• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan Perundang- Perundang-undangan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan Perundang- Perundang-undangan

Penanganan sektor perikanan di Indonesia diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan, tidak hanya dilakukan pada saat adanya UU No.31 Th.2004 tentang perikanan. Peraturan awal dibidang perikanan di Indonesia, tidak secara khusus mengatur tentang perikanan, melainkan terkait dengan wilayah laut territorial. Hal ini dapat dilihat pada masa Ordonansi Belanda yang menyatakan luas laut territorial 3 mil, untuk kemudian ada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dengan mendeklarasikan penambahan luas laut territorial menjadi 12 mil. Kemudian pada tahun 1982, disepakati oleh negara-negara pantai konvensi hukum laut PBB yang lebih dikenal sebagai UNCLOS 1982 mengukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki hak dan kewajiban khusus terkait dengan hal tersebut. UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1985 melalui UU No.17 Th.1985.

Sebelum diratifikasinya UNCLOS 1982, diberlakukan UU No.9 Th.1985 khusus mengatur mengenai perikanan. Pada UU No.9 Th.1985 sudah mulai diatur mengenai ketentuan pidana bagi pelanggar ketentuan tentang perikanan di Indonesia. Meskipun telah terdapat aturan khusus, namun tidak diamanatkan untuk menangani dalam sebuah kelembagaan pengadilan khusus perikanan. Tata cara penanganan masih berdasarkan pada ketentuan pidana

29 berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada UU No.9 Th.1985, untuk pidana perikanan yang dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mengacu pada aturan UU No.5 Th.1983 yang memang mengatur tentang ZEEI.

Pada tahun 2004, ditetapkan undang-undang perikanan yang baru, yaitu dalam UU No.31 Tahun 2004. Perubahan besar terjadi setelah adanya undang-undang ini, karena penanganan tindak pidana perikanan dilakukan oleh sebuah kelembagaan pengadilan khusus dengan tata cara yang di atur secara khusus pula dalam unit kerja tersebut. Meskipun dalam undang-undang ini masih terdapat kekurangan, seperti masalah penanganan barang bukti perkara yang belum diatur didalamnya. Dinamika tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Setelah diberlakukannya UU No.31 Th.2004, untuk melengkapi pengaturan didalamnya, UU No.17 Tahun 2008 tentang pelayaran ditetapkan untuk menertibkan bidang pelayaran, yang baik secara langsung maupun tidak langsung juga terkait dengan sektor perikanan. Pelanggaran sektor perikanan, tidak hanya dengan melakukan usaha perikanan dengan menggunakan alat tangkap atau alat bantu perikanan yang tidak ramah lingkungan, namun juga terkait dengan kelengkapan dokumen, dan salah satunya adalah kelengkapan dokumen pelayaran yang diatur dalam UU No.17 Th.2008. Tidak hanya masalah pelayaran, pengaturan tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi hal terkait dalam penanganan pidana perikanan. Keterkaitan jika pidana perikanan tersebut merupakan pelanggaran pidana yang di atur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Demikian juga dengan adanya perubahan UU No.31 Th.2004, yang diubah dengan UU No.45 Tahun 2009. Pada UU No.45 Th.2009 ini terdapat pengaturan tentang barang bukti, hal yang sebelumnya belum di atur dalam UU No.31 Th.2004. Untuk dasar hukum bagi para pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA), selain mengacu pada peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan sebelumnya, juga harus mengacu pada ketentuan keimigrasian, yang di atur dalam UU No.6 Th.2011 (Tabel 2.2.).

Tabel 2.2. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait Perikanan.

Peraturan Perundang-undangan sebelum UU No.31 Th.2004

Hal-hal khusus yang diatur terkait Penanganan Tindak Pidana Perikanan

Masa Penjajahan Belanda

- Berlaku ketentuan-ketentuan Belanda, salah satunya yang menetapkan wilayah laut territorial Indonesia adalah 3 mil.

Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957

- Deklarasi Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut territorial 12 mil.

30 UU No.5 Tahun 1983

tentang Zona Ekonomi Eksklusif

- Mengatur mengenai ZEEI, termasuk didalamnya jika terjadi tindak pidana di wilayah ZEEI.

UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan

- Mengatur hal-hal terkait dengan masalah perikanan, namun dengan materi hukum acara dan hukum pidana pokok mengacu pada ketentuan KUHP dan KUHAP.

UU No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982

- Pengesahan (ratifikasi) UNCLOS 1982 memberikan arti bahwa Indonesia setuju untuk menaati isi dari konvensi tersebut.

UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

- Peraturan ini mengatur khusus mengenai perairan Indonesia. UU No.31 Tahun 2004

tentang Perikanan

- Peraturan ini menggantikan UU No.9 Tahun 1985, terdapat banyak hal baru yang di atur terkait masalah perikanan di Indonesia.

UU No.17 Th.2008 tentang Pelayaran

- Pada aturan pelayaran, kapal-kapal wajib melengkapi dokumen pelayaran, termasuk didalamnya kapal-kapal perikanan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dalam usaha perikanan dapat dikategorikan sebagai pidana perikanan.

UU No.32 Th.2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

- Pidana perikanan, jika dilihat juga terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Karena tujuan dari diadakannya peraturan terkait sumber daya alam adalah untuk pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. UU No.45 Th.2009

tentang Perubahan Atas UU No.31 Th.2004 tentang Perikanan

- Undang-undang ini adalah penyempurnaan dari UU No.31 Tahun 2004. Pengaturan tentang barang bukti untuk pidana perikanan yang

sebelumnya belum diatur dalam UU No.31 Tahun 2004, diatur dalam undang-undang ini.

UU No.6 Th.2011 tentang Keimigrasian

- Keterkaitan dengan pidana perikanan adalah pada saat pelaku pidana adalah warga negara asing. Imigrasi hanya dapat menangani pada saat proses penanganan pidana perikanan telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht).

Sumber: Data diolah, 2012.

Uraian singkat pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2., pada beberapa pasal khusus terkait materi hukum pidana dan hukum acara perikanan yang terdapat pada UU No.31 Th.2004 dan UU No.45 Th.2009, dan ada beberapa hal khusus yang harus diperhatikan, yaitu:

(1) Pasal 74 sampai Pasal 76 menjelaskan tentang penuntutan. Berdasarkan ketentuan pasal 74, hukum acara yang berlaku adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain dari undang-undang ini. Batas berlakunya aturan pidana sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengharuskan pidana harus dilakukan berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada, dan jika terdapat perubahan terhadap undang-undang, maka diterapkan peraturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

(2) Pasal 77 hingga Pasal 83 A menjelaskan tentang pemeriksaan di sidang pengadilan untuk kasus perikanan. Jika melihat Pasal 79, pemeriksaan sidang di pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Berdasarkan Pasal 83 A, pemulangan WNA yang terkait kasus perikanan ditangani oleh instasi keimigrasian.

31 (3) Pasal 100 D, dijelaskan bahwa jika pidana denda, maka denda disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kementerian kelautan dan perikanan (KKP).

(4) Pasal 102, bahwa ketentuan dalam undang-undang perikanan tidak berlaku untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

(5) Pasal 104, untuk pembebasan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan pidana perikanan di ZEEI dapat dilakukan sebelum adanya putusan pengadilan dengan adanya uang jaminan yang layak yang ditetapkan oleh pengadilan perikanan.

Peraturan perundang-undangan terkait penanganan perikanan baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum dibahas dalam tabel tersebut diatas antara lain:

(1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNIA

(2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia;

(3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati;

(4) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

(5) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;

(6) Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang perkapalan; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang kepelabuhan;

(8) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

(9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

(10) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan di Kapal dan Alat Tangkap;

(11) Perpres Nomor 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT; (12) Perpres Nomor 09 tahun 2007 tentang Pengesahan IOTC;

(13) Permen KP Nomor Per.11/Men/ 2006 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan;

(14) Permen KP Nomor Per. 05/Men/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan;

32 (15) Permen KP Nomor PER.01/Men/2009 tentang WPP RI;

(16) Permen KP Nomor Per. 18/Men/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan;

(17) Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penenmpatan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang diubah oleh Permen KP No. 08/Men/2011;

(18) Permen KP Nomor PER.14/Men/2011 tentang usaha perikanan tangkap yang diubah dengan Permen KP Nomor 49/Men/2011;

(19) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2007 tentang Keadaan Kritis Yang Membahayakan atau Dapat Membahayakan Sediaan Ikan, Spesies Ikan, atau Lahan Pembudidayaan Ikan;

(20) Kepmen KP No. 13 tahun 2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon dalam rangka pengelolaan SDI;

(21) Kepmen KP No. B.352/Men.KP/VII/2006 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan di Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota; (22) Kepmen KP Nomor Kep.04/ Men/2007 tentang Pembentukan Tim Teknis Penanganan

Tindak Pidana di bidang Perikanan;

(23) Kepmen KP Nomor 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi SDI di WPP NRI; (24) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan; (25) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 17 Nopember 1983 tentang

Penyelesaian kasus-kasus atau pelanggaran tindak pidana di laut tanpa mengkhawatirkan

locus delicti.

Penerapan berbagai macam hukum dan peraturan perundang-undangan secara bersama-sama tanpa upaya harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) sudah barang tentu akan menimbulkan masalah seperti benturan kepentingan antar lembaga stakeholders terkait dengan upaya memerangi tindak pidana IUU Fishing (Shidarta, 2005).

Lebih lanjut, Shidarta (2005) menyatakan bahwa masing-masing hukum dan peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman-pedoman untuk memperoleh tujuan dan melaksanakan strategi, dimana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Kebijakan tersebut terdiri atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Kebijakan yang bersifat tetap (regulatory policies) yang diterapkan dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya; dan (2) Kebijakan yang tidak tetap, yaitu yang mudah diubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam konteks ini, harmonisasi dan sinkronisasi dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan

33 penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dari masing-masing produk hukum dan peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas-asas hukum yang berlaku.

Harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) tersebut dapat dimaknai sebagai bagian dari sisi pencegahan dan penanggulangan. Sisi pencegahan, harmonisasi dan sinkronisasi tersebut merupakan upaya harmonisasi dan sikronisasi yang dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan terkait dengan IUU Fishing. Sementara dari sisi penanggulangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi keadaan disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang telah terjadi. Disharmonisasi dan sinkronisasi tersebut dapat dicerminkan oleh: tumpang-tindih kewenangan, benturan kepentingan, persaingan tidak sehat, sengketa, pelanggaran, dan tindak pidana. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disharmonisasi dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan menurut Simarmata (2005):

(1) Jumlah produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang begitu banyak;

(2) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders;

(4) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum dan peraturan perundang-undangan;

(5) Kendala hukum dan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan;

(6) Penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost – diffused benefit, diffused cost – concentrated benefit, concentrated cost – diffused cost, dan concentrated cost – concentrated benefit.

Harmonisasi dan sikronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan memerlukan teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan dalam rangka mempertegas kehendak hukum dan perturan perundang-undangan, kehendak masyarakat, dan kehendak moral melalui kegiatan penafisran dan penalaran hukum dan peraturan perundang-undangan, serta pemberian argumentasi yang rasional kepada hasil penafsiran dan penalaran

34 hukum dan peraturan perundang-undangan (Purwaka, 2005a). Teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan ini harus memenuhi asas-asas penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu: (1) asas-asas yang berkaitan dengan prosedur harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan; dan (2) asas-asas yang berkaitan dengan materi hukum dan peraturan perundang-undangan (Sidharta, 2005). Asas-asas yang terkait dengan materi harmonisasi dan sinkronisasi antara lain asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sementara, asas yang berkaitan dengan materi antara lain asas-asas pemerintahan yang baik (good governance).

Hasil kajian Sidharta (2005) menemukan beberapa kemungkinan disharmonisasi (ketidak-selarasan) dan dissinkronisasi (ketidak-serasian) dalam penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

(1) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan, yakni hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dan Undang-Undang.

(2) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain.

(3) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi hukum dan peraturan perundang-undangan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya.

(4) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu produk hukum atau peraturan yang sama, dalam arti hanya berbeda Nomor ketentuan (misalnya Pasal 1 bertentangan dengan Pasal 5 dari satu Undang-Undang yang sama).

(5) Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda (misalnya antara Undang-Undang dan putusan hakim, atau antara Undang-Undang-Undang-Undang dan kebiasaan).

Senada dengan temuan kajian Sidharta di atas, Purwaka (2005) menyatakan bahwa kegiatan harmonisasi (penyelarasan) dan sinkorinisasi (penyerasian) perlu memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku, seperti:

(1) Lex superior de rogat legi inferiori, dimana hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Dengan kata lain, hukum yang

35 lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Bila hal tersebut terjadi, maka hukum yang lebih rendah tingkatannya tersebut batal demi hukum;

(2) Lex posterior de rogat legi priori, dimana hukum yang baru dapat mengesampingkan hukum yang lama sepanjang mengatur hal yang sama;

(3) Lex specialis de rogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Di dalam praktek, de rogat ternyata tidak diartikan sebagai saling melengkapi dimana hukum yang bersifat khusus diperiritaskan pelaksanaannya atau penerapannya;

(4) Pacta sunt servanda, dimana perjanjian perdagangan, ekspor-impor atau jual beli berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya.

Secara umum terdapat dua jenis metode penemuan hukum dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi (Sidharta, 2005).

Secara teoritis dikenal bermacam-macam metode interpretasi dalam penemuan hukum, yaitu: (1) interpretasi gramatikal (obyektif) yakni penafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya; (2) interpretasi otentik yakni penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan

(memorie van toelichting), rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan

pasal lainnya; (3) interpretasi teleologis (sosiologis) yakni penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan; (4) inpretasi sistematis (logis) yakni penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya; (5) interpretasi historis (subyektif) yakni penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah Undang-Undang); (6) interprestasi komparatif yakni penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lain; (7) interpretasi futuris yakni penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan Undang-Undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum); (8) interpretasi restriktif yakni penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan; dan (9) interpretasi ekstensif yakni penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan.

Sementara metode konstruktif, dikenal ada 3 (tiga) macam, yaitu: (1) konstruksi analogi yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah” memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; (2) konstruksi penghalusan hukum (penyempitan

36 hukum) yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah” mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; dan (3) konstruksi a contrario yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya.

37

BAB III