• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing

Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, selaku Ketua Badan Pembina Institute for

Maritime Studies, dalam tulisan “Sejarah Maritim Indonesia: Meretas Sejarah, Menegakkan Martabat Bangsa”, (Sondakh, 2010) menyatakan bahwa bangsa Indonesia seharusnya dapat

menghargai dan mensyukuri suatu anugerah yang sangat besar, karena hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang memiliki wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah pulau lebih dari 17.500, dengan wilayah yurisdiksi nasional laut lebih kurang 5,8 juta km2. Posisi Indonesia yang sangat strategis, terletak pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang besar dan berarti juga memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia.

Selanjutnya, Sondakh (2010) menyatakan bahwa ada konsekuensi hukum setelah Indonesia meratifikasi konvensi hukum laut internasional yang dikenal sebagai United Nation

Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dengan Undang-Undang RI No 17

tahun 1985. Ratifikasi tersebut membuat Indonesia telah resmi mempunyai hak dan kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Letak geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, membuat bangsa Indonesia sebaiknya terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya dengan tetap wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Aspek alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.

Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mencintai laut sejak dahulu dan merupakan masyarakat bahari, namun, karena penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Pada tahun 1957, deklarasi Wawasan Nusantara, menyatakan pandangan bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau

9 Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kemudian pernyataan Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965, bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Kemudian pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Lebih lanjut, pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi Bunaken”, deklarasi tersebut menjadikan laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan yang diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999, dan kemudian pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, pada awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan terakhir berubah pada tahun 2010 menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga sekarang. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa membuat Pemerintah memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaan berupa Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal. Pada tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, karena budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Indonesia saat ini masih membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia

10 dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Lebih lanjut, kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 (empat) dari 9 (sembilan) Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka/Singapura dan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya. Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan potensi sengketa. Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Karena itu, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Meskipun Indonesia belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional, dan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di laut yaitu:

1. Memelihara keselamatan dan keamanan serta mempertahankan kepentingan Indonesia di dan lewat laut;

2. Membangun dan mengembangkan Ekonomi Maritim untuk memperkuat pembangunan ekonomi nasional;

3. Menjamin kelestarian marine mega biodiversity dan lingkungan laut.

Sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi.

Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan

membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multitask yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni. Kepentingan pengamanan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan

11 sistem yang profesional, efektif dan efisien. Kondisi saat ini, kewenangan menegakkan hukum di laut Indonesia tersebar di 13 (tiga belas) instansi. Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi

multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan

industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60%. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost

and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah

sekitar 10%, sehingga mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD. Kondisi pelabuhan nasional juga belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Kondisi keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety

(ISPS) Code. Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antarpulau yang memakan korban jiwa

yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut. Laut juga memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang terbentang seluas 2,7 juta km2 dan jika Indonesia berhasil untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Meski disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya dikarenakan kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Kegiatan Illegal, Unregulated dan Unreported fishing (IUU

fishing) masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada

perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal. Diperkirakan Indonesia masih membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini merupakan estimasi minimal, jika melihat perbandingan dengan negara Thailand yang memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan

12 konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar; dengan Taiwan, dimana usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut 32 % masuk kategori miskin. Kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multipliereffectnya yang sangat luas. Untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga Indonesia. Inpres No.5 Th. 2005 dan UU RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata. Seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim, untuk menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah harus menjadi ujung tombak membangkitkan maritime domain awareness dan pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, dengan tujuan akhir penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa. Persepsi tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional. Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Peraturan Presiden (Perpres) No.19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh, merupakan keputusan yang tepat dan sangat relevan, karena penguatan wawasan nusantara perlu dilakukan untuk

13 mempercepat terbentuknya keunggulan kompetitif Indonesia dalam persaingan internasional, dan mempertahankan martabat bangsa.

Berdasarkan pada sejarah peraturan wilayah laut Indonesia secara formal, dimulai pada saat penjajahan Belanda, yaitu dengan diberlakukannya Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim tahun 1939, dan setelah Indonesia merdeka, pendeklarasian mengenai wilayah perairan Indonesia yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda tahun 1957 dinyatakan pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) No.4 Th.1960 tentang perairan. Setelah itu, melalui UU No.1 Th.1973 Indonesia mengatur secara formal terkait Landas Kontinen Indonesia, dan melalui UU No.5 Th.1983 Indonesia mengatur secara formal terkait Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Perjuangan untuk mendapatkan dukungan internasional terkait wilayah perairan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, akhirnya mendapatkan pengakuan dengan disahkannya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982, meskipun baru diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1985 melalui UU No.17 Th.1985, kemudian juga terdapat pembaharuan pengaturan wilayah perairan melalui pemberlakuan UU No.6 Th.1996 tentang Perairan Indonesia.

Salah satu agenda untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai adalah dengan mengatasi isu pencurian ikan. Isu ini dipaparkan dalam laporan kinerja dua tahun masa pemerintahan pertama presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa isu pencurian ikan (illegal fishing) berkaitan dengan luasnya perairan Indonesia, termasuk luasnya wilayah ZEEI. Juga adanya alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur masuk kapal asing tujuan transportasi laut dan berbatasan dengan negara tetangga yang memiliki nelayan cukup banyak. Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan illegal fishing adalah kurang memadainya sarana dan prasarana pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan seperti kapal inspeksi, radar, sistem kontrol; lemahnya penegakan hukum di laut; dan belum terkoordinasinya instansi yang berwenang dalam pelaksanaan pengawasan.

Praktek illegal fishing merupakan salah satu penyebab kerugian negara dan penurunan pendapatan nelayan. Perkiraan kerugian akibat illegal fishing sekitar US$ 1,9 miliar bahkan menurut FAO pada tahun 2001 total kerugian sebesar US$ 4 miliar per tahun. Pada kawasan perbatasan, permasalahan menjadi semakin serius terkait dengan demarkasi dan deliniasi garis batas, serta tingginya potensi kerawanan di perbatasan yang menyebabkan perlunya perhatian khusus peningkatan keamanan di wilayah ini. Berkenaan dengan kondisi tersebut, maka tantangan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas adalah menurunkan tingkat kriminalitas agar aktivitas masyarakat

14 dan perekonomian dapat berjalan secara wajar. Keberhasilan menciptakan suasana keamanan dan ketertiban yang kondusif, akan menjadi landasan bagi keberlangsungan pembangunan bidang-bidang lainnya, termasuk upaya menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Profesionalitas aparat keamanan dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal konvensional, mengungkap jaringan kejahatan transnasional, mencegah terjadinya konflik komunal, mengamankan laut dari gangguan keamanan dan pencurian kekayaan negara, merupakan salah satu tolok ukur penting bagi pemulihan citra aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Berdasarkan hasil penelitian Sularso (2009) dalam buku Overfishing, Overcapacity, dan

Illegal Fishing, ditemukan bahwa kondisi perikanan laut di Indonesia pada saat ini sudah

memprihatinkan terutama jika dilihat dari terancamnya kelestarian sumber daya ikan (SDI) di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dan jenis alat tangkap. Masih tingginya IUU

Fishing serta manfaat ekonomi yang kurang optimal, sehingga perlu kewaspadaan dan

kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan di masa mendatang.

Saat ini kondisi stok sumber daya ikan dunia mengalami trend menurun, hal ini dicerminkan dengan penurunan tingkat produksi ikan dunia dan regional. Salah satu penyebab penurunan produksi tangkapan tersebut disebabkan maraknya kegiatan IUU Fishing di berbagai belahan dunia. Kegiatan IUU Fishing terdiri dari 3 (tiga) kegiatan, yaitu: illegal (kegiatan yang tidak sah); unreported (kegiatan yang tidak dilaporkan); dan unregulated (kegiatan yang tidak atau belum diatur). FAO memperkirakan illegal fishing mencapai 30% dari total tangkapan dunia, sedangkan Komisi Uni Eropa memperkirakan 15 - 20% (EFTEC, 2008). Data dari MRAG pada tahun 2008 memperkirakan nilai global IUU Fishing mencapai US$ 11 milyar (MRAG, 2008) dan Komisi Uni Eropa juga memperkirakan setiap tahun nilai global IUU Fishing sebesar US$ 30 juta. Permasalahan IUU Fishing tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti di wilayah benua Asia dan Afrika. Jika melihat pada Gambar 2.1. terlihat bahwa beberapa spesies ikan di Larga Marine Ecoregion (LME) di Uni Eropa dihadapkan pada praktek-praktek IUU Fishing.

15

Gambar 2.1. Praktek IUU Fishing di Kawasan Perairan Uni Eropa (Sumber: EFTEC, 2008)

Maraknya kegiatan IUU Fishing menuntut masyarakat dunia bertindak serius dalam mengatur penanganan permasalahan IUU Fishing, penanganan di FAO terlihat meningkat pada sidang ke-23 Komisi FAO tentang Perikanan FAO (COFI) bulan Februari 1999, dimana FAO bekerjasama dengan negara-negara anggotanya menyusun langkah-langkah pemberantasan

IUU Fishing, yang dituangkan ke dalam dokumen IPOA on IUU Fishing (Swan, 2004).

Pada bagian Pendahuluan IPOA on IUU Fishing, membahas mengenai keinginan untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dimulai sejak Pertemuan ke-23 dari COFI pada Februari 1999. Komite tersebut merasa prihatin dengan adanya informasi yang menunjukkan peningkatan kegiatan IUU Fishing termasuk yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera “flags of convenience” 2. Setelah itu, pertemuan FAO

tingkat menteri bidang perikanan pada bulan Maret 1999 mengeluarkan suatu deklarasi bahwa tanpa mengabaikan hak dan kewajiban dari negara-negara berdasarkan hukum internasional. FAO akan mengembangkan rencana aksi global untuk menangani segala bentuk IUU Fishing secara efektif termasuk kapal-kapal flags of convenience melalui upaya koordinasi antar negara, FAO, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) terkait dan badan-badan

2Flag of Convenience adalah praktek pendaftaran kapal dengan memilih negara yang tidak terlalu berat persyaratannya baik dalam hal keamanan kapal, maupun pembayaran biayanya.

16 internasional terkait lainnya seperti International Maritime Organization (IMO), sebagaimana diatur dalam Pasal IV CCRF (Solihin, 2009).

Rancangan Rencana Aksi Internasional untuk mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing (IPOA on IUU Fishing) disepakati pada konsultasi teknis tanggal 23 Februari 2001 dengan permintaan agar rancangan tersebut diajukan ke sidang COFI ke-24 untuk dipertimbangkan dan akhirnya diterima. COFI menyetujui Rencana Aksi Internasional, secara konsensus, pada tanggal 2 Maret 2001. COFI meminta agar negara-negara anggota mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Internasional tersebut secara efektif3.

Jika melihat pada naskah IPOA on IUU Fishing, maka pengertian Illegal, Unreported dan

Unregulated Fishing adalah sebagai berikut4:

(1) Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah yang:

1. Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau kapal-kapal asing di perairan yang berada dibawah yurisdiksi 1 (satu) negara, tanpa ijin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangannya;

2. Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut, ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya, atau;

3. Melanggar ketentuan hukum nasional atau kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.

(2) Unreported fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang:

1. Tidak dilaporkan, atau sengaja dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar, kepada penguasa otorita nasional terkait, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut, atau;

2. Dilakukan di dalam wilayah yang menjadi kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.

3 Paragraf 2 IPOA on IUU Fishing.

17 (3) Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan:

1. Di wilayah yang berada di bawah pengaturan organisasi pengelolaan perikanan regional, oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara bukan anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, dengan cara yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan dari organisasi tersebut, atau;

2. Di wilayah atau terhadap stok ikan yang belum memiliki pengaturan tentang pengelolaan dan konservasinya, dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dengan cara bertentangan dengan tanggung jawab negara berdasarkan ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut.

IPOA on IUU Fishing belum memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk mengatur

negara-negara yang melakukan kesepakatan didalamnya, pengaturan internasional ini bersifat sukarela dan merupakan pelaksanaan dari CCRF seperti tampak pada ketentuan pada Pasal 2 (d)5. Tujuan IPOA on IUU Fishing untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dengan memberikan kepada semua negara langkah-langkah yang komprehensif, efektif dan transparan untuk bertindak, termasuk melalui organisasi pengelolaan perikanan regional yang tepat yang didirikan berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, IPOA on IUU Fishing merupakan pedoman yang berisikan program-program yang dapat digunakan oleh negara untuk memerangi kegiatan IUU Fishing, baik sendiri maupun bekerjasama dengan negara tetangga ataupun dalam lingkup regional.

Prinsip-prinsip IPOA on IUU Fishing beserta strateginya untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing, meliputi6:

(1) Partisipasi dan Koordinasi.