• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Epistemologis dalam Ilmu Hukum

Dalam dokumen A. Istilah dan Pengertian Filsafat (Halaman 154-158)

EPISTEMOLOGI HUKUM

C. Aspek Epistemologis dalam Ilmu Hukum

of knowledge. Traditionally, central issues in epistemology are the nature and derivation of knowledge, the scope of knowledge and the reliability of claims to knowledge”

Selain kata episteme, untuk kata pengetahuan dalam bahasa Yunani juga dipakai kata gnosis, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah juga disebut gnoseologi sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoretis pengetahuan. Dalam bahasa Jerman, epistemologi diterjemahkan antara lain menjadi erkentnistheorie dan dalam bahasa Belanda dikenal istilah kennisleer atau kentheorien (teori pengetahuan). Berdasarkan asal kata dan pengertiannya, singkatnya dapat disebutkan bahwa epistemologi adalah salah satu cabang filsafat untuk membantu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.

Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dalam satu istilah, yaitu disiplin ilmiah tentang hukum (science concerned with law), ilmu hukum (juris-prudence) atau pengembanan hukum teoretikal (theoritische rechtsbeoefening). Sekali lagi istilah-istilah tersebut semuanya menunjuk pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-sistematikal-metodikal, terargumentasi dan terus-menerus) berupaya memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.

Ilmu hukum mempunyai tujuan memberi suatu pengetahuan dan kemampuan penguasaan intelektual tentang hukum baik terhadap pembentuk undang-undang, terhadap hakim maupun para ilmuwan hukum. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan hukum yang dimiliki dalam mempersiapkan pengambilan putusan hukum konkret yang akan dibuatnya, yakni menetapkan hak dan kewajiban orang dalam situasi kemasyarakatan konkret tertentu berdasarkan kaidah hukum yang tercantum dalam suatu aturan hukum, yang kepatuhannya tidak diserahkan pada kehendak bebas orang yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Dengan demikian ilmu hukum memiliki pretensi untuk memberikan solusi atau penyelesaian hukum konkret, artinya memberi jawaban atas pertanyaan apa hukumnya yang berlaku bagi kenyataan-kenyataan kemasyarakatan tertentu yang menimbulkan masalah hukum.

Tujuan ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum positif adalah untuk memahami dan menguasai pengetahuan tentang kaidah dan asas-asas untuk kemudian dapat mengambil keputusan berdasarkan hal tersebut. Ilmu pengetahuan hukum dalam aplikasinya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yang antara lain terdiri dari:

1. Pembentukan hukum, kegiatan ini mencakup pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga tertentu yang berwenang melalui prosedur tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan. Perundang-undangan adalah bentuk pembentukan hukum yang paling penting yang di dalamnya diciptakan suatu model perilaku abstrak yang di kemudian hari dapat dipergunakan untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan konkret. Selain itu pembentukan hukum dapat dilakukan oleh hakim dalam sebuah proses peradilan di mana terhadap kasus yang dihadapinya tidak terdapat suatu aturan hukum yang mengaturnya.

Sering kali hal tersebut dilakukan hakim melalui suatu metode konstruksi hukum yang terdiri dari metode argumentum peranalogian (analogi), argumentum a contrario, dan metode penghalusan hukum (rechtsvervijnings).

2. Penerapan hukum, kegiatan ini untuk menentukan hukum apa yang diterapkan bagi peristiwa hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Dalam penerapan hukum kegiatan penemuan hukum memegang peranan penting, karena dengannya kaidah hukum dan jangkauan keberlakuan dari suatu aturan hukum diperoleh dan kemudian diterapkan pada peristiwa hukum yang dihadapi untuk kemudian ditetapkan apa akibat hukumnya bagi peristiwa hukum tersebut. Penerapan hukum ini dapat berbentuk putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan lain sebagainya.

3. Perkembangan hukum. Hukum mengembangkan diri dengan suatu kerja sama yang kompleks antara pembentuk undang-undang, hakim, dan ilmu hukum. Ilmu hukum sering mempelajari hukum dengan mengambil pengertian-pengertian dalam hukum yang sudah tersedia dalam undang-undang, tetapi di lain pihak para pembentuk undang-undang sering mengambil pengertian-pengertian tersebut sebagai hasil kerja ilmu hukum dan memasukkannya dalam rumusan undang-undang. Perkembangan hukum diperoleh melalui kerja sama antara ilmu hukum dengan hakim. Putusan hakim yang telah memperoleh anotasi (pandangan dan penilaian hukum) dari ilmuwan hukum sering menjadi celah untuk perkembangan hukum yang di kemudian hari dapat diletakkan sebagai landasan dari putusannya.

Melakukan analisis hukum terhadap fakta akan menarik perhatian, mengingat hal tersebut tidak sesederhana yang dibayangkan orang pada umumnya yang hanya mengandalkan pada kegiatan seorang hakim dalam menerapkan aturan-aturan hukum yang ada pada setiap peristiwa konkret yang terjadi, meskipun hingga derajat tertentu hakim memang melakukannya demi menjaga konsistensi yuridikal, dan harus pula dipahami bahwa jika dikaitkan dengan sistem hukum, maka tidak hanya berbicara mengenai hubungan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, tetapi termasuk juga di dalamnya lembaga atau organisasi

yang mempunyai otorisasi untuk membentuk dan menjalankan sistem hukum tersebut.

Hukum bukanlah barang yang tersedia begitu saja yang setiap saat oleh hakim dapat diterapkan terhadap fakta. Begitu juga terhadap berbagai peristiwa yang terjadi tidak dapat begitu saja hakim langsung dapat menderivasi aturan-aturan hukum yang ada tanpa memperhatikan situasi problematikal yang melingkupi peristiwa tersebut. Seperti halnya berpikir silogisme dalam metode penalaran hukum, ketidaksederhanaan tampak di mana aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan kualifikasi atau interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkret. Premis minornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum juga tidak begitu saja dapat ditetapkan, melainkan harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan untuk kemudian diseleksi dan dikualifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum.

Van Peursen menyatakan bahwa fakta itu tidak ditemukan seperti objek atau benda tertentu yang dipungut dari tanah, melainkan fakta adalah hasil pengamatan, penjelasan teoretis, usaha yang bersifat membatasi dari disiplin ilmiah tertentu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa fakta tidak ditemukan, melainkan dijadikan, sehingga setiap pengetahuan manusia tentang kenyataan apa pun adalah pengetahuan hasil interpretasi, dalam arti sudah bermuatan teori dan pengandaian-pengandaian dan karena itu sesungguhnya tidak pernah murni objektif dan netral.

Seperti yang dikatakan Gadamer bahwa interpretasi memiliki pra-struktur di dalam pemahaman, yakni vorhabe (apa yang sudah dimiliki sebelumnya), vorsicht (apa yang sudah dilihat sebelumnya), vorgriff (apa yang ditangkap sebelumnya). Jika seseorang mengetahui sesuatu, maka bagaimanapun objek pengetahuan tersebut pasti mendapat pengaruh dari subjek yang mengetahui, karena itu sesungguhnya fakta yang bebas nilai, bebas prasangka, dan bebas kepentingan itu tidak pernah ada.

Dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum, usaha memperoleh pengetahuan tentang hukum yang di dalamnya mencakup kegiatan mengkualifikasi fakta dan menetapkan hukum dan seorang ilmuwan hukum tidak pernah bertolak dari suatu pengetahuan yang kosong.

Pengetahuan yang hendak diperoleh seorang ilmuwan hukum mustahil akan diperoleh tanpa ia sebelumnya mempunyai pra-pengetahuan.

Misalnya jika hendak memperoleh pengetahuan dari sebuah putusan Mahkamah Agung yang dipelajari, paling tidak harus mengetahui kedudukan putusan tersebut dalam tatanan hukum positif negara yang bersangkutan, selain sebelumnya harus sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa hukum, pengertian hukum dan berbagai pengertian yang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga dituntut harus mempunyai pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya, misalnya apa yang dimaksud dengan pemeriksaan tingkat banding, pemeriksaan tingkat kasasi, dan sebagainya.

Beerling mengatakan bahwa sebenarnya tujuan dari suatu pertanyaan adalah tidak lain dari penjelasan tentang sesuatu yang sebenarnya telah diketahui dengan samar-samar, sekurang-kurangnya mau atau yakin akan menemukannya. Kegiatan memperoleh pengetahuan hukum yang lebih jelas dari pengetahuan yang sebelumnya masih samar-samar dan kurang jelas diperoleh melalui kegiatan interpretasi, yakni menemukan makna dari suatu aturan hukum.

Ilmu hukum sebagai disiplin ilmu yang mempelajari, memaparkan, dan mensistematisasi satu sistem hukum tertentu dalam pengembanannya terkandung muatan interpretasi yang mengacu pada suatu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kegiatan interpretasi dalam ilmu hukum menempati posisi sentral. Tujuan interpretasi dalam ilmu hukum selalu memaparkan aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh otoritas yang berwenang, menentukan makna dan jangkauan yang terkandung di dalamnya dan menempatkannya dalam suatu sistem tatanan hukum, dengan menganalisis kata-kata yang digunakan sedemikian rupa sehingga ia siap untuk diterapkan pada peristiwa konkret baik yang aktual maupun potensial untuk terjadi.

Dalam dokumen A. Istilah dan Pengertian Filsafat (Halaman 154-158)