• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANDA-PENANDA IDENTITAS DAN DOMINASINYA

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 180-200)

MENGGAPAI IDENTITAS KULTURAL DALAM LIMINAL SPACE

3.2 PENANDA-PENANDA IDENTITAS DAN DOMINASINYA

168 adalah proses meniru atau meminjam elemen budaya tertentu sehingga mimikri menghasilkan hibriditas.

3.2 PENANDA-PENANDA IDENTITAS DAN DOMINASINYA

Bhabha (1994) secara implisit mengungkapkan bahwa identitas budaya bukanlah identitas bawaan, sesuatu yang didapatkan dari awal kelahirannya. Identitas itu diperoleh seiring keberadaan manusia, dan boleh dikatakan identitas memiliki sejarah dan mempelajarinya harus menempatkan identitas pada ruang dan waktu (Sarup, 2002: 14-15). Hal itu bisa diartikan bahwa identitas bersifat sosial karena keberadaan manusia berada diantara manusia lainnya. Manusia kemudian dapat dikenali identitasnya dari cara hidupnya: ruang lingkungannya, bahasa, cara berpakaiannya atau budaya tempat dia hidup. Ruang yang menjadi tempat hunian, tempat hidup dapat menjadi cermin kepribadian : siapa yang tinggal di sana, status sosialnya, lingkungan pergaulannya, dan sebagainya.

Dalam konteks pascakolonial ruang dapat menjadi penanda perbedaan identitas. Orang-orang terjajah tidak selalu mendapatkan akses untuk bergerak di wilayah penjajah; terjajah adalah sang Liyan bukan menjadi bagian kami. Dalam proses identifikasi ini selalu terhubung pada tempat/ruang dari yang lain. Hasrat kolonial diartikulasikan sebagai ruang kepemilikan phantasmic;

fantasi penduduk asli adalah menempati tempat sang tuan sekaligus mempertanyakan tempatnya dalam kemarahan balas dendam sang budak

169 (Bhabha, op. cit.).

Dalam liminal space, sebuah ruang antara yang mempertemukan

penjajah dan terjajah terpamerkan perbedaan-perbedaan antara penjajah dan terjajah. Perjumpaan dan pertukaran budaya secara terus menerus akan menghasilkan pengakuan resiprokal tentang perbedaannya. Kedua novel mengetengahkan ruang dan masa kolonial, ruang pertemuan dua pihak pada peralihan abad ke-19 dan abad ke-20 (DSK) dan tahun 1898 hingga tahun 1911 (BM).

3.2.1 Ruang sebagai Penanda Identitas : Penataan Ruang Domestik

(1) Rumah Keluarga Residen Van Oudijck (DSK) dan Herman Mellema (BM)

Ruang yang muncul dalam novel menyediakan tempat bagi masa (waktu) penjajahan Belanda di Hindia Belanda, khususnya Jawa, ketika Ratu Wilhelmina bertahta. Kepemilikan ruang menandai kekuasaan; ada hasrat kolonial untuk memiliki ruang itu. Rumah residen Van Oudijck memiliki ruang tamu yang luas dengan kursi-kursi yang diatur berjajar dengan punggung menempel pada tembok. Di ruang itu tergantung potret Ratu Wilhelmina dalam jubah penobatan.

Penataan ruang juga menunjukkan setting waktu. Masa residen Van Oudijck berkuasa adalah masa pemerintahan Ratu Wilhelmina.

170

ets: portret van koningin Wilhelmina in kroningsornaat. In het midden der middengalerij was een rood satijnen ottomane, bekroond door een palm. Verder vele stoelen en tafels, grote lampekronen overal. Alles was netjes onderhouden en van een pompeuze banaliteit, een onhuislijke afwachtig van de eerst volgende receptie, zonder een enkel intiem hoekje. In het halflicht der petroleumlampen – in elke kroon was één lamp ontstoken – strekten de lange, brede, wijde galerijen zich in een lege verveling uit. (DSK:12)

(...tapi di bagian yang besar bergantung sebuah bingkai bermahkota sebuah etsa besar; potret dari Ratu Wilhelmina dalam jubah penobatan. Di tengah-tengah serambi tengah ada perempuan Turki Usmani merah satin dimahkotai oleh sebuah palem. Selebihnya banyak kursi dan meja-meja, lampu bertangkai berukuran besar dimana-mana. Semuanya ditata rapi dalam gaya pedalaman yang berlebihan; sesuatu yang tanpa suasana keakraban, menanti resepsi berikutnya tanpa adanya sudut yang intim. Dalam remang sinar lampu-lampu minyak –di dalam setiap lampu bertangkai ada satu lampu yang dinyalakan –terbentang di serambi yang panjang, luas dan lebar, suatu kejemuan, KD, 13).

Rumah residen adalah rumah yang lega, luas dengan kebun yang sejuk. Akan tetapi, penataan ruang di kamar tamu mengesankan suasana yang dingin dan membosankan. Penampilan ruang demikian mendukung komunikasi dan hubungan antar penghuninya: Leoni yang menyimpan asmara dengan anak tirinya, Doddy yang mengetahui pengkhianatan ibu dan kakaknya terhadap bapaknya, tetapi diam saja. Keluarga yang terlihat tenang dan hangat, damai, tetapi menyimpan hubungan rahasia “pengkhianatan”.

Nyai Ontosoroh adalah wanita Jawa yang mendekor ruangannya dengan cara yang dia duga sesuai dengan selera suaminya, Tuan Mellema. Rumah yang terletak di Wonokromo berukuran besar dan orang banyak menyebutnya sebagai istana meskipun istana dari kayu. Magda Peters yang pernah berkunjung ke sana menyatakan kekagumannya. Dengan menampilkan

171 komentar tokoh tersebut, sekaligus narator mengemukakan kebiasaan dan keindahan rumah Eropa yang dibawa ke Timur.

“Tidak seperti aku bayangkan semula,” bisiknya. “Di Nederland dan Eropa pun rumah seperti ini. Jadi di sini kau tinggal? ...”

“Ai, Minke, seperti rumah-rumah di Jerman dan Eropa Tengah.” (BM: 252).

Masuk ke dalam rumah, Minke sangat terpesona oleh interior rumah keluarga Belanda yang memiliki seorang Nyai Ontosoroh. Ruang tamunya luas dan indah; lebih ke dalam interiornya semakin mewah. Dinding ruang tengah seluruhnya terdiri dari kayu jati yang dipelitur coklat muda; di sana-sini jambang bunga dari tembikar Eropa yang berisi rangkaian bunga di dalamnya. Ada hiasan patung Firaun dari kayu. Meski hidup jauh dari negara asalnya,

Mellema membawa kebiasaan Eropanya. Meski Tuan Mellemasudah hampir

tidak pernah pulang ke rumah lima tahun terakhir, Nyai tetap mempertahankan interior gaya Eropa.

Tempat tinggal Nyai Ontosoroh sekaligus menjadi tempat usaha. Di belakang rumah terdapat tanah yang amat luas dengan hutan kayu bakar; terdapat juga kampung kecil yang menjadi tempat tinggal para karyawan. Mereka memiliki usaha pertanian, khususnya pemerahan susu sapi. Karenanya bila ada terlalu banyak sapi muda jantan lahir, pesta menyembelih sapi muda pun dilakukan. Minke diajak oleh Robert Suurhof untuk menikmati hidangan tersebut. Itulah awal perkenalan Minke dengan keluarga tersebut.

172 keluarga pengusaha Eropa. Sekali lagi keluarga pengusaha, dan juga keluarga Indo, menjadi model keberhasilan dalam kehidupan ekonomis jaman Hindia Belanda. Satu yang unik, mereka bukan pengusaha kopi, nila/indigo, gula, atau rempah-rempah, melainkan bisnis peternakan. Cultuurstelsel mengharuskan rakyat untuk menanam tanamn komoditi dagang, yaitu kopi, gula, nila/indigo, dan tentu saja rempah-rempah (merica, pala). Nyai Ontosoroh dimunculkan sebagai pengusaha yang bebas dari dagang tanaman cultuurstelsel, suatu model ‘tanam paksa’ yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan di Jawa. Hal ini berbeda dari yang dimunculkan dalam novel DSK karena keluarga Indo puteri Solo dan almarhum De luce menjadi kaya karena bisnis gula yang dulu ditekuninya.

Hal yang menarik lainnya adalah ruang perpustakaan di keluarga tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Mellema mantan pegawai administratur adalah orang yang senang membaca dan mengikuti perkembangan pengetahuan. Bahkan, gundiknya Nyai Ontosoroh telah ditularinya kebiasaan tersebut. Banyak koleksi mereka dan hampir semuanya dibaca oleh Nyai Ontosoroh. Lihat penggambaran perpustakaan oleh Minke, seorang focalizer-character.

Tiga buah lemari dengan jajaran buku mewah berderet di dalamnya. Terdapat juga sebuah kotak kaca dalam lemari itu yang ternyata koleksi cangklong Tuan Mellema. Perabot semua bersih tanpa ada kotoran. Lantai tak ditutup dengan permadani, dan menampakkan geladak kayu biasa, bukan parket, juga tidak disemir. Meja hanya sebuah dengan kursi dan sebuah fauteuil. Di atas meja berdiri kaki lampu dari logam putih dengan empat belas lilin. Sebuah

173 buku, yang ternyata bundel majalah terbuka di atas meja.

“Siapa yang membaca Indische Gids ini?” (BM: 256)

(2) Rumah Bangsawan Jawa: Bupati Labuwangi (DSK) dan Pandhapa Bupati B.B. (BM)

Meskipun keluarga bangsawan Jawa, kebiasaan di rumah keluarga Adiningrat telah beradaptasi dengan Eropa. Hal ini menandakan bahwa penduduk asli telah tunduk atau mengakui keberadaan sang pendatang. Dua kali rumah keluarga bupati dimunculkan dalam novel ini. Pertama, ketika Van Oudijck dan asisten residen Vermalen mengunjungi bupati Ngajiwa di kediamannya, pagi hari sesudah dia mabuk berat. Ketika Van Oudijck berkunjung, tampak ruang tamu ada anggota keluarga: Ibu Sepuh, Bupati Soenario, para pengawal dan pembantu. Keluarga Adiningrat menyajikan minuman untuk residen. Bukan teh panas atau air kelapa muda, tetapi minuman dalam botol; diantaranya terdapat minuman beralkohol. Mereka telah beradaptasi dengan kebiasaan pendatang di Hindia Belanda, pendatang sekaligus penguasa kolonial.

Kemudian muncullah empat orang pelayan dengan berjalan jongkok: yang satu membawa botol-botol; yang kedua membawa nampan yang berisi berbagai macam gelas; yang ketiga membawa termos es yang penuh berisi pecahan-pecahan es; yang keempat, tanpa membawa apapun, melakukan

174 diminumnya, dan ia mengatakan ia ingin minum segelas wiski soda.

Pada setiap acara yang dihadiri kedua pihak lingkungan Eropa dan keluarga bupati, misal acara resepsi keluarga residen atau acara di rumah Eva Eldersma, maka bupati Ngajiwa akan selalu minum anggur, juga ikut bermain kartu. Bahkan pada acara pesta rakyat di Ngajiwa, bupati telah meminum semua anggur yang lewat sehingga dia mabuk dan berjalan-jalan bertelanjang dada. Pagi harinya residen mengunjunginya di kabupaten. Deskripsi tempat bupati tidak banyak dimunculkan pada bagian ini : “Maar zij vonden de Regent in zijn slaapvertrek. Hij lag op bed. De ogen open, somber bijkomende, nog niet genoeg tot het leven teruggekeerd, om geheel te bevroeden den vreemheid van dat bezoek” (DSK: 117-118, Akan tetapi, mereka menemukan Bupati di kamar tidurnya. Dia berbaring di ranjang, kedua mata terbuka, beristirahat dengan muram sekali; belum cukup sadar dan hidup kembali untuk bisa mengira maksud keseluruhan dari keasingan kunjungan itu.)

Saat pemberontakan-pemberontakan kecil berlangsung si luar kota, muncul kekhawatiran akan adanya kekacauan pada acara Fancy-Fair, pesta amal untuk korban tsumani di Ternate dan Halmahera. Residen yang sudah menduga bahwa pemberontakan didalangi oleh Raden Ayu Pangeran, ibunda bupati Soenario dan Ngajiwa, berkunjung ke kabupaten. Residen mengunjungi Raden Ayu Pangeran. Saat itu di alun-alun kabupaten sedang ada kesibukan untuk mempersiapkan acara pasar malam.

175

door de sierpoorten der passer-malam: de naar elkaâr buigende bamboe-stammen, waaraan de smalle strook dundoek, die kabbelt in de wind: de versiering, die in het Javaans dan ook ‘kabbeling’ heet. (DSK: 133)

(Kereta kudanya bergerak melewati kedai-kedai dan warung-warung di alun-alun, dan melalui gapura-gapura hias dari pasar malam: yang berupa batang-batang bambu yang saling membungkuk, dengan bendera kecil, yang ditiup angin: hiasan yang dalam bahasa Jawa juga disebut sebagai ‘ kabbeling ’, KD: 136).

Alun-alun tidak ada dalam rumah residen, tetapi dalam rumah bupati. Dalam sistem pemerintahan kolonial bupati adalah pejabat pemerintahan kolonial yang mengadakan hubungan langsung dengan rakyat. Mereka yang dahulunya memiliki kekuasaan dan kehormatan tertinggi di dalam masyarakat, sekarang berada di bawah kontrol residen, salah satu pelaksana kekuasaan kolonial. Alun-alun menjadi tempat kegiatan masyarakat umum pada hari-hari tertentu. 3

Dari alun-alun mendekati rumah bupati ada pendhapa besar yang kosong. Residen tidak diterima di pendhapa ini, tetapi di rumah tinggal mereka. Penerimaan ini sudah berlangsung lama karena hubungan Van Oudijck dan almarhum Adiningrat yang mirip bapak-anak.

Aan de ingang van de oprijlaan verdrong men zich, spiedde uit. Maar de bevolking zag niets dan door schaduw der waringins in de verte schemeren de lege pendopo, met hare rissen van afwachtende stoelen. De schout, die op zijn fiets plotseling voorbijreed, deed samenscholingen als instinctmatig stuiven uit een.

In de voorgalerij wachtte de oude vorstin de rezident. Een kalmte lag over haar waardig gelaat en liet niet lezen, wat in haar woelde en omging. (DSK: 133)

3

176 (Di pintu masuk jalan besar orang berdesak-desakan, mengintai. Tetapi, mereka tidak melihat apapun melalui bayangan pohon-pohon beringin kecuali pendopo kosong yang remang-remang di kejauhan, dengan barisan kursi kosong yang menanti untuk digunakan. Kepala polisi, yang tiba-tiba melintas dengan sepedanya, secara naluriah membubarkan kumpulan massa itu).

Di serambi depan, sang permaisuri yang sudah tua itu menanti kedatangan residen. Ketenangan menyelimuti wajahnya yang bermartabat dan tidak memperlihatkan apa yang bergejolak dan ada dalam hatinya, KD: 136-137).

Identitas ke-Jawa-an yang menempel pada ruang tinggal, atau ruang aktivitas telah bercampur dengan atribut kekuasaan pemerintah kolonial. Pada saat penobatan ayah Minke, pendhapa Jawa telah diwarnai oleh bendera Triwarna: bendera Belanda merah-putih biru. Ini menjadi penanda bahwa Jawa takluk di bawah pemerintahan Belanda. Penanda identitas Jawa telah berkurang maknanya. Penobatan berlangsung dengan alunan lagu kebangsaan Belanda. Hal ini menandakan bahwa dalam kekuasaan kolonial Jawa tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial.

Minke, murid HBS, yang dengan tekun mengikuti pendidikan Belanda, merasakan sia-sia telah belajar dengan tekun di sekolahnya bila dia masih harus merangkak dan menyembah pada orang lain. Minke pun menanyakan pada leluhurnya, kenapa memberi warisan adat yang membuat turunan mereka menjadi terhina karena harus merangkak-rangkak di depan orang lain. Ukuran penilaian yang digunakan Minke terhadap hal itu tidak terlepas dari kacamata teman-teman Eropanya.

177 kerbau ke kubangan. Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga bahasa, Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai kerang-kerangan. Dan lantai itu mengkilat terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyang-kenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan (BM : 131).

Lewat tokoh cerita sebagai narator, novel ini menyuarakan pendapat bahwa budaya feodalisme Jawa yang merangkak di depan yang tua dan berkuasa ikut mendukung kolonialisme. Sikap orang Jawa yang luwes, menghormat secara alami, dan pasrah di bawah penindasan penguasa yang memukau dengan pita emasnya dalam fokalisasi tokoh Eva Eldersma (DSK, 46).

3.2.2 Penamaan dan Pengaturan Ruang Umum sebagai Simbol

kekuasaan (DSK dan BM)

(1) Hasrat kolonial menciptakan Eropa di Timur Jauh

VOC telah menggunakan senjata dan perang untuk merebut Batavia, artinya hubungan 'kolonisator' dan 'terkoloni' adalah hubungan yang tidak setara. Hal ini akhirnya memperkuat tegangan antara mereka. Wacana kolonial yang dilontarkan kolonisator, meskipun dengan alasan pemberdayaan membuka celah kecurigaan dan interupsi. Ketika VOC datang untuk berdagang, dan kemudian merambah dalam kehidupan masyarakatnya, ia ikut mengatur dan akhirnya menguasai sistem pemukiman dan penataan ruang sosial di Hindia Belanda. Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia

178 Belanda, ketika terusan Suez dibuka, orang Belanda semakin bertambah. Tempat pemukiman bertambah, kota baru bermunculan atau diperbarui. Jalan-jalan baru diberi nama sesuai bahasa mereka, bahasa Belanda. Di Pasuruan, di

Semarang jalan utama dekat residensi dinamakan Herenstraat, atau

Rodestraat, nama-nama gedung kesenian (sosietet Concordia, Sosietet Harmonie). Tentu saja mereka juga membangun rumah dengan gaya arsitektur yang mereka ciptakan. Mereka tidak serta merta mengadopsi gaya rumah Jawa untuk tempat tinggal mereka. Lihat juga gambar penataan ruang di Pasuruan Jawa Timur (Soekiman, 1996) daerah yang dihubungkan dengan Labuwangi; Jawa Timur menjadi setting DSK maupun BM.

Penamaan tempat dengan nama Belanda, terlebih ruang publik seperti jalan, menjadi penegas keberadaan mereka, penanda identitas, bahkan penanda kekuasaan. Hasrat kolonial adalah memiliki ruang, menaklukan suatu daerah disahkan dengan memberi nama sesuai keinginan mereka. Pemberian nama menegaskan kepemilikan. Nama hotel, misal Des Indes di Batavia (Jakarta), hotel Oranje (sekarang bernama hotel Majapahit Surabaya). Belanda juga membangun benteng pertahanan, misal benteng Rotterdam (Makassar) dan benteng Maluku pada jaman VOC, benteng Noorwijk dan Rijswijk (sekarang Jalan Juanda dan Veteran Jakarta) pada jaman Daendels.

VOC telah menetapkan Jacatra (Jakarta) sebagai pusat perdagangan VOC. Leushuis menjelaskan pembangunan rumah hunian Belanda di Batavia dalam bukunya Gids historische stadwandelingen Indonesië (2011: 17-19).

179 Sesudah konflik dengan penguasa lokal, di atas puing-puing Jacatra dibangun kota VOC yang pertama, Batavia. Kota berdiri dengan benteng yang mengelilinginya dan ditinggali oleh orang Eropa, Cina, Mor, dan budak-budak dari Nusantara. Simon Stevin sebagai arsitek kota. Rumah pertama untuk VOC di Batavia dibangun oleh tukang VOC bekerjasama dengan kontraktor Cina. Kedua belah bertukar ide teknik dan bangungan. Rumah tinggal, gudang, balai kota, rumah kota, tempat perbaikan kapal, penjara bergaya Renaisanse yang diadaptasikan pada situasi dan keadaan tropis. Muncullah gaya bangunan Hindia Belanda yang tertutup tembok tebal, berlantai satu atau dua, beratap tinggi dan bersirkulasi sejuk.

VOC bangkrut, kendali Hindia Belanda di abad ke-19 dipegang oleh pemerintahan Belanda. Banyak gedung direnovasi, dibongkar dan dibangun ulang. Gubernur Jendral H.W. Daendels mulai membangun rumah istana dengan alun-alunnya Waterlooplein dan Koningsplein (sekarang lapangan banteng dan Medan Merdeka). Muncullah gaya klasisisme, bangunan-bangunan berpilar tinggi dibangun, misal gedung sositet yang digambarkan dalam DSK.

De rezident liep somber door, met flinke pas van een besliste wandelaar. Hj was recht van het square-tje afgeslagen, en liep langs de Hervormde kerk, recht op een mooie villa toe met slanke, vrij correcte Ionische pleisterzuilen en hel verlicht met petroleumlampen in kronen. Het was de societeit Concordia. (DSK: 8)

Residen berjalan muram dengan langkah-langkah tegap. Dia membelok ke arah kanan melewati gereja Protestan, lurus menuju vila indah dengan tiang berplester Ionisida yang langsing dan penerangan

180 lampu minyak bertangkai. Gedung itu adalah sositet Concordia. (KD:

9).

Batavia sebagai kota idaman kolonial menjadi kota dingin dan rakus. Lewat tokoh Eva kita melihat harapan orang Eropa tentang Batavia. Batavia, tempat Gubernur Jendral berdiam, diidamkan orang Eropa sebagai pusat peradaban yang berorientasi Eropa dengan kehangatan matahari dan keramahan Hindia Belanda. Tetapi kenyataannya, Batavia menjadi kota yang 'sedingin' Eropa dan penghuninya dipenuhi kekhawatiran tentang uang, ambisi untuk pulang ke Eropa dalam keadaan kaya raya.

Keinginan orang untuk bertatap muka, lewat fokalisasi tokoh Eva, telah berkurang. Di rumah keluarga Harteman yang dikunjungi Eva, setiap harinya terdengar dering telepon dan suara obrolan lewat telepon. Kebiasaan yang belum ada di Labuwangi. Dalam pandangan tokoh Eva, Batavia adalah kota membosankan. Batavia tidak seperti dalam bayangannya yang terkenal sebagai kota Eropa di Timur: “Het was of al die huizen, somber, trots hunne witte zuilen, hunne façaden van grootsheid, als gezichten vol zorg fronsten met een beslommering, die zich verbergen wilde achter het voornaam doen van brede bladeren en palmgroepen” (Seolah semua rumah itu suram, walaupun dengan pilar-pilar putihnya, tameng-tameng kebesaran mereka, bagaikan wajah-wajah yang berkerut penuh kekhawatiran, yang ingin bersembunyi di balik gerak bergengsi daun-daun lebar dan pohon-pohon palma). Keinginan Belanda untuk menciptakan Eropa di Hindia Timur telah gagal, demikian difokalisasi oleh

181 Eva.

Pada siang hari yang panas jalanan sepi; para lelaki berada di kantor dan para perempuan berada di rumah sedang sibuk menelepon kenalan mereka. Ketika usai makan malam maka mereka mulai mengikuti resepsi di rumah kenalan. Tampak ada kehidupan di tempat resepsi, tampak lampu dinyalakan terang di tempat itu. Selebihnya remang dan sepi berada di rumah-rumah yang lain. Eva bertemu orang-orang muda, laki-laki putih dengan muka pucat penuh kekhawatiran.

En in de oude stad, in de oude notabele woningen der eerste Hollandse kooplieden, nog gebouwd op de vaderlandse wijze, met eikenhouten trappen naar verdiepingen, nu in de Oostmoesson, vol hangende van een dikke benauwende warmte, als een tastbaar element, dat niet te doorademen was, bogen zij zich over hun werk, ziende tussen hun dorstige blik en de witte woestijn hunner papieren, steeds de dauwende fata-morgana van die toekomst, de lavende oaze van hunne materialistische hersenschim: binnen zoveel tijd geld en dan weg, weg...naar Eropa. (DSK: 222-223)

(Dan di kota tua, dalam rumah-rumah terkemuka yang sudah tua dari para anggota dagang Belanda pertama, yang dibangun dengan gaya seperti di Belanda, dengan tangga-tangga dari kayu jati, saat ini di musim kemarau, dipenuhi dengan hawa panas yang begitu pengap, bagaikan sebuah elemen nyata, yang tak dapat diendus, mereka terbungkuk-bungkuk di atas pekerjaan mereka, melihat di antara pandangan penuh dahaga dan padang pasir putih kertas-kertas mereka, fatamorgana berembun dari masa depan, oase pelepas dahaga khayalan materialistis mereka: dalam beberapa waktu mendapatkan uang dan

kemudian pulang, pulang...ke Eropa..., KD: 229, cetak tebal dan

perubahan dari saya ).

(2) Pemukiman-pemukiman Rasial di Labuwangi

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 180-200)