseptual sebagaimana terdapat di bawah ini:

a. Keabsahan adalah keadaan yang sesuai menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang berlaku.34

b. Perjanjian, menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.35

c. Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. Demikian uraian yang diberikan oleh pasal 1548 mengenai perjanjian sewa menyewa.36

d. Warisan adalah harta peninggalan berupa barang-barang atau hutang dari orang meninggal yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan atau diberikan kepada ahli waris atau mereka yang telah ditetapkan menurut surat wasiat.37 Ahli Waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.38

34W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, 1987), hal.848.

35Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal.94.

36R.Subekti, Op Cit, hal,90.

37M.Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum,(Surabaya : Reality Publisher, 2009), hal.644.

e. Penandatanganan adalah hal (perbuatan) menandatangani.39 G. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.40

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.41 Usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah yang disebut dengan metodologi penelitian.42

Suatu penelitian ilmiah, harus melalui rangkaian kegiatan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yakni “suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, teori hukum, pendapat para sarjana hukum terkemuka”,43dan “putusan pengadilan”.

38Surini Ahlan Sjarif, Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta : Kencana Renada Group, 2006), hal 11.

39W.J.S Poerwadarminta, Ibid, hal.1009.

40 Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional, 1997), hal.11.

41 Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang :UMM Press, 2009), hal.91.

42 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1973), hal.5.

43Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitan Hukum, (Medan : Medan Grafika, 2004), hal.15.

Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif dapat disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia dianggap pantas.44

Menurut Johnny Ibrahim, “oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach)”. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.

Selain itu juga dilakukan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif”.45

Yuridis normatif atau penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.46Dalam penelitian ini menganalisa mengenai Putusan MA No. 798 K/Pdt/2014.

Pendekatannya bersifat deskriptif analisis. Deskriptif artinya mampu memberikan gambaran secara jelas dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti.

Adapun maksud deskriptif disini yang bertujuan untuk mengambil data secara

44Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2003), hal.1.

45Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Bayumedia, 2007), hal.295.

46Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Makalah Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003), hal.1.

sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat atau faktor tertentu.47

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari bahan kepustakaan, diantaranya adalah :

a. Bahan hukum primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.48Dalam tulisan ini diantaranya : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Putusan MA No.798 K/Pdt/2014 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder,49 yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami dari bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

47Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1977), hal 36.

48Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1991), hal.19.

49Ibid, hal.19.

c. Bahan hukum tersier,50yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, ensiklopedia hukum, situs di internet yang berkaitan dengan objek penelitian.

Selain data sekunder sebagi sumber data utama, dalam penelitian ini juga digunakan data primer sebagai data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan penelitian dan didukung Studi Lapangan (field research) yaitu melakukan wawancara dengan informan yang mengetahui permasalahan mengenai perjanjian sewa menyewa ruko warisan yang ditandatangani oleh pihak yang bukan ahli waris yang diangkat dalam penelitian ini.

Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Notaris.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan :

50Soerjono Sukanto dan Sri Mamuji, Loc.Cit.

a. Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistemasi literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

b. Pedoman Wawancara, hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber dari pihak-pihak yang terkait sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian tesis ini.

5. Analisa Data

Analisa data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).51

Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah analisis yuridis keabsahan perjanjian sewa menyewa yang ditandatangani oleh pihak yang bukan ahli

51Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal.53.

waris.Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu “cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik ke hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposes-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus”,52 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.

52Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal.109.

BAB II

KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI TANDATANGANI OLEH PIHAK YANG BUKAN AHLI WARIS

A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Buku III tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan aanvulendrecht atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal dalam Buku III boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.53

Kemudian, sistem terbuka yang mengandung suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.54

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam KUH Perdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUH Perdata (innominaat)

53Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta : Intermasa, 2004), hal. 13.

54 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 6.

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUH Perdata yang ada dalam Bab I dan Bab II.55

Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian Tukar-Menukar, dan sebagainya. Perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUH Perdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUH Perdata diundangkan. Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.56

Subekti memberikan definisi perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Ia juga menyebutkan bahwa perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak tersebut itu setuju untuk melakukan sesuatu.57

2. Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang memiliki asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Personalia

55 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73.

56Salim H.S, Op.cit., hal. 1.

57Subekti, Op.cit., hal. 1

Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja.58Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata, Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

b. Asas Konsensualitas

Asas konsesualitas atau asas sepakat adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul atau dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

Asas ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan tanpa menyebutkan harus adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

58Salim H.S., Op.cit., hal. 13.

Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan,59memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh Undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.60

d. Asas Kepercayaan.61

Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari.

e. Asas Kekuatan Mengikat.62

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar Undang-undang.

f. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

59Ibid.

60Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 30.

61Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 87.

62Ibid., hal. 88.

g. Asas Keseimbangan.63

Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya.

h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.64

Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa: “Perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku apabila perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut

63Ibid

64Ibid, hal. 89.

tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya

“cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.65

Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang adalah cakap menurut hukum, kecuali jika oleh Undang-undang tidak cakap.

Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.

c. Suatu hal tertentu;

65Ibid, hal. 73.

Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata. Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.66

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan tentu mempunyai isi.67

Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, yaitu syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat perikatan disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut

66 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 155.

67R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 37.

sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu.68

Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.69

4. Hapusnya Perjanjian

Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu pihak memberi hak pada pihak lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada debitur. Tentunya tidak dengan cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya pemaksaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.

Setelah perjanjian dilaksanakan maka kemudian akan diakhiri. Berakhirnya suatu perjanjian dapat disebabkan karena:70

a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

68Subekti, Op.cit., hal. 17.

69Ibid., hal. 20.

70R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1977), hal, 107.

c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah satu pihak meninggal dunia.

d. Karena putusan hakim.

e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai.

f. Dengan persetujuan para pihak.

Selanjutnya Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:71

a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu perjanjian ini habis.

b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:

1) Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan kewajiban masing-masing sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.

2) Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dan atau menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan yang sah.

Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.

3) Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu peristiwa yang belum atau tentu terjadi.

4) Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUH Perdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitive, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut daluwarsa extinctif.

Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUH Perdata menentukan apabila syarat batal dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.

71Subekti, Aspek-aspek Hukum Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

B. Perjanjian Sewa Menyewa

1. Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.72

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/ menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600). Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah : “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/ menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600). Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah : “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang