• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lebih lanjut Hasan (2002) menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan metode deskriptif, maka seorang peneliti harus memiliki sifat represif, harus selalu mencari bukan menguji,

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemetaan Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum IUU Fishing

4.1.1 Illegal Fishing

suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; dan (3) konstruksi a contrario yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya (Tabel 4.3.).

Tabel 4.3. Metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum.

Metode Konstruksi Keterangan

Konstruksi analogi

yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah” memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya Konstruksi

penghalusan hukum (penyempitan hukum)

yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah” mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya Konstruksi a contrario

yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya

Sumber: Sidharta (2005).

Hasil pemetaan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan IUU Fishing diuraikan sebagai berikut.

4.1.1 Illegal Fishing

Pengertian illegal fishing sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan analisis horizontal harmonisasi hukum difokuskan pada 2 (dua) hal, yaitu:

(1) Kegiatan tanpa ijin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional Ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur tentang illegal fishing dapat diuraikan sebagai berikut:

(1.1) UNCLOS 1982

Pasal 62 ayat (2) mengatur tentang penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), termasuk pemberian kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan JTB yang masih tersisa dengan memperhatikan hak negara tak berpantai dan hak negara yang secara geografis kurang beruntung, khususnya yang termasuk pada negara berkembang. Sementara Pasal 62 ayat (4) mengamanatkan bahwa warga negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan negara pantai, yaitu meliputi: (a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya; (b)

47 penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kuota penangkapan; (c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan; (d) penentuan umum dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap; (e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal; (f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan; (g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh negara pantai; (h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai; (i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama lainnya; (j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan; dan (k) prosedur penegakan.

(1.2) FAO Compliance Agreement 1993

Tidak ada aturan khusus yang mengatur kegiatan perikanan di wilayah yurisdiksi nasional.

(1.3) UN Fish Stocks Agreement 1995

Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa konvensi ini mengatur pengelolaan dan perlindungan sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks/SFS) dan sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory species/HMS) baik di luar wilayah yurisdiksi maupun di bawah yurisdiksi nasional.

(1.4) PSM Agreement 2009

Pasal 3 ayat (1) mengamanatkan kepada negara pelabuhan untuk melaksanakan Persetujuan ini bila ada kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya. Namun demikian, aturan tersebut dikecualikan bagi kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah yang sudah bekerjasama. Selain itu, pengecualian juga kapal-kapal kontainer yang tidak

48 sedang mengangkut ikan. Sementara itu, negara pelabuhan tidak menerapkan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah tersebut.

(1.5) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Tahun1995

Pasal 7.2.2 mengamanatkan bahwa untuk mencapai tujuan dari pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, negara-negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional maupun sub-regional perlu menetapkan langkah-langkah, antara lain, agar: (a) penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dihindari dan pengeksploitasian stok tetap layak secara ekonomi; (b) kondisi ekonomi yang mendasari beroperasinya industri penangkapan mendorong perikanan yang bertanggungjawab; (c) kepentingan para nelayan, termasuk mereka yang terlibat dalam perikanan susbsisten, perikanan skala kecil dan perikanan artisanal, diperhatikan; (d) keanekaragaman hayati dari habitat akuatik dan ekosistem dikonservasi dan spesies terancam punah dilindungi; (e) stok ikan yang menipis dibiarkan pulih atau jika perlu dipulihkan secara aktif; (f) dampak lingkungan yang merugikan terhadap sumberdaya akibat kegiatan manusia, dikaji dan jika perlu diperbaiki; dan (g) pencemaran, limbah, ikan buangan, hasil tangkapan oleh alat tangkap yang hilang atau ditelantarkan, hasil tangkapan spesies bukan target, baik spesies ikan maupun bukan-ikan, dan dampak terhadap spesies berasosiasi atau

dependent species, diminimukan, melalui langkah termasuk, pengembangan dan

penggunaan alat dan teknik penangkapan yang selektif, aman lingkungan dan hemat biaya yang dapat dipraktekkan.

(1.6) IPOA on IUU Fishing 2001

Setiap negara peserta FAO Compliance Agreement 1993 harus memiliki daftar kapal-kapal penangkap ikan yang didaftarkan di negaranya dan dengan demikian dapat mengibarkan benderanya, dan yang memiliki izin untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. Setiap negara harus memastikan bahwa armada kapal ikanya tidak terlibat atau mendukung usaha IUU Fishing. Sedangkan informasi persyaratan kapal yang tertuang pada IPOA on IUU Fishing, mencakup:8 (a) Nama-nama kapal sebelumnya, jika ada dan jika diketahui; (b) Nama, alamat dan

49 kebangsaan dari orang atau entitas hukum atas nama siapa kapal didaftarkan; (c) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang bertanggungjawab mengelola operasional kapal; (d) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang merupakan pemilik kapal; (e) Nama dan sejarah kepemilikan kapal, dan, apabila diketahui, sejarah ketidakpatuhan,pelanggaran oleh kapal tersebut, sesuai dengan dengan hukum nasional, dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi atau ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat di tingkat nasional, regional, atau global; dan (f) Dimensi kapal, dan jika dimungkinkan, potret kapal, yang diambil pada waktu pendaftaran kapal, atau pada waktu penyelesaian perubahan struktural paling akhir, menunjukkan sisi profil kapal. Selain itu, izin dari setiap negara harus termasuk, tapi tidak terbatas pada9: (a) Nama kapal, dan, jika diperlukan, orang atau entitas hukum yang memiliki izin untuk menangkap ikan; (b) daerah, lingkup dan durasi izin untuk menangkap ikan; dan (c) spesies, alat tangkap yang diizinkan, dan jika diperlukan, langkah-langkah pengelolaan lainnya yang berlaku.

(2) Kegiatan yang bertentangan dengan aturan RFMO

Terkait dengan hal tersebut, ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur adalah sebagai berikut:

(2.1) UNCLOS 1982

UNCLOS mengatur mengenai pengelolaan terhadap sumberdaya ikan, yaitu: jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species), mamalia laut (marine

mammals), persediaan jenis ikan anadrom (anadromous stocks), jenis ikan

katadrom (catadromous species), dan jenis sedenter (sedentary species).

(2.2) FAO Compliance Agreement 1993

Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa secara khusus, tidak ada satu negara pihak pun yang memperbolehkan kapal ikannya untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu oleh otoritas yang tepat dari negara tersebut. Selain itu, setiap negara pihak tidak boleh memberi izin kepada kapal ikan manapun untuk mengibarkan benderanya dalam rangka penangkapan ikan di laut lepas kecuali jika negara tersebut mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan FAO

Compliance Agreement 1993 (Pasal 3 ayat 3).

50

(2.3) UN Fish Stocks Agreement 1995

Pasal 8 ayat (3) mengamanatkan bahwa negara-negara yang melakukan penangkapan stok ikan di Laut Lepas dan negara-negara pantai terkait harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama dengan menjadi anggota pada organisasi tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. Pasal 8 ayat (4) menambahkan bahwa, negara-negara yang menjadi anggota dari suatu organisasi tersebut atau peserta pada pengaturan tersebut, atau yang menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, mempunyai akses kepada sumber daya ikan terhadap mana tindakan-tindakan tersebut diterapkan.

Sementara bagi suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta pada suatu RFMO, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerjasama sesuai dengan Konvensi ini (Pasal 17 ayat 1).

(2.4) PSM Agreement 2009

Pasal 6 ayat (2), mengamanatkan bahwa setiap pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait. Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (3) menambahkan bahwa pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi dan lembaga pengelolaan perikanan regional.

(2.5) CCRF1995

Pasal 7.1.3 menyebutkan bahwa bagi stok ikan pelintas batas, stok ikan

straddling, stok ikan peruaya jauh dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh

dua Negara atau lebih, maka Negara yang bersaungkutan termasuk Negara pantai yang relevan dalam hal stok yang straddling dan ikan peruaya jauh tersebut harus bekerjasama untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu, melalui pembentukan sebuah organisasi atau tatanan perikanan bilateral, subregional atau regional. Organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) tersebut tersebut harus mengikutkan perwakilan dari negara yang sumberdaya perikanannya berada di dalam yurisdiksi mereka dan

51 perwakilan dari negara yang mempunyai kepentingan riil dalam perikanan yang berada di luar yurisdiksi nasional (Pasal 7.1.4). Sementara bagi Negara yang tidak menjadi anggota RFMO harus bekerjasama sesuai perjanjian internasional dan hukum internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan dengan cara memberlakukan setiap tindakan yang diadopsi oleh RFMO (Pasal 7.1.5)

(2.6) IPOA on IUU Fishing 2001

Sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dari UNCLOS 1982 dan tanpa mengenyampingkan bahwa negara bendera memiliki tanggung jawab utama di laut lepas, setiap negara sedapat mungkin harus mengambil langkah-langkah atau melakukan kerjasama dalam melakukan pengawasan terhadap mereka yang tunduk kepada yurisdiksinya agar tidak mendukung atau melakukan IUU Fishing (Paragraf 19). Sementara itu, semua langkah-langkah yang mungkin harus diambil, konsisten terhadap hukum internasional, untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan aktivitas-aktivas negara-negara yang tidak bekerjasama dengan badan pengelola perikanan regional terkait yang berhubungan dengan IUU Fishing. (Tabel 4.4.)

52

Tabel 4.4. Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Illegal Fishing. UNCLOS FAO

Compliance

UNIA PSM Agreement CCRF IPOA on IUU Fishing 1. Kegiatan tanpa ijin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (nasional) Pasal 62  Penetapan JTB  Pemberian surplus ikan  Pengaturan penangkapan: ijin

nelayan, ijin kapal penangkap ikan dan peralatannya, jenis ikan yang boleh ditangkap, kuota penangkapan, musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan, ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap, statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal

- Pasal 3  Pengelolaan dan perlindungan jenis ikan SFS dan HMS Pasal 3  Penerapan terhadap kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke

pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya  Pengecualian bagi

kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah yang sudah

bekerjasama.  Pengecualian bagi

kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan.  Penerapan

Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah tersebut. Pasal 7.2.2  Langkah pengelolaan: overcapacity, perikanan bertanggung jawab, perhatian terhadap nelayan, keanekaragaman hayati, pemulihan stok ikan, dampak lingkungan yang merugikan, dan

pencemaran, limbah, ikan buangan, hasil tangkapan.  Angka 34-41 (pendaftaran kapal)  Angka42-43 (catatan kapal)

53 2. Bertentangan

dengan aturan RFMO

 Pasal 64 (HMS)  Pasal 65 (Mamalia laut)  Pasal 66 (anadrom)  Pasal 67 (katadrom)  Pasal 120 (mamalia laut)

Pasal 3  Otoritas pemberian ijin kepada kapal ikan nasional  Otoritas pemberian ijin kepada kapal ikan nasional Pasal 8  Kewajiban tindakan konservasi dan pengelolaan yang dirumuskan oleh RFMO  Akses kepada sumber daya ikan Pasal 17  Kewajiban bekerjasama bagi negara bukan anggota  Pasal 6 Dukungan tindakan pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional

Pasal 7.1.3

 Pembentukan RFMO

Pasal 7.1.4

 Perwakilan Negara yang perikanannya berada dalam dan di luar yurisdiksinya

Pasal 7.1.5

 Kerjasama dari Negara yang tidak menjadi Negara anggota RFMO

 Kerjasama dengan RFMO dalam pemberantasa n IUU Fishing

54