• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

by

Petrus Suparyanto

(2)

PRAKATA

Dekrit Perfectae Caritatis memberikan daya dorong baru bagi hidup bakti. Dokumen ini menekankan agar diakui dan dipertahankan semangat dan maksud Pendiri serta tradisi yang sehat, sebagai warisan lembaga. Akan tetapi dalam suasana tahun enampuluhan perhatian dan kegiatan pembaharuan lebih terarah pada penyesuaian daripada pembaharuan spiritual. Lagi pula, pada masa itu spiritualitas dan semangat Pendiri bagi kami bukan merupakan pokok-pokok pembicaraan. Kami berusaha sebaik mungkin hidup menurut Injil dan Konstitusi.

Dengan demikian dapat terjadi bahwa kami ,terlampau rajin, membuang-buang hingga yang berharga pun ikut termembuang-buang: St.Vinsensius, Pelindung kedua Kongregasi hilang dari Konstitusi dan dari hidup kebanyakan Bruder. Baru sekitar tahun 1985, ketika kami harus menulis kembali Konstitusi

kami, yang harus mengungkapkan kharakter khas, cita-cita, semangat lembaga dan tujuan asli para Pendiri serta tradisi-tradisi yang sehat, mulailah suatu penyelidikan spiritualitas kami.

Malahan sesudah Konstitusi baru disetujui, terasa kebutuhan meneruskan penyelidikan agar tercapailah suatu pembaruan sejati. Suatu langkah penting ke arah ini ialah studi ini.

Sambil menyelidiki kembali Konstitusi pertama, tulisan-tulisan para Pendiri dan dokumen-dokumen lain masa permulaan Kongregasi, Pengarang menemukan suatu hubungan erat dengan spiritualitas Vinsensian. Salah satu soal yang masih harus diselidiki ialah: sebab-sebab inspirasi permulaan sesudah sekian tahun melemah menjadi suatu devosi yang tak begitu menyemangati. Hal ini suatu peringatan bagi masa depan. Suatu soal lain lagi: Bagaimana akan kami membagirasakan yang kami tahu dan hayati kepada sesama?

Nijmegen, 20 September 2005 Bertepatan dengan Hari Jadi Provinsi Indonesia ke-85

(3)

DAFTAR ISI

PRAKATA

PENDAHULUAN

1. Obyek Penelitian

2. Latar Belakang Penelitian 3. Tujuan Penelitian

4. Relevansi dan Pentingnya Penghidupan Kembali Spiritualitas Vinsensian

5. Lingkup dan Pembatasan 6. Metodologi

7. Klarifikasi Istilah-istilah 7.1. Istilah “inspirasi” 7.2. Istilah “kharisma” 8. Catatan Edisi Bahasa Indonesia

BAB SATU: PEMBARUAN HIDUP BAKTI MENURUT SPIRIT

KONSILI VATIKAN II 1. Spirit Konsili Vatikan II

1.1 “Aggiornamento” sebagai Kata Kunci

1.2 “Aggiornamento” Vatikan II Tentang Hidup Bakti 1.2.1 Dasar Teologis Hidup Bakti

1.2.2 Penajaman Ide tentang Pembaruan Hidup Bakti 2. Dua aspek bagi Pembaruan Hidup Bakti

2.1 Berbalik ke Sumber

2.2 Penyesuaian terhadap Kondisi Zaman yang Berubah 3. Lima Prinsip untuk Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Bakti

3.1 Mengikuti Kristus

3.2 Kharakter dan Fungsi khas Tarekat 3.3 Keterlibatan dalam Kehidupan Gereja

3.4 Memiliki Semangat Kerasulan yang Berkobar 3.5. Pengrikraran Nasihat-nasihat Injil

4. Simpulan

BAB DUA: AKAR SPIRITUALITAS VINSENSIAN KONGREGASI 1. Konteks Sejarah

1.1 Konteks Sosio-politis, dan Kehidupan Religius di Kota Maastricht

(4)

1.3 Gerakan Vinsensian

2.

Hidup Para Pendiri 2.1 Mgr. L.H. Rutten

2.1.1 Peziarahan Imamat 2.1.2 Kehidupan Pastoral 2.1.3 Pendiri Kongregasi

2.1.4 Dari Vinsensius sampai ke Mgr. L.H. Rutten 2.2 Br. Bernardus Hoecken

2.2.1 Peziarahan sebagai Religius-bruder 2.2.2 Ko-Pendiri Kongregasi

2.2.3 Dari Vinsensius sampai ke Br. Bernardus Hoecken 3. Nama Kongregasi

4. Peraturan/Konstitusi Kongregasi 5. Dokumen Spiritual

6. Simpulan

BAB TIGA: SPIRITUALITAS VINSENSIAN PARA PENDIRI 1. Vinsensius de Paul: Hidup dan Spiritualitasnya

Biografi Vinsensius de Paul

1.1.1 Vinsensius I: Peziarahan menuju Pemerdekaan 1.1.2 Vinsensius II: Rasul Belaskasih

1.2 Cara Hidup Vinsensius de Paul

1.2.1. Dua Pengalaman yang Sarat Makna

1.2.2 Dasar Spiritual Misi dan Cintakasih Vinsensius 1.2.2.1 Pewartaan Kabar Gembira untuk Orang

Miskin

1.2.2.2 Pelayanan kepada Orang Miskin

1.2.2.3 Kesatuan Misi dan Kasih untuk Orang Miskin

1.3 Sepatah Kata tentang Spiritualitas Vinsensian

2. Spiritualitas Vinsensian Kongregasi sebagaimana Dihidupi oleh para Pendiri

2.1 Dalam terang “Vincentian Family Tree”

2.2 “Kesinambungan” dengan Spiritualitas Vinsensian 2.3 “Ke-tidak-sinambungan” dengan Spiritualitas Vinsensian 2.4 Penyesuaian Spiritualitas Vinsensian pada Zamannya 3. Suatu Usulan kepada Kongregasi

(5)

3.2 Perumusan Spiritualitas Vinsensian Kongregasi: dengan Model Komparatif

4. Simpulan

SIMPULAN AKHIR

Lampiran 1: Bula pengesyahan Regula Pertama Kongregasi Lampiran 2: Surat Ph. van de Ven kepada P.A. van Baars

(6)

PENDAHULUAN

Spiritualitas pada tingkat paling dasar dan utama adalah suatu pengalaman hidup pribadi. Pengalaman ini merujuk pada tingkat yang paling riil atau eksistensial.1 Menurut Jordan Aumann, ”dalam arti yang paling luas, spiritualitas merujuk pada nilai-nilai etik atau religius yang mewujud sebagai suatu sikap hidup atau suatu daya kekuatan yang menggerakkan tindakan seseorang.”2 “Di dalam kehidupan sehari-hari, spiritualitas hadir secara latent sebagai kekuatan yang diam-diam melatarbelakangi, sebagai sesuatu yang memberi inspirasi dan orientasi,“3

tegas Kees Waijman. Lebih lanjut, Sandra Schneider melukiskan spiritualitas “sebagai pengalaman yang mengarahkan secara sadar pengintegrasian kehidupan seorang pribadi dalam arti tidak terisolasi dan terserap ke dalam diri sendiri, melainkan menuju ke transendensi diri ke arah nilai akhir yang dikejarnya“.4

Bagi orang kristen, spiritualitas merupakan suatu kehidupan dibawah bimbingan Roh Kudus, yang diberikan oleh Bapa dan Kristus agar menjadi saudara-saudara Kristus dan anak-anak Allah Bapa. Artinya, orang beriman kristen ialah mereka yang berpartisipasi di dalam misteri hidup Yesus Kristus, hidup dalam kuasa Roh Kudus. Karenanya, istilah “spiritualitas” sering digunakan secara khusus bagi mereka yang hidup dibawah bimbingan dan kuasa Roh Kudus. Tidak jarang, contoh kehidupan atau ajaran dari

1

WALTER H PRINCIPE, C.S.B., “Spirituality, Christian”, dalam Michael Downey, ed., The New Dictionary of Catholic Spirituality, Minnesota 1993, 932. Walter H Principe membedakan spiritualitas menjadi tiga tingkatan: tingkat pengalaman hidup yang riil atau eksistensial, spiritualitas komunal, dan macam-macam tradisi spiritual.

2

JORDAN AUMANN, “Spiritual Theology”, London 2001, 17. 3

KEES WAAIJMAN, “Spirituality. Forms, Foundations, Methods”, Leuven, 2002, 1. Maloney berpandangan agak sama, lih. ROBERT P.MALONEY,C.M., “The Way of Vincent de Paul. A Contemporary Spirituality in the Service of the Poor”, Hyde Park NY 1994, 13; lihat juga oleh pengarang yang sama, “Go! On the Missionary Spirituality of St. Vincent de Paul”, Salamanca 2000, 128-129.

4 S

ANDRA M.SCHNEIDER, I.H.M., “Spirituality in the Academy”, Theological Studies 50 (1989) 684; bandingkan juga dengan tulisan oleh pengarang yang sama,

(7)

tokoh spiritual menjadi model bagi yang lain. Dalam konteks ini, penelitian mengenai spiritualitas Vincensian,5 khususnya spiritualitas Vinsensian Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda memiliki nilai teologis dan spiritual. Lebih jauh, mendalami tema ini dari perspektif dekrit Konsili Vatikan II Perfectae Caritatis berarti bahwa memahami pemikiran bapa-bapa konsili dan problematika yang terkait dengan tema tersebut.

8. Obyek Penelitian

Setiap tarekat atau kongregasi memiliki spiritualitas atau cara hidup dengan kharakter khususnya. Spiritualitas merupakan dinamika realitas hidup dari suatu tarekat atau kongregasi. “Dari pengalaman sejarah, banyak dokumen dengan macam-macam variasi literer bernilai spiritual ditulis di luar ilmu teologi formal. Contohnya, ada aturan hidup bagi para rahib, komentar-komentar atas Kitab Suci, kumpulan kotbah, puisi, autobiografi.”6 Konsili Vatikan II menganjurkan untuk membarui hidup religius, untuk kembali ke semangat awal tarekat. (cf. PC 2).7 Pembaruan hidup religius didasarkan pada inspirasi awal pendiri, inspirasi asali dan asli yang telah diterima oleh otoritas Gereja yang kompeten.

Hidup para Pendiri dan Konstitusi tarekat mengungkapkan dan sekaligus menjamin serta melindungi maksud dan tujuan serta proyek para Pendiri tarekat, yakni perhatian pada corak dasar, maksud dan tujuan, semangat dan kharakter khas, serta tradisi-tradisi yang sehat. Untuk itu, kita ingin menyelidiki hidup para Pendiri Kongregasi Para Bruder Santa Perawan

5

Para anggota Kongregasi Misi dan Putri Kasih di negara-negara berbahasa Inggris dipanggil Vincentian, karena Pendiri mereka adalah St. Vinsensius. Yang dimaksudkan dengan istilah spiritualitas Vinsensian adalah spiritualitas St. Vinsensius yang hidup di dalam para pengikutnya.

6

JOANN WOLSKI CONN, “Spirituality”, dalam JOSEPH KOMONCHAK - MARY COLLINS - DERMOT ALANE, ed., The New Dictionary of Theology, Dublin 1987, 972.

7

Dalam buku ini, kita akan menggunakan singkatan-singkatan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sebagai berikut: LG = Lumen Gentium, konstitusi dogmatic tentang Gereja; PC = Perfectae Caritatis, Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius; DV = Dei Verbum; GS = Gaudium et Spes; AA= Apostolicam Actuositatem; PO = Prebyterorum Ordinis; AG = Ad Gentes Divinitus. Terjemahan Bahasa Indonesia

diambil dari R. Hardawirjana, SJ., “Dokumen Konsili Vatikan II”, Dokumen dan

(8)

Maria yang Terkandung Tak Bernoda dan unsur-unsur spiritual di dalam Konstitusi-konstitusi lama (konstitusi-konstitusi sebelum 1967) dengan maksud untuk menangkap kharakter spiritual kongregasi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita akan menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai bantuan dalam penelitian ini: Apa arti spiritualitas tarekat? Apa arti istilah “inspirasi” dan “kharisma”; dan bagaimana hubungan antara istilah-istilah tersebut dengan spiritualitas tarekat? Apa maksud dan tujuan para Pendiri dan proyek mereka dalam mendirikan kongregasi? Manakah kehidupan para Pendiri dan unsur-unsur konstitutif spiritualitas mereka? Bagaimana kita menyelidiki spiritualitas FIC8? Instrumen manakah yang membantu untuk melacak spiritualitas FIC?

Persoalannya adalah bahwa di dalam perjalanan sejarah, terdapat penyimpangan hal-hal fundamental yang disimpulkan dari para Pendiri. Di dalam konteks ini, timbul pertanyaan: manakah hubungan antara pemahaman teologis mengenai spiritualitas FIC dan adaptasinya terhadap perubahan pada zaman kita? Dapatkah kita mengindentifikasi suatu konsep teologis dari spiritualitas FIC? Jika bisa, adakah suatu bentuk baru dari praksis komunitas FIC yang lahir sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II? Bagaimana pembaruan dapat dijalankan dalam hubungannya dengan spiritualitas asli kongregasi? Apakah pembaruan tersebut harus dijalankan dengan cara yang kontemporer? Prinsip-prinsip manakah yang dibutuhkan untuk mencapai pembaruan hidup religius? Aspek-aspek hidup religius manakah yang perlu dibarui dan oleh siapa? Pertanyaan-pertanyaan inilah pusat perhatian penelitian ini.

9. Latar Belakang Penelitian

Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda terdaftar di dalam register Kongregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Tarekat Hidup Merasul sebagai: Congregatio Fratres Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis (F.I.C.). Maria, ibu Yesus merupakan

8 Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda terdaftar dalam Kongregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Merasul sebagai: Congregatio Fratres Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis

(9)

pelindung Kongregasi. Sejak dari awal berdirinya, Vinsensius de Paul dialami para bruder sebagai contoh yang inspiratif. St. Vincensius de Paul merupakan pelindung kedua Kongregasi. Latar belakang penelitian ini berangkat dari tiga sumber.

Pertama, Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis Art. 2, memberikan dorongan baru untuk pembaruan kehidupan religius. Dorongan ini mencakup baik kembali ke sumber-sumber hidup Kristen secara umum maupun ke inspirasi awal tarekat, dan adaptasinya terhadap situasi dan kondisi zamannya. Di lain pihak, karena desakan dari dekrit Perfectae Caritatis, St. Vinsensius sebagai pelindung kedua Kongregasi “tersingkir” dari Konstitusi dan diputuskan bahwa Maria adalah satu-satunya Pelindung Kongregasi. Karenanya, kita kehilangan sumber-sumber spiritualitas Vincensian dalam Kongregasi.

Kedua, pada Kapitel Umum 1988, Br. Aloysio v.d. Broek, bersama dengan utusan dari Malawi dan Zambia serta Ghana menginginkan untuk membawa kembali St. Vinsensius dan spiritualitasnya ke dalam Konstitusi Kongregasi. “St. Vincensius de Paul bagi kita adalah – sebagaimana pula dia bagi para Pendiri – contoh yang menggerakkan kita untuk mencintai orang miskin. Kita secara khusus belajar dari dia cara-cara melayani dengan rendah hati, khususnya orang miskin yang semestinya kita layani.”9 Usul ini tidak mendapat dukungan dari provinsi-provinsi lain. Kapitel tidak memberi dukungan untuk membuat suatu rekomendasi.10 Meski kapitel tidak memberi rekomendasi, provinsi Malawi dan Zambia, serta Ghana tetap mendorong praktik devosi kepada St. Vincentius. Karena hal itulah, kita akan menyelidiki persoalan tersebut secara lebih dekat.

Ketiga, Institut Titus Brandsma11 telah merumuskan spiritualitas FIC berdasarkan pengalaman hidup para bruder.12 Kapitel Umum 2000

9Minutes General Chapter 1988, “Motion 5: Motions on the Constitutions”

10 Bdk. Minutes General Chapter 1988-p.NEXTRECORD. Bagian dari dokumen Minutes General Chapter 1988 ini tanpa nomor halaman. Kutipan sesuai aslinya.

(10)

menghendaki sebagai hasil dari penyelidikan TBI untuk merumuskan suatu spiritualitas FIC. Kapitel menolaknya karena mereka merasa bahwa spiritualitas FIC telah dirumuskan dengan baik di dalam Konstitusi kita. “Kita tidak membutuhkan suatu spiritualitas baru, Konstitusi kita mengungkapkan cukup jelas mengenai kekhasan dari spiritualitas FIC.”13 Pada saat yang sama, kita bingung bagaimana harus memberi jawab atas pertanyaan: apakah kekhasan dari spiritualitas FIC? Persoalan in memotivasi saya untuk melacak manakah corak khas spiritualitas Kongregasi.

10. Tujuan Penelitian

St. Vinsensius de Paul (1581-1660) dikenal sebagai pendiri Kongregasi Misi dan Putri Kasih. Putri Kasih, didirikan di Paris 1633 oleh Luisa de Marillac dan Vinsensius de Paul, merupakan contoh kongregasi yang amat sukses memberikan inspirasi bagi banyak pendiri kongregasi baik perempuan maupun laki-laki.14 Menurut Betty Ann McNeil, ada “sembilanpuluh sembilan lembaga dan satu lembaga asosiasi awam yang memiliki St. Vinsensius sebagai pelindungnya.”15

Seperti Vinsensius de Paul, para pendiri lembaga hidup bakti mendirikan kongregasi untuk menghayati aspek khusus dari kehidupan Yesus Kristus dan mereka mengharapkan para penerusnya mengikuti gaya hidup mereka. Cara itu seperti gaya hidup dan corak khas dua belas rasul dan murid-murid pertama Yesus. “Keprihatinan dan persoalan-persoalan komunitas mempengaruhi pusat perhatian setiap Injil. Pengalaman iman komunitas Markus memusatkan pada Yesus sebagai Mesias, hamba Yahwe yang menderita karena murid-murid Yesus ini dianiaya dan bertanya: mengapa

12

MONIEK STEGGERDA - NICOLETTE HIJWEEGE, “My Whole Life for God and

Men. An Investigation of the spirituality of the FIC brothers as it is lived today”,

Nijmegen 1994.

13Minutes General Chapter 2000, “Spirituality „document A‟”, white paper 21.

14

Bdk. JOOS VAN VUGT, “Brothers at Work. A History of five Dutch congregations of brothers and their activities in Catholic education, 1840-1970”,

Nijmegen 1996, 25. 15 B

(11)

hal ini terjadi pada kita?”16 Mirip dengan pengalaman ini, Maloney mengatakan tentang para pendiri lembaga hidup bakti yang terinspirasi oleh spiritualitas Vinsensian sebagai berikut:

Karena itulah mengapa orang-orang berargumentasi mengenai manakah inti spiritualitas St. Vinsensius. Di dalam melukiskan spiritualitas ini, beberapa memusatkan pada pelaksanaan kehendak Allah, yang lain pada percaya pada Penyelenggaraan Ilahi. Beberapa melihat inti spiritualitas St. Vinsensius sebagaimana tampak pada cara hidup menyatunya doa dan karya; yang lain menekankan kesederhanaan dan kerendahan hati. Beberapa lagi, mungkin lebih dapat dimengerti, mengatakan bahwa pelayanan kepada orang-orang miskin adalah segalanya bagi St. Vinsensius dan merupakan daya kekuatan yang menggerakkan segala sesuatu yang ia lakukan, termasuk karya formasio bagi para imam. Semua itu bicara mengenai unsur yang benar, meski semuanya bagaimanapun juga jatuh ke dalam penyempitan/pereduksian. Masing-masing mengungkapkan aspek tertentu dari spiritualitas St. Vinsensius, tetapi masing-masing jatuh ke penilaian bahwa rumusannya paling sempurna dan menyeluruh, menunjuk suatu konteks darimana setiap unsur mendapatkan keutuhannya. 17

Penyelidikan ini didesain untuk melukiskan bahwa hidup para Pendiri FIC dan seputar pendirian Kongregasi berakar pada spiritualitas Vinsesian. Dari perspektif sejarah, penyelidikan ini mencakup kehidupan Mgr. Rutten dan Br. Bernardus yang mewakili relasi paling dekat dengan spiritualitas Vinsensian. Objek penyelidikan yang lain adalah Konstitusi lama (1841-1936) dan dokumen Petunjuk-petunjuk bagi para Pemimpin dimana macam-macam unsur spiritualitas para bruder FIC telah dirumuskan.

Berangkat dari inspirasi awal para Pendiri dan dalam terang Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis Art. 2, kita bermaksud untuk merumuskan ulang spiritualitas Vinsensian seperti dihayati oleh Mgr. Rutten dan Br. Bernardus Hoecken, dan mengusulkan spiritualitas ini diperkenalkan kembali ke dalam kehidupan kongregasi. Itulah yang kita maksudkan dengan menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian.

16 J

OANN WOLSKI CONN, “Spirituality…”, 972. 17 R

(12)

Bertolak dari spiritualitas para Pendiri, kita menapaki bersama peziarahan Kongregasi.

11. Relevansi dan Pentingnya Penghidupan Kembali Spiritualitas Vinsensian

Pembaruan hidup bakti secara antusias dimulai pada akhir tahun 1960-an. Pembaruan hidup bakti, sebagaimana telah ditekankan sejak Konsili Vatikan II, mencakup dua aspek: penyesuaian terhadap situasi jaman, dan penghidupan kembali semangat pendiri. Dekrit Vatikan II tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius menganjurkan tarekat/kongregasi religius untuk menyelidiki akar spiritual dan menemukan kembali maknanya dalam terang kebutuhan-kebutuhan jaman. Anjuran Konsili Vatikan II untuk “secara terus-menerus kembali kepada sumber-sumber seluruh kehidupan kristiani dan inspirasi asli tarekat, dan penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang sudah berubah,”18 merupakan tantangan besar untuk melacak dan merumuskan ulang kharisma pendirian kongregasi dan bagaimana mengadaptasikannya dengan tanda-tanda jaman.

Spiritualitas Vinsensian sebagaimana dihayati oleh Mgr. Rutten and Br. Bernardus Hoecken adalah mengikuti Yesus Kristus demi kemuliaan lebih besar Allah dan Bapa serta Kerajaan-Nya. Allah yang mengutus putra-Nya di antara kita untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin (Lk 4,16-20) mewujud di dalam cinta kasih kepada Allah dan sesama. FIC mewujudkannya lewat pendidikan kristiani yang formatif. Para Pendiri tidak membuat rujukan khusus kepada pelayanan terhadap orang sakit, pengemis atau mereka yang sakit mental di antara orang-orang miskin, tetapi secara khusus kepada orang-orang muda.19 Visi spiritual ini diungkapkan melalui cinta yang berbelaskasih kepada orang miskin, di dalam kepercayaan pada penyelenggaraan Ilahi dan perlindungan Santa Perawan Maria, dan di dalam sepuluh keutamaan Bernardian, yakni rendah hati, teladan baik, mencintai

18Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius, Art. 2. Semua

kutipan Konsili Vatikan II diambilkan dari R. Hardiwirjana, SJ., “Dokumen Konsili

Vatikan II, Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor 1993, 247-265.

(13)

para bruder, saleh, sikap bijaksana, lembut hati, tabah hati, kebijaksanaan dan berpengetahuan, semangat dan keteguhan hati, serta percaya kepada Tuhan.

Konsep kemiskinan di dalam arti yang riil dan konkret adalah mereka yang membutuhkan, terhimpit dan tertindas, tak mampu bersuara; mereka yang dipaksa masuk ke dalam situasi yang secara eksistensial sangat terpinggirkan.20 Persoalan kemiskinan merupakan persoalan universal. Khusus di dalam Kongregasi kita, sebagian besar dari kita berkarya di negara-negara dunia ketiga, negara berkembang: Ghana, Malawi, Chile, dan Indonesia, dimana sebagian besar penduduk adalah miskin. Dari konteks bahwa misi kerasulan sebagian besar bruder di negara-negara tersebut, jelas dan sesuailah untuk menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian dan memasukkannya kembali ke dalam kehidupan Kongregasi. Meskipun bruder-bruder Belanda hidup di dunia pertama spiritualitas ini tetap relevan juga. Masyarakat Belanda membutuhkan pendidikan kristiani dengan cara yang baru.

Lebih jauh, kita memerlukan spiritualitas yang menyatukan kita dan memotivasi kita di dalam karya kerasulan kita. Dengan menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian, kita berharap spiritualitas ini mampu menyatukan kita dan menggerakkan masing-masing di antara kita di dalam karya kerasulan, baik secara kongregasional maupun secara personal. Di dalam terang spiritualitas yang sama, yakni spiritualitas St. Vinsensius yang dihidupi oleh para Pendiri, kita menjawab panggilan Konsili Vatikan II: “secara terus-menerus kembali kepada sumber-sumber seluruh kehidupan kristiani dan inspirasi asli tarekat, dan penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang sudah berubah.”

.

12. Lingkup dan Pembatasan

Perhatian utama penelitian ini adalah melacak akar spiritualitas Vinsensian Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Dikandung Tak Bernoda, melalui penyelidikan atas tulisan-tulisan rohani para Pendiri dan

20 Bdk. J

(14)

Konstitusi-konstitusi lama dan Panduan Pelaksanaannya,21 sampai pada konsep asli spiritualitas para Pendiri. Dari satu pihak, kehidupan para Pendiri memberikan suatu insight tentang inti inspirasi awal Kongregasi. Di lain pihak, Konstitusi Kongregasi merupakan kekuatan formatif dan identitas Kongregasi yang telah mentradisi, khususnya hal-hal yang telah menjadi perhatian utama para Pendiri sendiri.

Pokok perhatian lebih jauh adalah memahami ungkapan inspirasi awal para Pendiri dan penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang berubah sebagaimana didengungkan Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis. Ini mencakup apa yang dipikirkan oleh para bapa Konsili. Jelaslah bahwa hal itu mesti dipertimbangkan di dalam konteks semangat Konsili itu sendiri. Penyelidikan kita tidak bermaksud untuk menganalisa seluruh dokumen.

Berdasarkan konsep inspirasi awal para Pendiri dan di dalam terang semangat Konsili Vatikan II, Perfectae Caritatis Art. 2, kita meninjau kembali mengenai apa yang oleh Dewan Umum dan/atau Kongregasi putuskan untuk “menyingkirkan” St. Vinsensius sebagai Pelindung “kedua” Kongregasi dari Konstitusi Kongregasi dan selanjutnya kita mengusulkan untuk menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian sebagaimana dihayati oleh para Pendiri.

13. Metodologi

Metodologi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teologi doktiner dan teologi sejarah, serta pada saat yang sama digunakan juga metode analitis. Bab satu buku ini membicarakan dekrit Konsili Vatikan II Perfectae Caritatis Art. 2. di dalam perspektif teologis para bapa Konsili. Pembicaraan ini mengijinkan kita untuk memulai suatu proses kritik doktriner. “Kritik doktriner mengharuskan kita untuk bertanya apa kekhususan insight teologis di balik formulasi khusus suatu doktrin, dan apa kepentingan historis secara khusus yang mempengaruhi baik insight-insight maupun

(15)

sikap yang mereka artikulasikan, dengan suatu pandangan untuk memulai lagi (jika perlu) formulasi itu.”22

Bab dua menganalisa akar spiritualitas Vinsensian dalam Kongregasi lewat suatu seri lingkaran yang konsentris. Pertama, penyelidikan historis tentang perkembangan Kongregasi, dan kemudian dari sini menuju ke penyelidikan perkembangan spiritualitas pada saat-saat awal pendirian Kongregasi. Penyelidikan ini tidak murni menggunakan kriteria historis untuk menilai autentisitas formulasi-formulasi kekayaan rohani Kongregasi. Cara ini lebih tepat disebut dengan deep history, mengartikulasikan jiwa yang menggerakkan dalam sejarah daripada sekedar memaparkan secara fisik data-data sejarah. Karenanya, cara kerja ini menunjuk pada langkah pertama, dan mengintegrasikannya ke dalam refleksi doktiner pada langkah selanjutnya. 23

Lebih jauh, berdasarkan pemahaman akan perspektif teologis bapa-bapa Konsili, khususnya dekrit Perfectae Caritatis Art. 2., dan dalam terang konsepsi “inspirasi” dan “charisma”, serta berhadapan dengan spiritualitas Vinsensian, kita menganalisa elemen-elemen spiritual dari spiritualitas Vinsensian Kongregasi sebagaimana dihayati oleh para Pendiri sedemikian

22 M

CGRATH,ALISTER E. , “The Genesis …”, 8.

23 Bdk. A

LISTER E. MCGRATH, “The Genesis of Doctrine. A Study in the Foundations of Doctrinal Criticism”, Oxford 1990, vi-vii. McGrath mengklarifikasi

tentang hubungan antara doktrin dan dogma: “dogma secara khusus menunjukkan pernyataan Gereja yang mewahyukan kebenaran baik sebagai bagian dari ajaran

universal, atau pun melalui penilaian doktriner yang serius. …Semua dogma merupakan

doktrin, tetapi tidak semua doktrin merupakan dogma. (see p. 9). Istilah teknis “teologi doktriner” merujuk pada suatu refleksi teologis atas doktrin/ajaran Gereja. “Perjanjian

Baru merupakan sumber utama, tetapi bukan satu-satunya sumber ajaran kristiani. Gereja menjelaskan dan mengajarkan makna kehidupan kristiani dengan aneka macam

cara: … khususnya dalam dekrit-dekrit konsili-konsili ekumenis maupun

pendapat-pendapat dan ensiklik para paus.” NANCY C RING, “Doctrine”, dalam JOSEPH KOMONCHAK -MARY COLLINS -DERMOT ALANE, ed., The New Dictionary of Theology, Dublin 1987, 291. MILLARD J ERICKSON dalam “Introducing Christian Doctrin” menekankan alasan bagi suatu penelitian tentang suatu doktrin: pertama, keyakinan-keyakinan doktriner yang benar merupakan sesuatu yang esensial terhadap relasi orang beriman dengan Allah; kedua, ajaran merupakan hal yang penting karena kaitan antara kebenaran dan pengalaman; ketiga, pemahaman doktrin yang benar merupakan hal penting, karena ada banyak pemikiran tentang sistem religius dan sekular yang menyaingi kebaktian kita hari-hari ini. Lih. MILLARD J. ERICKSON, “Introducing

(16)

sehingga kita sampai kepada suatu perumusan dari inti spiritualitas Kongregasi. Usaha ini akan dikerjakan di dalam bab ketiga.

14. Klarifikasi Istilah-istilah

Dengan harapan untuk menghindari kesalahpahaman, kita memperhatikan beberapa kata kunci dan terminologi yang digunakan di dalam konteks revitalisasi.

7.1. Istilah “inspirasi”

Di dalam naskah dekrit Perfectae Caritatis tidak mungkin ditemukan deskripsi tentang yang dimaksudkan dengan “spirit primitif”. Hal lain bisa ditambahkan, yakni “spirit para Pendiri” untuk mengklarifikasi lebih lanjut istilah tersebut. Di lain pihak, lebih komprehensiflah dan lebih tepatlah bicara tentang “spirit primitif” ketika kita bicara mengenai gerakan untuk “kembali”! Tetapi, legitimasi yang luas mengenai arti ungkapan “spirit primitif” ini tidak menghilangkan kesulitan untuk merumuskan ke dalam suatu deskripsi, dan lebih lagi ke dalam suatu definisi, apa itu semangat dari suatu lembaga hidup bakti.24

Di dalam Bahasa Latin, akar kata dari persoalan yang sedang kita bicarakan ini adalah kata kerja inspirare, yang berarti secara hurufiah, “menghembuskan, atau menghirup”. Tradisi awal orang-orang kristen berbahasa Latin menggunakan kata-kata sebagai berikut seperti “afflatus, inflatus, dan instinctus” – kata-kata klasik yang equivalent dengan kata inspirasi dalam dunia modern kita. Tetapi secara pelan-pelan, kata inspirare secara umum digunakan untuk menunjuk pada pengaruh Allah sebagai sumber Kitab Suci.25 Istilah ini dipakai untuk merujuk baik buku-buku dan para pengarangnya; dan mungkin juga digunakan untuk merujuk kata “inspirasi”.

Bahasa Yunani memiliki kosa kata yang cakupannya lebih luas untuk membahasakan persoalan yang sedang kita bicarakan. Bahasa Yunani

24 Bdk. E

MILIO FOGLIASSO, “Il Decreto Perfectae Caritatis sul rinnovamento

della Vita Religiosa in risondenza alle odierne circostanze”, Torino 1967, 300.

25 R

(17)

menyediakan serangkaian kata untuk istilah inspirasi dari sudut pandang dokumen-dokumen/buku yang dihasilkan, dan serangkaian kata yang lain untuk istilah inspirasi sebagaimana ditinjau dari sudut pandang para penulis yang terlibat di dalam proses penulisan. Kata adjektif yang digunakan untuk merujuk suatu buku terinspirasi adalah “theopneustos” (= hembusan-Allah). Kata bendanya “theopneustos”adalah “theopneustia”, tetapi tidak digunakan, dan baru pada waktu kemudian digunakan jarang-jarang. Di lain pihak, istilah “terinspirasi” sebagaimana diterapkan kepada para penulis Kitab Suci diterjemahkan dengan terminologi tertentu seperti theophorētos (= dilahirkan-oleh-Allah; bdk. 2 Pt 1, 21) dan “pneumatophoros” (= dilahirkan-oleh-Roh). Kata benda yang menghubungkan adalah “epipnoia” (= hembusan dari atas), dengan suatu kata tambahan atau frase untuk mengidentifikasi Allah sebagai sumbernya.

Dalam Bahasa Ibrani, terminologi untuk hal itu sederhana. Tidak ada serangkaian kata untuk membahasakan ide tentang inspirasi ilahi dari Kitab Suci. Tetapi, latarbelakang pemikirannya adalah ide Kitab Suci Perjanjian Lama mengenai hembusan-roh-Yahwe.

Pertanyaan objektif tentang inspirasi adalah relasi Allah dengan Kitab Suci.26 Subjek inspirasi Kitab Suci adalah salah satu hal yang membingungkan di dalam diskusi belakangan ini. Apa itu inspirasi? Bagaimana Allah menginspirasi Kitab Suci?

Teori tentang inspirasi dapat dibagi menjadi dua macam: deduktif-konservatif, dan induktif-liberal. Teori tradisional tentang konsep inspirasi mungkin dapat dikatakan bahwa “Kitab Suci secara keseluruhan dan semua bagiannya adalah Sabda Allah, dan karena Kitab Suci adalah Sabda Allah, ia memberikan dengan segala kesempurnaan atas Sabda itu. Tidak hanya bahwa Kitab Suci menyingkap kebenaran-kebenaran kodrat Ilahi dan cara kerjanya tak dapat dipahami, tetapi semua bagian memiliki otoritas yang sama, dan baik di dalam sejarah maupun di dalam doktrin terbebaskan dari kesalahan.”27 “Bahaya dari pandangan tradisional ini adalah inspirasi harus dipikirkan sebagai sesuatu yang mati dan mekanis; ketika pandangan ini

26 Bdk. D

AVID R.LAW, “Inspiration”, London 2001, 144.

27 W.S

(18)

sampai pada pendekatan induktif, hal ini perlu dimengerti sebagai sesuatu yang hidup.”28

Teori kedua tentang konsepsi inspirasi adalah induktif atau kritis. Pendekatan ini disebut “teori induktif karena mulai dengan menguji kesadaran para penulis Kitab Suci. Pendekatan ini menyelidiki kesadaran para penulis Kitab Suci. Pendekatan ini meneliti tentang apa yang para penulis katakan, atau apa yang mereka berikan kepada kita untuk kita mengerti, seperti corak khas inspirasi milik mereka. Itu terbentuk dari pikiran pribadi penulis.”29 Dalam arti lebih luas, “ada sesuatu yang lebih daripada pikiran-pikiran individual pada karya mereka; mereka termasuk ke dalam kategori yang lebih luas, sebagaimana adanya demikian, suatu cara kerja dari Pikiran yang lebih luas, yang merupakan pusat Inteligensi yang mengarahkan dan memberikan kesatuan dan tujuan dari gerakan dan kumpulan manusia-manusia yang terserak.”30

Inspirasi yang dimaksud oleh teori induktif dan tradisional adalah riil dan tidak fiktif, yakni suatu tindakan objektif langsung dari Yang Ilahi terhadap manusia. Hukum universal dari aturan main atau tindakan Yang Ilahi adalah seleksi. “Umat tertentu dipilih dan kelas tertentu dari umat itu; dan orang-orang tertentu di dalam kelas tertentu itu dipilih untuk kegunaan dan tujuan khusus sebagai alat atau menjadi bagian dari Yang Maha Tinggi.”31 Gagasan mengenai peranan sebagai instrument tidaklah suatu alat yang pasif melainkan aktif dan dinamis. “Ia adalah instrument, tetapi suatu alat dengan dinamika dan kegiatan yang dimilikinya, suatu alat yang sungguh-sungguh berpikir, berimaginasi, mengkomposisi. Kegiatan-kegiatan ini secara terus-menerus dibawah pengaruh Allah.”32

Karenanya, inspirasi menghasilkan bermacam-macam akibat: pewahyuan, yakni, Allah yang membuka Dirinya kepada mereka semua yang akan mengambil Kitab Suci dan membacanya; Kitab suci adalah satu kesatuan, tidaklah hanya suatu koleksi dari tulisan-tulisan; dan Kitab suci adalah lengkap, tidak kurang sebagianpun. Akibat

28 W.S

ANDAY, “Inspiration”, 399. 29 W.S

ANDAY, “Inspiration”, 402. 30 W.S

ANDAY, “Inspiration”, 402. 31 W.S

ANDAY, “Inspiration”, 422. 32 R

(19)

terakhir dari inspirasi adalah ketidaksesatan, kualitas yang melindungi Kitab Suci dari kesalahan.

Ajaran Gereja paling baru tentang inspirasi Kitab Suci ditemukan di dalam Konstitusi Dogmatis Vatikan II tentang Wahyu Ilahi. “Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan inspirasi Roh Kudus …” (DV 11). Ajaran ini menekankan Kitab suci secara keseluruhan adalah “kudus”; Inspirasi Kitab Suci seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sementara. Pengertian yang ditekankan tentang inspirasi adalah pembawa kebenaran. Tetapi, wahyu Ilahi bukanlah sekedar suatu pernyataan tentang kebenaran-kebenaran intelektual; wahyu Ilahi merupakan makna ilahi dari campur tangan Yang Ilahi di dalam sejarah melalui “kata-kata” dan “tindakan”.33 Kenyataannya, “pengarang manusiawi tidak selalu membuat pernyataan-pernyataan yang diakui sebagai suatu kebenaran. Mereka tidak hanya mengakui; mereka menganjurkan, memuji atau mengeluh. Dengan kata lain, mereka tidak hanya mengungkapkan kebenaran-kebenaran, tetapi juga rasa-perasaan. Mereka tidak hanya memperbaiki pengetahuan pembaca mereka, tetapi juga sensibilitas dan hidup rohani mereka.”34

Kalimat selanjutnya dari Konstitusi Art. 11 mengatakan, ”Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” Konstitusi tidak menggunakan kata ketidak-keliruan kitab suci, meskipun ia bicara tentang ajaran tanpa salah. Apa yang kita pilih tentang tanpa salah berarti akan bergantung pada pandangan kita mengenai

33 Bdk. C

HRISTOPHER BUTLER, “The theology of Vatican II”, London 1981, 48-49.

34 C

(20)

kebenaran dimana kitab suci di sini dikatakan untuk mengajar. Di sini kata kebenaran dikualifikasikan dengan suatu pernyataan tentang finalitas atau tujuan dari inspirasi; pertanyaan mengenai kebenaran ini sesuai dengan rencana penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Pada saat yang sama kebenaran ini dapat dimengerti bahwa kebenaran yang bersifat materi di dalam detil-detil sejarah profan atau ilmu pengetahun tidak penting berkaitan dengan tujuan tersebut. Dengan kata lain, kriteria kebenaran kitab suci tidaklah ketepatan materi tetapi relevansi formal. Inspirasi apa yang sungguh-sungguh memberi garansi adalah kebenaran rohani Kitab suci, dan kebenaran historisnya sejauh hal itu relevan dengan penebusan kita.

Di dalam teologi Katolik, kata-kata “diinspirasi” dan “inspirasi” sering digunakan baik secara umum maupun untuk semua karya rahmat Allah di dalam dan pada jiwa manusia. Upaya-upaya telah dibuat oleh Newman dan orang lain untuk menetapkan suatu batas tentang inspirasi dengan memberi kebebasan praktis terhadap kategori-kategori tertentu dari pernyataan-pernyataan alkitabiah.35 Teori inspirasi mengakomodasi tidak hanya Kitab Suci melainkan juga berkenaan dengan semua literatur yang berdasarkan pada satu kenyataan yang diperhatikan yakni relasi manusia dengan Allah.36 Pemahaman ini memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan yang hampir sama dengan konteks hidup religius. Mempertimbangkan bahwa proses pendirian lembaga-lembaga hidup bakti dapat dibandingkan dengan para penginjil di dalam menuliskan kita-kitab suci mereka, “para pendiri komunitas-komunitas religius, sebagai instrument dari Penyelenggaraan Ilahi dan dibawah inspirasi Roh Kudus, memikirkan visi dan melahirkan keluarga religius, mereka terbuka untuk potensi yang sangat banyak demi perkembangan kemuliaan Allah, demi untuk melayani orang-orang kepada keutuhan dan kekudusan, demi menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesak

35 Lih. J

OHN HENRY NEWMAN, “An essay on the Development of Christian

Doctrine”, London 1906.

36 Bdk. D

AVID R.LAW, “Inspiration”, London 2001, 206. Kenyataannya, pada

(21)

Gereja dan dunia.”37 Dalam konteks alkitabiah inilah, kata kunci “inspirasi” berguna untuk menganalisa inspirasi pada Pendiri.

7.2. Istilah “kharisma”

Istilah kharisma (Yunani: χάρισμα) berarti hadiah yang diberikan dengan ikhlas dan bebas, suatu pemberian yang tulus, suatu berkat. Kharisma-kharisma sebagaimana dimengerti di dalam Kitab Suci pertama-tama adalah suatu janji, kemudian relasinya dengan individu yang memilikinya, dan akhirnya artinya bagi kesatuan Gereja.38 W. Harrington menegaskan bahwa: “Pauluslah yang memperkenalkan istilah kharisma ke dalam bahasa hidup religius: istilah itu berarti rahmat yang dihadiahkan secara bebas. Kharisma merupakan hadiah supranatural yang diberikan oleh Roh Kudus untuk pembangunan tubuh Kristus. Kharisma merupakan hadiah yang memiliki sumbernya pada charis – rahmat atau hadiah yang diberikan dari ketulusan hati – Allah dan yang ditujukan demi kesejahteraan umum (1 Cor 12:7). Kharisma-kharisma merupakan rahmat yang banyak dan yang berkaitan dengan macam-macam fungsi dan pelayanan.”39

Di dalam Perjanjian Baru istilah kharisma40 tidak pernah menunjuk pada suatu hadiah dari seorang kepada yang lain.41 “Kenyataannya, Paulus

37 S

HAUN MCCARTY,S.T., “Touching Each Other at the Roots. A Reflection on the Charism of the Founder”, RR 31 (1972) 202.

38 Bdk. J

OSEPH FICTNER, O.S.C., “Signs, charisms, Apostolates”, RR 27 (1968) 773-777.

39 W. H

ARRINGTON, “Charism”, dalam J. A. KOMONCHAK – M. COLLINS – DERMOT A.LANE, ed., The New Dictionary of Theology, Dublin 1987, 180.

40

(22)

menggunakan istilah kharisma untuk merujuk hadiah rahmat, persembahan yang dilakukan dengan bebas dan penuh kasih oleh Roh Kudus untuk menghasilkan di dalam diri penerima suatu kapasitas definitif untuk bertindak sedemikian rupa untuk membangun komunitas orang-orang beriman.”42

(bdk. Roma 12 and 1 Korintus 12). Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan, pengertian kharisma adalah rahmat atau hadiah cuma-cuma dari Allah untuk pembangunan komunitas demi kesejahteraan umum.

St. Thomas Aquinas43 menyatakan bahwa rahmat yang diberikan Allah tidak untuk pembenaran atau kesucian pribadi, tetapi untuk kesejahteraan spiritual bagi yang lain. Pernyataan itu membedakan secara esensial dari tipe rahmat yang membalas kebahagiaan pribadi kepada Allah atau kudus dalam pandangan-Nya (gratia gratum faciens). Semua rahmat adalah pemberian cuma-cuma (gratis data) oleh Allah. Karena kharisma tidak mengurangi kesempurnaan dari kekudusan pribadi yang diberikan, kharisma dilukiskan dengan menggunakan istilah umum rahmat yang diberikan secara cuma-Cuma (gratia gratis data).44 Kharisma mungkin diberikan kepada tiap pribadi di dalam rupa instrument yang murni untuk memberi pengaruh baik bagi yang lain. Dengan demikian, seorang pribadi yang kharismatis tidaklah penting sebagai pribadi yang kudus. Kharisma merupakan hasil intervensi khusus dari Allah terhadap fakultas dan cara kerja seseorang.

Roh Kudus hadir secara aktif di dalam Gereja. Kehadiran aktifnya menjadikan Gereja secara esensial Gereja yang kharismatis, suatu realitas organisma yang digerakkan oleh Roh Kudus. Kharisma diberikan untuk

41

Bdk. G.GHIRLANDA, “Carisma di un istituto e sua tutela”, VitaCon 58 (1992) 467.

42

A. ROMANO, “The Charism of the Founders: The person and charism of founders in contemporary theological reflection”, Ireland 1994, 75.

43

Nampaknya rahmat tidak secara memuaskan dapat dibagi menjadi rahmat pengudusan dan rahmat yang dihadiahkan secara bebas. Karena rahmat merupakan

suatu karunia Allah… Tidak seorangpun membahagiakan Allah karena ia sendiri dihadiahi sesuatu oleh Allah, melainkan sebaliknya: seseorang dihadiahi sesuatu secara bebas oleh Allah karena ia membahagiakan Allah. Karenanya, tidak ada sesuatu pun sebagai karunia pengudusan. Lihat dalam ST.THOMAS. AQUINAS,Summa Theologiae.

Vol. 30. The Gospel of Grace (1a2ae. 106-114), Blackfriars 1972, 125. English translation, introduction, notes, appendixes and glossary by Cornelius Ernst O.P.

44 Bdk. R.J. T

(23)

Gereja, karenanya tidak ada konflik antara kharisma dan institusi.45 “Penafsiran tentang kharisma mengantar kepada suatu eklesiologi yang hidup dimana Roh dilihat sebagai sumber dari segala aktifitas di antara umat Allah.”46

Di dalam dokumen Vatikan II istilah kharisma digunakan sebelas kali (LG 12 b; 25c; 30; 50a; DV 8c; AA 3d; 30f; AG 23a; 28 a; PO 4b; 9b) dan “kharismatis” tiga kali (LG 4a; 7c; AG 4)47. “Yang dimaksud kharisma, istilah ini menunjuk suatu hadiah dari Allah kepada seseorang yang kepadanya Allah memanggil untuk pelayanan, suatu misi, suatu jabatan, di dalam dan untuk Gereja. Istilah kharisma tidak hanya membicarakan hadiah yang diberikan kepada seseorang tertentu, tetapi juga di dalam Gereja. Kharisma semestinya telah terlaksana di dalam kenyataan Gereja yang kompleks, dengan segala institusi-institusi yang tampak. (LG 7h; 12b; 8a).”48

Lumen gentium49 12b adalah hal penting utama dalam mempertimbangkan ajaran Gereja tentang kharisma50. Lumen gentium 12 mengakui sebagai berikut: Umat Allah berpartisipasi di dalam tugas kenabian Kristus. Mereka dibangun dan ditopang oleh Roh Kudus. Mereka dibimbing oleh magisterium. Roh Kudus membuat umat Allah kudus. Roh Kudus menganugerahkan rahmat khusus kepada orang beriman dengan macam-macam tugas dan perkerjaan di dalam Gereja untuk pembaruan dan pembangunan Gereja. Otoritas Gereja yang kompeten seharusnya menguji dan menilai autentisitas

45 Kharisma dan institusi tidak saling bertentangan: kharisma membutuhkan suatu institusi. Bdk. G.GHIRLANDA, “Carisma ...”, 468.

46

J.F. GALLAGHER,“For the Church”, dalam NCE Vol. III, 463. 47

G.GHIRLANDA, “Carisma”, dalam NDDC, 128. 48

G.GHIRLANDA, “Carisma”, dalam NDDC,129. “Kharisma dipahami sebagai hadiah yang Allah berikan kepada seseorang yang dipanggil untuk melaksanakan karya pelayanan, suatu misi, atau karya kerasulan, di dalam dan untuk Gereja. Dengan demikian, penjelasan tentang suatu karunia tidak hanya untuk seorang pribadi, tetapi juga bagi Gereja. Ia harus ditempatkan di dalam reliatas Gereja yang kompleks, dengan

segala bentuk lembaga yang kelihatan.”

49 T

HE VATICAN COUNCIL II, Lumen Gentium, Dogmatic Constitution on the Church, 21 Nov. 1964, AAS 57 (1965), 5-67.

50 Bdk. J.K

ALLUMKAL, “The Patrimony of an Institute according to the Code

(24)

kharisma-kharisma. Kharisma-kharisma ini sesuai dan berguna bagi kebutuhan-kebutuhan Gereja.

Lumen gentium menghadirkan hidup religius sebagai suatu kharisma.51 Unsur-unsur itulah yang membentuk kharisma hidup religius.52: 1) Nilai-nilai Injili membentuk kharisma hidup religius (bdk. LG 43). Unsur-unsur ini dipandang sebagai dasar-dasar bagi hidup religius. 2) Kharisma pendiri adalah asal-usul hidup religius. Sejak awal-mula Gereja terdapat pria dan wanita, yang dengan mengamalkan nasihat-nasihat Injili bermaksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, …Di antara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan keluarga-keluarga religius. (bdk. PC 1b). 3) Kharisma mencakup mereka semua yang dipanggil dan hidup bagi Allah sendiri. (bdk. PC 1c, 5). 4) Hidup religius merupakan rahmat yang diberikan untuk Gereja. (bdk. PC 1b).

Suatu sintesis tentang unsur-unsur konstitutif dari kharisma disajikan oleh Paus Paulus VI di dalam Evangelica testificatio (ET).53 Paus menginterpretasi unsur-unsur tersebut dan mendorong suatu pembaruan hidup religius yang benar:

Hanya di dalam cara inilah seseorang akan dimampukan untuk menyadarkan kembali hatinya kepada kebenaran dan kepada cinta ilahi menurut kharisma para pendiri yang telah ditumbuhkan Allah di dalam Gereja. Karena itu, tepatlah Konsili menekankan kewajiban para religius untuk meyakini spirit pendiri-pendiri mereka, cita-cita evangelisasi mereka dan contoh kesucian mereka. Di dalam hal ini, ditemukan satu prinsip bagi pembaruan pada masa sekarang sebaik criteria yang paling handal untuk menilai tanggung jawab tiap lembaga. Nyatanya, kharisma kehidupan religius merupakan buah dari Roh Kudus, yang selalu berkarya di dalam Gereja, jauh dari dorongan yang lahir dari darah dan daging atau sesuatu yang berakar pada

51 Bdk. B.O

LIVIER, “Il Carisma della Vita Religiosa Dono dello Spirito alla Chiesa per il Mondo”, VitaCon 17 (1981) 324.

52 Bdk. J.K

ALLUMKAL, “The Patrimony of an Institute”, 34-35. Bandingkan juga dengan B.OLIVIER, “Il Carisma ...”, 330-331.

53 P

AUL VI, Evangelica testificatio, Apostolic Exhortation, 29 June 1971, AAS

(25)

mentalitas yang menyesuaikan dirinya dengan dunia modern. (ET 11).54

Vatikan II juga menyelidiki “kharisma kolektif”, paling tidak secara implisit, sebagaimana dapat diduksikan dari LG 13c, 43, dan dari PC 2.55 Teks-teks itu menunjuk pada hidup bakti. Dalam konteks ini, teks-teks tersebut diinterpretasi dalam terang ET 11 dan Mutuae relationes (MR)56 11 dan 12. Menurut G. Ghirlanda, Vatikan II tidak menggunakan istilah “kharisma kolektif”, tetapi bicara “spirit awal tarekat”, “phisiognomi mereka yang tepat”, “fungsi dan kharakter yang khas”, “tujuan dan spirit pendiri”, “tradisi yang sehat”, “warisan setiap tarekat” (bdk. LG 45a; PC 2a.b; 3a)57. Semua teks yang berbeda tersebut menunjuk pada apa yang disebut dengan “kharisma kolektif suatu tarekat” atau “kharisma pendiri” (bdk. ET 11; MR 11, 12).58 G. Ghirlanda menjelaskan bahwa charisma kolektif, ketika dikenali oleh otoritas gereja secara kanonik “dilembagakan”59 dan memberikan bentuk hidup yang tetap. Semua kharisma diakui oleh otoritas Gereja yang

54 Bdk. P

AUL VI, Evangelica testificatio, Apostolic Exhortation, 29 June 1971,

AAS 63 (1971) 503-504.

G.GHIRLANDA, “Carisma Collettivo di un Istituto di Vita Consacrata”, dalam

NDDC, 130-131. 59

G.GHIRLANDA, “Carisma Collettivo ...”, 130. Ghirlanda menerangkan bahwa:

“Kharisma kolektif mendapatkan sifat kelembagaannya di dalam regula yang diberikan

oleh para pendiri, yang menerangkan secara langsung suatu kharisma dan cara khusus untuk menghayatinya, sesuai dengan kepentingan cita-cita spiritual yang tetap. Kharisma kolektif menjadi suatu institusi kanonik dalam Gereja pada waktu ia diakui guna misi khasnya dan pada saat regula disyahkan.”. Bandingkan juga G.GHIRLANDA,

“Carisma ...”, 472. Ia menerangkan bahwa: “Pelembagaan secara kanonik dari kharisma

terjadi: ketika diakui oleh kuasa Gereja resmi bahwa kharisma sesuai dengan tujuan khusus Gereja, dan dibangun berdasar pada norma-norma kanonik untuk mengatur penghayatan hidup dan hubungan antara anggota di dalam komunitas, dan untuk mengabadikannya di dalam konteks tempat dan waktu. Dari saat itu, kharisma menadi

(26)

berkompeten, yang mengenali kharisma dengan jelas, supaya mereka bekerjasama demi pembangunan Gereja. Dengan demikian, suatu kharisma bukanlah suatu hadiah yang diberikan hanya untuk seorang pribadi, tetapi juga untuk Gereja, sehingga mempunyai pengaruh di dalam Gereja. Selanjutnya, “kharisma” merupakan berkat rahmat yang eksternal oleh Kristus untuk seorang pribadi melalui Roh Kudus.

8. Catatan pada Edisi Bahasa Indonesia

Tiga catatan perlu saya tambahkan pada edisi Bahasa Indonesia ini dari edisi Bahasa Inggris: A Return to the Original Spirit, yang diterbitkan oleh penerbit yang sama, 2006. Catatan pertama, berdasarkan pengalaman menularkan gagasan-gasan dalam buku ini, dan demi memudahkan pembaca memahami isinya, ada perubahan sistematika penyusunan bab-bab di dalam buku ini. Bab satu dalam edisi Bahasa Inggris menjadi Bab dua; sebaliknya, Bab dua menjadi bab pertama. Diharapkan, berangkat dari dua konsepsi dasar tentang inspirasi dan kharisma, serta ditambah kekayaan ide dari spirit pembaruan hidup religius ala Vatikan II, pembaca diajak menjelajah sejarah dengan memberi perhatian pada unsur-unsur spiritual yang penting.

Catatan kedua, ditambahkan pada buku ini satu lagi kualitas rohani yang oleh Bernardus Hoecken ditekankan pada Petunjuk-petunjuk untuk para Pemimpin. Kualitas ini bukan merupakan kutipan langsung ungkapan Vinsensius, melainkan suatu keutamaan yang diharapkan dihayati oleh para anggotanya.

(27)

BAB SATU

Pembaruan Hidup Bakti

Menurut Spirit Konsili Vatikan II

Di dalam menanggapi dorongan pembaruan hidup bakti yang dianjurkan oleh Konsili Vatikan II, perhatian dan kegiatan pembaruan dari banyak tarekat religius lebih terarah pada penyesuaian terhadap zaman yang sudah berubah, daripada pembaruan spiritual. Dalam kasus Kongregasi para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda, adaptasi yang dijalankan malah menyingkirkan warisan mulia Kongregasi masa lalu. St. Vinsensius tidak tampak lagi di dalam Konstitusi dan selanjutnya hidup dan spiritualitasnya kurang menjadi kesadaran yang hidup di tengah-tengah kebanyakan bruder. Untuk mencerahi persoalan tersebut, bab ini memusatkan pada arti pembaruan hidup bakti menurut ajaran Konsili Vatikan II, khususnya dokumen Lumen Gentium Bab V dan Perfectae Caritatis art. 2.

1. Spirit Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II dibuka tanggal 11 Oktober 1962, dan diakhiri awal Desember 1965. Konsili Vatikan II memiliki agenda yang benar-benar beda dari agenda konsili-konsili sebelumnya. Keunikan Vatikan II dilukiskan oleh John W. O‟Malley, S.J. dengan beberapa ciri khas.60

Di antara keunikan- keunikan Vatikan II, unsur yang paling mencolok dari dokumen-dokumen yang dihasilkan Vatikan II adalah luasnya lingkup perhatian konsili. Konsili berharap untuk menyapa semua bangsa. Dibandingkan dengan konsili-konsili sebelumnya, Vatikan II lebih memberi perhatian kepada dunia, dan menjadikannya sebagai salah satu tugas pokok untuk berdialog dengan dunia.

60 Lih. J

OHN W. O‟MALLEY, S.J., “Tradition and Transition. Historical Perspectives on Vatican II”. Theology and Life Series, vol. 26. Wilmington Delaware

(28)

Umumnya, konsili-konsili menegaskan mengenai kemantapan praksis beriman dan rumusan-rumusan ajaran Gereja dan mengenai pentingnya mengikis segala sesuatu yang akan merintanginya. Konsili Vatikan II mengambil sikap sebaliknya. Karenanya, Konsili sepenuhnya menyadari bahwa Gereja berada di dalam dunia dan di dalam sejarah, dan ia menghendaki Gereja bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Konsili mencatat kesadarannya mengenai dunia paling sedikit dalam empat hal, dan tak satupun yang dikembangkan oleh konsili-konsili sebelumnya. Dengan tepat hal itu diterangkan secara singkat oleh John W. O‟Malley, S.J sebagai berikut:

Pertama, Konsili menilai dunia secara positif dan dengan beberapa optimisme. Kedua, sikap positif terhadap dunia ini diterangkan melalui keinginan Konsili untuk melihat Gereja sebagai pelayan spiritual bagi dunia dan bahkan membantu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan temporal; Gereja ingin membuat dirinya hadir secara efektif di dalam masyarakat sekular demi pembangunan baik masyarakat manusia maupun umat Allah. Ketiga, Konsili sadar bahwa Gereja sangat dipengaruhi oleh budaya tempat Gereja hidup. Keempat, Konsili mengakui penilaian Yohanes XXIII bahwa masyarakat manusia menyongsong era baru. Konsili menginginkan Gereja mempersiapkan diri untuk hadir dengan pengaruh yang formatif di dalam era baru itu.61

Kesadaran akan dunia dan sejarah demikian merupakan suatu langkah mudah untuk sampai kepada keputusan membuat perubahan-perubahan di dalam Gereja demi menempatkan diri di dalam relasi yang lebih efektif dengan situasi jaman sekarang. Hal itu merupakan suatu perubahan mentalitas sebagaimana telah dibicarakan oleh konsili-konsili sebelumnya.62

Di dalam kenyataan, maksud Konsili harus berhadapan dengan pertanyaan mengenai relasi antara masa lampau dan masa sekarang. Pertanyaan ini mengantar kita kepada inti masalah-masalah Vatikan II. Bagaimana kita tahu mengenai hal-hal masa lampau yang dapat diubah? Bagaimana waktu sekarang ini berhadapan dengan masa lampau, dan kuasa

61 J

OHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 46-47. 62 Bdk. J

(29)

manakah yang dimiliki masa lampau untuk hadir pada masa sekarang? Tetapi, hal yang ditegaskan oleh Konsili adalah bahwa adaptasi yang diinginkan Konsili tidak mengubah warisan mulia kristiani masa lalu, juga tidak memutus kontinyuitas arus iman beserta abad kerasulan. Hal yang oleh Konsili coba dilaksanakan adalah “kembali kepada sumber-sumber” kehidupan kristiani.63 Lebih dari itu, tujuan utama dari perubahan adalah menempatkan pelayanan Gereja kepada dunia menjadi lebih efektif. Mungkin tepatlah mengutip pernyataan Kardinal Suenens berikut:

Meskipun Gereja berakar pada masa lalu, ia juga bergerak menuju masa depan. Gereja adalah iman dan harapan. Baginya, pembaruan tidak berarti se-sederhana kembali pada masa lalu atau memperbaikinya, tetapi lebih dari itu, di dalam keberlangsungan dengan masa lalu bergerak lebih jauh untuk berjumpa dengan Tuhan dan menjawab panggilan-Nya yang baru. Kristus hadir kemarin, hari ini dan akan hadir besok. Kristus sendiri adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depan Gereja. Kita semestinya menghidupi pengalaman Vatikan II di dalam sudut pandang demikian, yang akan memimpin kita dari masa sekarang menuju masa berikutnya, dari yang “telah” ke yang “belum”.64

Berangkat dari kerangka kerja masa lampau dan sekarang inilah, bapa-bapa Konsili Vatikan II membangun model keuskupan, hidup para imam, dan hidup bakti. Model atau gambaran ideal itu mereka paparkan dengan cara yang jelas, meskipun umum. Masalahnya adalah bahwa Konsili gagal untuk memberikan suatu jawaban atas pertanyaan fundamental: hubungan antara masa lampau dan masa sekarang. Dalam konteks penelitian mengenai hidup bakti, tarekat religius berusaha untuk memenuhi arahan Konsili untuk mengadaptasi spirit asli pendiri mereka. Yang oleh Konsili tidak dijelaskan

63

Bdk. JOHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 48.66. Istilah “berbalik kepada sumber-sumber” atau resourcement berasal dari frase yang digunakan untuk menjelaskan karya teolog-teolog sejarah dalam beberapa dekade yang mengantar kepada Konsili. Frase tersebut aslinya digunakan oleh Reginald Garrigou-Lagrange dalam arti meremehkan teologinya Henri de Lubac dan teolog-teolog lain.

64 L.K. S

HOOK,C.S.B., “Renewal of Religious Structures. Proceedings of the

(30)

kepada para religius adalah bagaimana spirit asli itu ditemukan, diverifikasi, dan kemudian diadaptasikan atau diterapkan sesuai dengan jamannya. Konsili tidak memiliki agenda atau tidak mencoba untuk merumuskan sistem kategori yang adekuat untuk mengimplementasikannya.65 Persoalan dasar ini akan dimengerti lebih baik kalau kita mencoba melihatnya sebagai bagian dari pemikiran bapa-bapa Konsili.

1.1. “Aggiornamento” sebagai Kata Kunci

Potret unik lain dari Vatikan II adalah leitmotif tentang aggiornamento66 yang dipinjam dari Paus Yohanes XXIII. Maklumat Paus Yohanes XXIII pada tanggal 25 Januari 1959, tidak lebih dari tiga bulan setelah dia dipilih, bahwa beliau bermaksud untuk mengadakan konsili ekumenis. Alasan umum Paus Yohanes untuk mengadakan konsili memberikan cahaya terang pada apa yang beliau maksudkan dan jalannya Konsili yang akan diadakan. Tujuan pastoral secara umum nampaknya merupakan hal yang prinsip bagi Paus.67 Christopher Butler mengatakan bahwa persoalan Konsili tidak ada yang khusus atau lebih tepat dikatakan: segalanya. Tujuan Paus jangka dekat adalah “membiarkan udara segar masuk ke dalam Gereja” dan mempromosikan di dalam Gereja aggiornamento.68 Hal ini secara simbolis dilukiskan oleh Majalah Time 17 November 1958, untuk melukiskan gagasan umum Paus Yohanes XIII mengenai aggiornamento sebagai berikut:

Jika seseorang mengharapkan Roncalli hanya menjadi Paus sementara, mempersiapkan peralihan ke pemerintahan berikutnya, beliau merusak tujuan di dalam menit-menit pemilihannya …Beliau

65

Bdk. JOHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 44-45. 66

Istilah aggiornamento tidak diciptakan oleh Paus Yohanes XXIII, meskipun beliau menjadikan istilah tersebut miliknya. Tahun 1950 untuk pertama kalinya Konggres Internasional Religius diadakan di Roma. Menurut Kardinal Piazza, tujuannya adalah aggiornamento bagi tarekat dan kongregasi religius. Penjelasan ini dicatat dalam Étienne Fouilloux, the Antepreparatory Phase: The Slow emergence from Inertia (January 1958-October 1962), di dalam GIUSEPPE ALBERIGO – JOSEPH A KOMONCHAK, History of Vatican II, Vol. I: Announcing and Preparing Vatican Council II, Maryknoll, NY 1996, 55-166.

67 Bdk. J

OHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 11.

68 Bdk. C

(31)

menghentakkan kaki dengan keras seperti pemilik rumah, membuka jendela dan menyusun melingkar meja dan kursi.69

Peter Hebblethwaite menjelaskan, “Gagasan untuk mengundangkan suatu konsili demikian didorong untuk kembali pada hari-hari pertama setelah pemilihan Paus Yohanes. Gagasan ini mengubah cara pandang kita baik mengenai kepausan maupun konsili “.70 Ia menambahkan, “Dalam sembilan hari pertamanya beliau, di dalam ungkapan yang terkenal, „membuka jendela-jendela Vatikan‟”.71

Dengan kata lain, sebelum dan pada masa awal Konsili, aggiornamento berarti membuka pintu-pintu dan mempersiapkan suatu perziarahan untuk menemukan72

Istilah aggiornamento berarti “mengusahakan agar tetap up to date (cocok dengan jamannya)”, sesuatu yang oleh setiap institusi manusiawi diperlukan dari waktu ke waktu.73 Gagasan dasarnya menurut Paus adalah membuat penilaian atau pembaruan tertentu yang tepat di dalam Gereja sehingga Gereja lebih efektif menyentuh dunia tempat kita hidup. Pada tingkat permukaan, hal ini nampak menjadi usulan yang benar-benar sederhana, dan orang-orang yang suka akan suatu tafsiran ketat mengenai Konsili dapat selalu menunjuk pada kata-kata itu. Tetapi, hasil penyelidikan yang baru menegaskan bahwa paling sedikit ketika Konsili dibuka, Paus Yohanes sendiri berharap lebih dari itu.74 Bapa-bapa konsili menghendaki suatu

aggiornamento tidak hanya pada tingkat permukaan, tetapi di kedalaman, dan bahkan pada wilayah ilmu pengetahuan alkitabiah dan teologi dogmatis.75

69

PETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII Pope of the Council”, London 1984, 285.

70 P

ETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII …”, 307. 71 P

ETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII …”, 305. 72 Bdk. E.S

CHILLEBEECKX,OP, “Vatican II: the real echievement”, London

and Melbourne 1967, 83. 73 Bdk. C

HRISTOPHER BUTLER, “The theology …”, 6-8. Lihat juga Centro Studi

U.S.M.I, “L‟Aggiornamento nel Pensiero di Paolo VI”, Roma 1968, 5-8. 17-20; PETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII …”, 460-461; JOHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and

Transition. …”, 28-29; EUGENE A.LAVERDIERE, S.S.S., “The Renewal of Religious Life

in Historical Perspective”, RR 26 (1967) 1056-1057. 74

Bdk. JOHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 29. 75

(32)

Emile Guerry, Uskup Agung Camrai, sahabat Paus Yohanes memberikan penjelasan sebagai berikut:

Akan menjadi hal yang mematikanlah mempertentangkan teologi dogmatis dengan teologi pastoral. Tugas pertama dari karya pastoral kita adalah mengajar umat secara integral dan murni, tetapi dengan cara sedemikian sehingga mereka dapat mendengarkan Sabda Allah, menerimanya di dalam iman, dan membawanya ke dalam setiap “sudut” kehidupan mereka.76

Selanjutnya, ia memberikan penjelasan tentang istilah “adaptasi” atau aggiornamento. Marilah kita mengutip lagi apa yang dikatakan Guerry.

Jika itu berarti menyesuaikan dengan semangat jaman dan menutupi apapun yang tidak disukai orang modern, maka hal itu merupakan suatu pengrusakan karya pastoral. Apa yang benar-benar diperlukan agar adaptasi berjalan, bukanlah suatu doktrin, tetapi suatu cara penyajian. Kita memerlukan suatu studi yang mendalam tentang masa lampau sehingga kebenaran-kebenaran yang telah dikenal bersinar dengan cemerlang dan begitu mencerahkan, kehidupan yang indah dan menarik, menyingkapkan cinta Allah yang tak terukur.77

Bagaimanapun juga, istilah aggiornamento menempatkan Vatikan II di dalam tradisi konsili-konsili sebelumnya yang berhadapan secara luas dan dikenal secara umum dengan reformasi Gereja. Asal-usul istilah aggiornamento digunakan oleh Pius XII.78 Beliau memulai beberapa pembaruan yang sangat berhasil di dalam kehidupan Liturgi Gereja dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Ia merevisi liturgi Paskah dengan dipandu sebagian besar oleh penelitian ulang para ahli mengenai sejarah perayaan Paskah ini; demikian pula reformasinya tentang ritus atau liturgi untuk tahbisan imam; dan kelenturan hukum puasa ekaristis secara radikal ditekankan dan sangat berguna.79 Vatikan II memutuskan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam Gereja agar bisa membawakan diri ke dalam relasi yang lebih efektif dengan jamannya. Hal itu berarti

76 P

ETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII …”, 460. 77 P

ETER HEBBLETHWAITE, “John XXIII …”, 460. 78Bdk. Centro Studi U.S.M.I, “L‟Aggiornamento ...”, 5.

79 Bdk. C

(33)

mengarahkan kembali kepada prinsip lama ecclesia semper reformanda (Gereja secara terus-menerus membarui diri).80 Konsekuensinya, adaptasi harus selalu dijalankan di dalam Gereja.

“Aggiornamento” Vatikan II Tentang Hidup Bakti

Gerakan pembaruan dan adaptasi terhadap jaman modern telah dimulai dan dikembangkan oleh Pius XII. Vatikan II memperkembangkannya lebih jauh gerakan itu. Konsili telah mendiskusikan dan menarik suatu program untuk membarui dan mengadaptasi kehidupan dan ajaran Gereja terhadap jaman ini. Konsili mengharapkan bahwa perubahan-perubahan sikap sebagaimana dimaksudkan oleh ajaran dan kehidupan Gereja menurut visi dan semangat baru Gereja adalah menggerakkan kehidupan dan reksa pastoral pada semua sektor dan segala tingkat. Karenanya, “aggiornamento” Vatikan II juga mencakup pembaruan hidup bakti. Penelitian ini tidak bermaksud untuk menganalisa secara detil tiap artikel dari dokumen, melainkan memfasilitasi pemahaman inti mengenai nilai-nilai sejati hidup bakti. Penyelidikan berikut memaparkan pembaruan pada wilayah hidup bakti, khususnya ajaran tentang hidup bakti baik dari “LG Bab V dan VI” maupun dekrit Perfectae Caritatis art. 2. Paulus VI menekankan hal itu sebagai berikut:

Norma-norma dan daya penggerak untuk pembaruan yang sesuai seharusnya tidak hanya ditarik dari dekrit Perfectae Caritatis, tetapi juga dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II yang lain, khususnya Bab V dan VI Konsitusi Dogmatik Lumen Gentium.81

Dekrit Perfectae Caritatis memikirkan kembali ajaran tentang kehidupan menurut nasihat-nasihat Injili di dalam konteks visi baru Gereja, di dalam konstitusi dogmatik Lumen Gentium Bab V dan VI. Dua bab ini amat penting untuk pembaruan hidup bakti. Konsitusi ini juga merupakan dasar dogmatis dari dekrit konsilier mengenai pembaruan.82

80 Bdk. J

OHN W.O‟MALLEY,S.J., “Tradition and Transition. …”, 29.

81Paul VI, “Implementation of Certain Decrees of Vatican Council II”,

RR 25 (1966) 960.

82 Bdk. P.D

E LETTER,S.J., “After Vatican II. Renewal and Crisis”, Ranchi

1972, ix-xi.33; GUSTAVE MARTELET, S.J., “A Theological Reflection on Perfectae

(34)

Menurut Komisi Hidup Bakti untuk Konsili, bagian penting LG Bab VI adalah ide mengenai pembaruan hidup bakti yang pas seperti diusulkan oleh bapa-bapa konsili dan suatu panggilan untuk bersolider dengan mereka yang telah membantu kelahirannya: imam, para biarawan awam, dan para biarawan guru.83 Setelah macam-macam gagasan muncul di dalam perdebatan merefleksikan macam-macam pemikiran di antara para bapa konsili, hasil pemungutan suara adalah positif pada hari-hari berikutnya,84 tetapi draft akhir tidak ditulis ulang secara lengkap, dan karena itu tidak mengikuti langkah-langkah yang logis dan runtut. Akibatnya, ajaran yang begitu kaya isinya dipaparkan dalam cara yang fragmentaris.85 Beberapa pertimbangan dari bapa-bapa konsili akan diteliti lebih lanjut. Penyelidikan berikut memberikan suatu pencerahan, klarifikasi dan kedalaman makna mengenai ajaran tentang hidup bakti seperti ditampilkan oleh Gereja di dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium. Penyelidikan ini mungkin menambah terang dan memudahkan pemahaman mengenai makna nilai-nilai otentik hidup bakti.

1.2.1 Dasar Teologis Hidup Bakti

Beberapa bapa konsili menginginkan suatu dasar teologis hidup bakti.86 Ajaran Konsili tentang hidup yang dikuduskan dan hidup bakti di dalam

Implementing the Decree of the Second Vatican Council Perfectae Caritatis”, The Way (1967) 3, 15-17.

83 Bdk. N

ORMAN TANNER, “The Church in the World „Ecclesia ad Extra‟”, dalam GIUSEPPE ALBERIGO, gen. ed., History of Vatican II. Vol. IV: Church as Communion. Third Period and Intersession, September 1964-September 1965,

Maryknoll/Leuven 2003, 365. 84

Bdk. NORMAN TANNER, “The Church in the World …”, 369. 85

Bdk. PAUL MOLINARI, S.J. – PETER GUMPEL, S.J., “Chapter VI of the Dogmatic Constitution Lumen Gentium on Religious Life. The doctrinal content in the light of the official Documents”, Rome 1987, 7-8.

86

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang yang sudah sadar gender berarti bahwa bahwa ia sudah menyadari adanya ketidakadilan yang dialami oleh sesuatu gender tertentu (yang hingga saat ini lebih

Salah satu hal yang mustahil dilakukan oleh siapa pun adalah menyeragamkan perbedaan, sebab perbedaan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. Ia adalah keniscayaan

Mereka berpegang pada pesan Firman Tuhan, “ Berhati-hatilah terhadap yang kamu kerjakan karena Tuhan Allah kita adil, Ia tidak pernah memperlakukan seseorang lebih penting

Agama dan Tuhan tidak dianggap sebagai sesuatu yang sacral, melainkan hanya dianggap sebagai pelengkap hidup manusia yang menjadi ranah privatisasi yang bebas dianut atau tidak

niat dan seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, maka dua kalimat ini (siapa yang berhij rah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hij rahnya untuk Allah dan Rasul-Nya

Alkitab mengatakan bahawa kita akan menerima pengampunan dosa dan karunia kehidupan kekal sekiranya dengan iman kita percaya kepada segala sesuatu yang Allah

Ia merasa bahwa dosa masalalunya tidak bisa diampuni oleh Allah SWT dan ia merasa malu jika ada seseorang yang tahu jika dulu ia adalah seorang pelacur. Cerita

Oleh karena itu, Natal adalah saat bagi kita untuk mengucapkan syukur kita kepada Allah bukan saja hanya karena Ia telah mengaruniakan segala sesuatu kepada kita, namun juga karena