• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Etis : Tidak Semua Orientalis Seragam

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 84-89)

REPRESENTASI MASYARAKAT HINDIA BELANDA DALAM KARYA SASTRA KOLONIAL DAN PASCAKOLONIAL

2.2 Konteks Historis dan Kultural

2.2.2 Politik Etis : Tidak Semua Orientalis Seragam

Sebelum politis etis dikumandangkan, di tengah kepercayaan mistik Jawa, Belanda memandang perlu adanya pendidikan sekolah, juga untuk kaum pribumi. Dengan diawali oleh pengumuman Gubernur Jenderal Herman W. Daendels, tahun 1808, agar para regent/bupati membangun sekolah untuk bumiputera dan diikuti pengeluaran dasar hukumnya pada tahun 1818,

Regeeringsreglement atau Peraturan Pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu pemerintah berkewajiban mengusahakan sekolah bagi para bumiputera. Meski sangat sederhana dan banyak kesulitan sekolah mulai dilaksanakan. Usaha ini diperkuat dengan keputusan pemerintah, 1848, yang memberi hak gubernur jenderal untuk mengeluarkan anggaran bagi pendidikan bumiputera hingga sebesar 25.000 gulden per tahun (Moriyama, 2003).

Berakhirnya sistem cultuurstelsel dan munculnya politik etis, tuntutan menyediakan sekolah bagi pribumi semakin kuat. Dalam tulisannya “Een eereschuld” dalam De Gids, Th. van Deventer (1899), salah satu tokoh pendukung politik etis, bersikeras bahwa Belanda memiliki kewajiban moral

5Meski demikian, industri gula tetap menjadi tulang punggung usaha pertanian di Jawa setelah sistem ini dihapuskan.

73 untuk membayar kembali hutang (puluhan juta gulden) pada Hindia Belanda. Uang itu harus digunakan untuk perbaikan pendidikan dan memperkuat posisi ekonomi masyarakat pribumi. Koloni harus diatur dan bukan dikuasai atau dieksploitasi. Seruan politik etis juga ditandai oleh pidato Ratu Wilhelmina pada September 1901 dalam pembukaan parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda (Hartoko, 1979; Bosma, 2005). Politik etis telah mengubah pandangan Hindia Belanda sebagai wingeweest (daerah menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan, dipenuhi kebutuhannya dan ditingkatkan budaya rakyatnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 2009 : 21-22).

Moriyama (2003) dengan mengutip laporan negara tentang perkembangan pendidikan, menuliskan adanya peningkatan jumlah sekolah di pulau Jawa dan Madura.6 Dari tahun ke tahun jumlah murid dan juga jumlah sekolah bertambah besar. Di pulau Jawa dalam sembilan belas tahun (dari 1853-1872) telah terjadi penambahan sekolah untuk pribumi sebanyak 73 dengan jumlah murid semula 1127 menjadi 6754. Hal ini mengindikasikan semakin banyaknya penduduk pribumi yang melek huruf.

Dengan mengusahakan sekolah, pemerintah Belanda memberikan pendidikan dan juga pengajaran sekaligus memasukkan kebijakan Belanda. Murid pribumi diberi pemahaman sebagai kawula kolonial; Jawa adalah bagian dari pemerintahan Belanda di negeri jauh. Ada seorang ratu yang memerintah

6 Sumber dikutip Moriyama dari Algemeen Verslag van den Staat van Schoolwezen in Nederlandsch-Indië 1853, 1854, 1859, 1880

74 mereka: Ratu Wilhelmina. Ketika Putri Juliana lahir, kentongan ditabuh bertalu-talu. Rakyat harus ikut bergembira merayakan hari bagus itu. Di sekolah mereka tidak melihat potret Raja Pakubuwono X atau Sultan HB VII, tetapi potret Ratu Wilhelmina. Bahkan di Ambon, sebagaimana ditulis oleh Bartels (1990) dalam makalahnya, di mana orang – orang Ambon Kristen merasa menjadi setengah Eropa, dan ingin menjadi Eropa, Ratu Belanda disapa mesra sebagai “nene Mina”. Di sana juga ditemukan anak-anak yang selesai sekolah berpakaian Eropa dan bahkan mereka merasa dekat dengan Belanda bila makan makanan Belanda.

Akhir abad ke-19 di Jawa sudah semakin banyak para bangsawan pribumi bersekolah, bahkan melewati sekolah dasar. Keadaan ini menjadi cara bagi pemerintahan Belanda untuk merekrut pejabat bumiputera yang memiliki pemikiran Eropa; pejabat yang kebanyakan masih berasal dari kalangan bangsawan. Hal itu berakibat pula penguasaan bahasa Belanda oleh pribumi dan sikap kritis para sastrawan Jawa. Kartini adalah salah satu contoh terbaik bagi bangsawan Jawa yang menguasai bahasa Eropa; contoh lainnya adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, dr. Soewardi Soeryaningrat. Novel BM sudah memotret keadaan itu dengan menampilkan tokoh Minke yang bersekolah di HBS (Hogere Burger School). Margana (2004) menulis bahwa pendidikan Belanda −pada abad ke-19 beberapa keluarga elit bangsawan Solo telah mengikuti sekolah modern Eropa di Jawa− menimbulkan sikap kritis para intelektual Jawa terhadap kepujanggaan

75 Ranggawarsita. Semua itu dimungkinkan karena perkembangan pendidikan pribumi dan juga penguasaan bahasa Belanda.

Hurgronje (dalam Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 45 – 49) pernah menelorkan ide ‘politik asosiasi’, suatu pemikiran yang mencita-citakan tercapainya kerjasama antara golongan Eropa dan pribumi (terutama priyayi berpendidikan Barat) dalam masyarakat Hindia Belanda. Ikatan politik (asosiasi) ini dapat diwujudkan struktur atas (bovenbouw), diduduki oleh pihak kolonial, dan struktur bawah (onderbouw), yang diduduki oleh berbagai kesatuan etis, kultural, politik dalam masyarakat regional-tradisional. Kedua arah politik, baik etis maupun asosiasi, tampaknya memiliki sisi baik, tetapi masih bertumpu pada dipertahankannya pemerintahan kolonial Belanda. Keduanya masih bertolak pada paham bahwa Indonesia (Hindia Belanda) harus tetap dipimpin oleh Belanda.

Dalam pola hubungan kemasyarakatan antara penjajah dan terjajah yang terbentuk memposisikan kelompok terjajah yang bersekolah akan berusaha memenuhi apa yang dituntut guru dan sekolah mereka, sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Belanda. Semakin sempurna mereka menguasai bahasa Belanda maka akan mendekati cara hidup mereka. Bartels (1990) dalam artikelnya menggambarkan bahwa pendidikan bahasa Belanda masa kolonial dianggap oleh orang Maluku sebagai formula magis untuk mendekati Sang Tuan kolonisator, tetapi di saat yang sama menjauhkan mereka dari kelompok

76 etnis yang lain; bahkan orang tua tidak segan mengeluarkan biaya ekstra pendidikan bahasa Belanda bagi anaknya.

Pribumi yang menguasai bahasa Belanda akan punya akses sosial dalam kehidupan orang Belanda/Eropa. Orang-orang pribumi yang akhirnya bekerja di lembaga negara atau pers Hindia Belanda, misal Balai Pustaka, KITLV, De Locomotief (sebuah pers Hindia Belanda yang pro pada arah “politik etis”), menguasai bahasa Belanda: Marah Rusli, Abdul Muis, Haji Agus Salim dan Tirto Adi Soerja. Pernah ada dalam sejarah pers di Hindia Belanda (1915) artikel tandingan untuk “Kromo Buiten” dalam Indische Militair (yang mengejek tentara Jawa) yang ditulis oleh Darna Koesoema dalam Goentoer Bergerak, “Hanyalah seorang Jawa” berisi perbandingan uang ganti rugi dalam kecelakaan kereta api bagi seorang Inggris yang keseleo dan karyawan Jawa yang meninggal dalam selisih berlipat seribu. (Termorshuizen, 2011: 160-164). Tanpa penguasaan bahasa Belanda, pribumi tidak mampu memahami artikel yang muncul dalam ratusan surat kabar/majalah di Hindia Belanda, misalnya Nieuws van den Dag (N.v.d.D.), Soerabaiasch Handelsblad, Bataviaasch Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, Atjehse Courant, Pasoeroean Bode dll. Pemerintah Belanda telah mengharuskan para pejabatnya menguasai bahasa Melayu, hal ini sudah disiapkan sejak calon pejabat masih berada di sekolah Indologi di Delf, tetapi surat kabar berbahasa Belanda masih beterbaran. Akhirnya, pribumi mengandalkan terjemahan dalam surat kabar

77 berbahasa Melayu dari orang-orang seperti Tirto Adi Soerja, Mas Marco Kartodikromo, dan lain-lain.

2.2.3. Pers Hindia Belanda: Artikel tebar kebencian dan medan polemik

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 84-89)