b. Metode Induktif
A. Pengertian Ontologi
memerlukan dasar pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Dalam rumusan Lorens Bagus; ontologi menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Pengetahuan adalah persepsi subjek (manusia) terhadap objek (riil dan gaib) atau fakta. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar disusun dengan sistem dan metode untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi kebenarannya. Ilmu pengetahuan tidak hanya satu, melainkan banyak (plural) bersifat terbuka (dapat dikritik) berkaitan dalam memecahkan masalah.
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu adalah cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat ilmu pengetahuan disebut juga Kritik Ilmu, karena historis kelahirannya disebabkan oleh rasionalisasi dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan takhayul.
Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif, dan ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat.
Apabila ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuan datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakikatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Ontologi hukum (ajaran hal ada, zijnsleer) merupakan penelitian tentang “hakikat” dari hukum. Mencari tahu apa hakikat hukum itu, sama artinya dengan mencari tahu apakah hukum itu? Hakikat sama artinya dengan sebab terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga dapat berarti eksistensi (keberadaan) dari segala sesuatu yang mana di dalamnya terdapat substansi dan aksidensi. Substansi adalah sesuatu yang mendasari kualitas, sedangkan aksidensi adalah sifat tertentu dari substansi. Secara mudah hakikat dapat diartikan sebagai apakah sesuatu itu?
Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut satu di antaranya adalah: ontologi. Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986:2). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988:7). Louis O. Kattsoff (1987: 192) membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif, dan
kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya.
Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan, dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18). Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu (how is being?), dan di manakah yang ada itu? (where is being?).
1. Apakah yang ada itu (what is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme, dan agnotisme.
a. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).
b. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan dalam aliran ini (Harun Hadiwijono, 1991:49).
c. Aliran pluralisme. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah, dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
d. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden (Hasbullah Bakri, 1991:60).
2. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35).
3. Di manakah yang ada itu? (where is being?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama).
Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan pernyataan yang benar secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran
pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun juga teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen).
Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol fenomena alam.
Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.
Sementara bagi Aristoteles dalam mencari hakikat mengajarkan kepada kita untuk memisahkan substansi (yang hakikat itu) dengan aksisdensinya (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat, situasi, aktivitas, dan positivitas). Jika yang ditanyakan “apakah hakikat hukum?”, jawabannya tentu apa yang menjadi substansi dari hukum itu, dan jawabannya telah pula diberikan yakni norma.
Hakikat hukum masih terus dicari untuk menyelidiki kenyataan hukum menurut dasarnya yang paling mendalam (ex ultimus causis), atau hakikat tentang yang ada di balik hukum? Sebagaimana telah disinggung, bahwa persoalan hakikat hukum akan bersinggungan dengan persoalan substansi dan aksidensi. Apa substansi hukum?, misalnya: perintah, larangan, peraturan, dan lain-lain. Apa aksidensi hukum? misalnya: adil, pasti, bermanfaat, dan lain-lain.
Ada pula yang memandang bahwa hakikat hukum sebagai yang ada sebagaimana adanya, ada hukum pidana, ada hukum perdata, ada hukum lingkungan, dan lain-lain. Di situ yang tidak berubah adalah kata “ada”, jadi apa hakikat hukum itu adalah “adanya hukum”. Oleh karena itu, bagi penulis, hakikat hukum adalah “ada”. Keberadaan
“ada” berasal dari ajaran moral yang merujuk kepada akal dan hati.
Dalam akal dihuni oleh pikiran, kemauan, dan rasa. Keberadaan akal dan hati tersebut sifatnya terbatas. Dari pengayaan akal dan hatilah yang
kemudian menghasilkan pedoman bagi sikap tindak untuk keperluan hidup dan kehidupan.