• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN SEWA MENYEWA

B. Perjanjian Sewa Menyewa

1. Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.72

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/ menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600). Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah : “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.

Dari defenisi Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu:

a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.

b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada sipenyewa untuk sepenuhnya dinikmati.

c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.

72Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, (Jakarta : Pradya Paramita, 1987), hal. 53.

Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang.

Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula.

Adapun unsur “waktu tertentu” di dalam definisi yang diberikan dalam undang-undang dalam Pasal 1548 tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai sifat mutlaknya atau tidak adanya batas waktu, tetapi ada beberapa pasal lain dalam yang menyinggung tentang waktu sewa : Pasal 1570 KUH Perdata.

“Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.”

Pasal 1571 KUH Perdata.

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Dari dua pasal tersebut, tampak bahwa di dalam perjanjian sewa menyewabatas waktu merupakan hal yang penting, dan meskipun dalam Pasal 1548 tidak secara tegas dicantumkan adanya batas waktu tetapi undang-undang

memerintahkan untuk memperhatikan kebiasaan setempat atau mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan berdasarkan kebiasaan setempat.

Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.73

Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya”.74

Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut M. Yahya Harahap adalah “sebagai berikut Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.75

Sedangkan menurut kamus hukum, sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu menyanggupi dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan kepada pihak yang lain agar pihak ini dapat menikmatinya untuk suatu jangka waktu

73Subekti, Ibid, hal. 1.

74Subekti, Ibid, hal. 164.

75M. Yahya Harahap, Op Cit, hal.220.

tertentu dan atas penerimaan sejumlah uang tertentu pula, yang mana pihak yang belakangan ini sanggup membayarnya.76 Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia sewa adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang.

Jadi dari pengertian diatas, jelas bahwa pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda dari pihak yang menyewakan.77Sewa meyewa sama halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensual.

Perjanjian sewa menyewa harus disesuaikan dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta tiga unsur pokok yang harus ada dalam perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu :78

a. Unsur Essensialia, adalah bagian perjanjian yang harus selalu ada didalam suatu perjanjian, bagian yang mutlak, dimana tanpa adanya bagian tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Unsur-unsur pokok perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga.

b. Unsur Naturalia, adalah bagian perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, sehingga bagian tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang sifatnya mengatur atau menambah.

c. Unsur Aksidentalia, adalah bagian perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak. Undang-Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut, jadi hal yang diinginkan tersebut juga tidak mengikat para pihak karena

76M. Marwan dan Jimmy P., Ibid, hal.565

77Salim. H.S, Hukum Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2010 ), hal.59.

78Rosa Agustina, Dkk, Hukum Perikatan (Law Of Obligations), Denpasar, Pustaka Larasan, 2002, Hal 153.

memang tidak ada dalam Undang-Undang, bila tidak dimuat, berarti tidak mengikat.

Klausula Aksidentalia yang berbentuk berdasarkan unsur Aksidentalia sebagai salah satu unsur pokok dari suatu perjanjian, mempunyai peranan yang penting dalam perjanjian sewa menyewa, karena dengan adanya klausula Aksidentalia yang dibuat dan disepakati sendiri oleh para pihak dapat melengkapi ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, peraturan Pemerintah maupun Hukum kebiasaan. Sehingga dapat terangkum dalam suatu perjanjian yang mengikat dan berlaku layaknya Undang-Undang bagi para pihak yang membuat dan menyepakati (facta surt servanda). Dengan demikian, perlindungan hukum bagi para pihak terutama pemilik atau pihak yang menyewakan akan lebih terjamin.79

Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang yang menyewakan.80

R. Subekti menyatakan bahwa jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.81

79Ibid.

80Qirom S. Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal.78.

81R Subekti, Op. cit., hal. 1.

Sewa menyewa berbeda dengan jual beli dan pemakaian. Adapun perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa menyewa :82

a. Pada sewa menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada penyewa, hanya terbatas pada suatu jangka waktu tertentu saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan didalam perjanjian. Pada jual beli, disamping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya tanpa jangka batas waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli tadi terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli.

b. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa menyewa, hanya sebagai imbalan atas hak penikmatan benda yang disewa. Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tiada lain untuk pemilikan barang yang dibeli.

Perbedaan persewaan dengan pemakaian terletak pada masalah prestasi, yaitu:

a. Pada sewa menyewa, untuk penggunaan penikmatan yang diberikan kepada si penyewa, si penyewa tersebut harus menyerahkan kontraprestasi berupa sejumlah uang sewa.

b. Sedangkan pada pemakaian, si pemakai tidak dibebani dengan suatu kontraprestasi. Pemakai diberi hak oleh pemilik untuk memakai dan menikmati barang secara cuma-cuma.

2. Perjanjian Sewa Menyewa Dalam KUH Perdata

Istilah perjanjian di dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dinamakan Perjanjian Obligator karena suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Perkataan kontrak merupakan pengertian yang cenderung lebih sempit dari

82M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 220-221.

perjanjian, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan dalam bentuk tertulis.83

Berdasarkan berbagai pendapat mengenai perjanjian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah:

a. Adanya para pihak

Para pihak dalam perjanjian sedikit ada dua orang yang disebut sebagai subyek perjanjian. Yang menjadi subyek perjanjian dapat dilakukan oleh orang maupun badan hukum yang mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang.

b. Adanya persetujuan antara para pihak

Persetujuan tersebut bersifat tetap yang dihasilkan dari suatu perundingan yang pada umumnya membicarakan syarat-syarat yang akan dicapai.

c. Adanya tujuan yang akan dicapai

Tujuan yang akan dicapai dalam perjanjian tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan

Prestasi adalah suatu hal yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

e. Adanya bentuk-bentuk tertentu

Bentuk-bentuk tertentu yang dimaksud adalah secara lisan maupun tulisan, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

83Sudikno Mertokusumo, Diktat Kursus Hukum Perikatan, (Ujung Pandang, 1988) hal. 1.

f. Adanya syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut:84

1) Syarat sah yang umum, yaitu :

a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari (1). Kesepakatan kehendak

(2). Wenang buat (3). Perihal tertentu (4). Kuasa yang legal

b) Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari

(1). Syarat itikad baik

(2). Syarat sesuai dengan kebiasaan (3). Syarat sesuai dengan kepatutan

(4). Syarat sesuai dengan kepentingan umum c) Syarat sah yang khusus terdiri dari

(1). Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu (2). Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu (3). Syarat Akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk

perjanjian-perjanjian tertentu (4). Syarat izin dari yang berwenang.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan membawa konsekuensi perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan namun selama yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian yang dibuat itu tetap berlaku terus. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi yaitu tidak adanya hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian yang dibuat para pihak sejak dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.

84Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 33.

3. Subjek Dan Objek Hukum Perjanjian Dalam Sewa Menyewa

Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain:85 a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan

perbuatan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.

Perjanjian sewa menyewa adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian sewa menyewa yaitu sebagai menyewakan dan penyewa, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah.

Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, sebagaimana dikemukakan berikut ini :86

a. Sewa Menyewa Suami Isteri

Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya sewa menyewa antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin.

Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:87

1) Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.

2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya

85R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.20, (Jakarta : Intermasa, 2004), hal. 16.

86Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 50.

87Ibid.

mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.

3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

b. Sewa menyewa oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris. Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan sewa menyewa hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka sewa menyewa itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang memohonkan pembatalan.

Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada.

Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian sewa menyewa, antara lain:

a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata), b. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH

Perdata) tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

c. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata).

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian sewa menyewa adalah :88

a. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara,

b. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika, c. Warisan yang belum terbuka.

Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian sewa menyewa ditentukan bahwa :89

a. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

b. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek sewa menyewa. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki.

Hal tersebut berarti bahwa yang dapat disewakan tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

88 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Medan : Penerbit Fakultas Hukum USU, 1974), hal. 166.

89R. Subekti, op.cit.hal 16.

4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa a. Hak-hak para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa ruko.

Hak dari pemilik ruko adalah mendapatkan pembayaran harga sewa sedangkan hak dari pihak penyewa adalah menempati ruko yang disewanya dari pihak pemilik ruko dalam keadaan baik.

Apabila ruko yang disewanya tersebut terdapat cacat yang tersembunyi atau tidak diketahui sebelumnya maka pihak penyewa berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi yang baik atau dari cacat yang tidak tersembunyi kepada pihak pemilik ruko.

Hak dari pihak pemilik ruko terhadap cacat yang tersembunyi ini terdapat dalam Pasal 1552 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan:

“Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahui pada waktu dibuatnya perjanjian sewa”.

Adapun hak yang lain dari pihak penyewa ialah mendapatkan kenikmatan atas ruko yang disewa tersebut. Dalam hal ini apabila ruko yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa ruko dijual oleh pihak pemilik ruko, maka pihak penyewa masih tetap dapat mendiami ruko tersebut sampai habis waktu sewanya. Ketentuan seperti tersebut diatas terdapat dalam Pasal 1576 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”.

Dari ketentuan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pihak penyewa masih dapat menempati rumah yang disewakan, apabila tidak ditentukan lain. Hak ini diperoleh si penyewa karena hak sewa tersebut tetap mengikutinya, selama waktu sewa tersebut belum berakhir.

b. Kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa ruko.

Kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah sebagai berikut:90 1) Menyerahkan barang kepada si penyewa.

2) Memelihara barang sedemikian rupa sehingga barangnya dapat dinikmati atau dipakai untuk keperluan si penyewa.

3) Memberikan kenikmatan atas rasa aman pada barang yang disewakannya selama berlangsungnya sewa-menyewa ruko.

4) Melakukan perbaikan-perbaikan atas barang yang disewakan, kecuali perbaikan kecil.

Kewajiban dari pihak penyewa yaitu:

1) Di dalam menempati ruko yang disewanya tersebut, pihak penyewa harus bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik, artinya pihak penyewa diwajibkan untuk menempati ruko tersebut seakan-akan miliknya sendiri.

2) Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa menyewa ruko.

3) Melakukan perbaikan kecil, misalnya: melakukan perbaikan-perbaikan jendela kunci dalam, kaca-kaca jendela dan sebagainya.

Adapun hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini tidak ditepati oleh salah satu pihak, maka terjadilah wanprestasi dan akibat dari wanprestasi timbullah sengketa sewa menyewa ruko.

90Subekti, Ibid, hal. 42-43.

C. Keabsahan Perjanjian Sewa Menyewa Yang Ditandatangani Oleh Pihak