• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HUKUM ATAS AKTA SEWA MENYEWA

A. Perbuatan Melawan Hukum

144 Sjaifur Rachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Bandung : Mandar Maju, 2011), hal. 192.

145 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.2, (Jakarta : Diapit Media, 2002), hal.77.

146 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal.3.

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Menurut Hans Kelsen, terdapat empat macam pertanggungjawaban, yaitu:147

1) Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2) Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

3) Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

4) Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Selanjutnya Shidarta menjelaskan bahwa secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:148

a. Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai dalam pembuatan akta sewa menyewa. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUH Perdata, sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara langsung, dikenal juga dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal 1367

147Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Terjemahan Raisul Mutaqien, (Bandung : Nuansa &

Nusa Media Bandung, 2006), hal. 140.

148Shidarta, Op.Cit., hal. 73-79.

ayat (1) KUH Perdata : Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Tanggung jawab tersebut berakhir, jika seseorang itu membuktikan bahwa dia tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab (Pasal 136 ayat (5) KUH Perdata).

b. Prinsip Praduga Selalu untuk bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa notaris selalu dianggap bertanggung jawab atas akta sewa menyewa yang dibuat dihadapannya (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Menurut E.

Suherman sebagaimana dikutip Sonny Pungus,149 kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”adalah penting, karena ada kemungkinan notaris membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.

c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup pembuatan

149Sonny Pungus, Teori Pertanggung jawaban, http:// sonny -tobelo.blogspot.com/ 2010/ 12/

teori pertanggung jawaban.html, diakses 28 Juli 2016.

akta khususnya akta sewa menyewa. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada pembuatan akta sewa menyewa. Kesalahan yang terjadi dalam akta sewa menyewa, termasuk keinginan para pihak yang dimasukkan kedalam akta sewa menyewa tersebut. Karena dalam hal tersebut para pihak dan notaris masih bisa memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam akta sewa menyewa sebelum akta sewa menyewa tersebut dibacakan oleh notaris dan ditandatangani oleh para pihak dan saksi.

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure.Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman,strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari

tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.150

Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi notaris, maka notaris dapat dipertanggung jawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat dihadapannya, melainkan notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk formal akta otentik sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang.151

Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta sewa menyewa dalam arti Verlijden, yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUH Perdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang kepada pihak-pihak yang bersengketa.

Kode etik notaris memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri.

UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notarisdalam menjalankan

150Ibid

151 Ima Erlie Yuana, Tanggungjawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya terhadap Akta yang Dibuatnya Ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris, Tesis, (Semarang : Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hal. 42.

tugasnya, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taatpada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakatyang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atauINI) maupun terhadap negara.

Apabila notaris melakukan perbuatan pidana, UUJNhanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris.

Abdul Kadir Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggung jawab,artinya :152

a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta sewa menyewa dengan baik danbenar. Artinya akta sewa menyewa yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya.

b. Notaris dituntut menghasilkan akta sewa menyewa yang bermutu. Artinya akta sewa menyewa yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta sewa menyewa yang dibuatnya itu.

c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta sewa menyewa notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.

Tanggung jawab Notaris terhadap akta sewa menyewa dalam putusan MA No.798 K/Pdt/2014 adalah Notaris dapat dimintai tanggung jawab terhadap bentuk akta yang dibuat olehnya, karena isi akta yang dibuat dihadapan notaris telah sesuai dengan keterangan para pihak dan sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 702 K/ Sip/ 1973, bahwa notaris tidak dapat dijadikan tersangka sepanjang isi akta berasal dari keterangan para penghadap.

152Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 49.

BAB IV

ANALISIS HUKUM ATAS AKTA SEWA MENYEWA YANG DITANDATANGANI OLEH PIHAK YANG BUKAN AHLI WARIS PADA

PUTUSAN MA NO. 798 K/PDT/2014

A. Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon.153

Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.154

153Munir Fuady I, Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 80.

154Ibid, hal. 81.

Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:155

1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan) 2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)

3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu:156

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang dianggap sebagai hukum.

155Ibid, hal.3.

156Munir Fuady II, Perbuatan Melawan Hukum, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal.3.

Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.

Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena ada kalanya pelanggaran hukum itu tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum? padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau universitas masing-masing.

Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum",tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.

Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa "orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".157Setelah adanya arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :158

Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau

157 H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), (Jakarta : Rajawali Pers,2004), hal.184.

158Ibid., hal.185.

berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)".

Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.

Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUH Perdata, dalam arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut. Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut. Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :159

Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau

"onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.

Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun mempunyai maksud dan

159Abdulkadir Muhammad., Hukum Perikatan, (Bandung :Alumni, 2002), hal.142.

tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.160

1. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah :161

a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).

b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).

d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :162

Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.

Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut :163

160Ibid, hal.144.

161Ibid, hal.24.

162R. Suryatin, Hukum Perikatan, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal.82.

a. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.

b. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab.

c. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.

Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R.

Suryatin, hanya terhadap Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal (sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu menimbulkan kerugian.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :164

a. Perbuatan itu harus melawan hukum b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

c. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.

d. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.

163Ibid, hal.83.

164 R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, ( Bandung : Sumur, 2003), hal.72.

Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah :165

Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu :

a. Perbuatan.

b. Melanggar.

c. Kesalahan.

d. Kerugian.

Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum.166

Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan,

165Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, (Jakarta : Pembinaan UPN, 2006), hal.83.

166Ibid, hal.83.

tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.167

2. Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan kewajiban".168 Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajibaan.

Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".169 Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan badan hukum.

Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.