• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Hukum IUU Fishing

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Perspektif Hukum IUU Fishing

Tabel 2.1. Perbedaan pandangan criminal justice dan restorative justice

Criminal Justice Restorative Justice

Kejahatan adalah pelanggaran terhadap hukum dan negara

Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat

Pelanggaran menciptakan

kesalahan Pelanggaran menciptakan kewajiban Keadilan membutuhkan

pernyataan yang menentukan kesalahan pelaku dan

menjatuhkan pidana terhadap pelakunya

Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat dalam upaya untuk meletakkan sesuatunya secara benar

Fokus sentral: pelanggar mendapatkan ganjaran setimpal dengan pelanggarannya

Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggungjawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi)

Sumber: Zehr dalam Ali (2010).

2.3. Perspektif Hukum IUU Fishing

Di tingkat global, regional dan nasional, permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) sudah merupakan ancaman dunia terhadap kelestarian sediaan ikan yang ada saat ini (Nurhakim, 2009), sehingga upaya memerangi tindak IUU Fishing perlu dilihat dari perspektif hukum internasional maupun nasional.

2.3.1. Perspektif Hukum Internasional

IUU Fishing merupakan musuh bersama komunitas internasional. Sekretaris Jenderal

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya kepada General Assembly pada tahun 1999 mengidentifikasi bahwa IUU Fishing merupakan salah satu masalah besar saat ini yang mempengaruhi perikanan dunia. IUU Fishing secara perlahan akan merusak implementasi konservasi dan pengelolaan yang diatur oleh negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) serta akan memberikan dampak jangka panjang pada pengelolaan berkelanjutan dari sediaan ikan (UNGA A/54/429, paragraph 249 dalam Nurhakim, 2009).

Banyak inisiatif internasional yang didukung oleh organisasi internasional seperti FAO telah menyiapkan International Plan Action dari IUU Fishing. Demikian pula RMFOs, Uni Eropa dan LSM internasional memberikan perhatian yang sangat serius terhadap hal ini. Berdasarkan

26 kewajiban untuk mencegah kapal yang memakai benderanya melakukan IUU Fishing. Disamping itu, beberapa hal lain menjadi perhatian dunia internasional terkait dengan IUU

Fishing adalah praktek penangkapan yang tidak berkelanjutan, kegiatan penangkapan illegal

oleh kapal asing pada perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, kapasitas armada yang berlebihan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, kurang efektifnya pengendalian bendera dan pelabuhan negara (flag and port state control), dan open

access regime pada perikanan laut lepas (Nurhakim, 2009).

Peraturan perundang-undangan internasional yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut khususnya tentang perikanan dan IUU Fishing, diantaranya adalah IPOA IUU

Fishing, UNCLOS, FAO, UNIA, dan PSM Agreement, dan CCRF. Rencana Aksi Internasional

IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing) telah menetapkan batasan-batasan tentang penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing). UNCLOS memberikan penetapan tentang jumlah tangkapan yang diperbolehkan dalam ZEE, penetepan kebijakan konservasi dan pengelolaan yang tepat untuk keberlanjutan sumber daya ikan di ZEE, dan aturan penegakan atas pelanggaran permanfaatan sumber kekayaan hayati dikenakan jika tidak menurunkan seluruh atau sebagian hasil tangkapan di pelabuhan Negara pantai. FAO mewajibkan memiliki

log book perikanan oleh setiap kapal penangkap ikan untuk diinformasikan ke FAO. UNIA

menetapkan prinsip-prinsip umum konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh, dan kewajiban-kewajiban Negara bendera dengan persyaratan kapal tertentu. PSM Agreement yang mendorong pentingnya informasi permintaan bantuan di Negara pelabuhan terutama informasi yang berkenaan dengan pelayanan umum atau lembaga hukum yang ada, dan informasi mengenai ada tidaknya hak untuk mendapatkan kompensasi ketika terjadi kehilangan atau kerusakan sumber daya yang timbul. CCRF menetapkan pentingnya prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan perikanan termasuk dalam merencanakan pemanfaatan sumber daya, menetapkan kerangka hukum dan kebijakan.

2.3.2. Perspektif Hukum Nasional

Penegakan hukum terkait dengan IUU Fishing merupakan kewajiban seluruh masyarakat. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut

27 berperan dalam penegakan hukum (Syahrin, 2009). Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial, tidak dapat dipisahkan oleh: (1) Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu; (2) Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi; dan (3) Penegak hukum sebagai suatu lembaga (Sunarso, 2005).

Penegakan hukum juga dipengaruhi kesadaran hukum dari seluruh stakeholder secara keseluruhan, termasuk dari kalangan penegak hukum. Kesadaran hukum yang dimaksud disini adalah kesadaran hukum positif yang identik dengan ‘ketaatan hukum’, dan bukan kesadaran hukum negatif yang identik dengan ‘ketidaktaatan hukum’ (Ali, 2010).

Ketentuan yang termuat dalam UU No.8 Th.1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diterapkan dalam aturan teknisnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI AL dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya.

Ketentuan dalam UU No.5 Th.1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), Pasal 14 ayat (1) juga memberikan kewenangan penyidikan kepada Perwira TNI AL sedang hukum acaranya mengatur beberapa tindakan penyidikan yang menyimpangi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, misalnya pada pasal 13 ayat (1) bahwa batas waktu penangkapan di laut adalah 7 x 24 jam, selanjutnya pasal 14 ayat (3) mengenai kewenangan mengadili tindak pidana di ZEEI tidak mengenal adanya asas locus delicti, tetapi berdasarkan daerah pelabuhan kapal disandarkan. Undang-undang No.5 Tahun 1983 ini merupakan pengkhususan dari KUHAP sehingga merupakan salah satu bentuk asas hukum ”Lex Specialis derogat lex Generalis”.

Penegakan hukum terkait penanganan tindak pidana IUU Fishing merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain.

Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim. Hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan

28 hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional (Susanto, 2007).

Dalam upaya memerangi IUU Fishing, ditingkat nasional telah didukung oleh sistem pengendalian (control) yang pelaksanaannya tidak hanya bertumpu pada penetapan dan pengendalian jumlah kapal (input control), akan tetapi pengendalian lain melalui aturan-aturan yang bernafaskan ekologi (ecological control) berdasarkan pada pemantauan indicator sumber daya, lingkungan, dan sosial ekonomi. Namun hingga saat ini kebijakan pengendalian perikanan tangkap melalui pengendalian keluaran (output control) nampaknya belum dapat dilaksanakan, keadaan perikanan tropis yang terdiri atas berbagai macam jenis ikan serta alat tangkap yang sulit dipantau. Di sisi lain dalam kenyataannya hasil tangkapan yang tidak dilaporkan masih tinggi merupakan kendalam utama dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan melalui pengendalian keluaran (Nurhakim, 2009).

2.4. Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan