• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua aspek bagi Pembaruan Hidup Bakt

Dalam dokumen BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf (Halaman 41-48)

Istilah “pembaruan dan penyesuaian” berasal dari terjemahan Bahasa Latin

De accommodata renovatione …. Pada proses yang lebih awal ditemukan kata “pembaruan”, dan kemudian kata “penyesuaian/adaptasi”.110 Arti ungkapan

106

Lih. CHRISTOPHER BUTLER, “The theology …”, 19. 107

Bdk. ORMOND RUSH, “Still Interpreting …”, 17-19. 108

CHRISTOPHER BUTLER, “The theology …”, 18. 109

CHRISTOPHER BUTLER, “The theology …”, 18. 110

Menarik untuk dicatat bahwa meskipun Dekrit Perfectae Caritatis

menggunakan macam-macam istilah, tetapi tidak menggunakan istilah “reformasi”,

istilah teknis untuk gerakan orang-orang kristen dan kaum religius dalam abad XVI. Obyek reformasi adalah kembali kepada keasliannya demi mengoreksi kemerosotan hidup bakti. Tetapi, istilah aggiornamento berarti kembali kepada sumber-sumber asli

untuk menjawab kebutuhan Gereja dan zaman. “Untuk melukiskan aggiornamento

hidup bakti Dekrit Perfectae Caritatis menggunakan istilah-istilah yang amat variatif, seperti akomodasi, adaptasi, penyesuaian, pengenalan kembali, pembaruan kembali, dll.

Konsili yang benar adalah bahwa “pembaruan membawa atau melibatkan suatu penyesuaian/adaptasi”. Marilah kita baca PC art. 2: “Pembaruan hidup religius yang sesuai sekaligus merangkum pengacuan terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi awali tarekat dan penyesuaiannya dengan kenyataan zaman yang sudah berubah.“111 Bagaimana pembaruan dikerjakan dalam kaitannya dengan inspirasi awali? Apakah pembaruan ini harus dikerjakan dengan cara-cara kontemporer? Prinsip-prinsip manakah yang bisa digunakan untuk mencapai pembaruan tersebut? Aspek hidup bakti manakah yang perlu dibarui dan oleh siapa pembaruan itu dijalankan? Kita akan meneliti lebih jauh dua aspek pembaruan hidup religius dalam bagian berikut.

2.1 Berbalik ke Sumber

Aspek pertama pembaruan adalah secara terus-menerus kembali kepada sumber-sumber. Sumber-sumber seluruh hidup kristiani umumnya meliputi Kitab Suci, tulisan-tulisan bapa Gereja, konsili-konsili pendahulu, dan ajaran

Istilah-istilah tersebut berkebalikan dengan penggunakan istilah reformasi, istilah yang dipakai oleh orang-orang kristiani dan kaum religius abad XVI. Dalam

reformasi obyek yang esensial adalah kembali kepada yang asli, dalam konteks menjembatani kembali kemerosotan status hidup bakti, sementara aggiornamento

kembali kepada yang asli hanyalah salah satu aspek dan sebagai sarana karya kerasulan dalam lingkup yang berbeda yakni pelayanan yang diemban tarekat hidup bakti dan cara mereka mengungkapkan diri tentang apa yang mereka kehendaki dan

yang diharuskan dalam Gereja dan dunia zaman ini.” Lih. ELIO GAMBARI, “Manuale

della Vita Religiosa alla luce Vaticano II. Natura e dimensioni della vita religiosa”,

Roma 1970, 289. Cetak miring miliknya. Lihat juga GIUSEPPE ROUSSEAU, “Il Decreto

…”, 51-52. 111

Kita akan menggunakan versi Bahasa Indonesia terjemahan R.

Hardawiryana, SJ, “Dokumen Konsili Vatikan II”, Dokumentasi dan Penerangan

KWI, Obor 1993, 247-265. Edward O‟Connor, C.S.C. menyatakan bahwa esensi dekrit ini adalah ditemukan dalam PC 2 dan 3. Lih. EDWARD O‟CONNOR, C.S.C., “Vatican II and Renewal of Religious Life”, RR 26 (1967) 407. Lihat juga J.M.R. TILLARD, O.P., “Le

grandi leggi del rinnovamento della vita religiosa”, dalam AA. VV., Decretum de accomodata renovatione vitae religiosae, Roma …, 84-100. Sejarah tentang Dekrit ini telah diteliti oleh ARMAND LE BOURGEOIS, “Introduzione storica al Decreto”, dalam AA. VV., Decretum de accomodata renovatione vitae religiosae, 43-60; FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate Renewal of the Religious Life”, dalam

VORGRIMLER, Herbert, gen. ed., Commentary on the Documents of Vatican II. Vol II, New York 1968, 301-332; suatu catatan detil tentang kronik dari Dekrit terdapat dalam EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto Perfectae Caritatis sul rinnovamento della vita religiosa

para paus. Pembaruan bagi Gereja secara keseluruhan berarti suatu penemuan kembali keaslian Injil, jiwa dan maksud Kitab Suci ditulis serta tradisi-tradisi Gereja. Institusi hidup bakti, tentu saja memiliki sumber- sumber tersendiri.112 Sumber-sumber jauh bagi institusi hidup bakti adalah sumber-sumber umum hidup kristiani, macam-macam doktrin tentang hidup bakti, dan akhirnya sumber-sumber yang lebih dekat adalah “spirit dan maksud serta tujuan para pendiri mereka”.113 Hubungan antara sumber- sumber yang jauh dan sumber-sumber yang dekat adalah bahwa pembaruan hidup bakti semestinya ditempatkan pada konteks pembaruan seluruh Gereja, spiritualitas yang umum di dalam Gereja, dan dibawah bimbingan Roh Kudus dan Gereja. Karenanya, lebih baiklah memahami apa yang dikatakan oleh Dekrit bahwa “pembaruan ini, di bawah dorongan Roh Kudus dan dengan bimbingan Gereja.” (PC 2)

Edward O‟Connor melukiskan bahwa “makna dan nilai dari sumber besar spiritualitas kristiani adalah liturgi yang memuncak di dalam sakramen- sakramen dan terutama ekaristi; Kitab Suci dilihat bukan sebagai suatu peninggalan suci/relikwi, melainkan sebagai Sabda Allah yang hidup kepada umat-Nya; dan akhirnya Gereja sendiri yang merangkum misteri Sabda dan sakramen-sakramen.”114

Dengan cara yang singkat, dapatlah dikatakan bahwa pembaruan hidup bakti semestinya dimulai dari kehidupan batin.115 “Dalam membawakan pembaruan tarekat religius ini, perhatian utama para

112 Berikut, beberapa sumber yang dianjurkan: (menurut Cristopher Butler)

Kitab Suci dan spiritualitas para Pendiri, lih. CRISTOPHER BUTLER, “The theology …”,

18; (menurut Edward O‟Connor, C.S.C.) sumber-sumber umum kehidupan kristiani dan

kharakteristik hidup bakti, spiritualitas dan maksud-maksud tarekat yang khas

tarekat, lih. EDWARD O‟CONNOR, C.S.C., “Vatican II …”, 423; dan (menurut Elio Gambari, S.M.M., J.C.D) Kitab Suci, Roh Kudus, Gereja, dan para Pendiri.Lih. ELIO GAMBARI, S.M.M., J.C.D., “Religious Life according to Vatican II and the new Code of

Canon Law”, Boston, MA 1986, 43-59. Lihat juga AA.VV., “Religious Life in the Light of Vatican II”, Boston 1967, 287; ELIO GAMBARI, “Manuale della Vita Religiosa alla luce Vaticano II. Natura e dimensioni della vita religiosa”, Roma 1970, 306-308.

113 Bdk. E

DWARD O‟CONNOR, C.S.C., “Vatican II …”, 423; CHRISTOPHER BUTLER, “The theology …”, 18.

114 Lih. E

DWARD O‟CONNOR, C.S.C., “Vatican II …”, 405. 115 Bdk. D

OMENICO CINELLI, O.P., “Commento Familiare al Decreto Perfectae

pemimpin semestinya kehidupan spiritual para anggotanya”, tegas Paus Paulus VI.116

Penelitian lebih jauh adalah bahwa Konsili Vatikan II juga menekankan pentingnya semua tarekat religius untuk kembali ke inspirasi asli. Kees Waaijman memberikan cacatan penting bahwa relevanlah menyajikan deskripsi detil tentang inspirasi asli. Beliau menguraikan:

Inspirasi asli suatu tarekat memiki dua dasar: jiwa-semangat pendiri dan tradisi spiritual yang berkembang kemudian. Satu catatan kritis tambahan pada kedua komponen tersebut. “Intensi sesungguhnya” (propria proposita) semestinya dibedakan dari – sering bersifat devosional – intensi-intensi yang kemudian yang ditambahkan setiap waktu. Dengan kata norma yang “sehat” ditambahkan kepada “tradisi-tradisi” yang berkembang kemudian: tradisi-tradisi tersebut semestinya melayani kebaikan anggota-anggota di dalam melestarikan common sense/pandangan umum. Gagasan tentang “tradisi yang sehat” dan “intensi sesungguhnya” memungkinkan suatu refleksi kritis terhadap dua sumber utama (kharisma asli dan tradisi kemudian) yang bersama-sama (omnia) membentuk warisan komunitas religius.117 Apa yang dipikirkan para bapa Konsili tentang inspirasi pertama tarekat religius? Dalam Dekrit sulit ditemukan kata-kata penjelasan tentang arti “semangat kerohanian awali” (primitive spirit). Dapat juga dipadankan dengan “semangat kerohanian para pendiri”. Di lain pihak, lebih komprehensif dan lebih tepatlah bicara tentang “berbalik” kepada “semangat kerohanian awali”. Ada beberapa contoh yang membuka gagasan tentang penginterpretasian semangat kerohanian pendiri yang diberikan oleh pengikut-pengikut terdekat mereka. Tetapi keluasan makna yang sah tentang “semangat kerohanian awali” tidak mengubah pentingnya merumuskan secara deskriptif, atau bahkan definisi konkret tentang apa itu spiritualitas tarekat hidup bakti.118

116

PAULVI, “Allocution on Religious Life”, RR 23 (1964) 702. Tanggal 23 Mei 1964, Paus Paulus VI menyampaikan ceramah kepada para pemimpin umum dan para dewannya dari macam-macam tarekat dan kongregasi hidup bakti biarawan dan biarawati. Naskah ceramah (berjudul Magno gaudio) dapat ditermukan dalam AAS 56 (1964) 565-571.

117 K

EES WAAIJMAN, “Spirituality. …”, 191. 118 Lih. E

MILIO FOGLIASSO, “Il Decreto Perfectae Caritatis sul rinnovamento della Vita Religiosa in risondenza alle odierne circostanze”, Torino 1967, 300-301. “jiwa

Para pendiri tarekat bermaksud untuk menghayati aspek tertentu dari hidup Yesus dan mereka menganjurkan para pengikutnya untuk menghayati cara hidup yang sama. Amat terbantulah mempertimbangkan perilaku dan kharakter para rasul dan murid-murid pertama Yesus. Ada Yohanes yang bergitu penuh kasih, si Yakobus yang pendiam, Andreas yang penuh semangat, Petrus yang murah hati, si Paulus yang berbudi mulia, dan Maria serta Martha yang penuh cinta. “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang- orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu .” (Ef 4,1)119

Kenyataannya, seperti telah diungkapkan oleh P. Bernard Besret, “Ia tidak akan pernah mendesak untuk kembali kepada pendiri jika hal ini tidak dilakukannya untuk menemukan kembali sensibilitas mereka terhadap pentingnya Kitab Suci dan kebutuhan Gereja.” Kita hanya boleh menambahkan pada cara hidup Injili dan karenanya bernilai gerejawi pendiri mereka, macam-macam tarekat harus melihatnya atas dasar ajaran Kitab Suci.120 Lebih lanjut, satu hal khusus, karya inkarnatoris Roh dan kehadiran Kristus, yakni karya penebusan dan penyelamatan-Nya, bekerja dibawah bimbingan Roh Santo/Santa dari macam-macam tarekat hidup bakti, sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, dan karenanya sesuai dengan kecemasan keibuan Gereja, tergerak untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan itu, juga dengan pembaruan tarekat hidup bakti, dapat diperoleh dengan kembali kepada Injil dan semangat kerohanian awal tarekat, berkait erat secara Injili dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.

Tetapi pentinglah panggilan untuk berbalik kepada spiritualitas pendiri berjalan secara integral dengan corak khas spiritualitas mereka, yakni semangat dunia yang diungkapkan dengan eksplisit tentang arti untuk hidup yang selaras dengannya; karena apa yang menjadi keprihatinan kita yang mendesak adalah hidup menurut semangat kerohanian ini dalam kesetiaan

kerohanian atau spiritualitas itu tidak dapat dilihat, tidak dapat diukur, tidak dapat dilukiskan, ... tidak dapat didefinisikan! Secara samar-samar jiwa kerohanian itu dapat dideskripsikan seperti ide yang majemuk, penilaian, rasa perasaan yang sentimental dan afeksi dari seorang pribadi, dalam hal ini para Pendiri lembaga hidup bakti, anggota-anggota dari tarekat yang sama.”

119 Bdk. D

OMENICO CINELLI, O.P., “Commento ...”, 25. 120 Bdk. E

dengan nasihat-nasihat Injili. Tambahan lagi, dikatakan bahwa spiritualitas Benediktin, Fransiskan, dominikan, dll. mengundang kita kepada suatu sistem hidup bakti, yang menyediakan prinsip-prinsip dan hubungan- hubungan yang jelas dan makna yang fundamental, sampai kepada pengetahuan akan kharakteristik hidup bakti anggota pertama yang oleh seseorang ingin dipeluk atau telah dipeluknya. Sistem hidup ini memiliki apapun yang memungkinkan untuk berhubungan dengan panggilan hidup bakti. 121

Lebih jauh lagi, internalisasi spiritualitas pendiri harus secara terus- menerus tumbuh di dalam “pengetahuan akan Penyelamat Yesus Kristus” (2 Pet 3,19), tepatnya demi relasi yang semestinya dimiliki oleh setiap tarekat hidup yang dikuduskan. Perlu dimiliki juga pengetahuan, sikap hidup yang semakin reflektif, spiritualitas yang cocok dan karenanya pentinglah atau lebih hakiki dan sebagai konsekuensi bahwa mereka tidak bertentangan dengan situasi dan kondisi zaman.122

2.2 Penyesuaian terhadap Kondisi Zaman yang Berubah

Aspek kedua pembaruan adalah penyesuaian. Sebagaimana telah kita katakan bahwa pembaruan hidup bakti mengundang kita kepada dua gerakan yang bertentangan: gerakan yang satu membawa praksis hidup religius yang tradisional ke penyesuaian terhadap zaman sekarang, gerakan yang lain adalah kembali kepada sumber-sumber vital hidup religius yang kekal. Itulah proses yang kemudian telah menyita perhatian dekrit ini, tetapi jelaslah bahwa pemikiran bapa-bapa Konsili menilai zaman tidaklah sebegitu penting seperti pembaruan yang berhubungan dengan sumber-sumber.123

121

Bdk. EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 303. 122

Bdk. EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 303. 123

Lih. EDWARD O‟CONNOR, C.S.C., “Vatican II …”, 408; PAULVI, “Allocution

…”, 699. Lihat juga PAUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 3; J.M.R., TILLARD, O.P., “Le grandi leggi del rinnovamento”, dalam AA. VV., Decretum de accomodata renovatione vitae religiosae, 85. “Pertama-tama perlu dikatakan bahwa kembali kepada para pendiri, menyelidiki dengan teliti sejarah panggilan mereka dan jiwa kerohanian atau spiritualitas yang sejak awal diakui oleh otoritas Gereja, kemudian mencari kembali apa yang dikehendaki Tuhan terhadap lembaga dalam situasi dan kondisi aktual yang sedang berubah, bagaimana para Pendiri akan menjawab jika mereka hidup secara nyata.”

Bapa-bapa Konsili yang lain mengusulkan bahwa pembaruan dan penyesuaian merupakan dua aspek dari satu kenyataan, dan menekankan bagaimana yang pertama merupakan inspirasi utama dan memotivasi bagi yang kedua.124 Dipanggil oleh Vatikan II, pemikiran dasar tentang pembaruan hidup bakti adalah menempatkannya agar lebih efektif di dalam kehadirannya di dunia tempat kita hidup. Sebagai konsekuensi dari pembaruan ini, tarekat-tarekat religius harus membuka diri dan berdialog dengan dunia sebagai hal yang hakiki dari misi Gereja, dan sungguh- sungguh sebagai model misi di dalam dunia. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa pembaruan hidup bakti berarti kembali kepada sumber- sumber asli supaya dapat menjawab kebutuhan Gereja dan dunia.

Hidup bakti harus menyesuaikan, sungguh-sungguh sadar akan situasi dunia modern, memahami dunia di sini dan kini sehingga dapat dipahami oleh mentalitas modern, mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kekal yang ditanyakan manusia tentang kehidupan sekarang ini dan yang akan datang.( Bdk. GS 4) Hidup bakti harus hadir di dunia, terbuka terhadap dunia, terlibat di dalam dunia, menyatu dengan seluruh komunitas manusia. Tetapi dunia sekarang ini sedang berubah dengan amat dalam dan dengan cepat dan menjadi sangat kompleks, sehingga banyak orang kehilangan harapan. Mungkinlah bahwa macam-macam kompleksitas demikian berpengaruh terhadap hidup bakti, dan mereka tertekan kesulitan. Barangkali tepatlah mengutip apa yang dikatakan Paul Hinnenbusch sebagai berikut:

Pada zaman kita, mungkin tidak seperti sebelumnya, bahkan nilai-nilai yang paling sucipun sedang dipertanyakan. Di dalam hidup baktipun terinfeksi oleh arus zaman, kita merasakan banyak ketidak-amanan dan ketidakmampuan untuk membedakan yang kekal dari yang sementara, yang absolut dari yang relatif.125

124 Bdk. P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 16. 125 P

AUL HINNEBUSCH, O.P., “The Signs of the Times and the Religious Life”, New York 1967, 4. Lihat juga ELIO GAMBARI, “Manuale della Vita Religiosa ...”, 315.

Religius dihadapkan pada masalah bagaimana hadir di dunia, dan pada waktu yang sama tidak seperti dunia, dalam cara yang oleh Vatikan II memanggil mereka kepada pembaruan. Untuk mengarahkan para religius membagikan tugas ini, penelitian berikut akan difokuskan pada lima prinsip pembaruan dan penyesuaian hidup bakti.

3. Lima Prinsip untuk Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Bakti

Dalam dokumen BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf (Halaman 41-48)