• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pemberdayaan Masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN (Halaman 89-98)

Aspek-aspek dalam pemberdayaan masyarakat telah dikaji terkait Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Aspek-aspek ini merupakan aspek yang mempengaruhi dan sering digunakan para ahli dalam mengkaji pemberdayaan masyarakat, meliputi : Acces to Information, Inclusion/Participation, Accountability,

Local Organizational Capacity, Community Knowledge, Politics, Legality, dan Local Culture Acces to information, Inclusion/Participation, Accountability, Local Organizational Capacity, Community Knowledge, Politics, Legality, dan Local Culture

(Masrukin, dkk, 2016; Mardikanto dan Soebianto, 2015; Nerkar, dkk, 2013; Singh, dkk, 2012; Adamson, 2010; Mirumachi dan Wykt, 2010; Soetomo, 2009; Smith, 2008; Wulfhrost, dkk, 2008; Wrihatnolo dan Dwijowidjoto, 2007; Alsop, dkk, 2006; Wandersman, dkk, 2005; Sulistiyani; 2004; PREM– The World Bank, 2002).

Acces to Information yang dimiliki masyarakat sasaran dalam mengakses

informasi sudah memadai terkait berbagai informasi bantuan dana berkelanjutan Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Kondisi ini memberikan dampak positif bagi masyarakat sasaran dalam memperoleh hak mereka dalam pemenuhan air bersih dan sanitasi. Selain itu, aksesbilitas yang baik ini memberikan peluang bagi masyarakat sasaran untuk mengawal akuntabilitas pengelola. Hal ini sejalan dengan kajian PREM – Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:18-19), yang menyatakan bahwa masyarakat yang terinformasi menjadi lebih baik dalam memanfaatan peluang, layanan akses, memperoleh hak mereka, serta memegang akuntabilitas aktor negara dan non negara. Alsop et.all (2006:86) juga menekankan bahwa aset manusia sering memberikan akses yang lebih besar pada aktor untuk mendapatkan informasi dan meningkatkan kapasitasnya untuk memimpikan alternatif pilihan.

Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan akses informasi yang memadai dari masyarakat sasaran terhadap program ini tidak diikuti oleh akses informasi yang memadai pula dari pengelola terhadap program. Pengurus BP-SPAMS Desa Katelan tidak aktif dalam asosiasi, sehingga kurang terinformasi secara baik terkait program. Selain itu, akses informasi dari pemerintah dalam mengakses laporan pertanggung jawaban pengelola juga terhambat karena tidak adanya laporan yang rutin dari pengelola kepada pihak Desa setempat. Hal ini berlawanan dengan dengan kajian

commit to user

PREM– Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:18-19), yang menyatakan bahwa dua arah informasi dari pemerintah ke warga negara, dan dari warga negara ke pemerintah sangat

penting untuk responsibilitas, responsivitas, serta akuntabilitas pemerintahan.

Inclusion/Participation masyarakat sasaran terkendala pemenuhan in kind

sebesar 16 % dari Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Kondisi ini terlihat di Desa Katelan, dimana keterlibatan masyarakat rendah dengan memborongkan pekerjaan hanya pada 3 (tiga) orang pengurus. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam program berkelanjutan, kerutinan dalam pembayaran rekening air, dan keterlibatan sebagai pengurus dalam organisasi lokal juga rendah. Hal ini tidak sesuai dengan arahan Program PAMSIMAS yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam program berbasis masyarakat tersebut. Hal ini memperkuat kajian Smith (2008), melalui risetnya yang menemukan fakta bahwa pemberdayaan masyarakat yang seringkali dilakukan menggunakan pendekatan bottom up menunjukkan keterbatasan pendekatan partisipatif terhadap pembangunan. Perkins (1995:768) secara lebih spesifik menekankan partisipasi warga dalam pemberdayaan dapat lebih direcly berupa interaksi langsung dengan lingkungan masyarakat, organisasi lokal, dan lembaga pemerintah.

Kondisi yang berbeda ditunjukkan di Desa Plosorejo, dimana masyarakat aktif dalam penggalian dan pemasangan pipa, pengecoran sumur, dan pembuatan tower. Hal ini sejalan dengan kajian-kajian yang menyatakan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat harus berkomitmen pada keterlibatan dan partisipasi masyarakat sasaran (PREM, 2002; Wandersman, et.all, 2005; Alsop, et.all, 2006; Wrihatnolo and Dwijowidjoto, 2007; Wulfhrost, et.all, 2008; Smith, 2008; dan Masrukin, et.all, 2016). Wandersman, et.all (2005:27-41) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus berkomitmen pada kepemilikan masyarakat secara inclusive dan melibatkan partisipasi langsung dari stakeholders dalam membuat keputusan. Lebih lanjut, Wulfhrost, et.all (2008:25) menuliskan bahwa dalam kerangka partisipasi, orang harus terlibat dalam aksi sipil untuk mengatasi masalah yang mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Hal ini juga memperkuat kajian Wrihatnolo and Dwijowidjoto (2007:124) yang menyebutkan bahwa partisipasi melihat pemberdayaan masyarakat dari dimensi masyarakat sebagai subjek pembangunan. PREM – Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:19), secara lebih spesifik menyebutkan bahwa inklusi dan partisipasi berfokus pada siapa dan bagaimana mereka dilibatkan sebagai co-produser dengan otoritas dan kontrol atas

commit to user

keputusan. Lebih lanjut, Masrukin, et.all (2016:60) menuliskan dalam pemberdayaan masyarakat, kooperatif membutuhkan partisipasi dari semua pihak secara bersamaan untuk keberhasilan mereka. Kajian Alsop, et.all (2006:102) tentang mode of

participation menyebutkan hal ini disebut direct participation.

Accountability terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS

di Kabupaten Sragen menunjukkan pengelola telah memberikan informasi program melalui sosialisasi, melakukan pelayanan teknis maupun administrative dengan baik, dan responsive terhadap berbagai aspirasi masyarakat. Pengelola di Desa Plosorejo menginformasikan penggunaan dana melalui pertemuan warga, menempelkan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) di bawah tower sumur setiap bulan, dan menyampaikan dalam forum pertanggung jawaban pengelola di akhir tahun. Untuk menjaga transparansi pengelola membuat rekening bank atas nama organisasi. Hal ini sejalan dengan kajian-kajian yang menyatakan akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam pemberdayaan masyarakat (Dobuzinskis, 1997; PREM, 2002; Alsop, et.all, 2006; dan Singh, et.all, 2012). Dobuzinskis (1997:307), menuliskan pemberdayaan berarti kontrol pusat harus bergeser untuk memungkinkan pengiriman yang cepat dan efisien layanan, sehingga akuntabilitas harus ditempatkan pada tanggung jawab hasil yang dicapai, bukan karena ketaatan pada peraturan tentang penggunaan input standar.

PREM - Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:20) menuliskan bahwa akuntabilitas mengacu pada kemampuan untuk memanggil pejabat publik, pengusaha swasta, atau penyedia layanan untuk akuntabel, dengan mensyaratkan bahwa mereka dapat menjadi jawaban untuk kebijakan, tindakan, dan penggunaan dana mereka. Lebih lanjut, Alsop, et.all (2006:54), yang menyebutkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat memiliki bentuk kerja sama dengan sub domain politik, mengingat fungsi dan akuntabilitas pemerintah daerah, serta partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan. Singh, et.all (2012:302) melalui risetnya menunjukkan pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk memenuhi akuntabilitas pemerintah atas pemenuhan hak dasar masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan pengelola di Desa Plosorejo lebih transparan dan akuntabel dibandingkan pengelola di Desa Katelan. Pengelola di Desa Katelan tidak melaporkan pertanggung jawaban kepada masyarakat dan pihak Desa. Hal ini

commit to user

bertentangan dengan kajian yang menyatakan pemberdayaan masyarakat memerlukan akuntabilitas yang baik (Wandersman, et.all, 2005; Rouillard and Giroux, 2005; dan Wrihatnolo and Dwijowidjoto, 2007). Wandersman, et.all (2005-27-41), menuliskan bahwa pemberdayaan masyarakat berkomitmen dalam akuntabilitas dan didasarkan pada proposisi bahwa kemungkinan mencapai hasil dapat ditingkatkan apabila staf memegang tanggung jawab dalam kegiatan dan rencana mereka. Selain itu, kemungkinan mencapai hasil dapat ditingkatkan ketika stakeholders mengumpulkan informasi terkait proses pemberdayaan.

Rouillard and Giroux (2005:343) menuliskan secara spesifik bahwa akuntabilitas melalui partisipasi kolektif, dalam hubungannya dengan pemberdayaan harus dinyatakan melalui birokrasi atau organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip akuntabilitas untuk mencegah petugas melampaui batasan mereka. Lebih lanjut, Wrihatnolo and Dwijowidjoto (2007:124) menyebutkan akuntabilitas sebagai aspek yang dapat digunakan dalam mengukur pemberdayaan masyarakat dilihat dari dimensi masyarakat sebagai subjek pembangunan.

Local Organizational Capacity sangat memadai dalam mengkoordinir

masyarakat terlibat dalam program melalui sosialisasi. BP-SPAMS Desa Plosorejo diperkuat oleh TP- PKK dan LP2MD. Di sisi lain, BP-SPAMS Desa Katelan hanya diperkuat oleh LKM. BP-SPAMS Desa Plosorejo didukung LP2MD sebagai sarana konsultasi dalam pengambilan keputusan. Namun demikian, BP-SPAMS Desa Katelan mampu memberikan solusi permasalahan rawan air, dengan mendatangkan mobil tangki air. Hal ini sejalan dengan kajian Alsop, et.all (2006) dan Wrihatnolo and Dwijowidjoto (2007).

Alsop, et.all (2006:175) menuliskan kelompok marjinal mengembangkan organisasi kolektif untuk mengatasi hambatan struktural seperti membangun lembaga yang diperlukan untuk "adaptif" dan secara kolaboratif mengelola konflik. Wrihatnolo and Dwijowidjoto (2007:124) menyebutkan dimensi dan aspek yang dapat digunakan untuk mengukur pemberdayaan masyarakat, salah satunya adalah dimensi penguatan kelembagaan masyarakat yang diukur melalui aspek: (1) pembentukan dan penguatan kelembagaan; (2) pelatihan bagi pengelola dan masyarakat; (3) desentralisasi kepada lembaga masyarakat; dan (4) partisipasi lembaga masyarakat.

commit to user

Hasil penelitian menunjukkan BP-SPAMS Desa Plosorejo memiliki kemandirian finansial, ditunjukkan dengan pendapatan rata-rata yang tinggi, sehingga mampu memberikan honor kepada pengurus sebesar 20 % dari pendapatan bersih. Kondisi yang berbeda ditunjukkan di Desa Katelan, dimana kas defisit, sehingga masyarakat melakukan swadaya ulang. Sumber air yang kurang mengakibatkan air tidak mengalir baik dan rekening air tidak terklaim, sehingga tidak mampu memberikan honor pengurus. Hal ini bertentangan dengan kajian PREM (2002) dan Adamson (2010). PREM – Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:18-19) menuliskan bahwa kapasitas organisasi lokal mengacu pada kemampuan orang memobilisasi sumber daya untuk memecahkan masalah yang menjadi kepentingan bersama. Lebih lanjut, Adamson (2010:118) menuliskan organisasi masyarakat dan anggota dapat terlibat secara sangat aktif dengan program regenerasi tapi mungkin gagal untuk mempengaruhi proses dan akibatnya tidak akan diberdayakan oleh pengalaman.

Community Knowledge masih minim terkait operasional teknis terkait

pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Namun demikian, untuk tingkat masyarakat lokal pengetahuan ini dipandang sudah memenuhi prinsip pemberdayaan masyarakat. Selama ini pengurus mengatasi permasalahan kerusakan teknis dengan mengundang teknisi dari luar. Selain itu, pengurus ikut serta dalam berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk meningkatkan kapasitasnya dalam operasional teknik. Untuk pengetahuan administrative dan keuangan, masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai. Hal ini sejalan dengan kajian Wandersman, et.all, (2005); Alsop, et.all, (2006); Mirumachi and Wykt, (2010); Adamson, (2010); Nerkar, et.all, (2013); dan Masrukin, et.all, (2016).

Wandersman (2005:47) menuliskan masyarakat setempat memiliki

pengetahuan yang sangat berharga dan informasi tentang komunitas mereka dan program-programnya. Alsop, et.all (2006:16-17) secara lebih spesifik menyebutkan pengetahuan masyarakat dapat meningkatkan peluang orang yang diberdayakan untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Mirumachi and Wykt (2010:29), menyebutkan pengetahuan merupakan salah satu unsur dari perbedaan tingkat pemberdayaan.

Lebih lanjut, Nerkar, et.all (2013:9), menuliskan bahwa pendidikan menjadi bagian penting dari pemberdayaan masyarakat, dimana orang-orang mendapatkan

commit to user

pengetahuan dan kepercayaan diri dalam kehidupannya. Masrukin, et.all (2016:59) juga menuliskan bahwa pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman kerja sama secara profesional.

Aspek Politics terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesadaran politik yang baik, dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam mengajukan bantuan program ke Bupati dalam acara Srawung Warga. Daya tawar masyarakat cukup baik, terbukti dengan didengarnya suara mereka. Payne (Masrukin, et.all, 2016:57) menuliskan pemberdayaan menolong klien memperoleh kekuatan untuk membuat keputusan dan tindakan yang mempengaruhi kehidupannya dengan pengaruh dari sosial atau personal, dengan menumbuhkan kapasitas dan kepercayaan diri untuk menggunakan kekuatan dan dari pengaruh lingkungan. Mardikanto dan Soebianto (2015:34) secara lebih spesifik menyebutkan pemberdayaan masyarakat memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi dan memiliki hak yang sama dalam setiap pengambilan keputusan politik.

Lebih lanjut, aspek Legality atau legalitas organisasi lokal dalam hukum di Desa Katelan memadai ditunjukkan dengan adanya akta notaris untuk organisasi lokal, yaitu LKM. Sejak awal berdiri, LKM di Desa Katelan telah berbadan hukum. Namun demikian, kondisi yang berbeda ditunjukkan di Desa Plosorejo, dimana legalitas badan hukum organisasi lokal belum ada, sehingga mengakibatkan bantuan program terhambat dan tata kelola organisasi yang lemah karena kesatuan unit-unit dalam BP-SPAMS belum terwujud. Hal ini bertentangan dengan kajian Sumodiningrat (2007:107), yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat diarahkan dalam pengembangan kelembagaan di daerah. Wrihatnolo and Dwijowidjoto (2007:124) juga menyebutkan dimensi dan aspek yang dapat digunakan untuk mengukur pemberdayaan masyarakat salah satunya adalah dimensi penguatan kelembagaan masyarakat yang diukur melalui aspek pembentukan dan penguatan kelembagaan.

Local Culture terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS

di Kabupaten Sragen, menunjukkan kearifan lokal saiyeg saeka praya, bebarengan

mrantasi gawe dan holopis kuntul baris, yang berarti bekerja dengan gotong-royong

atau bersama-sama masih menjadi bagian budaya lokal yang dijunjung tinggi. Masyarakat di Desa Plosorejo sadar pada kebutuhan air bersih, sehingga saling

commit to user

berkoordinasi melakukan pemenuhannya secara bersama-sama melalui gotong-royong. Hal ini sejalan dengan kajian Keraf (Ariyanto, et.all, 2014:85), bahwa kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

Di sisi lain, masyarakat di Desa Katelan memiliki kesadaran yang rendah terkait budaya gotong-royong, ditunjukkan dengan memborongkan pengerjaan jaringan pipa pada 3 (tiga) orang pengurus. Hal ini bertentangan dengan pemikiran Soetomo (2009:199) yang menuliskan dalam pembangunan masyarakat yang lebih mementingkan aspek manusia dan masyarakatnya lebih banyak memperhatikan sumber daya yang bukan hanya semata-mata berorientasi pada produksi, melainkan juga hal-hal yang menyangkut aspek-aspek sosio-kultural masyarakat.

Koentjaraningrat (Moeis, 2009:1), menuliskan budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya bekerja tanpa pamrih terlihat dari pengurus BP-SPAMS di Desa Plosorejo dan Desa Katelan yang cenderung bekerja dengan menjunjung budaya bekerja tanpa memperhitungkan imbalan yang diterimanya. Pengurus menyadari bekerja di organisasi lokal membutuhkan pengabdian. Budaya Jawa sepi ing pamrih rame ing gawe, yang bermakna dalam melakukan pekerjaan apapun bekerja dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas tanpa memikirkan imbalannya ini menjadi kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi. Karmadi (2007:2), menuliskan budaya lokal mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Acces to Information,

Inclusion/Participation, Accountability, Local Organizational Capacity, Community Knowledge, Politics, Legality, dan Local Culture, merupakan aspek-aspek yang

mempengaruhi pemberdayaan masyarakat. Kedelapan aspek tersebut bersinergi mendukung pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Aspek-aspek dalam pemberdayaan masyarakat ini merupakan manifestasi dari paradigma New Public Service, Human Governance, dan Good Governance.

Paradigma New Public Service terlihat dengan diikutsertakannya masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Program ini memiliki pendekatan

commit to user

berbasis masyarakat, yang artinya Program PAMSIMAS menempatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan utama dan penanggung jawab kegiatan dan pengelolaan sarana air minum dan sanitasi. Program ini juga mensyaratkan keikutsertaan masyarakat dalam berkontribusi sebesar minimal 20 % dari total biaya Rencana Kerja Masyarakat (RKM), yakni dalam bentuk tunai (in cash) minimal 4 %, dan dalam bentuk natura (in

kind), berupa tenaga kerja, material lokal, atau peralatan minimal 16 %.

Pemenuhan in cash oleh masyarakat di Desa Plosorejo memadai, yaitu 111 orang. Masyarakat di Desa Plosorejo juga aktif dalam penggalian dan pemasangan pipa, pengecoran sumur, dan pembuatan tower. Di sisi lain, pemenuhan in cash oleh masyarakat di Desa Katelan juga memadai, yaitu 100 orang. Namun demikian, keterlibatan masyarakat rendah dengan memborongkan pekerjaan hanya pada 3 (tiga) orang pengurus. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam program berkelanjutan, kerutinan dalam pembayaran rekening air, dan keterlibatan sebagai pengurus dalam organisasi lokal juga rendah. Hal ini tidak sesuai dengan arahan paradigma New Public

Service, dimana dalam paradigma ini tidak ada lagi pihak yang menjadi penonton,

karena semua pihak dilibatkan menjadi pemain dan ikut bermain, serta mensyaratkan birokrasi harus dibangun dengan mengikutsertakan masyarakat (Keban, 2008:247).

Pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen ini merupakan cerminan dari paradigma Good Governance. Sulistiyani (2004:90) menuliskan bahwa pemaknaan pemberdayaan masyarakat ini sejalan dengan konsep

Good Governance, dimana mengetengahkan pada 3 (tiga) pilar yang harus

dipertemukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut ialah pemerintah, swasta, dan masyarakat yang menjalin hubungan kemitraan yang selaras. Selain itu, prinsip-prinsip dalam Good Governance seperti akuntabilitas dan partisipatif menjadi aspek -aspek pada pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen, yaitu: aspek Accountability dan aspek Inclusion/Participation.

Hasil penelitian menunjukkan pemenuhan aspek Accountability dalam pemberdayaan masyarakat sebagai bentuk manifestasi paradigma Good Governance ini mengarah pertanggung jawaban pengelola BP-SPAMS di Desa Plosorejo yang memadai dalam memberikan informasi program melalui sosialisasi, melakukan pelayanan teknis maupun administrative dengan baik, responsive terhadap berbagai aspirasi masyarakat, transaparan dalam penggunaan dana. Di sisi lain, pengelola BP-SPAMS di Desa justru

commit to user

tidak melaporkan pertanggung jawaban kepada masyarakat dan pihak Desa, dimana hal ini bertetangan dengan prinsip Good Governance tersebut.

Pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen ini merupakan manifestasi dari paradigma Human Governance. Hal ini dikarenakan program ini dilaksanakan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah dalam pemenuhan hak publik atas air dan sanitasi dasar. Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen ini dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi di daerah rawan air, seperti di Desa Katelan dan Desa Plosorejo. Desa Katelan yang berada di bagian utara kondisinya gersang, dikenal dengan wilayah “lor bengawan” (Utara Sungai Bengawan Solo). Secara geografis, desa ini termasuk wilayah rawan air bersih.

Di sisi lain, Desa Plosorejo yang secara geografis terletak di wilayah selatan. Daerah ini dikenal dengan wilayah “kidul bengawan” (Selatan Sungai Bengawan Solo), dengan kondisi lebih banyak sumber mata air, meskipun sangat dalam kedalaman sumber airnya. Hal ini sesuai kajian Thoha (2008:155-156), yang menyatakan Human

Governance merupakan suatu model kultural yang menata hubungan antara negara dan

individu sebagai warga negara yang mempunyai kebebasan memilih, kemerdekaan berpendapat, pengakuan hak dan harga diri oleh pemerintah. Human Governance cenderung lebih memberdayakan, serta memperbaharui budaya administrasi yang dijalankan oleh pemerintahan dan budaya kewarganegaraan individu dalam suatu negara, dimana titik perhatiannya mengubah posisi manusia dari objek ke subjek.

Beranjak dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen belum optimal. Masyarakat masih menghadapi problem dalam meningkatkan kapasitas, antara lain : akses informasi pengelola yang kurang memadai terkait berbagai bantuan dana program, akuntabilitas pengelola yang rendah dalam informasi pengelolaan dana program, rendahnya kapasitas organisasi lokal dalam dukungan dana, minimnya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam program, pengetahuan masyarakat yang masih perlu ditingkatkan dalam operasional teknis, sampai dengan budaya lokal yang masih perlu diperkuat. Hal ini dapat menghambat masyarakat dalam meningkatkan kapasitas mereka, karena tidak sejalan dengan hakikat pemberdayaan itu sendiri, seperti yang dikaji PREM (2002) dan Alsop, et.all (2006).

commit to user

PREM - Bank Dunia (Narayan, ed, 2002:14) menuliskan bahwa pemberdayaan merupakan ekspansi asset dan kemampuan masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, pengaruh, kontrol, dan akuntabilitas lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka. Lebih lanjut, Alsop, et.all (2006:10), mengerucutkan pemberdayaan sebagai suatu kapasitas kelompok atau individu untuk membuat pilihan yang efektif, yaitu, untuk membuat pilihan dan kemudian mengubah pilihan-pilihan tersebut ke dalam tindakan yang diinginkan dan outcomes.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN (Halaman 89-98)