• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aneka Tujuan Filsafat Hukum

Dalam dokumen A. Istilah dan Pengertian Filsafat (Halaman 54-60)

FUNGSI FILSAFAT HUKUM

D. Aneka Tujuan Filsafat Hukum

Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., berpendapat hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya, terutama bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar. Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A.,

berpendapat hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil-hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun dalam pelbagai mazhab atau aliran. Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H.

mengemukakan “Filsafat Hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau akal budi manusia”.

Berhubungan dengan tujuan filsafat hukum, Prof. Dr. Drs. Ernst Utrecht, S.H. (1996) menerangkan filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai norma dalam arti kata ethisch wardeoordeel. Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak diraba oleh panca indra” dari hukum. Filsafat hukum menjadi ilmu normatif, seperti halnya dengan (ilmu) politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu rechts ideal yang dapat menjadi “dasar umum” dan “etis”

(ethisch) bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti Grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo-Kantianisme). Filsafat pada umumnya mencari ethische dan ideale levenshouding yang dapat menjadi dasar tetap petunjuk-petunjuk hidup kita.

Prof. Dr. L. Bender dalam bukunya Het Recht Rechts Philosophische hukum justru mencari yang dalam berbagai hukum adalah sama, Verhandelingen (1948) memaparkan: “Filsafat menghakiki dan yang tidak dapat berubah dalam hukum menurut Dr. Theo Huijbers“. Tujuan filsafat hukum adalah memperdalam pengertian tentang hukum dengan mempelajari maknanya yang sebenarnya.

Menurut Prof. Dr. Roscoe Pound, M.A., filsafat telah menjadi seorang berguna dalam semua tingkatan dari apa yang pantas kita bukan perkembangan hukum. Pada beberapa tingkatan dia merupakan seorang abdi yang kejam, dan pada tingkatan lain, dia adalah seorang majikan. Filsafat itu telah dipergunakan untuk meruntuhkan kekuasaan tradisi yang sudah usang, untuk mematahkan peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh pihak penguasa yang tidak membiarkan adanya perubahan bagi penggunaan baru, yang telah mengubah efeknya secara praktis. Filsafat itu telah dipergunakan pula untuk memasukkan unsur baru dari luar ke dalam hukum, dan membuat tubuh-tubuh baru hukum dari bahan-bahan baru ini, untuk menyusun dan memberikan sistem kepada bahan-bahan hukum yang ada, serta untuk memperkuat kaidah -kaidah dan lembaga-lembaga yang sudah ditetapkan, apabila masa

itulah yang pertumbuhan telah diiringi oleh masa kestabilan dan masa rekonstruksi formal semata-mata. Itulah yang betul-betul telah dicapai oleh filsafat. Diakul clapi, senantiasa tujuan yang diakui sendiri oleh filsafat itu jauh.

Lebih tinggi lagi, filsafat sudah berdaya upaya memberikan satu gambaran lengkap dan penghabisan pengawasan sosial, dan dicobanya pula membuat peta kesusilaan, hukum dan politik untuk segenap masa. Filsafat hukum mempunyai kepercayaan menemukan kenyataan hukum yang kekal, tidak akan berubah-ubah tempat kita berpijak, dan dapat memberi kita kesanggupan untuk menegakkan satu hukum yang sempurna yang dengannya dapat ditertibkan hubungan manusia untuk selama-lamanya lenyap segala ketidakpastian dan diperoleh kebebasan dari akan adanya perubahan. Kita tidak boleh mengejek tujuan yang tinggi dan keyakinan yang mulia ini. Sebab tujuan dan keyakinan ini sedikit merupakan faktor-faktor di dalam kekuasaan filsafat hukum untuk melakukan hal-hal yang kurang luhur, yang dalam keseluruhannya adalah tulang punggung dan semangat dari apa-apa yang telah dicana oleh hukum oleh sebab daya upaya untuk melaksanakan program yang lebih luas telah mengajak filsafat hukum secara kebetulan untuk melakukan apa-apa yang akan segera berfaedah dan praktis pengalaman dalam melakukan yang disebut kemudian ini, seolah-olah dia subspecie aeternitatis, telah memberikan harga yang kekal kepada apa yang pada lahirnya merupakan hasil tambahan dari penyelidikan filsafat.

F. Iswara, S.H., LLM. berpendapat setiap persekutuan hidup harus berdasar pada suatu keadaan tertib atau ketertiban (keteraturan), ia mengemukakan setiap persekutuan hidup, bagaimana modern atau primitifnya pun harus berdasar pada sejenis “tertib” (orde). Tidak dapat dibayangkan adanya persekutuan hidup yang tidak mengenal semacam ketertiban yang mengatur tata hidup mereka. Filosof Romawi (Marcus Tullius Cicero/106-43 M), kurang lebih 20 abad yang lalu sudah mengucapkan kalimat termasyhur “ubi societas, ibi ius” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum).

Dalam konteks pemahaman arti hukum dan fungsi hukum dalam masyarakat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM. menyatakan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat, dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar: apakah tujuan hukum itu? Dalam analisis terakhir,

tujuan pokok apabila direduksi pada suatu hal saja adalah ketertiban dan hukum (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Lepas dari segala kerinduan akan yang juga menjadi tujuan dari hukum, ketertiban sebagai hal-hal lain tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Mengingat bahwa kita tak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar manusia-masyarakat-dan hukum merupakan masyarakat. Maka pengertian yang tak dapat dipisah-pisahkan. Pemeo Romawi “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum) dari Marcus Tullius Cicero/106-43 SM menggambarkan keadaan ini dengan tepat sekali. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan tamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas sekarang. Oleh karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti: (1) perkawinan, yang memungkinkan kehidupan yang tak dikacaukan oleh hubungan antara laki-laki dan perempuan; (2) hak milik; dan (3) kontrak yang harus ditepati oleh pihak-pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat ia hidup.

Pendapat George Whitecross Paton tentang kepentingan individu (dalam tujuan hukum) meliputi keluarga, hak politik (hak memilih dan hak dipilih), juga kepentingan masyarakat yang meliputi kesehatan umum dan kesejahteraan umum. Definisi hukum menurut George dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence Whitecross Paton, hukum meliputi tiga unsur yaitu putusan pengadilan, tujuan hukum, dan kenyataan-kenyataan sosial. Pengertian kepentingan menurut George Whitecross Paton mengingatkan pada pandangan Rudolf von liering tentang interessenjurisprudenz. Sementara itu, tujuan hukum Prof.

Dr. Rudolf von Jhering bahwa tujuan hukum adalah “kepentingan”

ia mengikuti Jeremy Bentham dengan melukiskannya sebagai pene kesenangan dan menghindari penderitaan. Akan tetapi, kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan sama, maka terbentuklah koperasi. Perdagangan, masyarakat negara merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan tujuan yang sama itu.

Ahli hukum Tata Negara dan Hukum Pidana mungkin memandang problem-problem hukum lebih langsung sebagai suatu aspek dan hubungan-hubungan antara yang berkuasa dan warga, antara masyarakat dan individu. Jawaban atas persoalan-persoalan ini dalam penempatan yang satu di bawah yang lain. Adalah bukan kebetulan para ahli hukum yang memasukkan konsepsi-konsepsi tentang kewajiban dan negara dalam hubungannya dengan individu adalah ahli-ahli hukum tata negara.

Menurut salah satu asas dari asas-asas hukum fikih dalam kaitan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana dipaparkan oleh Dr. Subhi Rajab Mahmassani membedakan hak umum (hak Allah) dan hak pribadi. la memaparkan mengatur berbagai hukum pidana, membedakan hak umum (hak Allah) dan hak pribadi. Membedakan juga antara hukum pidana yang ada ketetapan sanksinya dalam hukum syara’ dan yang diserahkan hukumnya kepada kebijaksanaan hakim. Kemudian menetapkan syarat-syarat qishash dalam tindak pidana pembunuhan dan pelukan yang disengaja, dan memberi batasan atas denda (divat) dan ganti rugi.

Dengan mengembangkan gagasan mengenai keseimbangan (antara kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan umum negara atau antara kepentingan individu dan kepentingan umum) sebagai tujuan hukum, Prof. Dr. Rudolf von Jhering menjadi bapak ahli hukum sosiologis modern. Ia menyiapkan teknik hukum yang paling luwes yang diperlukan oleh problem-problem hukum baru yang berubah-ubah, dengan menentang ilmu hukum tentang konsepsi-konsepsi. Selain itu, pendiriannya yang tegas menerapkan hukum dengan konsepsi romantis mengenai manifestasi tanpa disadari dari volksgeist lewat hukum.

Dari pendapat-pendapat tadi dapat disimpulkan tujuan hukum itu:

(1) menurut paham tradisional adalah untuk menjaga ketertiban dan menurut paham modern adalah alat untuk keadilan, serta (2) anggun masyarakat. Sebagai tujuan hukum, ketertiban lebih penting primer daripada keadilan, karena (1) setiap hukum mengandung unsur ketertiban tetapi tidak semua hukum mengandung keadilan, dan (2) apabila terjadi bentrokan (spanning, tension antara keadilan dengan ketertiban maka keadilan terpaksa dikesampingkan dahulu, orang memberikan peranan yang statis kepada hukum. Artinya hukum itu hanya diberi peranan untuk mempertahankan apa yang sudah ada.

Dalam anggapan mereka hukum hanya mengikuti dan mencerminkan apa-apa yang telah ada saja tidak mungkin menjadi pelopor untuk mengadakan pembaruan atau memajukan masyarakat.

Dalam paham modern, hukum diberi peranan yang progresif artinya diberi peranan sebagai pelopor untuk mengadakan perubahan dan modernisasi.

Dalam dokumen A. Istilah dan Pengertian Filsafat (Halaman 54-60)