• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pers Hindia Belanda: Artikel tebar kebencian dan medan polemik Menyambung mengenai artikel tandingan yang ditulis oleh Darna Menyambung mengenai artikel tandingan yang ditulis oleh Darna

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 89-93)

REPRESENTASI MASYARAKAT HINDIA BELANDA DALAM KARYA SASTRA KOLONIAL DAN PASCAKOLONIAL

2.2 Konteks Historis dan Kultural

2.2.3. Pers Hindia Belanda: Artikel tebar kebencian dan medan polemik Menyambung mengenai artikel tandingan yang ditulis oleh Darna Menyambung mengenai artikel tandingan yang ditulis oleh Darna

Koesoema yang disebut di atas, kasus tersebut menjadi bukti adanya perang polemik antara orang Belanda dan pribumi. Kasus tersebut sangat menarik karena diangkat dalam agenda rapat parlemen Belanda. Secara garis besar artikel “Kromo Buiten” (Termorshuizen, 2011) tersebut menuliskan karakter tentara Jawa yang berbeda dengan tentara Ambon atau Menado. Sebagai prajurit dia pengecut, tidak dapat dipercaya, tak ada ambisi dan semangat. Kemampuannya adalah merampas, mencuri ayam, kambing, uang, mengambil perhiasan dan uang dari korban tewas atau narapidana, bahkan temannya sendiri tak terkecuali, dll. Ditambahkan juga ucapan yang rasis oleh mereka : “Ini sesuai dengan tangan cokelatnya”.7

Selanjutnya, tulis Termorshuizen (Ibid.) penanggung jawab redaktur

Indische Militair dipanggil ke pengadilan. Dia divonis 1 hari penjara, tetapi pada akhir tahun sesudah mengajukan banding, dia dibebaskan dari tuntutan. Reaksi surat kabar Indonesia adalah marah. Artikel terjemahannya banyak diterbitkan oleh surat kabar Indonesia dan juga muncul dalam jumlah besar

7

Wat hij wel kon, was rampassen! Kippen, geiten, en varken fourageeren, als hij de kans schoon ziet, geld en sieraden van gesneuvelden of gevangenen stelen, -ja hij onziet in dit opzicht zelfs zijn eigen gevallen kameraden niet! - dat is een kolfje naar z'n bruine hand (ibid.).

78 surat pembaca bernada tersinggung. Salah satu artikel tandingan adalah karya Darna Koesoema yang dinilai menghimbau permusuhan. Ada kasus lain yang muncul berkaitan dengan Van Haastert, mantan hakim pengadilan negeri (Landraad, pengadilan yang mengurusi pribumi) yang menjadi redaktur

Nieuws van den Dag. Menanggapi opini kelompok etis bahwa pribumi harus diangkat dia menjawab : “Inlander harus diangkat, tapi diangkat sampai tiang gantungan”. Dia menyalahkan Multatuli yang menyebabkan munculnya pelopor etis sentimentil yang turunannya saat ini menjadi hambatan terbesar pada jalannya politik kolonial yang sehat di Nusantara. Van Haastert juga mengutip kata-kata yang digunakan atasannya, Karel Wybrands, 5 tahun yang lalu (1910): “Pribumi adalah kusir yang jelek dan kasar, tukang yang ceroboh, petani keras kepala, dan terbelakang, pengawas yang malas, karyawan yang tak peduli, pemimpin keras, suka takhayul, despotisch/tiran, bodoh. Bukan bawahan yang mengritik, tapi atasan. Kita adalah master dan akan tetap begitu selama arah etis tidak mendapat posisi kuat.” Van Haastert divonis 3 hari penjara.

Penggambaran perang pena ini oleh Termorshuizen (2011), menandakan adanya perbedaan perlakuan hukum terhadap pribumi. Vonis 3 hari penjara untuk tulisan Van Haastert, redaktur Nieuws van den Dag, membuat pers Melayu marah dan terheran-heran. Lebih-lebih bila vonis ini dibandingkan dengan vonis bagi Mas Marco Kartodikromo untuk artikelnya di media massa. Karena seri artikel-artikelnya di tahun 1915 dalam Doenia

79

Bergerak, Mas Marco diadili 7 tahun, dan berubah 7 bulan setelah naik banding. Dia dituduh sebagai orang dalam kelompok yang secara terus menerus mengimbau ketidaktenangan dalam masyarakat pribumi. Bunyi salah satu artikelnya adalah bahwa orang Belanda hanya datang ke Hindia Belanda untuk memanfaatkan keuntungan dan merugikan pribumi. Orang Eropa bugar berisi, dan pribumi tetap kurus kering atau pemerintah melaksanakan politik cerdas dengan melarangkan Indische Partij sementara membiarkan Sarikat Islam. 8 Kemudian karena tekanan dari pertemuan protes yang dihadiri banyak orang di Semarang – pertemuan ini dimotivasi oleh Sneevliet anggota ISDV– yang dihadiri oleh perserikatan Insulinde, dan juga ketidaksenangannya pada tindakan aparat, A.W.F. Idenburg memberi grasi ketika mas Marco sudah 3 bulan berada di penjara.

Satu tahun kemudian Mas Marco ditahan lagi karena tulisannya berjudul “Sama Rasa Sama Rata” dalam Pancaran Warta. Dia divonis 1 tahun penjara. Menarik mengutip pembelaanya:” “Kami pribumi hanya setiap hari diejek, dihina di Soerabaiasch Handelsblad atau Nieuws van den Dag. Oleh karenanya nada kami sering menjadi tajam dan melukakan.” Meski De Locomotief menulis bahwa nada permusuhan dan perlawanan sebenarnya tak ada dalam tulisan Mas Marco, hukuman penjara tetap dijalaninya. Kisah ini membuktikan bahwa perlakuan hukum pada masa kolonial Belanda berbeda bagi orang Belanda dan orang pribumi. Karena kebangsaannya, karena

8 Gerard Termorshuizen mencatat bahwa anggota Sarikat Islam = 500 ribu orang, sedangkan

80 keturunannya, pribumi dihinakan dibanding orang Eropa. Tidak dapat dipungkiri, penjajahan Belanda mengandung ketidakadilan hukum.

Pramoedya A. Toer (2003: 199-201) dalam Realisme Sosial dan Sastra Indonesia, pernah menulis tentang Mas Marco yang juga pernah dipenjara karena tulisan dalam Doenia Bergerak yang berisi pendapat bahwa pendirian

Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) atau THS tidak bisa diteruskan pemerintah. Dia menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 20 November 1925, menanyakan mengapa tulisan lain yang serupa tidak dipermasalahkan. THS (Swantoro, 2002: 352-359), yang sekarang bernama ITB, setelah lama mendapat keraguan-keraguan berhasil berdiri 3 Juli 1920 sebagai perguruan tinggi pertama di Hindia Belanda.

Kelompok “politik etis” dikaitkan dengan pers yang propribumi dan antipemerintah. Bahkan dengan tulisan mereka, kelompok “politik etis” telah dituduh sebagai orang yang menghalangi pertumbuhan sehat kehidupan politik di Hindia Belanda. Tuduhan ini menjadi serius ketika dikaitkan dengan masalah merongrong kewibawaan negara dan berakhir di penjara. Dalam tulisannya mengenai kegiatan pers Hindia Belanda, Termorshuizen (2005 dan 2011) mencatat beberapa nama yang pernah dipenjarakan karena dianggap melanggar aturan pers: P.A. Daum, J.W.Th. Cohen Stuart, H.J.Lion. Tulisan mereka boleh dikatakan terpengaruh ide-ide Multatuli. Terkait dengan Grondwet 1848, pada tahun 1854 Hindia Belanda mendapatkan peraturan baru (Regeeringsreglement) dan dua tahun kemudian turun peraturan tentang pers

81 (Drukpersreglement) yang menjadi semacam alat sensor pemerintah. Banyak protes maupun diskusi-diskusi yang muncul : kebebasan pers, pengaruh pers bebas yang dapat menghasut penduduk pribumi, dan pembelaan bahwa pers tetaplah pembuka informasi. (Termorshuizen, 2005: 11-25) .

2.2.4 Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 89-93)