• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Prinsip untuk Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Bakti Persoalan besarnya adalah mana petunjuknya? Apa garansinya bahwa kita

Dalam dokumen BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf (Halaman 48-71)

melaksanakan pembaruan dan penyesuaian dengan benar? Konsili menyusun prinsip-prinsip untuk melaksanakan pembaruan atas dorongan Roh Kudus dan bimbingan Gereja. Prinsip-prinsip ini disusun menurut skala hirarki nilai.

3.1 Mengikuti Kristus

Prinsip pertama adalah mengikuti Kristus.126 Pentingnya prinsip pertama ini pada waktu yang sama akan dihargai oleh seseorang yang mengetahui cara dalam mana tidak menghitung aturan-aturan yang detil dan peraturan- peraturan yang memiliki visi sempit, dan bagaimana pandangan moralistis dan asketik yang telah menentukan corak dasar ajaran tentang hidup bakti.127 Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan oleh Dekrit Perfectae Caritatis: “Tolok ukur terakhir hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi.” (PC 2a) Istilah “mengikuti Kristus” adalah ungkapan Alkitabiah yang amat berarti, dan diusulkan sebagai titik berangkat dan pedoman acuan yang tetap. Apa yang dikatakan Konsili di sini adalah bahwa hidup bakti secara hakiki merupakan jawaban kepada undangan khusus Kristus. Wulf menambahkan bahwa “visi tentang esensi teologis status hidup bakti,

126

Martelet memberikan catatan bahwa ungkapan mengikuti Kristus ini ditulis lima atau enam kali di dalam isi naskah. Lih. GUSTAVE MARTELET,S.J., “A Theological Reflection …”, 987.

127 Khususnya sejak abad kesembilanbelas, penekanan pada relasi antara dua realitas – realitas teologis dan disiplin hidup, spiritualitas dan hukum, semangat Injili dan ungkapan-ungkapan standar dalam hukum – telah ditempatkan di atas realitas yuridis dan institusional, sehingga hidup bakti (vita religiosa) lebih kurang digariskan dengan hidup menurut hukum (vita regularis). Lih. FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 334 & 336.

asalnya dan berpusat di dalam Kristus, sekaligus mewahyukan tolok ukur fundamental sesuai hidup bakti zaman ini yang harus di-evaluasi lagi melalui seluruh keluasan isinya. “128

Lebih lagi, terhadap prinsip fundamental ini Konsili telah mengantar kepada prinsip kedua: corak kharakter dan fungsi yang khas tarekat. Molinari menegaskannya dengan kata-kata berikut:

Menyadari bahwa Roh Kudus berkarya di dalam seluruh Gereja dan di dalam hati setiap jiwa orang beriman, dan karena keterbatasan manusia menjadikannya tidak mungkin bagi seorang pribadi membagikan dan menghasilkan kembali di dalam hidupnya sendiri pada suatu saat macam-macam aspek hidup Kristus, Konsili menarik perhatian akan kenyataan bahwa Roh Kristus yang samalah, pembimbing manusia, yang telah meng-inspirasi mereka memiliki kepekaan dan sikap tanggap terhadap dorongan-Nya untuk menciptakan di dalam gerakan mereka yang secara khusus dibangun untuk menjawab kebutuhan Gereja. […] Dengan demikian amat baiklah tuntutan Gereja bahwa mereka dengan hati-hati meneliti secara seksama intuisi asli para pendiri mereka di bawah inspirasi ilahi: manakah kekhasan cara hidup mereka di dalam menghayati panggilan Kristus seperti di Kitab Suci.129

Hidup pendiri tarekat merupakan jawaban terhadap undangan Kristus: “Datanglah, ikutilah aku!” Sama seperti pendiri, biarawan-biarawati terlibat di dalam hidup Kristus dengan cara yang lebih khusus dan lebih radikal. Partisipasi di dalam cara hidup spiritual Yesus Kristus ini merupakan tolok ukur tertinggi bagi implementasi Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius. Yesus Kristus merupakan aturan hidup. Karena itulah, pembaruan yang otentik bergantung pada jawaban positif terhadap pertanyaan: “Bagaimana kita mengikuti Yesus Kristus?”130

128 F

RIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 336 & 337. Lihat juga

PAUL MOLINARI, “The Following of Christ in the Teaching of Vatican II”, The Way (1967) 92-98.

129 P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 17. 130 E

MILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 310. “Semua diminta bertanya kepada diri sendiri: Bersama merekakah (anggota-anggota setarekat) kita mengikuti – jadi, mengikuti secara lebih dekat, dengan lebih bebas – Yesus? Jika jawabannya adalah

positif, terjadilah pembaruan otentik seperti yang dikehendaki Vatikan II.” Lihat juga

3.2 Kharakter dan Fungsi khas Tarekat

Prinsip kedua adalah kharakter dan fungsi khas tarekat. Pembaruan hidup bakti harus tidak hanya diorientasikan kepada mengikuti Kristus, melainkan juga berbalik kepada “jiwa kerohanian asli pendiri”. (PC 1,2) Keberbalikan ini lebih jauh dijelaskan dengan kata-kata berikut: “Karenanya jiwa kerohanian dan maksud-maksud pendiri yang khas semestinya dengan penuh iman dipahami dan dipelihara, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat”. (PC 2b) Tujuan dari berbalik kepada jiwa kerohanian asli pendiri adalah untuk menemukan dan memelihara “corak dan fungsi khas tiap tarekat” demi “kebaikan Gereja”.131

Prinsip kedua ini tidak bertentangan dengan prinsip pertama. Sebaliknya, prinsip ini melengkapinya. Dekrit rupa-rupanya akan memohon suatu definisi yang lebih tajam tentang macam-macam komunitas,132 maksud- maksud mereka, spiritualitas mereka, dan hal-hal yang terkait kelembagaan mereka. Molinari memberikan catatan penting yang relevan dengan interpretasi artikel 2b:

Jika merupakan kenyataan bahwa suatu tarekat bersumber dari gerakan Roh Kudus – karenanya otoritas Gereja harus mengetahui otentisitasnya - hal itu berlanjut bahwa tarekat hidup bakti merupakan manifestasi khusus dari gerakan ini yang datang dari Kristus untuk Gereja; oleh sebab itu gerakan ini tidak dapat dipaksa dan dibatasi kepada satu bentuk ekspresi.133

Dengan kata lain, Konsili menekankan unsur kharismatis tarekat hidup bakti. Lebih lanjut, “religius harus menyadari bahwa mereka dianjurkan tidak hanya menghayati kekayaan yang telah dianugerahkan Allah kepada setiap komunitas religius, melainkan juga menghindari untuk memendam

131

PC 2b. Lihat juga ELIO GAMBARI, “Manuale della Vita Religiosa ...”, 53; KEES WAAIJMAN, “Spirituality. …”, 191.

132 Istilah “komunitas”–

instituta – dengan sengaja telah dipilih untuk menunjuk mereka yang menghayati nasihat-nasihat Injili: tarekat-tarekat, perserikatan, perserikatan tanpa kaul, dan institut sekular. Lih. FRIEDRICH WULF,

“Decree on the Appropriate …”, 337.

133 P

dan menyembunyikannya. Mereka harus „menandai diri dengannya‟, sehingga mereka berkembang,”134

tambah Molinari.

Wulf mengkritisi kalimat kedua dari PC 2b: “semangat para Pendiri”, “maksud-maksud mereka yang khas”, dan “tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat”.135 Jiwa kerohanian asli Pendiri harus dibedakan dari tradisi-tradisi spiritual yang berkembang kemudian yang (mungkin dan dapat) ditambahkan setiap waktu. Dengan kata “sehat” suatu tolok ukur ditambahkan pada tradisi-tradisi yang berkembang kemudian yang merupakan suatu ungkapan tradisi yang hidup.136 Jiwa kerohanian dan maksud-maksud Pendirilah, dan juga tradisi- tradisi yang baik tarekat yang membentuk warisan suatu tarekat. Tambahan lagi, religius harus memahami bahwa rahmat yang diberikan kepada para Pendiri mereka dalam arti tertentu secara terus-menerus diproyeksikan kedalam diri mereka sendiri. Hal ini dilukiskan dengan singkat oleh Molinari sebagai berikut:

Karena misteri Penyelenggaraan Allah dan rahmat panggilan kepada tarekat tertentu yang amat mengagumkan, mereka menjadi penyalur jiwa kerohanian tarekat dan karunia-karunianya; dan mereka akan mengalami kuasa dari karunia-karunia ini dengan tepat menurut kebenaran kharakter khas tarekat. […] Mereka juga semestinya peka dan tanggap terhadap Roh yang sama, yang memanggil mereka kepada ketekunan dalam cara hidup yang sama.137

Religius seharusnya sadar akan suatu kebanggaan yang tersembunyi dalam perilaku tertentu, meskipun murni bermaksud baik dan dimungkinkan oleh keinginan tulus untuk penyesuaian, menjadi penyakit jika bertentangan, dan akhirnya cenderung menuju ke pengrusakan terhadap hal-hal yang hakiki yang membentuk kehidupan dan spiritualitas tarekat.138

134

PAUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 17. 135

FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 337.

136 K

EES WAAIJMAN, “Spirituality. …”, 191. 137 P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 17-18. 138 Bdk. P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 18. Lihat juga ELIO GAMBARI, “Manuale della Vita Religiosa ...”, 54. Ia mengatakan, “Pengetahuan menunjukkan suatu garansi kepercayaan; ia membedakan yang fundamental dari yang aksidental, ia mengenali kembali apa yang menjadi tujuan akhir dari apa yang hanya

3.3 Keterlibatan dalam Kehidupan Gereja

Prinsip ketiga adalah bahwa setiap tarekat sebaiknya terlibat di dalam kehidupan Gereja. Religius sebaiknya mengerti keutamaan para Pendiri mereka yang telah Allah berikan kepada mereka demi misi khusus di dalam Gereja. Dekrit mengatakan, “Semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka – dengan mengindahkan coraknya sendiri – hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab Suci, liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, missioner dan sosial”. (PC 2c) Konteks artikel 2c ini adalah bahwa sering terjadi di dalam sejarah, tarekat-tarekat, sebagaimana komunitas-komunitas yang didirikan menurut kharismanya, “memiliki kecenderungan untuk memutus hubungan dengan lingkungan sekitar mereka, dalam kasus ini, kehidupan normal Gereja, dan mengembangkan hidup mereka sendiri, mempromosikan devosi-devosi mereka sendiri dan hanya mengenal santo- santa mereka sendiri, mengumpulkan sekelompok Pelindung dan harta kekayaan mereka sendiri atau klien spiritual – singkatnya, membentuk suatu gereja di dalam Gereja”.139 Wulf menambahkan, “hal ini menunjukkan bahwa tidak ada refleksi tentang apapun mengenai spiritualitas mereka dan daya pengaruhnya”.140

Karenanya, Dekrit konsilier menekankan ajaran tentang Gereja sebagai satu tubuh, dimana semua anggotanya ada di dalam kesatuan yang hidup satu dengan yang lain, meskipun masing-masing memiliki fungsinya sendiri.141 “Tepatlah demikian karena mereka terlibat di dalam kehidupan

menjadi pengantara. Sementara tujuan akhir harus tetap utuh tidak berubah sama sekali, sarana-sarana dapat berubah, dan harus berubah karena lingkungan aktual yang

tidak dapat beradaptasi dan mungkin rusak. “ Cetak miring miliknya.

139

FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 338-339. 140

FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 338,

141 Lih. E

LIO GAMBARI, “Manuale della Vita Religiosa ...”, 55-56. “Mengenai

hal ini, bagi Vatikan II, Gereja adalah pusat dan hendaknya menjadi pusat bagi tiap religius: kaum religius memiliki hubungan khusus dengan Gereja, yang terungkap lewat relasi khusus dengan Yesus, yang berkembang dan makin matang bersama Gereja. Sebagai konsekuensinya, kaum religius hidup bagi Kristus dan tubuh-Nya, yakni Gereja (Kol 1,24) (bdk. PC 1,3), hidup dan merasa bersama Gereja dan mengabdikan

Gereja bahwa masing-masing dan setiap tarekat sesuai dengan corak khasnya, hendaknya menjadikan milik dan mendukung inisiatif dan petunjuk-petunjuk Gereja,”142 jelas Molinari. Tambahan lagi, proses pembaruan hidup bakti terus-menerus tidaklah hanya berdasar pada dokumen-dokumen pokok yakni Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius dan Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium Bab V dan VI, melainkan juga didasarkan pada dokumen-dokumen konsiler yang lain.143 Dengan perkataan lain, pembaruan hendaknya ditempatkan di dalam gerakan pembaruan Gereja secara keseluruhan sesuai dengan jiwa kerohanian dan fungsi khas setiap tarekat.144

3.4 Memiliki Semangat Kerasulan yang Berkobar

Prinsip keempat adalah bahwa “semua tarekat hendaknya mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang- orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan-kebutuhan Gereja; maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataaan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna.” (PC 2d) Situasi yang memunculkan artikel 2d ini adalah bahwa di dalam dunia modern Gereja, bahkan lebih banyak lagi kaum religius secara berangsur-angsur ditarik dari dunia, khususnya sejak abad ke- 19, tinggal di dalam lingkungannya sendiri, tidak lagi berdialog dengan kenyataan, dunia sekular. Jurang perpisahan antara kehidupan dalam biara dengan mentalitas para anggota-anggotanya dengan kaum awam menjadi semakin lebar. Sebagai akibatnya, tarekat religius telah kehilangan pengaruh dan kekuatan untuk menjadi saksi, dan telah kehilangan kehadirannya di

secara total bagi misi Gereja (PC 6,3)”. Lihat juga EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 313-314.

142 P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 18. 143 Bdk. J

OSEPH F.GALLEN, S.J., “Implementation of Vatican II on Religious

Life”, RR 26 (1967) 5.

144 Elio Gambari menggambarkan gerakan Gereja ini sebagai pembaruan dalam bidang Kitab Suci, liturgi, pengajaran Gereja, dll. Lih. ELIO GAMBARI,

dunia.145 Oleh sebab itulah Konsili menekankan tarekat hidup bakti menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan zaman modern. Konsekuensinya, religius hendaknya memiliki pengetahuan yang tepat tentang kenyataan dunia.

Konsili menganjurkan tarekat-tarekat hidup bakti untuk mendorong anggota-anggotanya memiliki pengetahuan tentang mentalitas, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan manusia pada zamannya agar mampu terlibat secara lebih efektif di dalam pertumbuhan kehidupan dan misi Gereja.146 Tidak cukuplah mempersiapkan para anggotanya dengan belajar ilmu-ilmu manusiawi atau bidang profesi. Mereka harus menghadapi masalah bagaimana hadir di dalam dunia dan menjadi seperti dunia, tetapi pada waktu yang sama tidak seperti dunia. Dekrit konsilier menekankan bahwa itu semua dimengerti “dalam terang iman”. Tepatlah apa yang dikatakan Molinari:

[…] memandang dunia dengan mata Allah, dan mencintainya seperti Allah mencintai dunia; artinya suatu pengetahuan dan penerobosan yang memandang dunia secara tepat sebagaimana adanya, yang belum pernah melibatkan suatu keterlibatan hal-hal yang tidak dapat dibagikan; artinya suatu cinta yang menciptakan suatu persaudaraan dunia untuk membangkitkannya dan memperkayanya, suatu cinta yang tidak akan mengijinkan dirinya sendiri dipengaruhi oleh semangat dunia, dalam arti dimana Kristus sendiri mengharapkan pada muridnya dibebaskan dari dunia.147

Pengetahuan ini “dalam terang iman” merupakan hasil dari suatu relasi personal dan dalam dengan Kristus dan juga sumber semangat apostolik.148

145

Lih. FRIEDRICH WULF, “Decree on the Appropriate …”, 339. 146

Bdk. PAUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 18. 147

PAUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 19. Lihat juga PAUL HINNEBUSCH, O.P., “The Signs of the Times …”, 141.

148 Bdk. P

AUL MOLINARI, “Introduction and Commentary”, 19. Lihat juga EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 325-326; ELIO GAMBARI, “Manuale della Vita

Religiosa ...”, 60. Ia menyatakan, “Kaum religius dalam perjumpaannya dengan Yesus, hendaknya memperbincangkan persoalan-persoalan Gereja; dalam terang-Nya, Ia akan memberikan nilai-nilai yang benar tentang situasi dan kondisi serta peristiwa di dunia; mengkomunikasikan cinta kasih-Nya untuk dunia (bdk. Giov 3,16), menjadi api yang membakar siap sedia berkorban bagi karya kerasulan (zelo apostolico) [...] Makin seorang religius memasuki kedalaman intimitas ilahi, makin mampu hadir kepada

Dengan perkataan lain, cara kaum religius mengerti dan bagaimana hadir dalam dunia adalah cara yang oleh Yesus sendiri harapkan pada para murid- Nya. “Mereka ada di dalam dunia”, kata Yesus, “tetapi bukan dari dunia”. (Yoh 17,11.16) Dengan melakukan hal ini, kaum religius memberikan bantuan spiritual yang terbaik kepada orang-orang pada zaman kita, melayani Roh Kudus dan maksud-maksud para Pendiri mereka.149 Sebagai bagian dari Gereja, religius terlibat di dalam kodrat dan misi Gereja. Tiap komunitas religius merefleksikan aspek khusus dari kodrat Gereja dan mengkhususkan di dalam aspek khas misi Gereja. Kaum religius menunjukkan kepada dan menghadirkan Kristus di dalam dunia.150

3.5. Pengikraran Nasihat-nasihat Injil

Yang terakhir, prinsip kelima pembaruan hidup bakti yang diberikan oleh Dekrit adalah pengikraran151 nasihat-nasihat Injil. Nasihat-nasihat Injil merupakan dasar esensial status kesempurnaan,152 prasyarat fundamental bagi keberhasilan karya pembaruan hidup bakti.153 Karenanya, “meskipun kondisi kehidupan telah berubah demikian hebat dalam tahun-tahun terakhir dan praktik hidup bakti telah dimodifikasi, namun demikian nasihat-nasihat Injili tidak diubah dan kodratnya memelihara kuat kuasanya dan tidak dapat diperlemah dengan cara apapun”, jelas Paus Paulus VI. Tambahan lagi, pembaruan spiritual ini melibatkan tidak hanya pada individu-individu, melainkan komunitas secara keseluruhan, menciptakan lagi semua hal dari inti batin. Marilah kita mengutip apa yang dikatakan oleh Dekrit, “Tujuan hidup religius pertama-tama yakni: supaya para anggotanya

149

Bdk. EMILIO FOGLIASSO, “Il Decreto ...”, 326. 150

Bdk. EUGENE A.LAVERDIERE, S.S.S., “The Renewal of Religious Life …”, 1058.

151Istilah “profesi” tidak digunakan dalam arti yang ketat yuridis, melainkan memiliki arti yang lebih luas. Profesi merujuk pada tindakan pengikraran kaul-kaul atau ikatan suci yang lain; dengan pengikraran tersebut seorang beriman wajib hidup sesuai nasihat-nasihat Injili. Lih. PAUL MOLINARI, S.J. – PETER GUMPEL, S.J.,

“Chapter VI …”, 131.

152 Bdk. G

IUSEPPE ROUSSEAU, “Il Decreto ...”, 57. 153 Bdk. F

mengikut Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasihat-nasihat Injil.” (PC 2e)

Lumen Gentium dan Perfecatae Caritatis sama-sama menekankan pentingnya tiga nasihat Injili yang secara tradisional dimengerti sebagai kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Menurut Lumen Gentium dan Perfecatae Caritatis, nasihat pertama adalah kemurnian (keperawanan).154 Nasihat ini kemudian diikuti oleh kemiskinan dan ketaatan. Susunan demikian yang bicara tentang pertama-tama kemurnian yang diabdikan kepada Allah, dan kemudian kemiskinan dan ketaatan, memandang nasihat-nasihat ini sebagai model keperawanan dan hidup mikin yang Kristus pilih bagi diri-Nya dan ibu-Nya. Dengan perkataan lain, tiga nasihat Injili hendaknya dilihat sebagai kesatuan sikap seperti sikap Kristus, yang merupakan perwujudan satu-satunya kasih Bapa, hidup dalam kebergantungan total, di dalam kemiskinan hati dan ketaatan kepada kehendak Bapa-Nya yang mengutus-Nya.155

Pemahaman yang dalam tentang hidup bakti ini sebagai mengikuti Kristus secara dekat dan sebagai kesatuan dengan-Nya membawa kepada titik perhatian pada aspek-aspek esensial karya kerasulan. Itulah alasan mengapa Dekkrit menekankan begitu kuat bahwa setiap usaha demi penyesuaian yang efektif di dalam karya kerasulan bergantung samasekali pada intensitas kesatuan relasi dengan Kristus yang hendaknya selalu dijadikan peran utama.156 Dekrit mengatakan, “Maka perlu dipertimbangkan dengan serius, bahwa penyesuaian-penyesuaian yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang pun tidak akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaruan rohani. Hendaknya pembaruan rohani itu dalam pengembangan karya-karya di luar pun selalu diutamakan”. (PC 2e) Pembaruan hidup bakti karena itu pertama-tama hendaknya dimulai

154 “Keperawanan” bukanlah hanya kesucian yang diabdikan kepada Allah. Keperawanan merupakan karunia mulia yang diberikan Bapa kepada orang tertentu (bdk. Mt 19,11; 1 Kor 7,7), dan berarti mempersembahkan diri kepada Allah sendiri dengan lebih mudah dan dengan hati tak terbagi. Dalam pemahaman Alkitabiah dimengerti sebagai pemberian diri secara total kepada Allah di dalam menjawab undangan kasih-Nya. Lih. JEAN BEYER, S.J., “Life consecrated …”, 68; PAUL MOLINARI, S.J. – PETER GUMPEL, S.J., “Chapter VI …”, 87.

155 Lih. J

EAN BEYER, S.J., “Life consecrated …”, 66-68. 156 Bdk. P

dari pembaruan rohani dan karya-karya kerasulan (dimensi apostolis) merupakan perwujudan dari pembaruan rohani tersebut.157

4. Simpulan

Simpulan yang hendak ditarik pada akhir bab ini adalah berhadapan dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagaimana telah dibicarakan. Pertama-tama, pembaruan hidup bakti hendaknya ditempatkan di dalam konteks pembaruan seluruh Gereja, spiritualitas Gereja umumnya, dan dibawah dorongan Roh Kudus serta bimbingan Gereja. Pembaruan hidup bakti hendaknya ditempatkan di dalam gerakan pembaruan Gereja secara keseluruhan dimana kaum religius terlibat menurut jiwa kerohanian dan fungsi khas setiap tarekat.

Kedua, pembaruan hidup bakti hendaknya dimulai dari kedalaman hidup batin. Bentuk-bentuk baru hidup bakti, yakni cara-cara baru merealisasikan hidup religius yang ideal digerakkan oleh penemuan-penemuan baru dalam studi Kitab Suci, tradisi-tradisi Gereja, tradisi-tradisi hidup bakti, spiritualitas Pendiri dan oleh situasi historis yang baru tempat religius menemukan dirinya. Itu semua merupakan sari-sari makanan bagi kehidupan batin dan sumber-sumber yang subur bagi karya kerasulan mereka.

Yang terakhir, pembaruan dan penyesuaian berarti bagi kaum religius dan tarekat atau kongregasi yang bertolak dari pemikiran Pendiri, menyingkirkan yang tidak hakiki yang telah menyimpang dan mempertahankan yang hakiki dalam terang Gereja dan bimbingan Roh Kudus, dan penyesuaiannya terhadap situasi di dalamnya. Penerapan konkret dalam kehidupan sehari- hari pentinglah mengkonfrontasikannya seperti demikian.

157 Bdk. E

BAB DUA

Akar Spiritualitas Vinsensian Kongregasi

Bab ini menyelidiki dan melukiskan dengan teliti akar Spiritualitas Vinsensian Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Dikandung Tak Bernoda. Dalam penelitian ini, kita berhadapan dengan pertanyaan tentang yang dimaksud dengan unsur-unsur pembentuk spiritualitas lembaga hidup bakti sebagai kharakter khas kongregasi. Ada paling sedikit tiga sumber tempat kita menemukan unsur-unsur spiritual untuk melukiskan konsepsi inti tentang Spiritualitas Vinsensian Kongregasi Para Bruder FIC. Unsur-unsur itu adalah kehidupan para Pendiri, Konstitusi, dan dokumen spiritual Kongregasi. Penggambaran ini akan ditempatkan di dalam konteks kehidupan sosial, politis dan religius di kota Maastricht pada waktu itu. 1. Konteks Sejarah

1.1 Konteks Sosio-politis, dan Kehidupan Religius di Kota Maastricht

Maastricht terletak di Belanda bagian paling selatan, dilintasi sungai Mas. Sejak abad pertengahan tingkat kemakmuran di kota ini naik-turun. Pada abad kedelapan belas, kesejahteraan rakyat semakin meningkat. Tetapi, peningkatan ini tidak cukup memberikan tingkat hidup yang wajar kepada rakyat yang semakin bertambah banyak. Jumlah penduduk miskin dan membutuhkan bertambah banyak. Tingkat pendidikan penduduk rendah. Kebanyakan dari mereka buta huruf. Setelah revolusi Perancis dan masa pemerintahan Kaisar Napoleon (1794-1814) keadaan bertambah buruk.158

Pada tahun 1837, industri modern semakin berkembang di Maastricht. Pabrik-pabrik didirikan dengan waktu kerja siang dan malam. Para pekerja pabrik melibatkan juga perempuan dan anak-anak. Upah mereka rendah. Sebagian besar pekerja hidup di bawah ukuran kelayakan. Jika sebuah

Dalam dokumen BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf (Halaman 48-71)