• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aturan-aturan dalam Kehidupan Sehari-hari : Pengukuhan Identitas dan Penerapan Apartheid

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 109-117)

REPRESENTASI MASYARAKAT HINDIA BELANDA DALAM KARYA SASTRA KOLONIAL DAN PASCAKOLONIAL

2.2 Konteks Historis dan Kultural

2.2.5 Aturan-aturan dalam Kehidupan Sehari-hari : Pengukuhan Identitas dan Penerapan Apartheid

Masyarakat dalam novel DSK adalah masyarakat kolonial di Jawa, mulai Jawa Timur hingga Jawa Barat. Namun, setting utamanya adalah sebuah kota fiktif di Jawa Timur yang disebut Labuwangi. Sebuah nama yang terdengar di telinga saya mirip nama Banyuwangi, meskipun sementara peneliti menyakininya sebagai Pasuruan karena novel ini ditulis saat Couperus berkunjung ke Pasuruan (Nieuwenhuys, 1978; Hartoko, 1979). Ada golongan masyarakat Belanda dan Eropa, masyarakat Asia yaitu, China dan Arab, masyarakat Indo atau anak-anak hasil perkawinan antar ras, dan masyarakat pribumi. Sentral cerita adalah kehidupan pejabat baik Belanda maupun pribumi yang dikelilingi oleh para pembantu atau kerabat mereka.

Pemerintah kolonial Belanda juga mengatur kehidupan masyarakatnya. Menurut aturan hukum di Hindia Belanda, golongan Tionghoa masuk dalam kategori orang Timur Asia; dan pada tahun 1855 mereka dimasukkan ke

European Civil Code. Permasalahan sipil diurus oleh Dewan Keadilan Eropa (Raad van Justitie) sedang permasalahan kriminal diurus oleh dewan keadilan orang pribumi (Landraden). Bahkan pada tahun 1900 mereka harus hidup dalam kampung minoritas dan memiliki kartu tanda masuk ke daerah pedalaman (Hellwig, 2007 :26). Artinya, Belanda menerapkan perbedaan kelas

98 warga untuk orang Eropa berbeda dengan bangsa lainnya. Locher-Scholten menilai sistem ini sebagai legal apartheid.

Dutch colonial law recognized three distinct legal groups: so- called’European’, ‘Foreign Orientalis’ (Chinese and Arab), and Natives (Indonesians) Officially legitimized by differences in legal needs, it resulted in ‘legal apartheid’, which took different forms in different domains (Locher-Scholten, 2000: 18).

(Hukum kolonial Belanda mengakui tiga kelompok hukum yang berbeda: yang disebut 'orang Eropa', 'orientalis asing (orang Cina dan Arab), dan Pribumi (orang Indonesia), yang resmi dikukuhkan oleh perbedaan kebutuhan hukum; ini mengakibatkan “apartheid hukum”, yang mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dalam domain yang berbeda).

Pengaturan pemukiman dan penggolongan kelas masyarakat menandakan bahwa pemerintah kolonial telah memberikan cap identitas kultural pada mereka. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut dipaksa menyadari identitasnya yang berbeda dengan yang lain sekaligus menyadari hak-hak dan kebutuhannya: Saya orang China, saya orang Jawa, saya orang Arab, saya orang Eropa, dll.

Orang Eropa sendiri juga dituntut oleh masyarakat Eropa Hindia Belanda untuk hidup sesuai standar Eropa. Mereka harus tetap menjaga citra orang Eropa sebagai kelas masyarakat tertinggi. Peristiwa berikut menggambarkan tuntutan tersebut. Menanggapi usulan untuk meningkatkan citra Eropa dalam majalah Java Bode, P.A. Daum (Termorshuizen, 1988) menambahkannya : (1) Orang Eropa dilarang menjadi Islam dan berada di kelas III yang diperuntukkan bagi pribumi, (2) Orang Eropa yang tidak berhasil hidup di Hindia Belanda diharapkan pulang ke Belanda saja (3) Orang Eropa

99 yang tidak melaporkan pencurian yang dilakukan pembantunya harus didenda. Orang Eropa juga tidak boleh tinggal di suatu tempat yang ada orang-orang pribuminya. Orang pribumi dan juga orang Cina dilarang mengenakan pakaian Eropa.

Kelompok Indo di Hindia Belanda dinilai oleh Blumberger dalam bukunya De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie (1928) sebagai unsur yang penting karena mayoritas mereka di kalangan penduduk Eropa, yang berjumlah sekitar 4/5 (Swantoro, 2002: 13). Hellwig (2007) memberi gambaran tentang komunitas Eropa. Komunitas Eropa terdiri dari dua kelompok yaitu Eropa asli dan Eropa campuran (Indo). Mereka yang Indo dibedakan: mereka yang lahir dari perkawinan resmi, mereka yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui secara sah oleh ayahnya dan berkebangsaan Eropa (seperti dalam kisah BM), dan mereka yang tidak diakui oleh ayah biologisnya sehingga tetap disebut “inlander” (pribumi). Karena orang Belanda totok yang baru datang dari Eropa menganggap penduduk Eropa di Hindia Belanda sebagai “orang pedalaman”, penghargaan mereka terhadap golongan Indo pun sama. Mereka juga dinilai dari warna kulit mereka, disamping dari bahasa dan pakaian yang mereka kenakan.

Dalam DSK ada satu kejadian yang melukiskan bagaiman seorang Indo mencoba menyamakan kedudukannya dengan orang Eropa (DSK: 54). Seorang wanita Indo, bernama Ida, yang disebut sebagai tipe nona14 putih. Ia selalu

14

100 mencoba bertindak sangat Eropa dengan berbicara bahasa Belanda rapi. Bahkan dia berpura-pura bahwa bahasa Melayunya tidak bagus, dan juga tidak menyenangi jamuan nasi, maupun rujak.

Kelompok-kelompok masyarakat tersebut hidup berdampingan, terutama dari kelompok Belanda, Indo dan pribumi Jawa. Mereka tinggal dalam rumah masing-masing, bahkan dalam kampung masing-masing, tetapi gaya hidup mereka saling mempengaruhi. Pada lingkungan bangsawan Jawa tersedia wisky-soda untuk menjamu tamu mereka. Pada lingkungan Belanda-Indo masalah takhayul ikut mewarnai hidup mereka. Dalam Het land van herkomst (Tanah Asal), E. du Perron menampilkan ayah tokoh utama (ayah Ducroo) yang gemar pijit, mendengarkan gamelan, percaya dukun dan ilmu gaib. Kalaupun tidak memercayainya, mereka harus bertemu dengan takhayul lewat para pembantunya.

Dalam novel DSK tokoh Leoni, seorang wanita asli Belanda yang lahir dan besar di Hindia Belanda, sangat terganggu oleh hal-hal mistik yang ada di Jawa. Leoni, nyonya residen, yang sangat cuek pun harus membujuk suaminya untuk memberi sedekah pada sumur yang baru sebelum digunakan. Dia juga merasakan getar ketakutan mendengar cerita kuntilanak dari pembantunya, mendengar dugaan tenung dari kabupaten. Residen yang disebut sangat logis pun harus kalah oleh mistik.15 Doddy, anak gadisnya dari istri terdahulu

15

Hij geloofde aan een kracht, diep verborgen in de dingen van Indië, in de natuur van Java, het klimaat van Laboewangi, in het gegoochel ─ zo noemde hij het nog ─ dat de Javaan soms knap maakt boven de Westerling, en dat hem macht geeft, geheimzinnige macht,

101 seorang wanita Indo, selalu dihantui oleh sosok haji putih, sosok berpakaian haji warna putih plus tulban putih. Bila sosok ini muncul, ada kepercayaan akan adanya hal-hal celaka. Haji putih adalah haji tak baik; haji putih adalah hantu. Bagaimana bisa sosok haji ─tokoh pimpinan dalam agama Islam─ bisa dikonotasikan dengan hantu dalam novel tersebut?

Dalam sejarah pengaturan agama dan naik haji (Bloombergen, 2011:23) Gubernur Jendral A.J. Duymaer (yang berkuasa dari 1851-1856) telah menghapus pungutan naik haji sebesar 110 gulden pada tahun 1852. Pungutan tersebut sudah ada sejak tahun 1825. Penghapusan diikuti persyaratan bahwa surat jalan dapat dimintakan pada bupati bila calon haji membuktikan kepemilikan uang untuk menghidupi diri sendiri di Mekkah dan keluarga yang ditinggalkannya. Keputusan ini berakibat pada kenaikan jumlah orang yang naik haji. Akibat langsung adalah jumlah haji yang bertambah, dan akibat tak langsung adalah semakin banyak ditemukan orang-orang berpakaian haji putih. Keadaan ini mencemaskan dan menakutkan kelompok Eropa. Mereka sering menengarai kelompok haji berada di belakang pemberontakan para petani. Djoko Surjo, dkk. (1985: 25) menyinggung peranan kyai yang berawal dari pemimpin agama berkembang menjadi pemimpin masyarakat dan niet om zich te bevrijden van het juk, maar wel om ziek te maken, te doen kwijnen, te plagen, te treiteren, te spoken onbegrijpelijk en afgrijselijk; (DSK :200).

(Dia percaya pada kekuatan yang tersembunyi di kedalaman benda-benda di Hindia, di alam Jawa, pada cuaca Labuwangi, pada guna-guna, dia masih menyebutnya guna-guna, percaya bahwa kadang-kadang orang Jawa lebih pintar di atas orang Eropa, dan hal itu memberinya kekuasaan, kekuasaan rahasia. Kekuasaan yang bukan untuk membebaskan diri dari beban, tetapi kuasa untuk membuat sakit, untuk membuat merana, untuk menganggu, untuk mengusili, menghantui secara mengerikan dan tak dapat dimengerti (KD: 206) ).

102 politik yang menghadapi penetrasi kolonial di pedesaan pada abad ke-19 dan awal abad-20.

Meskipun orang Eropa mencemaskan fanatisme Islam yang dinilai tumbuh di Hindia Belanda seiring dengan kenaikan jumlah orang yang berangkat haji dan juga pembangunan Islam, di tanah Jawa dari jaman dulu hingga kini dikenal luas dua cerita besar, epos Ramayana dan Mahabarata yang bersumber dari agama Hindu. Menurut Mulder (1980) keduanya mengajarkan adanya keseimbangan, adanya kelompok baik dan kelompok buruk: ada Rama dan Rahwana, ada Pandawa dan Kurawa. Kedua kekuatan, baik dan buruk, hidup berdampingan. Kekuatan jahat disimbolkan oleh hal-hal lahir dan kekuatan baik adalah hal-hal batin. Juga dalam masyarakat yang sebagian besar beragama Islam masih berkembang hal-hal mistik dan takhayul.

Suyono (2009)16 menyimpulkan, pada tahun 1920 secara garis orang Jawa menganut agama dan kepercayaan : Tiang Tenger, Animisme, dan Islam. Tiang Tenger bersumber pada Hindu, sedangkan animisme adalah keyakinan asli Jawa. Islam yang kemudian dianut orang Jawa dapat dibedakan menjadi empat: a. Kaum Islam yang masih memegang kepercayaan Brahma dan Budha, b. Kaum Islam yang menganut kepercayaan magis dan dualisme, c. Kaum Islam yang masih menganut animisme, d. Kaum Islam yang menganut agamanya secara murni.

16 Seperti diakui oleh pengarangnya, Capt. R.P. Surono, buku berjudul Dunia Mistik Orang Jawa disadur dari karya Van Hien. Karya ini juga telah dibaca oleh Louis Couperus.

103 Dunia mistik dalam masyarakat Jawa yang sudah mengenal agama, mengundang ketertarikan Niels Mulder untuk menelitinya. Mulder (1978) menyimpulkan bahwa pada alam mistik Jawa dikenal adanya dunia kosmos (jagad raya) dan mikrokosmos (jagad cilik). Muncul konsep keharmonisan antara keduanya; sesuatu yang beres adalah keselarasan dengan maksud kosmis: ada pencipta dan ciptaan, ada tuan dan pelayan, ada asal dan tujuan (sangkan-paran). Di dalam kehidupan praktis bernegara muncul Raja dan kawula (rakyat). Raja sebagai penguasa adalah wakil Tuhan. Muncul pemahaman bahwa menghormati yang lebih tua, menghormati orang tua, menghormati guru, dan menghormati Raja, adalah salah satu cara menghormati Tuhan atau sang penguasa alam. Alam di dalam mistik Jawa dipercaya dihuni roh, artinya ada sejumlah roh yang meninggali tempat-tempat tertentu. Mereka adalah hidup. Agar kehidupan manusia mengalami ketenangan, apa yang terlihat (wadag) dan yang tak terlihat (halus), roh, harus sama-sama diperhatikan. Bila ada orang yang akan menebang pohon, dia harus mengadakan upacara atau memberikan sesaji agar roh yang ada dalam pohon merelakannya. Bila orang ingin membuat sumur maka sesaji harus diadakan sebelum sumur dibuat. Keselarasan antara wadag dan batin, antara kasar dan halus, antara manusia dan Tuhannya.

Dapat dimengerti bahwa rakyat Jawa sangat tunduk pada rajanya, pada penguasanya. Raja adalah orang yang terpilih. Berikut pernyataan J. Kajat Hartoyo (dalam Kuntowijoyo, 2006: XXIV).

104 “Raja melihat kawula dan priyayi sebagai abdi yang harus duduk di lantai....Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu...Priyayi melihat kawula sebagai wong cilik, yang tidak mempunyai simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar, dan tak terpelajar.”

Pemahaman tersebut juga terekspresi melalui bahasa. Kuntowijoyo menyebut bahwa penghormatan terhadap yang lebih tinggi ditunjukkan melalui hierarki bahasa: bahasa keraton, krama tinggi (inggil), krama madya (menengah), kromo desa, kromo nggunung dan bahasa ngoko. Karena dianggap penting di Surakarta, pada tahun 1900-an, terdapat organisasi pemelihara bahasa atau Mardi Basa, pimpinan Ki Padmasusastra (Ibid., hlm. 28). Untuk mengatakan makna “tidur” bahasa Jawa bisa memiliki berbagai bentuk bahasa: micek, turu, tilem, sare. Di tengah kepercayaan akan mistik Jawa, ajaran Islam, Belanda mengusahakan pendidikan formal; suatu usaha yang cukup berat mengingat juga adanya tuduhan bahwa sekolah Belanda adalah sekolah kafir. Di lain pihak, zending dan misionaris masih tetap berjalan.

Dimulai dengan masuknya perserikatan dagang Belanda (VOC) dan dilanjutkan oleh pemerintahan Belanda, kolonialisme Belanda merasuki kehidupan masyarakat Nusantara. Mereka mengoloni, mengatur, dan menerapkan hukum bagi penduduk Hindia Belanda. Berbekal misi peradaban, berbekal paham ‘orientalisme’ pribumi diundang untuk mengikuti peradaban, para bangsawan dilibatkan dalam pemerintahan. Mereka juga mengurus bacaan atau teks-teks yang tidak mengundang perlawanan pribumi sehingga

105 kolonialisme berlangsung dalam waktu lama dan nampak ada kerjasama antara pribumi dan pemerintahan Belanda. Namun, bertolak pada pandangan perlunya peradaban bagi pribumi mereka menciptakan mitos bahwa pribumi terbelakang: malas, tidak berpendidikan, bertakhayul dan tidak rasional; mereka telah menciptakan konstruksi identitas rasial dengan pembedaan hak dalam fasilitas, ruang pemukiman, dan hukum. Kondisi ini mendapat pertentangan dari para pribumi sebagaimana tercermin dalam tulisan pers maupun karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa wacana kolonial selalu membuka peluang interupsi, membuka pintu perlawanan dan kontradiksi, bahkan bagi orang Belanda sekalipun.

2.3 Representasi Masyarakat Kolonial dalam DSK dan BM : Analisis

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 109-117)