• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Akhir Tahun

KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI

KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA

Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

(2)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 ii

TIM PENYUSUN

Tim Peneliti

Dr. Sonny Koeshendrajana (Penanggung Jawab) Yesi Dewita Sari, M.Si (Wakil Penanggung Jawab) Tajerin, M.Ec (Anggota)

Bayu Vita Indah Yanti, SH (Anggota) Akhmad Nurul Hadi (Anggota)

Freshty Yulia Arthatiani, S.Pi (PUMK/Anggota) Akhmad Solihin, S.Pi., MH (Anggota)

Fuad Himawan, SH., MM (Anggota)

Bono Budi Priambodo, SH., M.Sc (Anggota) Abdul Salam, SH., MH (Anggota)

Putri Kusuma Amanda, SH (Anggota)

Narasumber

(3)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 iii

LEMBAR PENGESAHAN

1. Satuan Kerja (Satker)

: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi

Kelautan dan Perikanan

2. Judul RPTP

: Kajian Hukum Dalam Rangka Memerangi

Kegiatan IUU Fishing Di Indonesia

3. Sumber Tahun Anggaran : APBN 2012

4. Status Penelitian

: Baru

5. Jumlah Anggaran

: Rp.409.722.000 (Empat ratus sembilan

juta tujuh ratus dua puluh dua ribu rupiah)

6. Penanggung jawab kegiatan : Dr. Sonny Koeshendrajana

NIP. 19600424 198503 1 006

Mengetahui,

Ka. BBPSEKP

Jakarta, Desember 2012

Penanggung Jawab Kegiatan,

Dr. Agus Heri Purnomo

NIP. 19600831 198603 1 003

Dr. Sonny Koeshendrajana

NIP. 19600424 198503 1 006

(4)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 iv

RINGKASAN

Permasalahan perikanan, baik internasional maupun nasional terus berkembang pesat seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan. Akibatnya adalah, dunia dihadapkan pada ancaman gejala tangkap lebih (over-fishing). Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar dihadapkan pada praktik-praktik IUU Fishing yang menimbulkan gejala

overfishing. Penurunan sumber daya ikan terjadi di beberapa wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia. Negara-negara yang menjadi pelaku utama IUU Fishing di perairan Indonesia dan Zona Economic Exclusive Indonesia (ZEEI) diantaranya adalah Malaysia, Vietnam, Myanmar, Thailand, Filipina dan China. Sementara kerugian ekonomi yang diderita Indonesia akibat praktik perikanan ilegal oleh kapal ikan asing diperkirakan sebesar Rp.30 triliun per tahun, merupakan angka estimasi yang sampai saat ini dianggap valid karena diperoleh dari hasil analisa Organisasi Pangan Dunia (FAO) (P2SDKP, 2008). Pelaksanaan pemberantasan IUU Fishing di Indonesia dilakukan untuk mewujudkan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.

Pemberantasan IUU Fishing di Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mengakibatkan pemberantasan IUU Fishing tersebut tidak efektif, diantaranya dikarenakan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang ada dan kondisi sarana dan prasarana dalam melakukan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum di laut masih sangat lemah baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. Terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana bentuk harmonisasi antarperaturan terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia dengan hukum internasional, bagaimana bentuk sinkronisasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum untuk tindak pidana IUU Fishing, dan bagaimana efektifitas kelembagaan dalam rangka implementasi peraturan teknis terkait usaha perikanan. Hasil penelitian ini juga harus dikaitkan dengan isu-isu strategis pembangunan kelautan dan perikanan mencakup isu gender; isu pembangunan di daerah tertinggal; isu pembangunan di daerah perbatasan dan pulau terluar; isu pelaksanaan MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) khususnya pada koridor IV, dan isu program peningkatan kesejahteraan nelayan klaster IV. Hal ini merupakan bentuk dukungan terhadap analisis lebih lanjut terkait isu strategis melalui peningkatan efektifitas penanganan dan penegakan hukum terhadap IUU

Fishing di Indonesia. Penanganan IUU Fishing di Indonesia yang baik diharapkan menjadi

sebuah upaya untuk meningkatkan produksi ikan hasil tangkapan yang dapat mendukung industrialisasi perikanan dan berdampak terhadap pengembangan ekonomi masyarakat dan juga termasuk menjadi bagian dari pelaksanaan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya pada koridor IV, serta pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan nelayan klaster IV. Kegiatan aktivitas IUU Fishing yang sebagian besar terjadi di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar dan pada umumnya merupakan daerah tertinggal, menuntut penanganan yang tegas terhadap aktivitas IUU Fishing agar dapat mendorong program pembangunan di daerah tersebut. Permasalahan gender akan melihat pada dampak yang ditimbulkan pada program pemerintah terkait pada pemberdayaan perempuan.

(5)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 v

Bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dengan peraturan internasional dapat terlihat pada materi peraturan undang-undang perikanan di Indonesia dimana pada bagian tertentu menyesuaikan untuk tidak bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, dalam hal ini terkait dengan penanganan pelanggaran yang terjadi di wilayah ZEEI. Terkait dengan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi dalam peraturan nasional, terlihat dalam implementasi pelaksanaan aturan main tersebut. Hukum perikanan dalam penerapannya terkait dengan penerapan hukum pelayaran, perairan, alur laut kepulauan Indonesia, ZEEI, landas kontinen Indonesia dan peraturan lainnya, dalam pelaksanaannya masih terdapat tumpang tindih kewenangan dalam penegakannya. Seperti kewenangan penyidikan di wilayah ZEEI, dalam UU tentang ZEEI, kewenangan penyidikan atas setiap pelanggaran di wilayah ZEEI merupakan kewenangan TNI AL, dan hal ini berbeda dengan ketentuan UU tentang perikanan, dimana untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, kewenangan diberikan selain pada TNI AL juga pada PPNS Perikanan.

Potret praktek kegiatan memerangi IUU fishing ditemukan pada saat melakukan observasi ke lokasi-lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu Batam (Kepulauan Riau), Pontianak (Kalimantan Barat), Bitung (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), dan Sorong (Papua Barat). Dilihat dari lima lokasi penelitian tersebut, hanya ada 2 (dua) pengadilan perikanan di Pontianak dan di Bitung, yang menangani kasus IUU fishing dalam peradilan khusus sedangkan di 3 (tiga) lokasi lainnya, kasus-kasus IUU fishing ditangani oleh pengadilan negeri, meskipun dalam penanganannya tetap dengan memakai aturan hukum perikanan. Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian berdasarkan pada data informasi yang diperoleh dari key informan dari 15 (lima belas) jenis atau tipe IUU fishing dimana yang paling sering terjadi adalah adalah pelanggaran terkait ijin kapal asing, tidak adanya SIPI dan SIKPI, tidak adanya tanda pendaftaran kapal perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT, melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI (pelanggaran fishing ground), adanya pemalsuan dokumen perijinan, adanya pelanggaran tonase kapal, tidak melaporkan hasil tangkapan dengan benar, banyaknya hasil sampingan yang melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan, pelanggaran alat tangkap, dan adanya ABK asing yang bekerja tidak sesuai SIPI.

Penegakan hukum bagi para pelaku IUU Fishing di Indonesia termasuk dalam bagian sistem peradilan pidana dan melibatkan beberapa lembaga penegak hukum yang berkaitan satu sama lain. Dimulai dari proses perijinan dokumen, karena jika perijinan tidak lengkap, berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah termasuk dalam kategori melakukan usaha perikanan ilegal. Proses penegakan hukum yang dilakukan harus berdasarkan peraturan, berfungsi dengan baik jika dapat meminimalkan tindakan pelanggaran hukum berikutnya, meminimalkan kerugian negara, dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.. Efektifitas kelembagaan penegak hukum perikanan Indonesia masih dapat dioptimalisasikan tugas dan kewenangannya, jika terdapat komunikasi antarlembaga, mengingat keterbatasan sumber daya dan fasilitas pendukung yang ada, sehingga sebaiknya semua penegak hukum bekerjasama dalam menangani permasalahan ini. Fungsi koordinasi kelembagaan keamanan laut yang dilakukan Bakorkamla harus diefektifkan dalam melakukan koordinasi dan komunikasi antarstakeholders yang berperan dalam bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum perikanan dalam menangani kasus-kasus perikanan memiliki tugas dan kewenangan tertentu berdasarkan dasar hukum yang menjadi dasarnya.. Pada saat pelaksanaan tugas dan kewenangan dari instansi-instansi penegak hukum perikanan masih timbul permasalahan, antara lain terkait dengan kewenangan penangkapan, kewenangan penyidikan, penanganan para pelaku IUU fishing (mulai dari penangkapan hingga putusan), hingga penanganan barang bukti kasus perikanan. Tahapan penyidikan ditemukan kesulitan dalam proses penyidikan kasus perikanan karena minimnya jumlah PPNS perikanan yang mengerti mengenai tindak pidana perikanan dan jumlah PPNS Perikanan terbatas, sedangkan kebutuhan akan PPNS

(6)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 vi

perikanan untuk menangani kasus perikanan tinggi, sedangkan pada tahapan penuntutan timbul permasalahan bahwa penuntut umum untuk kasus perikanan adalah jaksa penuntut umum (JPU) harus mendapatkan sertifikasi pelatihan perikanan, dan merupakan JPU di kejaksaan negeri (kejari) hal ini menyebabkan pelaksanaan penuntutan menghadapi keterbatasan jumlah JPU yang telah disertifikasi, Permasalahan yang ditemui pada tahapan peradilan pada saat pemeriksaan di pengadilan, selain keterbatasan penterjemah bahasa asing, untuk mengerti terkait perikanan hanya meminta bantuan staff dari dinas kelautan dan perikanan setempat sebagai keterangan ahli, mengingat jika meminta PPNS perikanan tidak selalu tersedia. Untuk tahapan pelaksanaan putusan pengadilan juga menghadapi permasalahan yaitu untuk putusan denda, terpidana tidak sanggup membayar, namun untuk melaksanakan hukuman subsidair kurungan, kadangkala tidak dijalankan, karena jika dijalankan dianggap melanggar ketentuan pasal 73 ayat (3) UNCLOS, untuk kasus perikanan yang ada di ZEEI, selain itu untuk penanganan barang bukti kasus perikanan memerlukan tempat khusus dan penanganan khusus.

Peran dan fungsi pengamanan dan penegakan hukum di laut yang ada selama ini masih belum berjalan secara efektif, karena terkesan masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Unity

of effort secara entitas nasional belum dapat terwujud, sehingga direkomendasikan dua jenis

kebijakan penguatan peran KKP terkait dengan upaya memerangi IUU Fishing di Indonesia. Kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong sistem kolaboratif dan sinergisitas antar institusi yang terkait dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong efektivtas kelembagaan hukum terkait dengan upaya memerangi maraknya IUU Fishing di Indonesi untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan saat ini perlu peningkatan kemampuan pengawas perikanan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, perlu pemerataan penempatan jumlah penyidik perikanan di seluruh wilayah Indonesia, dan perlu dilakukan pemberdayaan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk membantu tugas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.

Dampak yang terjadi jika penanganan penegakan hukum IUU fishing di Indonesia dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan kewenangan masing-masing lembaga dengan berdasarkan pada aturan hukum formal yang mengatur, dengan berkoordinasi antarinstansi di Indonesia, maka Indonesia akan dapat menekan terjadinya kasus IUU fishing, dan memberikan efek jera bagi para pelaku perikanan ilegal sehingga tidak melakukan hal tersebut kembali di masa mendatang. Penegakan hukum perikanan dapat menjadikan sumber daya terjaga, kedaulatan wilayah nasional juga terjaga dari ancaman asing (karena pelaku IUU fishing umumnya asing), dan nelayan dapat melakukan usaha penangkapan ikan dengan lebih baik. Meskipun dalam penelitian ini ditemukan permasalahan terkait adanya perdagangan bahan bakar minyak (BBM) ilegal yang membuat masih banyak kapal yang melakukan perikanan ilegal di Indonesia.

(7)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas petunjuk dan ridho-Nya sehingga pembuatan laporan akhir tahun ‘Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia’ dapat diselesaikan. Kegiatan penelitian ini memungkinkan dilaksanakan sebagai salah satu upaya memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia, mengetahui efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia, dan memberikan rekomendasi opsi kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU

Fishing yang dibiayai oleh DIPA-2012 pada Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan

dan Perikanan (BBPSE-KP).

Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak sempurna dalam penyajiannya, untuk itu saran dan masukan bersifat konstruktif demi penyempurnaan laporan lengkap mendatang sangat kami harapkan, terutama dari evaluator, narasumber maupun pihak-pihak yang memanfaatkan hasil kajian ini. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan untuk hal tersebut di atas.

Jakarta, Desember 2012

(8)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

TIM PENYUSUN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

RINGKASAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan dan Keluaran 7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing 8

2.2. Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-undangan 22

2.3. Perspektif Hukum IUU Fishing 25

2.3.1. Perspektif Hukum Internasional 25

2.3.2. Perspektif Hukum Nasional 26

2.4. Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

28

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran 37

3.2. Pendekatan Penelitian 38

3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian 39

3.4. Data dan Sumber Data 39

3.5. Teknik Pengumpulan Data 39

3.6. Metode Analisis Data 40

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemetaan Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum IUU Fishing 41

4.1.1. Illegal Fishing 46

4.1.2. Unreported Fishing 54

4.1.3. Unregulated Fishing 62

4.1.4. Sinkronisasi Hukum Internasional dan Nasional terkait IUU Fishing 65

4.2. Potret Praktek IUU Fishing di Indonesia 81

4.2.1. Batam, Kepulauan Riau 82

4.2.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU Fishing

82 4.2.1.2. Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian 84

4.2.1.3. Pelaku IUU fishing 85

4.2.1.4. Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di Batam

(9)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 ix

4.2.2. Pontianak, Kalimantan Barat 90

4.2.2.1. Kondisi umum lokasi penelitian sehingga terjadinya IUU fishing

90 4.2.2.2. Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian 94

4.2.2.3. Pelaku IUU fishing 95

4.2.2.4. Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di Kota Pontianak

96

4.2.3. Bitung, Sulawesi Utara 99

4.2.3.1. Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU fishing

99 4.2.3.2. Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian 101

4.2.3.3. Pelaku IUU fishing 105

4.2.3.4. Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di kota Bitung

106

4.2.4. Ambon, Maluku 111

4.2.4.1. Kondisi umum lokasi 111

4.2.4.2. Jenis atau tipe IUU fishing 112

4.2.4.3. Pelaku IUU fishing 113

4.2.4.4. Upaya memerangi praktek IUU fishing 114

4.2.5. Sorong, Papua Barat 119

4.2.5.1. Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU fishing

119

4.2.5.2. Jenis atau tipe IUU fishing 123

4.2.5.3. Pelaku IUU fishing 124

4.2.5.4. Upaya memerangi praktek IUU fishing 125

4.3. Efektifitas kelembagaan Penegakan hukum IUU Fishing di Indonesia 129

4.3.1. Analisis kelembagaan 130

4.3.2. Analisis kewenangan dan kewilayahan 138

4.3.2.1. Perizinan 139

4.3.2.2. Penangkapan 139

4.3.2.3. Penyidikan 139

4.3.2.4. Penuntutan 140

4.3.2.5. Pemeriksaan pengadilan 140

4.3.2.6. Pelaksanaan putusan pengadilan 141

4.3.3. Analisis efektifitas kelembagaan (permasalahan dalam kewenangan 141 4.4. Opsi-opsi kebijakan dan strategi memerangi IUU fishing 144

4.5. Dukungan terhadap isu strategis 148

4.5.1. Gender 148

4.5.2. Pembangunan daerah tertinggal 149

4.5.3. Wilayah perbatasan dan terluar 149

4.5.4. Peningkatan kesejahteraan nelayan cluster 4 150 4.5.5. Masterplan Percepatan Pembangunan Perluasan Ekonomi Indonesia

(MP3EI)

(10)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 x

V. KESIMPULAN DAN LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

154

5.1. Kesimpulan 154

5.2. Implikasi Kebijakan 155

5.3. Perkiraan Dampak 156

(11)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 xi

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1 Perbedaan pandangan criminal justice dan restorative justice 25 2.2 Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait Perikanan 29 4.1 Asas-asas hukum yang perlu diperhatikan dalam kegiatan harmonisasi

(penyelarasan) dan sinkronisasi

41

4.2 Metode-metode interpretasi dalam penemuan hukum 45

4.3 Metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum 46

4.4 Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Illegal Fishing 52 4.5 Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unreported Fishing 62 4.6 Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unregulated Fishing 64 4.7 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia

68 4.8 Pelabuhan Pangkalan yang ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Kep. 11/Men/2004

77 4.9 Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan MCS 78 4.10 Data Produksi Perikanan Kota Batam Tahun 2009-2011 83

4.11 Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Batam 84

4.12 Tindak Pidana Perikanan yang Ditangani Satker PSDKP Kota Batam 86 4.13 Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP 711 92

4.14 Jenis atau Tipe IUU Fishing di Pontianak 94

4.15 Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Bitung 102

4.16 Jumlah ABK Non Justisia yang ditangani PPNS 105

4.17 Jenis atau Tipe IUU Fishing di Ambon 112

4.18 Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP 715, WPP 717, dan WPP 718

122

4.19 Jenis atau Tipe IUU Fishing di Sorong 123

4.20 Tanggung Jawab Penanganan Barang Bukti Kasus Perikanan 138 4.21 Pembagian Peran Pada Penanganan Kasus Pidana Perikanan 143 4.22 Permasalahan Pada Saat Penanganan Kasus Perikanan Tiap Tahapan 143

(12)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar hal

1.1 1.2

Gambaran Pengaturan Laut Indonesia Produksi Perikanan Dunia

1 2 1.3 Peta Zona Kerawanan Pelanggaran Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 4

2.1 Praktek IUU Fishing di Kawasan Perairan Uni Eropa 15

3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU

Fishing di Indonesia

38

4.1 Proses harmonisasi dan sinkronisasi 41

4.2 Peta WPP Indonesia 67

4.3 Lokasi WPP Kota Batam termasuk di WPP. 711. Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan

82

4.4 Potensi Perikanan Tangkap di Kalimantan Barat 91

4.5 Propinsi Kalimantan Barat termasuk dalam WPP 711 91

4.6 Rekapitulasi Penerbitan SIB di PPN Pemangkat Th.2011 93

4.7 Data Kasus Perikanan di Pontianak. 98

4.8 WPP Kota Bitung termasuk dalam WPP 715 dan WPP 716 100

4.9 Data Produksi Perikanan Kota Bitung 100

4.10 Daftar Penanganan Perkara Ditpolair Polda Sulut Tahun 2011 108 4.11 Statistik tindak perkara perikanan pada Pengadilan Perikanan Kota Bitung

Tahun 2011

109 4.12 WPP Kota Ambon termasuk dalam WPP 714 dan WPP 715. 112 4.13 Propinsi Papua Barat termasuk dalam WPP 715, WPP 717, dan WPP 718. 120

4.14 Kunjungan Kapal di Pelabuhan Sorong 122

4.15 Kapal Filipina yang disita di pelabuhan perikanan Sorong 125

4.16 Tahapan Penanganan Kasus Perikanan 130

4.17 Koridor Ekonomi Indonesia 151

4.18 Koridor Ekonomi Pulau Sumatera 151

4.20 Koridor Ekonomi Pulau Kalimantan 152

4.21 Koridor Ekonomi Pulau Sulawesi 152

4.22 Koridor Ekonomi Kepulauan Maluku dan Papua 153

(13)

Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia

Laporan Akhir Tahun 2012 xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran hal

1 Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Kewenangan 159

2 Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan Jenis Pelanggaran Tahun 2012

161 3 Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan

Kebangsaan Kapal Tahun 2012

162 4 Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan Proses

HukumTahun 2012

163 5 Pelabuhan Pangkalan yang ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Kep. 11/Men/2004

164

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

George Bernard Shaw pernah mengemukakan dalam melihat berbagai macam permasalahan, pada umumnya akan memunculkan pertanyaan ‘mengapa’; sedangkan saya memimpikan hal yang tidak ada dan bertanya ‘mengapa tidak’ (Shaw dalam Ali, 2010). Penyataan tersebut menarik untuk memulai pembahasan mengenai peliknya pengawasan sumber daya alam laut Indonesia. Pembahasan pengawasan sumber daya alam laut Indonesia jika diuraikan lebih rinci, memiliki banyak keterkaitan antar bidang, karena laut berbeda dengan darat. Pengawasan sumber daya alam laut Indonesia antara lain memiliki keterkaitan antara perikanan dengan pelayaran, dengan pertahanan, dan dengan lingkungan (Gambar 1.1). Instansi yang diberikan amanat untuk menangani permasalahan pengawasan sumber daya alam laut Indonesia tidak hanya terdiri dari satu instansi saja, namun terdiri dari beberapa instansi yang khusus menangani permasalahan tertentu. Salah satu sebab dari kebijakan tersebut, dikarenakan saat ini Indonesia dihadapkan pada kondisi banyaknya produk legislasi yang mengatur untuk permasalahan yang sama dan menyebabkan hilangnya orientasi dan hilangnya suasana keutuhan untuk kembali kepada totalitas dan keutuhan menangani masalah (Rahardjo dalam Ali, 2010).

Gambar 1.1. Gambaran Pengaturan Laut Indonesia (Rangkuman Berbagai Sumber)

Laut

Indonesia

Hukum laut Internasional Hukum Nasional Perairan (ALKI) Perikanan Pelayaran/

(15)

2 Permasalahan pemanfaatan, pengelolaan, dan pengawasan sumber dayaperikanan terus berkembang pesat seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan. Dunia dihadapkan pada ancaman gejala tangkap lebih (over-fishing). Data Food and Agriculture

Organization (FAO) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih pada skala internasional

yang semakin meluas, yaitu 16% over exploited dan 44% fully exploited (Fontaubert and Lutchman, 2003). FAO pada tahun 2010 melaporkan bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77-86 juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 79,9 juta ton pada tahun 2009 (FAO, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perikanan tangkap dunia semakin menunjukan angka penurunan (Gambar 1.2.).

Gambar 1.2. Produksi Perikanan Dunia (Sumber: FAO, 2010)

Kecenderungan stagnasi ataupun penurunan produksi perikanan memberikan gambaran mulai berlangsungnya krisis perikanan dunia yang selanjutnya akan berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan sektor perikanan; hal ini, ternyata diperparah oleh permasalahan

IUU Fishing, yang meliputi kegiatan perikanan yang dilarang (illegal); kegiatan perikanan yang

tidak dilaporkan (unreported); dan kegiatan perikanan yang tidak atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan (unregulated).

Di Indonesia, pengertian IUU Fishing merujuk pada kriteria yang tertuang dalam

International Plan Of Action (IPOA) tahun 2001 sebagai berikut.

(1) Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang tidak memiliki izin di Wilayah Pengelolaan

(16)

3 Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia (NRI), kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang bertentangan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang melakukan pelanggaran peraturan dan ketentuan nasional.

(2) Unreported fishing adalah kegiatan usaha perikanan yang mencakup usaha penangkapan ikan yang tidak dilaporkan baik sengaja ataupun tidak kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan dan ketentuan nasional dan regional.

(3) Unregulated fishing adalah kegiatan yang mencakup usaha penangkapan ikan pada area

Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang dilakukan oleh kapal yang

tidak berbendera atau kapal bukan anggota RFMO, dan kegiatan penangkapan ikan pada suatu kawasan atau stok sumber daya ikan (SDI) dimana pengelolaan dan konservasi tidak diterapkan dan kegiatan penangkapan dilakukan secara tidak bertanggung jawab.

Kegiatan IUU fishing berdasarkan penelitian Gallic (2004) menimbulkan dampak terjadinya penurunan stok ikan di dunia, karena kontribusi kegiatan IUU Fishing mencapai 30% dari total tangkapan internasional (Gallic, 2004). Selain terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan dunia, juga dapat menimbulkan kelangkaan ikan, dan mempunyai dampak negatif lainnya, seperti: (1) kegiatan IUU Fishing yang sudah mencakup wilayah yang luas, baik dalam konteks nasional maupun internasional menimbulkan ancaman bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan; (2) kegiatan IUU Fishing menyebabkan penurunan stok sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi nelayan yang beroperasi secara legal; dan (3) kegiatan IUU Fishing dapat menjadi ancaman perusak hubungan antarnegara bertetangga, karena pelaku melakukan pelanggaran batas wilayah negara. Dengan demikian, kegiatan IUU

Fishing merupakan ancaman besar terhadap keberlanjutan pengelolaan perikanan dan

keanekaragaman hayati laut, baik di laut yang berada di bawah bawah yurisdiksi nasional maupun di laut lepas (Sumalia, 2004). Selain dampak ekologi, kegiatan IUU Fishing juga menimbulkan permasalahan dampak ekonomi berupa kerugian suatu negara pantai atas komoditas ikan yang dicuri, dan permasalahan sosial berupa ancaman virus HIV yang umumnya dibawa oleh para pelaku perikanan ilegal.

Wilayah perairan Indonesia yang luas membuat Indonesia dihadapkan pada kegiatan IUU

Fishing yang menimbulkan gejala overfishing. Hal ini dicerminkan dengan menurunnya sumber

daya ikan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, seperti Laut China Selatan dan Laut Arafura. Beberapa negara yang bertetangga dengan Indonesia menjadi

(17)

4 pelaku utama kegiatan IUU Fishing di perairan Indonesia dan Zona Economic Exclusive

Indonesia (ZEEI), diantaranya Malaysia, Vietnam, Myanmar, Thailand, Filipina dan China

(Nikijuluw, 2008). Pelaku utama kegiatan IUU fishing di WPP 571 dan 711 dilakukan oleh Thailand, sementara di WPP 717 dan 718 dilakukan oleh Filipina, dan di WPP 715 dilakukan oleh Thailand dan China (Gambar 1.3.). Kerugian ekonomi yang diderita Indonesia akibat kegiatan IUU fishing yang dilakukan oleh kapal ikan asing diperkirakan sebesar Rp.30 triliun per tahun, dengan perhitungan yang didasarkan pada adanya 25% potensi perikanan yang dicuri atau sekitar 1,6 juta ton, dengan harga jual ikan US$ 2 per kilogram. Angka kerugian sebesar Rp.30 triliun tersebut merupakan angka estimasi yang sampai saat ini dianggap valid karena diperoleh dari hasil analisa Organisasi Pangan Dunia (FAO) (P2SDKP, 2008).

Gambar 1. 3. Peta Zona Kerawanan Pelanggaran Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

(Sumber: P2SDKP, 2008)

Dalam rangka mengatasi ancaman permasalahan penurunan sumber daya ikan dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan aturan internasional dalam rangka mewujudkan perikanan berkelanjutan global. Penetapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982 (UNCLOS 1982), pada Pasal 61 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) di ZEE. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut dilakukan oleh setiap negara pantai

(18)

5 harus berdasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence

available) untuk menjamin tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga dapat

menghindarkan terjadinya overfishing (Pasal 61 ayat 2). Selain UNCLOS 1982, dalam pengelolaan perikanan, juga terdapat dua instrument internasional lain yang mengatur pelaksanaan pengelolaan perikanan, yaitu Agreement to Promote Compliance with International

Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Sea (FAO Compliance Agreement 1993) dan the United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA 1995).

Selain menerapkan dua instrumen internasional di bidang perikanan tersebut, juga terdapat pedoman yang harus diperhatikan dalam pemberantasan IUU Fishing, yaitu Code of

Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya

mengajak negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh untuk mengikatkan diri pada FAO Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agreement

1995. FAO menerbitkan panduan pengelolaan beberapa aspek perikanan tertentu untuk

membantu negara-negara pantai untuk menyusun rencana pengelolaan perikanan masing-masing, diantaranya, International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal,

Unreported and Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU Fishing. Karena itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA on IUU Fishing ini ke dalam suatu Rencana Aksi Nasional atau National Plan of Action (NPOA).

Pada perkembangan terakhir, FAO mengeluarkan Port State Measures (PSM) Agreement1 yang hingga saat ini belum berlaku efektif, karena baru dilakukan

penandatanganan. FAO pada tahun 2012 juga telah mencanangkan bahwa IUU Fishing merupakan Transnational Organized Crime dan fakta dilapangan IUU Fishing sudah merupakan

An Extraordinary atau kejahatan lintas negara yang teroganisir, dan merupakan kejahatan luar

biasa.

Pemerintah Indonesia hingga saat ini, sudah melakukan ratifikasi terhadap UNCLOS 1982 dan UNIA 1995. Konsekuensi hukum dari ratifikasi yang telah dilakukan tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk menuangkan ketentuan yang tertuang dalam kedua instrument tersebut dalam peraturan hukum nasional. Implementasi ketentuan internasional yang telah diratifikasi Indonesia dapat terlihat dalam peraturan hukum nasional yang dibuat dalam rangka mengatasi permasalahan IUU Fishing di Indonesia. Pemerintah telah

(19)

6 mengeluarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah hingga peraturan menteri kelautan dan perikanan untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan pada umumnya dan pemberantasan IUU Fishing khususnya.

Pelaksanaan pemberantasan kegiatan IUU Fishing di Indonesia dilakukan untuk mewujudkan salah satu misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, yaitu mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dengan berbasiskan kepentingan nasional melalui usaha untuk menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Amanat UU No. 17 Tahun 2007 menjadi landasan visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kementerian yang diamanatkan khusus untuk menangani permasalahan kelautan dan perikanan.

Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh KKP. Salah satu pilar pengelolaan adalah terkait dengan pengawasan dan pengendalian sumberdaya yang ada; dalam konteks ini IUU Fishing masih menjadi isu krusial dan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Beberapa penyebab masih berlangsungnya IUU Fishing, antara lain adalah: (1) ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang ada, dikarenakan banyaknya kebijakan saling silang, pada akhirnya berujung pada ambiguitas institusi mana yang berwenang dalam mengurus permasalahan illegal fishing. Kondisi ini rawan akan konflik kepentingan antar institusi dalam ranahnya masing-masing dan juga ketidakjelasan tersebut dapat menciptakan celah bagi para oknum mempermainkan kebijakan yang telah ada; dan (2) kondisi sarana dan prasarana dalam melakukan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum di laut masih sangat lemah baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. Praktek IUU fishing sangat merugikan bangsa Indonesia, dan kondisi banyaknya peraturan terkait penanganan peraturan di laut Indonesia menimbulkan permasalahan bagaimana bentuk harmonisasi antarperaturan terkait dengan penanganan IUU

(20)

7 tugas pokok dan fungsi para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum untuk tindak pidana IUU Fishing, dan bagaimana efektifitas kelembagaan dalam rangka implementasi peraturan teknis terkait usaha perikanan.

1.2. Tujuan dan Keluaran

Tujuan kegiatan kajian hukum dalam rangka memerangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia sebagai berikut.

(1) Memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia.

(2) Mengkaji efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia.

(3) Memberikan rekomendasi opsi kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi

peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing.

Keluaran (output) yang dapat dihasilkan dalam kajian aspek hukum dalam rangka memerangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia berupa:

(1) Keluaran kegiatan penelitian

1. Gambaran bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia.

2. Data dan informasi terkait efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia.

3. Bahan masukan (rekomendasi) kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing.

(2) Keluaran kinerja penelitian

1. Rekomendasi kebijakan : 1 (satu) paket

2. Policy brief : 6 (enam) buah / bi-monthly 3. Karya tulis ilmiah : 5 (lima) judul

4. Data dan informasi : 1 (satu) paket 5. Laporan akhir : 1 (satu) buah

(21)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing

Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, selaku Ketua Badan Pembina Institute for

Maritime Studies, dalam tulisan “Sejarah Maritim Indonesia: Meretas Sejarah, Menegakkan Martabat Bangsa”, (Sondakh, 2010) menyatakan bahwa bangsa Indonesia seharusnya dapat

menghargai dan mensyukuri suatu anugerah yang sangat besar, karena hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang memiliki wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah pulau lebih dari 17.500, dengan wilayah yurisdiksi nasional laut lebih kurang 5,8 juta km2. Posisi Indonesia yang sangat strategis, terletak pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang besar dan berarti juga memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia.

Selanjutnya, Sondakh (2010) menyatakan bahwa ada konsekuensi hukum setelah Indonesia meratifikasi konvensi hukum laut internasional yang dikenal sebagai United Nation

Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dengan Undang-Undang RI No 17

tahun 1985. Ratifikasi tersebut membuat Indonesia telah resmi mempunyai hak dan kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Letak geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, membuat bangsa Indonesia sebaiknya terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya dengan tetap wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Aspek alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.

Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mencintai laut sejak dahulu dan merupakan masyarakat bahari, namun, karena penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Pada tahun 1957, deklarasi Wawasan Nusantara, menyatakan pandangan bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau

(22)

9 Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kemudian pernyataan Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965, bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Kemudian pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Lebih lanjut, pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi Bunaken”, deklarasi tersebut menjadikan laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan yang diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999, dan kemudian pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, pada awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan terakhir berubah pada tahun 2010 menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga sekarang. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa membuat Pemerintah memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaan berupa Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal. Pada tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, karena budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Indonesia saat ini masih membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia

(23)

10 dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Lebih lanjut, kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 (empat) dari 9 (sembilan) Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka/Singapura dan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya. Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan potensi sengketa. Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Karena itu, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Meskipun Indonesia belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional, dan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di laut yaitu:

1. Memelihara keselamatan dan keamanan serta mempertahankan kepentingan Indonesia di dan lewat laut;

2. Membangun dan mengembangkan Ekonomi Maritim untuk memperkuat pembangunan ekonomi nasional;

3. Menjamin kelestarian marine mega biodiversity dan lingkungan laut.

Sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi.

Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan

membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multitask yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni. Kepentingan pengamanan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan

(24)

11 sistem yang profesional, efektif dan efisien. Kondisi saat ini, kewenangan menegakkan hukum di laut Indonesia tersebar di 13 (tiga belas) instansi. Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi

multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan

industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60%. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost

and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah

sekitar 10%, sehingga mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD. Kondisi pelabuhan nasional juga belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Kondisi keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety

(ISPS) Code. Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antarpulau yang memakan korban jiwa

yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut. Laut juga memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang terbentang seluas 2,7 juta km2 dan jika Indonesia berhasil untuk mengekploitasi wilayah ini dapat

membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Meski disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya dikarenakan kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Kegiatan Illegal, Unregulated dan Unreported fishing (IUU

fishing) masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada

perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal. Diperkirakan Indonesia masih membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini merupakan estimasi minimal, jika melihat perbandingan dengan negara Thailand yang memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan

(25)

12 konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar; dengan Taiwan, dimana usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut 32 % masuk kategori miskin. Kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multipliereffectnya yang sangat luas. Untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga Indonesia. Inpres No.5 Th. 2005 dan UU RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata. Seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim, untuk menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah harus menjadi ujung tombak membangkitkan maritime domain awareness dan pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, dengan tujuan akhir penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa. Persepsi tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional. Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Peraturan Presiden (Perpres) No.19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh, merupakan keputusan yang tepat dan sangat relevan, karena penguatan wawasan nusantara perlu dilakukan untuk

(26)

13 mempercepat terbentuknya keunggulan kompetitif Indonesia dalam persaingan internasional, dan mempertahankan martabat bangsa.

Berdasarkan pada sejarah peraturan wilayah laut Indonesia secara formal, dimulai pada saat penjajahan Belanda, yaitu dengan diberlakukannya Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim tahun 1939, dan setelah Indonesia merdeka, pendeklarasian mengenai wilayah perairan Indonesia yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda tahun 1957 dinyatakan pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) No.4 Th.1960 tentang perairan. Setelah itu, melalui UU No.1 Th.1973 Indonesia mengatur secara formal terkait Landas Kontinen Indonesia, dan melalui UU No.5 Th.1983 Indonesia mengatur secara formal terkait Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Perjuangan untuk mendapatkan dukungan internasional terkait wilayah perairan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, akhirnya mendapatkan pengakuan dengan disahkannya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982, meskipun baru diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1985 melalui UU No.17 Th.1985, kemudian juga terdapat pembaharuan pengaturan wilayah perairan melalui pemberlakuan UU No.6 Th.1996 tentang Perairan Indonesia.

Salah satu agenda untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai adalah dengan mengatasi isu pencurian ikan. Isu ini dipaparkan dalam laporan kinerja dua tahun masa pemerintahan pertama presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa isu pencurian ikan (illegal fishing) berkaitan dengan luasnya perairan Indonesia, termasuk luasnya wilayah ZEEI. Juga adanya alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur masuk kapal asing tujuan transportasi laut dan berbatasan dengan negara tetangga yang memiliki nelayan cukup banyak. Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan illegal fishing adalah kurang memadainya sarana dan prasarana pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan seperti kapal inspeksi, radar, sistem kontrol; lemahnya penegakan hukum di laut; dan belum terkoordinasinya instansi yang berwenang dalam pelaksanaan pengawasan.

Praktek illegal fishing merupakan salah satu penyebab kerugian negara dan penurunan pendapatan nelayan. Perkiraan kerugian akibat illegal fishing sekitar US$ 1,9 miliar bahkan menurut FAO pada tahun 2001 total kerugian sebesar US$ 4 miliar per tahun. Pada kawasan perbatasan, permasalahan menjadi semakin serius terkait dengan demarkasi dan deliniasi garis batas, serta tingginya potensi kerawanan di perbatasan yang menyebabkan perlunya perhatian khusus peningkatan keamanan di wilayah ini. Berkenaan dengan kondisi tersebut, maka tantangan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas adalah menurunkan tingkat kriminalitas agar aktivitas masyarakat

(27)

14 dan perekonomian dapat berjalan secara wajar. Keberhasilan menciptakan suasana keamanan dan ketertiban yang kondusif, akan menjadi landasan bagi keberlangsungan pembangunan bidang-bidang lainnya, termasuk upaya menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Profesionalitas aparat keamanan dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal konvensional, mengungkap jaringan kejahatan transnasional, mencegah terjadinya konflik komunal, mengamankan laut dari gangguan keamanan dan pencurian kekayaan negara, merupakan salah satu tolok ukur penting bagi pemulihan citra aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Berdasarkan hasil penelitian Sularso (2009) dalam buku Overfishing, Overcapacity, dan

Illegal Fishing, ditemukan bahwa kondisi perikanan laut di Indonesia pada saat ini sudah

memprihatinkan terutama jika dilihat dari terancamnya kelestarian sumber daya ikan (SDI) di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dan jenis alat tangkap. Masih tingginya IUU

Fishing serta manfaat ekonomi yang kurang optimal, sehingga perlu kewaspadaan dan

kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan di masa mendatang.

Saat ini kondisi stok sumber daya ikan dunia mengalami trend menurun, hal ini dicerminkan dengan penurunan tingkat produksi ikan dunia dan regional. Salah satu penyebab penurunan produksi tangkapan tersebut disebabkan maraknya kegiatan IUU Fishing di berbagai belahan dunia. Kegiatan IUU Fishing terdiri dari 3 (tiga) kegiatan, yaitu: illegal (kegiatan yang tidak sah); unreported (kegiatan yang tidak dilaporkan); dan unregulated (kegiatan yang tidak atau belum diatur). FAO memperkirakan illegal fishing mencapai 30% dari total tangkapan dunia, sedangkan Komisi Uni Eropa memperkirakan 15 - 20% (EFTEC, 2008). Data dari MRAG pada tahun 2008 memperkirakan nilai global IUU Fishing mencapai US$ 11 milyar (MRAG, 2008) dan Komisi Uni Eropa juga memperkirakan setiap tahun nilai global IUU Fishing sebesar US$ 30 juta. Permasalahan IUU Fishing tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti di wilayah benua Asia dan Afrika. Jika melihat pada Gambar 2.1. terlihat bahwa beberapa spesies ikan di Larga Marine Ecoregion (LME) di Uni Eropa dihadapkan pada praktek-praktek IUU Fishing.

(28)

15

Gambar 2.1. Praktek IUU Fishing di Kawasan Perairan Uni Eropa (Sumber: EFTEC, 2008)

Maraknya kegiatan IUU Fishing menuntut masyarakat dunia bertindak serius dalam mengatur penanganan permasalahan IUU Fishing, penanganan di FAO terlihat meningkat pada sidang ke-23 Komisi FAO tentang Perikanan FAO (COFI) bulan Februari 1999, dimana FAO bekerjasama dengan negara-negara anggotanya menyusun langkah-langkah pemberantasan

IUU Fishing, yang dituangkan ke dalam dokumen IPOA on IUU Fishing (Swan, 2004).

Pada bagian Pendahuluan IPOA on IUU Fishing, membahas mengenai keinginan untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dimulai sejak Pertemuan ke-23 dari COFI pada Februari 1999. Komite tersebut merasa prihatin dengan adanya informasi yang menunjukkan peningkatan kegiatan IUU Fishing termasuk yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera “flags of convenience” 2. Setelah itu, pertemuan FAO

tingkat menteri bidang perikanan pada bulan Maret 1999 mengeluarkan suatu deklarasi bahwa tanpa mengabaikan hak dan kewajiban dari negara-negara berdasarkan hukum internasional. FAO akan mengembangkan rencana aksi global untuk menangani segala bentuk IUU Fishing secara efektif termasuk kapal-kapal flags of convenience melalui upaya koordinasi antar negara, FAO, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) terkait dan badan-badan

2Flag of Convenience adalah praktek pendaftaran kapal dengan memilih negara yang tidak terlalu berat persyaratannya baik dalam hal keamanan kapal, maupun pembayaran biayanya.

(29)

16 internasional terkait lainnya seperti International Maritime Organization (IMO), sebagaimana diatur dalam Pasal IV CCRF (Solihin, 2009).

Rancangan Rencana Aksi Internasional untuk mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing (IPOA on IUU Fishing) disepakati pada konsultasi teknis tanggal 23 Februari 2001 dengan permintaan agar rancangan tersebut diajukan ke sidang COFI ke-24 untuk dipertimbangkan dan akhirnya diterima. COFI menyetujui Rencana Aksi Internasional, secara konsensus, pada tanggal 2 Maret 2001. COFI meminta agar negara-negara anggota mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Internasional tersebut secara efektif3.

Jika melihat pada naskah IPOA on IUU Fishing, maka pengertian Illegal, Unreported dan

Unregulated Fishing adalah sebagai berikut4:

(1) Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah yang:

1. Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau kapal-kapal asing di perairan yang berada dibawah yurisdiksi 1 (satu) negara, tanpa ijin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangannya;

2. Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut, ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya, atau;

3. Melanggar ketentuan hukum nasional atau kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.

(2) Unreported fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang:

1. Tidak dilaporkan, atau sengaja dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar, kepada penguasa otorita nasional terkait, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut, atau;

2. Dilakukan di dalam wilayah yang menjadi kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.

3 Paragraf 2 IPOA on IUU Fishing.

(30)

17 (3) Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan:

1. Di wilayah yang berada di bawah pengaturan organisasi pengelolaan perikanan regional, oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara bukan anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, dengan cara yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan dari organisasi tersebut, atau;

2. Di wilayah atau terhadap stok ikan yang belum memiliki pengaturan tentang pengelolaan dan konservasinya, dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dengan cara bertentangan dengan tanggung jawab negara berdasarkan ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut.

IPOA on IUU Fishing belum memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk mengatur

negara-negara yang melakukan kesepakatan didalamnya, pengaturan internasional ini bersifat sukarela dan merupakan pelaksanaan dari CCRF seperti tampak pada ketentuan pada Pasal 2 (d)5.

Tujuan IPOA on IUU Fishing untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dengan memberikan kepada semua negara langkah-langkah yang komprehensif, efektif dan transparan untuk bertindak, termasuk melalui organisasi pengelolaan perikanan regional yang tepat yang didirikan berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, IPOA on IUU Fishing merupakan pedoman yang berisikan program-program yang dapat digunakan oleh negara untuk memerangi kegiatan IUU Fishing, baik sendiri maupun bekerjasama dengan negara tetangga ataupun dalam lingkup regional.

Prinsip-prinsip IPOA on IUU Fishing beserta strateginya untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing, meliputi6:

(1) Partisipasi dan Koordinasi.

Agar pelaksanaan efektif, IPOA on IUU Fishing harus diterapkan oleh semua negara baik secara langsung, dengan bekerjasama dengan negara lain, atau secara tidak langsung melalui RFMO terkait atau melalui FAO dan organisasi internasional sejenisnya. Elemen penting untuk pelaksanaan yang sukses adalah koordinasi dan konsultasi yang erat dan efektif, dan saling berbagi informasi untuk mengurangi kegiatan IUU Fishing,

5 Paragraf 4 IPOA on IUU Fishing. Isi Pasal 2 (d) CCRF, merupakan tujuan CCRF yaitu menyediakan pedoman yang bisa digunakan, bila diperlukan dalam perumusan dan pelaksanaan perjanjian internasional dan perangkat hukum lainnya, baik yang bersifat mengikat maupun sukarela.

6 Paragraf 9 IPOA on IUU Fishing mengamanatkan bahwa, prinsip-prinsip dan strategi harusnya mempertimbangkan pemenuhan persyaratan tertentu dari negara-negara berkembang dalam hubungannya dengan Pasal 5 CCRF.

(31)

18 diantara negara-negara dan organisasi regional dan global yang terkait. Partisipasi penuh dari para pemangku kepentingan (stakeholders) terus didorong untuk memerangi IUU

Fishing, termasuk industri, komunitas nelayan, dan badan-badan non-pemerintahan.

(2) Implementasi Bertahap

Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus didasarkan pada implementasi bertahap secara dini yang memungkinkan, dari rencana aksi nasional (NPOA), dan rencana aksi regional dan global sesuai dengan IPOA.

(3) Pendekatan Komprehensif dan Integratif

Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus memperhatikan semua faktor yang mempengaruhi perikanan tangkap. Dalam melaksanakan pendekatan tersebut, negara-negara harus mengambil langkah-langkah yang dibangun berdasarkan tanggung jawab utama dari negara bendera dengan menggunakan semua yurisdiksi yang tersedia menurut hukum internasional, termasuk langkah-langkah negara pelabuhan, langkah-langkah negara pantai, langkah-langkah yang berkaitan dengan pasar, termasuk langkah-langkah untuk memastikan bahwa warganegaranya tidak membantu atau terlibat dalam kegiatan IUU Fishing. Negara-negara didorong untuk menggunakan langkah-langkah tersebut, dimana pantas, dan bekerjasama untuk memastikan langkah-langkah tersebut diterapkan secara terintegrasi. Rencana aksi ini harus memperhatikan semua dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari IUU Fishing.

(4) Konservasi

Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus konsisten dan sejalan dengan kebijakan konservasi dan keberlanjutan jangka panjang dari pemanfaatan stok ikan dan perlindungan lingkungan.

(5) Transparansi

IPOA harus diimplementasikan secara transparan sesuai dengan ketentuan Pasal 6.13 dari CCRF dimana negara-negara, sejauh diperkenankan peraturan perundang-undangan nasional, harus menjamin bahwa proses pengambilan keputusan berlangsung secara transparan dan mencapai penyelesaian tepat waktu untuk persoalan yang mendesak. Negara-negara sesuai dengan prosedur yang tepat, harus memfasilitasi konsultasi dan keikutsertaan yang efektif dari industri, para pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi lain yang berkepentingan, dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan pengaturan dan kebijakan yang berhubungan dengan

(32)

19 pengelolaan, pengembangan, pinjaman dan bantuan internasional dalam bidang perikanan.

(6) Non-diskriminasi

IPOA harus dikembangkan dan diterapkan tanpa diskriminasi dalam bentuk atau dalam fakta terhadap negara atau kapal. Program-program pemberantasan IUU Fishing dirancang untuk secara umum diikuti oleh negara-negara di dunia yang melakukan kegiatan perikanan tangkap. Sebagai perangkat tentang IUU Fishing, IPOA on IUU

Fishing juga menyediakan langkah-langkah atau program yang dapat dipilih oleh

negara-negara disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara-negara. Beberapa program tersebut yaitu pengembangan pengendalian negara pelabuhan, program yang berhubungan dengan ekspansi WTO, pendekatan ”capacity-building” RFMO, dan menambah dukungan kepada negara berkembang (Gui Fang Xue, 2003).

Pertemuan pakar FAO pada tanggal 23-25 Desember 2009 mengungkapkan bahwa IUU

Fishing disebabkan oleh 3 (tiga) hal utama, yaitu (FAO, 2009):

(1) Faktor pertama adalah sosial-ekonomi dan politik, meliputi antara lain: 1. Tingginya permintaan terhadap produk perikanan;

2. Lemahnya pengelolaan dan administrasi perikanan baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional;

3. Monitoring, control and surveillance (MCS) yang tidak efektif, dan;

4. Kemiskinan, ketiadaan/kesenjangan mata pencaharian alternatif, dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan.

(2) Faktor kedua, meliputi antara lain: 1. Kapasitas pengelolaan tidak efektif; 2. Lemahnya status sumber daya ikan, dan;

3. Lemahnya pengumpulan dan pertukaran data informasi yang mengakibatkan kesenjangan informasi.

(3) Faktor ketiga adalah hambatan dan tantangan untuk perbaikan sistem tata kelola, meliputi antara lain:

1. Kesulitan mendeteksi karena banyaknya kegiatan IUU Fishing; 2. Lemahnya/kesenjangan kerjasama penanganan di semua tingkatan; 3. Biaya dan ketidakmampuan MCS;

Gambar

Gambar 1.1.  Gambaran Pengaturan Laut Indonesia (Rangkuman Berbagai Sumber) Laut IndonesiaHukum laut InternasionalHukum NasionalPerairan
Gambar 1.2. Produksi Perikanan Dunia (Sumber: FAO, 2010)
Gambar 1. 3.  Peta  Zona  Kerawanan  Pelanggaran  Sumber  Daya  Kelautan  dan  Perikanan   (Sumber: P2SDKP, 2008)
Gambar 3.1.   Kerangka Pemikiran Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di  Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada analisis struktur support pemegang sumber dan karakterisasi yang meliputi pengujian kinerja sistem kendali dan kinerja

Namun disamping kepatuhan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang kepatuhan sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya

Desain Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media untuk menyampaikan pesan dan gagasan secara visual, termasuk audio

Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan memetakan objek wisata kota Jakarta Barat menggunakan metode Location Based Service yang memanfaatkan

Sehingga penulis merasa penting menarik permasalahan ini menjadi bahan penelitian di bidang Manajemem Produksi dan Operasional dengan judul “ANALISIS PERHITUNGAN

Menurut Paulus Nomtanis 22 , ketika sepasang suami istri yang sudah menikah bertahun-tahun tapi belum dikaruniai anak, maka mereka berdua akan pergi ke pantai

Bahwa saudara-saudara yang namanya tercantum dalam lajur 2 daftar lampiran Keputusan ini, dipandang mampu dan memenuhi syarat untuk ditunjuk sebagai tenaga pengajar semester

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Ralryaf Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara