FILSAFAT NILAI SEBAGAI LELUHUR DARI FILSAFAT HUKUM
B. Sifat Nilai
Nilai itu ideal, atau berbentuk ide, abstrak namun hadir karena diobjekan dan dihadirkan karena subjek. Karena itu nilai dikatakan bersifat abstrak, tidak dapat disentuh oleh panca indra. Misalnya, seorang pahlawan yang melakukan pembunuhan akan mendapat pujian bagi yang mengaguminya, atau cercaan menjadi objek nilai melakukan pembunuhan demi harta. Dalam contoh ini yang objek nilai adalah perilaku pembunuhan yang berarti menghilangkan orang, fokus utama timbulnya penilaian tidak hanya karena alasan nyawa orang lain, motif atas sikap pahlawan atau pembunuh, tetapi juga karena hilangnya nyawa orang yang terbunuh.
Nilai memiliki dualisme ketika diturunkan pada penilaian, apakah dalam sifat objektif ataupun subjektif. Dualisme berarti nilai tidak dapat berdiri sendiri tanpa penyandingan. Jika diturunkan misalnya nilai senang akan selalu bersanding dengan nilai ketidaksenangan. Pada saat kapan nilai memiliki sifat objektif dan pada saat kapan nilai bersifat subjektif? Pembunuhan secara ringkas dapat diartikan sebagai perbuatan menghilangkan nyawa makhluk hidup yang mengakibatkan kematian.
Pembunuhan tetaplah pembunuhan, yang berarti menghilangkan nyawa manusia. Peristiwa ini adalah nilai objektif yang tidak dapat disangkal dengan alasan pembenar, bahwa perilaku apa pun yang ditujukan untuk membunuh pada kondisi standardisasi ataupun normal, tidak disukai setiap makhluk. Sekalipun itu dapat terjadi dalam kondisi alamiah
dalam hal terwujudnya rantai makanan, namun latar belakang alasan atau motif pembunuh (standardisasi) dengan beragam alasan adalah sifat subjektif. Demikian pula ragam penilaian yang menyusul tentang peristiwa pembunuhan yang terjadi dan karena alasan inilah, maka kerap kali nilai atau tiap hal yang menjadi objek penilaian selalu dianggap subjektif. Hal ini merupakan suatu kekeliruan.
Fakta itu diketahui dan nilai untuk menyelimutinya sebagai makna untuk menunjuk bahwa nilai dapat hadir dengan adanya fakta yang mendahului. Membicarakan pengetahuan adalah membicarakan soal kebenaran. Masalah kebenaran adalah soal budi. Soal penghargaan akan mengarah pada persoalan kepuasan. Masalah kepuasan adalah soal hati.
Karena itu soal nilai tidak soal benar atau salah. Akan tetapi, tentang gagasan yang dinyatakan karena dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak, namun nilai pada hakikatnya bersifat tetap dan utuh.
Nilai berdiri tetap, tetap indah dan tetap kalaupun tidak indah.
Karenanya nilai juga utuh atas keduanya. Suatu fakta kita akui kebenarannya, sekalipun hati tak menghendakinya. Kita tidak senang akan kejadian itu, maka dipandang sebagai kenyataan yang pahit, itulah nilai berpenilaian subjektif. Nilai berbeda dengan wujud sesuatu yang tetap ada, bilamana tidak ada manusia yang memberikan penilaian, karena nilai tidak berada dengan sendirinya tanpa manusia, maka ada manusia ada nilai, keberadaan nilai yang terkandung dalam suatu fakta (realitas) ditentukan adanya manusia yang menilai. Setelah terjadi kontak antara manusia fakta, maka dengan serta merta nilai akan hadir.
Dengan kata lain, yang dinilai serta manusia sebagai objek sekaligus subjek yang menilai, terbentuk karena adanya hubungan interdependensi antara fakta sebagai objek yang dinilai serta manusia sebagai objek sekaligus subjek yang menilai. Tanpa hubungan yang bersifat ketergantungan seperti itu, nilai tidak mungkin ada. Sebagai contoh, apakah poligami itu baik atau buruk? Islam apakah boleh dan apabila dilakukan dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Filsafat sebagai produk akal manusia adalah nisbi, nisbi akal itu pula nilai-nilai yang terbentuk terikat oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai itu serasi untuk ruang dan waktu tertentu, tapi tidak sesuai bagi ruang lain dan waktu lain. Nilai-nilai itulah yang memberi bentuk kebudayaan yang sama bentuknya. Ada kebudayaan yang memberi nilai yang tinggi kepada ekonomi, misalnya kebudayaan Barat, ada yang memberi
nilai yang tinggi kepada ilmu dan teknologi, misalnya kebudayaan Amerika Serikat, kepada amami kebudayaan Bali, kepada seni misalnya kebudayaan Jawa, kepada vapada pole misalnya kebudayaan Israel, kepada sosial misalnya kebudayaan di Waand campus desa, gampong, kampung kita. Perbedaan nilai pada salah satu universal tersebut telah menyebabkan bentuk yang berbeda, sekalipun nilai-nilai yang lain, nilai itu tidak dengan sendirinya berdiri sendiri, seperti wujud barang.
Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, ataupun ada manusia yang melihatnya. Bunga di hutan itu tetap bunga, sekalipun ada mata manusia yang memandangnya. Akan tetapi untuk nilai, nilai itu ada, kalau manusia tidak ada atau tidak melihatnya. Bunga-bunga itu memiliki nilai untuk disebut indah, kalau tidak ada pandangan manusia mengaguminya. Karena nilai barulah timbul, ketika terjadi hubungan manusia sebagai subjek ataupun objek.
Nilai itu bersifat ide, namun tampil dalam bentuk materi, dengan hubungan subjek dan objek. Ide itu dimasukkan ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai. Bermacam-macam faktor yang membentuk ide itu, yaitu naluri, pendidikan, pengalaman, lingkungan, suasana, cita-cita, dan lain-lain. Nilai adalah soal apresiasi. Positif dan negatifnya (ada atau tidaknya) nilai bergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek dan objek. Disposisi itu ditentukan lagi oleh banyak faktor ilmu pun hadir adalah karena kebebasan nilai ilmu bicara tentang fakta yang ada, tidak mempersoalkan baik atau buruknya suatu fakta, indah jeleknya, berguna atau tidaknya. Fakta itu sesungguhnya netral, karena manusialah yang memasukkan nilai ke dalamnya, maka fakta tersebut mengandung nilai.
Nilai tidak melekat dengan sendirinya pada fakta, tetapi terhubung dengan substansinya, maka suatu fakta mempunyai kepribadian sendiri yang akan mengarahkan pertimbangan manusia dalam menilai. Hal tersebut pula yang menyebabkan nilai mempunyai aspek objektif apabila ditinjau dari segi objek nilai, dan aspek subjektif jika dilihat dari sudut subjek yang menilai.
Aspek subjektif memungkinkan aksidensi nilai berbeda-beda.
Disposisi subjek yang memberikan nilai-nilai subjektif inilah yang menjadi penyebab perbedaan atau benturan nilai. Aspek objektif memungkinkan esensi nilai bertahan tetap. Esensi nilai yang merupakan nilai-nilai objektif inilah yang ditanamkan melalui cara edukatif dan imitasi sehingga membentuk jalinan.
Menurut Achmad Fauzi, faktor subjektif yang memengaruhi pandangan menilai meliputi aspek:
1. Umur (belum dewasa, dewasa, matang);
2. Tingkatan inteligensi (rendah, menengah/normal, superior, dan jenius);
3. Latar belakang pribadi (jenis dan tingkat pendidikannya);
4. Agama;
5. Latar belakang sosial-budaya (kebudayaan daerah, kebudayaan nasional).
Ada tiga faktor yang memengaruhi terwujudnya penilaian yang bersifat objektif ataupun subjektif, yakni faktor pokok, faktor pelengkap serta faktor penuaan. Sudah menjadi kodrat manusia untuk mencapai hidup yang kadar makna kehidupan itu sendiri ditentukan oleh jalinan nilai yang telah mengendap dalam diri manusia yang bersangkutan.
Dengan demikian, jalin nilai itu merupakan pula kriteria bagi manusia untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupannya. Dalam pencapaian hidup yang bermakna, manusia berbuat, bertindak, dan berperilaku.
Di belakang perbuatan tindakan dan perilaku itu terdapat nilai yang menjadi motifnya. Dengan demikian jalinan nilai-nilai juga merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
Nilai adalah soal apresiasi. Positif atau negatif, ada atau tidak adanya nilai itu tergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek dan objek. Berbeda subjek yang menilai akan membawa perbedaan dalam penghargaan dan berbeda pula nilainya.