• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme Kolonialisme

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 93-109)

REPRESENTASI MASYARAKAT HINDIA BELANDA DALAM KARYA SASTRA KOLONIAL DAN PASCAKOLONIAL

2.2 Konteks Historis dan Kultural

2.2.4 Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme Kolonialisme

Kebutuhan buku bacaan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah sekolah dan murid. Pada tahun 1908 telah berdiri Komisi Untuk Sekolah Bumiputera dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang disingkat Volkslectuur dan akhirnya dikenal dengan nama Balai Pustaka. Badan ini memiliki fungsi untuk mengontrol bacaan rakyat dengan menentukan pilihan pengadaan buku-buku bacaan. Disamping itu badan ini juga melakukan sensor terhadap naskah yang masuk, baik sensor isi maupun bahasa. Hanya buku yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagaimana yang mereka tetapkan yang boleh diterbitkan. Badan ini (Swantoro, 2002 : 56) telah mendapatkan subsidi pemerintah Hindia Belanda sebesar 100.000-400.000 gulden setiap tahunnya untuk menyediakan bacaan yang diharapkan menjauhkan pribumi dari perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Lebih lanjut Swantoro membandingkan nilai subsidi dalam hitungan harga beras per liter pada masa itu dengan tahun 2001; dia mendapatkan angka subsidi sebesar 62,5 milyar rupiah.

82 Akan tetapi, rupa-rupanya penanganan buku bacaan tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan harapan pemerintahan kolonial. D.A. Rinkes pada tahun 1975 melaporkan bahwa ada sebuah buku yang dicetak 10.000 eksemplar, oleh Depot yang menangani distribusi hanya didistribusikan sebanyak 20 buah. Sesudah tiga puluh tujuh tahun −buku yang tidak disebutkan judulnya− ditemukan sisanya masih berada di dalam gudang (Jedamski, 2009: 258). Hal ini mengindikasikan bahwa proyek kolonial untuk memfungsikan bacaan rakyat dan mengontrolnya tidak berjalan mulus karena hal teknis.

Menurut Loomba (2003: 96-97), Orientalisme menempatkan naskah-naskah literer sebagai medan perang kolonialisme karena bahasa dan sastra bersama-sama adalah bagian dari ciptaan otoritas kolonial. Lebih jauh dia menyimpulkan bahwa naskah-naskah literer penting bagi pembentukan wacana-wacana kolonial justru karena mereka bekerja secara imajinatif dan berpengaruh terhadap orang-orang sebagai individu-individu. Hal ini dapat diartikan bahwa novel sebagai bagian dari naskah literer dapat menjadi pendukung maupun penentang kolonialisme. Novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tentu sudah melalui proses sensor peraturan yang dikenal dengan nama Nota Rinkes; persyaratan Nota Rinkes adalah buku tidak mengandung unsur antipemerintah Belanda, tidak menyinggung golongan masyarakat tertentu dan juga agama (Yudiono, 2007: 71-72). Di luar tradisi Balai Pustaka muncul sejumlah novel terbitan penerbit swasta yang kemudian

83 dipandang pemerintah Belanda sebagai bacaan liar (lihat Tempo Doeloe oleh Pramoedya, 2003).

Said (1995: 45) sendiri menulis bahwa berkaitan dengan imperium novel menjadi satu-satunya objek estetika, karya seni dan ilmu pengetahuan yang patut dihargai, dikagumi dan sangat menarik untuk dipelajari. Novel, sebagai bagian dari kebudayaan dan sebagai salah satu pendukung kolonisasi/imperialisme, dapat dipandang sebagai representasi subjektif tentang kenyataan; novel merepresentasikan kenyataan-kenyataan kolonisasi (penindasan, pe’lain’an atau othering, pemaksaan) yang telah tersaring dalam pandangan subjektif pengarang yang akan dipengaruhi oleh pandangannya tentang “timur” dan “the other”.

Said (1979: 5-9) juga menilai bahwa orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan juga budaya Timur. Timur ditimurkan bukan semata-mata karena didapati dalam keadaan “bersifat Timur”, tetapi karena dapat dijadikan Timur. Hubungan Barat dan Timur tercipta bukan karena kebutuhan imajinasi, tetapi oleh hubungan kekuatan, dominasi, dan berbagai derajat hegemoni yang kompleks sehingga hal ini harus dipahami dan dipelajari dengan melihat konfigurasi kekuatannya. Karya Said dianggap oleh ahli sastra lain melupakan dua hal: tidak semua karya orientalis adalah seragam dan sama, juga tidak semua Barat sama dan statis (Loomba, 2003: 63-64; Sarup, 2002: 161). Kondisi ini dapat diketahui dengan melihat adanya perlawanan praktik kolonialisme pada karya para orientalis maupun karya

84 sastra kolonial. De Locomotief adalah pers Hindia Belanda yang pro pribumi dan aktif mencetuskan ide-ide “politik etis” (Termorshuizen, 2005).

Sastra Hindia Belanda meskipun berbahasa Belanda, tapi berbeda dari sastra Belanda; berbeda karena cara pandang, orang, hubungan antara manusia dan cara penyampaiannya yang lain dengan sastra Belanda (Nieuwenhuys, 1978: 11). Dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita disebutkan bahwa Sastra Hindia Belanda adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa lainnya. Tujuan pokok yang tersimpul hampir pada semua karangan sastra Hindia Belanda adalah menyampaikan kepada pembaca Belanda kisah tentang keadaan yang sebenarnya di daerah jajahan yang dulu disebut Hindia Belanda (Sastrowardoyo, 1983: 11). Bentuk tulisan: buku harian, catatan perjalanan, selebaran politik, pengamatan sekitar dan kehidupannya, juga roman, cerita pendek, sketsa, lakon sandiwara dan maupun bentuk bersifat sastra yang disebut Indische belletrie (sastra/karya yang Indah dari Hindia Belanda). Karena ingin menyampaikan hal yang sebenarnya, kenyataan penindasan dan kolonialisme, sastra Hindia Belanda dapat menjadi suara antikolonial.

Buku Het Laat Je Niet Los (Itu tidak lepaskan kamu) karya Rob Nieuwenhuys (1985) berisi ringkasan karya sastra-karya sastra Belanda yang membicarakan kehidupan Hindia Belanda. Tercatat di dalamnya nama-nama

85 pengarang Belanda yang tertarik bertutur tentang Hindia Belanda :Albert van Der Hoogte, A. Alberts, Alexander Cohen, Aya Zikken, Beb Vuijk, E. Du Perron, E. Breton De Nijs, E.R. Duncan Elias, François Valentijn, F.W Junghun, F.C. Wisen, F. Springer, F. Van Den Bosch, Jacob Haafner, Johannes Olivier, J. Eijkelboom, Hans Vervoort, H.J. Friedericy, Louis Couperus, Lin Scholte, Multatuli, Maurits (P.A. Daum), Maria Dermoût, M.H. Szekely-Lulofs, Margareta Ferguson, Nic. Beets, Nicolaus de Graaff, Rumphius, Vincent Mahieu, W. Walraven, Wouter Schouten. Dari nama yang disebutkan, terdapat nama pengarang yang dikenal baik di negeri Belanda maupun Indonesia, seperti: Multatuli, Louis Couperus, Rob Nieuwenhuys, P.A. Daum, E. Du Perron, M.H. Szekely-Lulofs ; pengarang-pengarang tersebut dikenal sebagai ‘pembela’ pribumi.

Meskipun mereka dikenal sebagai pembela pribumi, tidak semua pengarang menempatkan orang pribumi sebagai tokoh utama. Sastrowardoyo (1983) menemukan bahwa sastra Hindia Belanda kebanyakan menempatkan orang Indonesia sebagai tokoh figuran (koki, penjaga, pembawa obor), sekali menjadi tokoh penting, ia adalah ' gundik' atau 'kuli' (seperti dalam novel-novel karya M.H. Lulofs). Sudibyo (2008) menulis bahwa Szekely-Lulofs, lewat novel Rubber: Roman uit Deli (Berpacu Nasib di Kebun Karet), menyampaikan laporan tentang kehidupan mewah komunitas diaspora kulit putih berdampingan dengan nasib kuli bumiputera yang terbelakang dan

86 tersubordinasi.9 Di Belanda sendiri, ketertarikan orang untuk meneliti jenis sastra ini belumlah setua Indonesia merdeka. Sejak Nieuwenhuys mempublikasikan bukunya Oost Indische-Spiegel (1972 dan dicetak ulang kedua tahun 1978), jenis sastra tersebut dilirik oleh peneliti (Dolk, 1996.) Padahal sejak Belanda meninggalkan Indonesia karya sastra yang berbicara atau mengambil latar Indonesia (atau Hindia Belanda) masih ditulis oleh pengarang Belanda.

Sastra Hindia Belanda hingga saat ini belum menarik perhatian Indonesia, terlebih sastra itu memang ditulis dalam bahasa Belanda (Sastrowardoyo,1983). Sastra Hindia Belanda yang dibahas dari sudut kepentingan perbandingan dengan sastra Indonesia. Hasil pembahasan menurut Subagyo Sastrowardoyo dapat berbeda dari hasil para peninjau Belanda, misal,

Max Havelaar dan Atheis memiliki kemiripan pola. Salah Asuhan dan Layar Terkembang menggunakan roman-roman Hindia Belanda sebagai model atau acuan bercerita. Roman dalam Kesusastraan Hindia Belanda dan Indonesia mengandung lingkungan hidup yang sama, masyarakat kolonial di zaman Belanda dengan suasana pergaulan yang khas pada waktu itu. Keduanya dibedakan pusat lakonnya, orang Belanda/Indo dan orang Indonesia.

Dua pandangan pengarang terhadap Hindia Belanda: menyetujui dan menentangnya. Bas Veth (Het Leven in Nederlandsch-Indië) mengecam kehidupan di Hindia Belanda sebagai jelmaan kesengsaraan; dua belas tahun di

9 Lihat juga artikel Sudibyo, “MENJINAKKAN KOELI: PRAKTIK-PRAKTIK

DEHUMANISME TERHADAP KULI DI DELI DALAM NOVEL BERPACU NASIB DI KEBUN KARET DAN KULI KARYA MADELON SZEKELY-LULOFS” (2003).

87 Hindia dengan dua belas impian kesengsaraan: hotel kotor, pegawai korup, tak beradab, orang Cina yang serakah, dll. Dia sangat membenci tindakan pejabat Belanda yang menyuruh seorang pemuda Hindia Belanda berjalan di belakang mereka dengan membawa tali api, semacam obor, yang dilambai-lambaikan. Api itu selalu akan tersedia jika gubernur/residen meminta api untuk menyalakan cerutunya.10 Dia juga tidak menyenangi orang Indo, bahkan dia khawatir Belanda akan dijajah orang Indo yang membanjiri Belanda. Sebaliknya, Paul Koster (dalam Uit de nagelaten papieren van een Indischen Nurks/ Dari Peninggalan Tulisan Seorang Pengomel di Hindia, 1904) dan Henri Borel memuji Hindia Belanda dalam karangannya Een Droom (Impian) (1899) melukiskan keindahan pemandangan Indonesia dengan langitnya yang membiru.

Dengan demikian sastra Hindia Belanda memiliki kaitan dengan sastra Indonesia dan bangsa Indonesia. Ketika memilih karya sastra yang akan masuk dalam Bianglala Sastra, Dick Hartoko mengemukakan relevansi/alasan pemilihan: turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, memberikan informasi mengenai sejarah bangsa kita, karena empati atau penghayatannya mengenai alam dan masyarakat Indonesia, karena secara objektif bermutu sastra (XIII). Bianglala Sastra Indonesia, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia, Penerbit Djambatan (1979) ini ditulis Dick Hartoko berdasarkan Oost Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys. Dengan

10

88 penulisan ulang ini, termuat terjemahan fragmen dari karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan novel Hindia Belanda (Belanda) yang ditinjau penerjemahannya didasarkan pada buku Bianglala Sastra Indonesia, buku Het Laat Je Niet Los, Kian Kemari, dan sumber-sumber lain (misal, novel-novel terjemahan, hasil-hasil penelitian).

Terdapat tiga badan/lembaga pengetahuan dan kebudayaan pada zaman Hindia Belanda yang berpengaruh besar bagi penduduk Indonesia. Bahkan ketiga badan tersebut hingga sekarang masih berdiri.

I. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah sebuah badan yang didirikan untuk meneliti dan mengembangkan kebudayaan dan pengetahuan tentang Hindia Belanda, khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah. Didirikan tahun 1778 oleh Gubernur Jendral Reinier de Klerk di Batavia, perkumpulan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali. Terakhir badan ini menempati gedung museum baru di Koningsplein West (sekarang Jalan Medan Merdeka Barat No. 12) yang dibangun tahun 1862 karena koleksi mereka yang bertambah banyak. Tahun 1868 gedung ini dibuka untuk umum badan, dan tahun 1923 berubah nama menjadi

Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia). Pada tanggal 26 Januari 1950, badan ini diubah namanya menjadi

89 Lembaga Kebudayaan Indonesia. Gedung museum terkenal dengan sebutan museum Gajah.

II. KITLV (Koninklijk Instituut Taal- Letter- en Volkenkunde), berdiri 1851. Badan ini hingga sekarang masih berdiri dengan nama yang sama dan bergerak dalam penelitian dan juga penerbitan buku tentang Indonesia dan Karibia.

III. Kantoor voor de Volkslectuur/ Biro Sastra Rakyat atau Balai Pustaka), didirikan pada 1908, menelurkan juga majalah dwibulanan, Pandji Poestaka dan Sri Poestaka . Kedua majalah ini oleh Rinkes digunakan untuk menerbitkan karya-karya terjemahan. Pegawai Volkslectuur juga melayani penerjemahan untuk lembaga, misal kesehatan, kepolisian, pengadilan, atau informan negara. Henry Chambert-Loir (2009) mengemukakan bahwa sejarah penerjemahan sastra di Melayu (juga di Indonesia) sudah berlangsung lama. Karya-karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara, Melayu dan daerah, berasal dari sastra Inggris, Perancis dan juga Belanda. Penerjemahan sering dilakukan tidak langsung dari sumber aslinya, tetapi dari hasil terjemahan dalam bahasa Belanda. Roman-roman klasik versi bahasa Belanda diterjemahkan untuk kepentingan penyediaan bacaan bagi anak sekolah: Hikayat Robinson Croesoe (1875), Hikayat Sinbad (1876), Hikayat Alladin (1898) oleh A.F. von de Wall.

90 Sejarah penerjemahan di Indonesia ternyata diikuti dengan penyaduran (Ibid.) Hasil terjemahan bisa disesuaikan dengan masyarakat pembacanya dan tuntutan birokratif. G.W.J Drewes sangat senang dengan terjemahan Nur Sutan Iskandar karena dinilai sebagai kesempurnaan dari kombinasi kesetian teks dan penyesuaian pada budaya pribumi. Terjemahan Nur Sutan Iskandar hampir selalu dibumbui dengan hal-hal diktatis; perlu diingat dia adalah penerjemah yang bagus Penyaduran kadang juga dilakukan karena kekurangsetiaan pada teks akibat kurangnya kemampuan dalam bahasa sumber (Jedamski, 2009: 171-197). Menurut saya, dalam tindakan menyadur, boleh diartikan sebagai “sensor”, sensor oleh penerbit Balai Pustaka maupun sensor oleh penerjemahnya, misal nasihat yang diselipkan oleh Nur Sutan Iskandar dalam terjemahannya.

Sejak zaman Hindia Belanda, karya sastra Hindia Belanda, berbahasa Belanda, maupun karya sastra Perancis/Inggris, juga berbahasa Belanda telah diterjemahkan atau disadur ulang. Dari buku Sadur (Chambert-Loir, 2009) pembaca memberoleh gambaran tentang penerjemahan dan penyaduran. Penulisan pengarang asli atau penerjemah/penyadur belumlah tertib/konsisten seperti sekarang. Sering nama pengarang tak dicantumkan, lain waktu nama penerjemahnya yang tidak dimunculkan. Dua tindakan juga dilakukan terhadap cerita rakyat maupun karya sastra non-Belanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Si Djamin dan Si Djohan adalah saduran Merari Siregar terhadap Oliver Twist (Charles Dickens) versi Bahasa Belanda yang berjudul

91

Jan Smees (saduran dari Van Maurits). Roman Charles Dickens Nelly disadur untuk Volkslectuur oleh Merari Siregar dengan judul Anak Sengsara Seorang Gadis (1920). Uitvinder/Penemu karya Proville juga telah disadur. Cerita rakyat Belanda Kleine en Grote Klaus disadur oleh M.Wirjadihardja dengan judul Waris dan Laris (1913). Buku karya J.H. Been disadur dengan judul

Hikayat Maarten Harpertszoon Trop (1919); buku tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Madura penerbitan tahun 1917.

Pemilihan penerjemahan terkait dengan tema petualangan, perjalanan, aksi kepahlawanan dan cerita detektif. Tema politik atau perlawanan terhadap kolonialisme tidak dibenarkan pada masa itu. Penerjemahan dan pernerbitannya akan dilakukan melalui kontrol terlebih dahulu. Peranan badan/biro kebudayaan dalam pengembangan sastra dan penerjemahan tentu tidak dapat dilepaskan. Badan tersebut yang memilih, menerbitkan dan menyebarluaskan. Pilihan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu awalnya dibatasi oleh bacaan sumber; sumber utama adalah buku koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sedangkan jumlah penerjemah yang bagus masih belum memadai. Sebenarnya banyak bacaan yang beredar, tetapi ditulis dalam huruf Jawi; badan tersebut kekurangan tenaga. Ada juga bacaan-bacaan mengenai Islam, hal ini tak sesuai dengan Nota Rinkes dan kebijakan Volkslectuur. Karena pada sepuluh tahun pertama bacaan yang

92 diusahakan untuk pribumi masih didominasi oleh bacaan berbahasa Jawa, Sunda, dan Madura. 11

Pada masa kolonial Balai Pustaka mengeluarkan peraturan mengenai penulisan karya tertulis yang dikenal dengan Nota Rinkes. Tulisan yang diterbitkan tidak boleh berkaitan dengan politik, atau anti pemerintahan kolonial, dan tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dan juga berkaitan dengan agama, misalnya novel Salah Asuhan. Karya Abdul Muis tersebut harus diubah sesuai dengan pandangan penerbit Balai Pustaka (Yudiono, 2007). Pemberian karakter buruk pada tokoh Indo, Corry, dapat menyinggung perasaan kelompok Indo. Jamil Bakar (dalam Yudiono, 2007) melaporkan bahwa dalam naskah asli tokoh Corry adalah wanita Indo yang menyenangi pergaulan bebas, bahkan akhirnya terjerumus menjadi pelacur dan kemudian mati ditembak oleh langganannya. Naskah Salah Asuhan (1922) yang akhirnya diterbitkan menempatkan Corry sebagai wanita setia, dan justru suaminya, tokoh Hanafi (pemuda Padang) diberi citra kurang bagus. Hanafi meninggalkan istri terdahulu dan anaknya untuk menikahi Corry meskipun sering meragukan kesetiaan Corry.

Tulisan dari Melati van Java, nama samaran Nicolina Maria Christina Sloot berjudul Van slaaf tot vorst, historisch romantische schets uit de geschiedenis van Java (1887-1888) telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu

11Jedamski (2009) melaporkan bahwa Volkslectuur tidak pernah secara resmi diserahi tugas untuk menghasilkan buku-buku sekolah. Meski demikian, mereka sendiri menerbitkan beberapa buku pelajaran untuk sekolah pribumi, yang tidak selalu berupa hasil terjemahan.

93 dan dipentaskan dalam teater. Ceritanya tentang Surapati, Raja Hindu terakhir dan perang melawan Islam dan Belanda. Penerjemahnya, F. Wiggers, memberinya judul Dari boedak sampe djadi radja (Jedamski, 2009). Novel tersebut, menurut Dick Hartoko (1979), telah disadur oleh Abdul Muis dengan judul Surapati dan Robert Anak Surapati.

Di luar tradisi Balai Pustaka sudah ada penerbitan, bahkan sebelum Balai Pustaka berdiri. Jacob Sumardjo menyebut sastra peranakan Cina, atau sastra yang dterbitkan oleh penerbit keturunan Tionghoa, yang berbahasa Melayu Rendah sebagai embrio kelahiran sastra Indonesia (Yudiono, 2007). Penerbit Tionghoa tersebut menerbitkan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu pergaulan (sering disebut sebagai Bahasa Melayu Rendah). Dengan alasan bahasa tersebut12, karya-karya tersebut tidak lolos dalam penerbitan Balai Pustaka (Volkslectuur). Tidak hanya orang pribumi yang menulis karya-karya semacam itu, tetapi juga orang Tionghoa maupun golongan Indo. Karya tersebut seperti: Cerita Nyai Paina, Nyi Sanikem, dan

Cerita Siti Aisah (H. Kommer, 1900). Menurut Maman S. Mahayana (2008), banyak muncul karya yang didasarkan pada kejadian sesungguhnya sehingga tertulis keterangan di halaman depan, misal dalam novel Lo Fen Koei: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan …” (Mahayana, 2008). Tulisan serupa pada novel lain dapat dilihat pada buku Pramoedya Tempo Doeloe.

12 Rinkes mengatakan bahwa buku-buku berbahasa Melayu sangat kurang dibandingkan bahasa lainnya. Menurut pedoman Balai Pustaka kaidah bahasa Melayu yang benar berdasarkan ketentuan Tata Bahasa Melayu 1901 yang dikeluarkan Ophuijzen (Jedamski, 2009: 660).

94 Berkebalikan, muncul karya yang ditulis orang pribumi, tetapi berbahasa Belanda. Satu karya ditulis oleh R.A. Kartini dalam bentuk surat-surat kepada Abendanon. Kemudian kumpulan surat-surat-surat-surat itu diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, Dari Gelap Terbitlah Terang, pada tahun 1911 (oleh penerbit Semarang-Surabaya-Den Haag: G.C.T. van Dorp). Buku ini pun kemudian menjadi perdebatan; muncul pertanyaan yang meragukan jati diri penulisnya. Benarkah penulisnya adalah Kartini, seorang wanita Jawa, apakah ini bukan ide dari gerakan etis?

Buku lain adalah roman yang ditulis oleh Suwarsih Djoyopuspito berjudul Buiten Het Gareel dan diterbitkan oleh W. de Haan Uitgevery, Utrecht pada tahun 1940. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulisnya sendiri dengan judul Manusia Bebas, dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Djambatan pada tahun 1975. Buku yang awalnya ditulis dalam bahasa Sunda, tetapi ditulis ulang dalam bahasa Belanda karena penolakan penerbit di dalam negeri, dinilai oleh Prof. Dr. Sartono sebagai “sumber sejarah mentalitas” dan bisa menjadi inspirasi politik generasi muda (Swantoro, 2002: 349-350). Penolakan untuk diterbitkan ke dalam bahasa Sunda bisa jadi terkait dengan kekhawatiran bahwa buku ini akan membawa generasi muda pada gerakan politik secara luas. Dengan ditulis dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda maka pembaca pribumi sangat dibatasi.

Pembahasan sastra Hindia Belanda tentu telah dilakukan, bahkan ada yang sudah menyertakan fragmen/cuplikan terjemahannya. Karya

95 Nieuwenhuys atau E. Breton de Nijs, Tussen Twee Vaderlanden dan

Vergeelde Portretten uit een Indische Familie-album diterjemahkan sebagian oleh H.B. Jassin dengan judul Antara dua Tananh Air dan Potret-potret Menguning atau karya Eddy du Perron Het Land van Herkomst diterjemahkan cuplikannya dengan judul Balekambang (dalam Kian Kemari, 1973).

Balekambang bercerita mengenai buaya-buaya yang mendiami sungai di Cikanteh yang berlubang-lubang pada dasarnya. Buaya ini sering menerkam ternak yang mendekat atau masuk ke sungai. Pernah juga seorang wanita digigit kakinya. Karena tusukan pisau dari wanita yang tepat mengenai matanya, buaya pun pergi. Tokoh ‘aku’ dalam cerita itu mengikuti keluarganya yang pindah ke daerah Balekambang dekat sungai Cikanteh. Mereka menjadi keluarga Eropa pertama yang tinggal di daerah itu. Kepandaian ibunya merawat luka dan kemampuannya berbahasa Sunda menjadikan dia populer dan disukai. Mereka berkenalan dengan tanaman beracun dan juga wayang. Kehidupan mereka yang penuh pengalaman menakjubkan dilukiskan oleh Eddy du Perron dengan menarik.13

Dick Hartoko (1979) menerjemahkan bagian dari De Stille Kracht, bab keempat, bagian I dan II (DSK, 109-112), dengan judul “Kekuatan Gaib” (Ibid.). Bagian ini dipilih oleh Dick Hartoko karena dipandangnya dapat menjelaskan makna ‘de stille kracht’. Van Oudijck yang dilukiskan sebagai

13

Pada masa kini pemilihan terjemahan kemungkinan tidak lagi terkukung oleh tali kolonialisme, misal kisah tentang satria yang membawa pesan bagi raja ( De brief voor de koning, oleh Tonke Dragt) atau kisah tentang kucing yang berubah menjadi manusia( Minoes, oleh Annie. M.G. Schmidt). Selanjutnya lihat lampiran.

96 laki-laki sederhana yang hanya memercayai apa yang dilihatnya, tak memercayai adanya kekuatan supranatural pada benda-benda. Narator mengungkapkan bahwa ini akan menjadi kelemahan Van Oudijck; dia tidak akan siap bila kehidupan berjalan tidak sesuai logikanya. Di bawah permukaan yang terlihat tenang terdapat kekuatan besar, layaknya kawah di bawah gunung berapi. Di bawah ketenangan tersembunyi ancaman.

Bagian dari De Stille Kracht ini juga diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo dengan judul Pacaram (Kian Kemari, 1973). Penerjemahan ini dilakukan sesudah Indonesia merdeka dengan didukung oleh Kedutaan Belanda di Jakarta. Bagian ini bertutur tentang keluarga Addy de Luce, keluarga campuran, setengah Solo dan setengah Indo. Ayah Addy adalah lelaki turunan Armenia yang berkelana hingga mencapai Solo. Di kota ini dia menjadi terkenal sebagai koki dengan hidangan cabe isi yang mengesankan keluarga keraton Solo. Bahkan, ia kemudian berhasil menikahi salah satu putri Solo dan kemudian memiliki pabrik gula yang jaya dan menghasilkan banyak uang. Kehidupan mereka disebut mengikuti tradisi keluarga-keluarga Indo; di sana nampak para pelayan yang bekerja: ada yang menumbuk bedak, mengulek sambal, mengurus hewan peliharaan. Beragam makanan silih berganti dihidangkan di meja makan. Bagian cerita tersebut, Pacaram, menceritakan kemewahan kehidupan Indo, Eropa-bangsawan Solo, dan bukan kehidupan

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 93-109)