• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektifitas Kelembagaan (Permasalahan dalam pelaksanaan kewenangan)

Pelaksanaan Putusan

4.3.3 Analisis Efektifitas Kelembagaan (Permasalahan dalam pelaksanaan kewenangan)

kejaksaan. Kejaksaan, selain memiliki tugas dan kewenangan sebagai penuntut umum juga memiliki tugas dan kewenangan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Pada saat pelaksanaan putusan pengadilan kasus perikanan ini, kejaksaan dapat melakukan koordinasi dengan instansi lain untuk membantu pelaksanaan putusan disesuaikan dengan tugas dan kewenangan dari instansi tersebut. Seperti terkait dengan pemulangan para terdakwa kasus perikanan, pihak kejaksaan berkoordinasi dengan pihak imigrasi; terkait dengan pelaksanaan hukuman badan (penjara ataupun kurungan) dilakukan dengan berkoordinasi dengan pihak lembaga pemasyarakatan (LP); dan terkait dengan penanganan barang bukti yang disita oleh negara dilakukan dengan berkoordinasi dengan instansi tempat barang bukti dititipkan (seperti kepolisian perairan, PPNS perikanan, TNI AL).

4.3.3 Analisis Efektifitas Kelembagaan (Permasalahan dalam pelaksanaan kewenangan)

Pada saat pelaksanaan tugas dan kewenangan dari instansi-instansi penegak hukum perikanan masih timbul permasalahan, antara lain terkait dengan kewenangan penangkapan, kewenangan penyidikan, penanganan para pelaku IUU fishing (mulai dari penangkapan hingga putusan), hingga penanganan barang bukti kasus perikanan. Dengan banyaknya instansi penegak hukum perikanan yang terkait satu sama lain, pada saat pelaksanaannya perlu dilihat pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing,sejauhmana aturan hukum itu diterapkan dan faktor kendala yang ada.

Pada saat ini, berdasarkan pada aturan hukum positif, yang berlaku khusus bagi perikanan adalah UU No.45 Th.2009 jo. UU No.31 Th.2004 tentang Perikanan, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis. Terkait dengan permasalahan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan untuk

142 kasus perikanan, hingga penanganan barang bukti kasus perikanan, berlaku ketentuan Bab XIV tentang Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan undang-undang perikanan. Hasil temuan dalam penelitian terlihat dalam proses perizinan perkapalan, dimana terdapat dua instansi utama terkait perizinan perkapalan, yaitu kementerian perhubungan dan KKP. Temuan dari lokasi penelitian menyatakan jika dari pihak perwakilan kementerian perhubungan (administrator pelabuhan Sorong) menyatakan dasar hukum pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan mereka adalah UU No.17 Th.2008 tentang pelayaran, KKP hanya melaksanakan sebagian kecil dari bagian peraturan tersebut dan dasar pelaksanaan utama kegiatan KKP adalah undang-undang perikanan. Disarankan sebaiknya ada komunikasi antar pembuat kebijakan di tingkat pusat antarkementerian (kemenhub dan KKP) untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, karena bisa ada kerjasama dalam pengurusan perizinan sehingga mempermudah pelayanan kepada pengguna jasa. Kerjasama tersebut tetap dalam koridor tidak menyalahi tugas fungsi dan kewenangan masing-masing institusi. Seperti pengurusan dokumen perkapalan (umum) tetap di kemenhub, namun untuk kapal perikanan bisa saja terkait pengurusan dokumennya menempatkan staff di lokasi pembuatan dokumen perkapalan, begitupun sebaliknya. Karena kemenhub juga memiliki keterbatasan jumlah pelabuhan untuk melayani sedangkan perikanan saat ini juga sudah memiliki banyak pelabuhan khusus perikanan. (Tabel 4.20.).

Pada proses penanganan kegiatan illegal, unreported, dan unregulated di mata hukum, terdapat peran sebagai penyidik, penuntut umum, peradilan, dan pada saat pelaksanaan putusan. Untuk penanganan kasus pidana perikanan pembagian perannya sebagai berikut. (Tabel 4.20.)

143 Tabel 4.21. Pembagian Peran Pada Penanganan Kasus Pidana Perikanan

Penyidik Penuntut Umum Peradilan Pelaksana Putusan

Kepolisian (Polair)

Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Pengadilan Perikanan - Hakim Karier - Hakim Ad hoc Kejaksaan Negeri - Jaksa PPNS Perikanan

Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi

Pengadilan Negeri - Hakim Karier

- Dibantu saksi ahli yang biasanya dibantu oleh PPNS Perikanan

TNI AL

Sumber: Data diolah 2012.

Permasalahan yang ditemukan pada saat penanganan kasus perikanan pada tiap tahapan sebagai berikut. (Tabel 4.21.)

Tabel 4.22. Permasalahan Pada Saat Penanganan Kasus Perikanan Tiap Tahapan.

Tahapan Penanganan

Temuan Permasalahan

Penyidikan - Ditemukan kesulitan dalam proses penyidikan kasus perikanan karena minimnya jumlah PPNS perikanan yang mengerti mengenai tindak pidana perikanan.

- Jumlah PPNS Perikanan terbatas, sedangkan kebutuhan akan PPNS perikanan untuk menangani kasus perikanan tinggi.

- Di Pontianak, Stasiun PSDKP Pontianak memiliki tugas dan fungsi pengawasan di 5 Provinsi, meski dibantu dengan pembangunan pos-pos pengawasan, namun penempatan PPNS perikanan di pos-pos-pos-pos tersebut terbatas.

- Di Sorong, PPNS perikanan yang memenuhi kualifikasi PPNS hanya ada 1 personil (Ka. Satker Pos Pengawasan), 3 penyidik pembantu belum memenuhi syarat kualifikasi S1.

Penuntutan - Ditemukan bahwa penuntut umum untuk kasus perikanan adalah jaksa penuntut umum (JPU) harus mendapatkan sertifikasi pelatihan perikanan, dan merupakan JPU di kejaksaan negeri (kejari).

- Di Pontianak, JPU untuk kasus perikanan hanya ada 1 di kejari dan lebih banyak di kejaksaan tinggi (kejati), sehingga penanganan kasus dilakukan oleh JPU di kejati.

Peradilan - Ditemukan kasus perikanan tidak hanya ditangani di pengadilan perikanan melainkan juga ditangani oleh pengadilan negeri. Karena pengadilan tidak boleh menolak kasus. Permasalahannya adalah pada saat pemeriksaan di pengadilan, selain keterbatasan penterjemah bahasa asing, untuk mengerti terkait perikanan hanya meminta bantuan staff dari dinas kelautan dan perikanan setempat sebagai keterangan ahli, mengingat jika meminta PPNS perikanan tidak selalu tersedia.

144

Pelaksanaan Putusan

- Ditemukan bahwa pada saat pelaksanaan putusan, untuk putusan denda, terpidana tidak sanggup membayar, namun untuk melaksanakan hukuman subsidair kurungan, kadangkala tidak dijalankan, karena jika dijalankan dianggap melanggar ketentuan pasal 73 ayat (3) UNCLOS, untuk kasus perikanan yang ada di ZEEI.

- Penanganan Barang Bukti kasus perikanan memerlukan tempat khusus dan penanganan khusus. Untuk di wilayah Sorong, pada saat ada kunjungan tim Bakorkamla timbul wacana untuk membangun rumah penyimpanan benda sitaan (rupbasan) khusus untuk kasus perikanan.

- Kondisi pada saat ini kapal-kapal perikanan sitaan biasanya dititipkan oleh pihak kejaksaan setelah serahterima dari penyidik di tempat penyidik.

Sumber: Data diolah 2012.

Peran dan fungsi pengamanan dan penegakan hukum di laut yang ada selama ini masih belum berjalan secara efektif, karena terkesan masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Jumlah insitusi/instansi maritim operasional (maritim agency) di Indonesia sebagai penyelenggara penegakan hukum di laut tergolong tinggi jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia. Logikanya dengan jumlah instansi yang banyak menangani maka perairan Indonesia akan semakin aman, namun yang terjadi justru sebaliknya. Institusi/instansi maritim nasional saat ini sama-sama bekerja, namun tidak bekerja sama-sama. Unity of effort secara entitas nasional belum dapat terwujud, sehingga setidaknya perlu direkomendasikan dua jenis kebijakan penguatan peran KKP terkait dengan upaya memerangi IUU Fishing di Indonesia. Kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong sistem kolaboratif dan sinergisitas antar institusi yang terkait dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong efektivtas kelembagaan hukum terkait dengan upaya memerangi maraknya IUU

Fishing di Indonesi untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. 4.4 Opsi-Opsi Kebijakan dan Strategi Memerangi IUU Fishing

Sebagai negara kepulauan yang besar, Indonesia dihadapkan pada banyaknya praktek IUU Fishing yang menimbulkan dampak sosial, ekonomi, politik dan ekologi. Besarnya dampak IUU Fishing, menuntut masyarakat global untuk mengatasi masalah ini. Untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global,

145 maka ditetapkan berbagai instrument internasional, baik yang mengikat (hardlaw) maupun tidak mengikat (softlaw). Sementara dalam konteks Indonesia, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan IUU Fishing di Indonesia dilakukan antara lain dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, seperti UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009. Selain itu, pemerintah Indonesia (dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan) telah mengeluarkan beberapa peraturan menteri dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan umumnya dan memerangi IUU Fishing khususnya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, kegiatan memerangi IUU Fishing dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mengakibatkan upaya memerangi IUU Fishing tersebut tidak efektif.

Kementerian Kelautan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah kerjanya dan memulai kiprahnya sejak pertengahan tahun 2006. Secara bertahap, dilakukan peningkatan kemampuan PSDKP untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan dari kegiatan perikanan yang tidak bertanggung jawab. Kenyataan yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa upaya pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh Ditjen PSDKP mengalami berbagai kendala. Hal ini disebabkan oleh masalah tumpang tindih kewenangan antara lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan penyidikan seperti Direktorat Polisi Perairan dan TNI AL yang juga secara undang-undang memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan penyidikan. Selain itu, fungsi koordinasi yang dilakukan Bakorkamla belum efektif dalam melakukan koordinasi dan komunikasi antarstakeholders yang berperan dalam bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.

Dalam melakukan fungsi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, PSDKP dihadapkan pada keterbatasan SDM, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Sebagai contoh, pada Pangkalan Pengawasan SDKP Bitung membawahi

146 10 Satuan Kerja (Satker), 42 Pos Pengawasan dan dengan area kerja meliputi 7 Provinsi dan mempunyai cakupan 4 dari 11 WPP-RI yang menjadi kewenangan pengawasannya, yaitu: WPP-RI 713 meliputi Selat Makasar, Teluk Bone, Perairan Laut Tarakan; WPP-RI 714 meliputi Perairan Laut Sulawesi Tenggara; WPP-RI 715 meliputi Laut Maluku, Teluk Tomini, Laut Halmahera; WPP-RI 716 meliputi Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera. Keluasan kewenangan dan daerah pengawasan ini tidak seimbang dengan sumberdaya yang dimiliki jumlah pengawas perikanan pada pangkalan, satker dan pos lingkup Pangkalan Pengawasan SDKP Bitung. Berdasarkan SK Dirjen PSDKP Nomor: KEP. 307/DJ-PSDKP/2011, pengawas perikanan berjumlah 181 orang, namun dari 181 orang tersebut hanya 10 orang yang telah resmi memiliki SK Jabatan Fungsional Pengawas Perikanan. Hal ini menjadi kendala tersendiri dalam melakukan fungsi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.

Berdasarkan UU No.45 Th.2009 disebutkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan (PPNS), Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa PPNS memiliki kewenangan khusus dalam menangani penyidikan kasus tindak pidana perikanan. Namun pada kenyataannya, keberadaan instansi Ditjen PSDKP yang relatif masih baru dengan keterbatasan jumlah PPNS menyebabkan fungsi ini belum dapat dilaksanakan dengan baik. Proses pemberkasan perkara yang harus dilakukan selama 30 hari dari masa penangkapan juga menjadi kendala tersendiri bagi aparat PPNS KKP dalam menindak kasus pidana perikanan, karena diperlukan pengalaman dan juga keahlian khusus dalam pemberkasan perkara agar dapat dinyatakan P-21 (pemeriksaan dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan untuk proses selanjutnya) dan dapat diteruskan proses penuntutan oleh kejaksaan.

147 Keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi kendala utama bagi Ditjen PSDKP dalam melakukan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan. Data dari Ditjen PSDKP menyebutkan bahwa kepemilikan kapal pengawas hanya sebatas 24 unit, yang sebagian diantaranya yaitu sekitar 12 kapal sudah berusia 8-10 tahun sehingga memerlukan peremajaan dan masih jauh dari kondisi ideal dibutuhkan sebanyak 70 unit kapal pengawas dan 400 unit speed boat pengawasan. Ditjen PSDKP hanya mampu melaksanakan operasional kapal-kapal pengawas selama 180 hari pada tahun 2012. Hal tersebut diatas menunjukkan terbatasnya ruang gerak pengawasan baik dari sisi jumlah kapal pengawas yang jauh dibawah kondisi ideal maupun jumlah hari operasional pengawasan yang mampu dilakukan oleh Ditjen PSDKP .

Peran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memerangi IUU Fishing di bawah Ditjen PSDKP yang memiliki legitimasi kuat didalam hukum memegang kewenangan dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutkan yang menghadapi berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas. Oleh karena itu perlu diusulkan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan upaya penguatan peran PSDKP-KKP terutama dalam penanggulangan IUU Fishing di Indonesia. (1) Optimalisasi operasi patroli laut PSDKP

a. Diperlukan system informasi musim tangkapan ikan dalam rangka mengoptimalkan waktu operasi efektif untuk menangkap pelaku IUU Fishing. Pembangunan sistem informasi perlu melibatkan beberapa lembaga yang memiliki informasi iklim, seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan dan Bakorkamla.

b. Perlu membangun koordinasi yang baik dengan Direktorat Polair, TNI AL, dan Bakorkamla terkait dengan hari operasi.

c. Optimalisasi operasi di daerah yang sering dimasuki kapal asing.

d. Pengembangan sistem pelaporan IUU fishing yang melibatkan masyarakat, khususnya nelayan dan pelaut.

(2) Peningkatan sarana dan prasarana penunjang dalam pelaksanaan kewenangan PPNS KKP.

148 a. Diperlukan pembangunan secara berkala baik jumlah maupun ukuran

kapal patroli yang disesuaikan dengan kondisi geografis wilayah operasi. b. Perlu pembangunan dermaga tambat labuh untuk kapal pelaku IUU fishing

sehingga memudahkan pengawasan dan menekan biaya sewa yang selama ini diberikan kepada TNI AL atau POLAIR.

c. Penyediaan dan peningkatan anggaran untuk seluruh proses penyidikan (mekanisme pencairan anggaran tidak dibatasi hanya untuk kasus yang telah P 21).

(3) Peningkatan kapasitas penyidik PPNS KKP, baik secara kuantitas maupun kualitas:

a. Peningkatan jumlah PPNS baik secara nasional maupun untuk wilayah-wilayah khusus yang sering terjadi IUU fishing

b. Perlu adanya forum PPNS sehingga meningkatkan pengetahuan PPNS terhadap penanganan kasus-kasus IUU fishing di lokasi lain

c. Perlunya pembekalan bahasa asing yang sering digunakan oleh pelaku IUU fishing