• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pascakolonialisme : Wacana kolonial dan Wacana Pascakolonial

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 40-45)

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Pascakolonialisme : Wacana kolonial dan Wacana Pascakolonial

Dengan berakhirnya PD II muncul semacam kesepakatan bahwa kolonialisme oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Asia telah berakhir di dunia. Bertolak dari hal tersebut, teori pascakolonial tidak lagi memandang pada perjuangan melawan kolonialisme dan menuntut kemerdekaan. Menurut Loomba (2003: 16), pada masa ketika kolonialisme Perancis, Inggris, dan Belanda sudah selesai, pengertian pascakolonialisme haruslah lebih luas

30 sehingga pokok tersebut mengandung pengertian pada suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Kata kolonialisme sendiri bertaut dengan penaklukan, penguasaan suatu wilayah, perbudakan, penindasan penduduk, pemaksaan bahasa atau penggantian budaya. Menurut Tony Day dan Keith Foulcher (2002), penggunaan pendekatan pascakolonial dalam kajian sastra dapat dianggap sebagai strategi pembacaan untuk mempelajari cara karya sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial : konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tak setara, yang telah membentuk suatu bagian signifikan dari pengalaman manusia sejak mula masa imperialisme Eropa.

Teori pascakolonial didefinisikan sebagai karya yang dibentuk secara mendasar oleh afiliasi-afiliasi metodologis pada teori “agung” Perancis (Jaques Derrida, Jaques Lacan, dan Michel Foucault) dan dalam praktiknya adalah teori Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha, dan Young menyebutnya sebagai the the Holy Trinity ahli teori pascakolonial (Moore-Gilbert, 1997: 1-2). Ketiganya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tiga ahli Perancis di atas dalam mengembangkan teori pascakolonial. Salah satu alasan kesuksesan orientalisme, tak diragukan lagi, adalah munculnya dua area yang sangat berbeda secara bersama-sama: post-strukturalisme, dalam Michel Foucault, dan Marxisme Barat, dalam kerangka Gramsci (William dan Chrisman, 1997: 7). Pengaruh psikoanalisis Lacan nampak pada karya

31 Bhabha; menurut Young (2012) Bhabha memandang bahwa wacana kolonial beroperasi menurut protokol ambivalen antara fantasi dan keinginan (fantasy and desire).

Teori pascakolonial bukannya tidak mendapatkan kritik. Aijaz Ahmad (dalam Moore Gilbert, 1997: 2), ahli teori Marxist dan gerakan perlawanan kolonialisme/imperialisme dari India, menyerangnya dengan argumen bahwa prosedur metodologisnya berasal dari teori kritik Euro-Amerika kontemporal yang dalam sejumlah cara mundur secara politis. Bagi Aijaz Ahmad, umumnya kritik budaya Barat bertahap terlepas dari hubungan konkrit dengan perjuangan politik populer kurang lebih sejak tahun 1960-an. Loomba (2005: 15) berpendapat bahwa postkolonial atau pascakolonial dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Akhirnya analisis wacana kolonial dan teori pascakolonial disimpulkan Williams sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang The Other (Williams dan Chrisman, 1997: 8).

Pascakolonialisme akhirnya menempati suatu posisi dalam kajian sastra. Day dan Foulcher (2002) melihat pascakolonialisme sebagai strategi pembacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut. Istilah pascakolonial, menurut mereka menunjukkan tanda-tanda dan

32 efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya.

Kritik pascakolonial bergerak pada pembacaan teks-teks kolonial dan pascakolonial. Teks kolonial atau teks orientalis atau wacana kolonial yang dapat dijadikan objek penelitian meliputi banyak bidang, misalnya, hukum, karya seni, sejarah, dan karya sastra. Theo D’haen (2002: 12-13), profesor sastra dari universitas Leuven Belgia, mengatakan bahwa pada awalnya sastra kolonial ditulis oleh penulis tanah pertiwi kolonial dan dalam bahasa ibu mereka, dengan mata Eropa mereka melihat koloni dari pusat kekuasaan ke wilayah terjajah. Sastra pascakolonial, umumnya muncul sesudah kemerdekaan −D’haen menambahkan tidak harus demikian− dan ditulis oleh pihak (mantan) terjajah dalam bahasa mantan penjajah; sastra tersebut melihat dari wilayah terjajah ke pusat kekuasaan koloni (dulu, yang secara de facto

sering masih ada) dan lingkungan sendiri.9Dalam sejarah sastra Indonesia, hanya segelintir sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya dalam bahasa Belanda, misal Suwarsih Djojopuspito atau Kartini. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Belanda mengenai bahasa Melayu.

Dalam pendekatan pascakolonial, kedua jenis karya sastra tersebut di atas dapat dibaca dengan teori pascakononial. Bagaimana kedua novel melihat

9 Isi kutipan seluruhnya : “Postkoloniale literatuur’ dateert overwegend, hoewel niet noodzakelijk, van na de onafhankelijkheid van een kolonie en is geschreven door (ex-) gekoloniseerden, in de taal van de (ex-) kolonisator. Ze kijkt vanuit de (ex-) koloniale periferie naar het vroegere –en vaak de facto ook nog huidige machtscentrum, en naar de eigen omgeving”D’haen (2002: 12-13).

33 hegemoni kolonial dan perlawanannya, bagaimana novel kolonial mengonstruksi Timurdan bagaimana novel pascakolonial membalas konstruksi tersebut.Sebagaimana dikemukakan oleh Day dan Foulcher (2002) di atas, pascakolonialisme adalah strategi pembacaan yang membantu identifikasi sifat-sifat kolonialisme dalam teks sastra.

Beberapa penelitian terhadap kedua jenis karya sastra, misalnya dilakukan oleh Faruk (2007). Faruk meneliti sastra kolonial yang diterjemahkan dan diedarkan pada masa kolonialisme Hindia Belanda, The Count of Monte Cristo, Robinson Crusoe dan menyandingkan Max Havelaar, baik dengan Hikayat Kadiroen maupun Siti Nurbaya dan menemukan alusi-alusi pada sastra Indonesia terhadap Max Havelaar. Faruk menilai Max Havelaar bersikukuh bahwa intervensi pemerintah Belanda akan menyelesaikan penindasan dan kemiskinan di Jawa, Hikayat Kadiroen melihat bahwa kemerdekaan dan kekuatan rakyat Indonesia yang mampu menuntaskannya.

Pembahasan serupa, yang berbicara tentang kedua jenis sastra, juga dilakukan oleh O’Reilly dalam Postcolonial Literature (2007) atau dikumpulkan oleh Theo D’haen (2002) sebagai editor dalam Europa Buitengaats, Koloniale en postkoloniale literaturen in Europese talen (Jilid 1 dan Jilid 2). Novel-novel seperti Heart of Darkness (Joseph Conrad),

Robinson Crusoe (Daniel Defoe, 1719), Passage to India (E.M. Foster) yang membicarakan tokoh ‘White’ and ‘Black’ dan relasi mereka termuat dalam

34 pembahasan O’Reilly. Pembahasan novel-novel berikut juga dapat dilihat pada buku D’haen: The Tempest (W. Shakespeare, 1611), Kim dan Jungle Books (Rudyard Kipling), Jane Eyre (Charlotte Bronte, 1847), Midnight’s Children (Salman Rushdie, 1981). Buku D’haen berisi pembahasan karya sastra dari negara-negara bekas penjajah dan terjajah, mulai dari (Hindia) Belanda,10 Antillia Belanda, Suriname, Perancis, Karibia, Haiti, Kongo Belgia, Canada, Brasil, Portugis, Inggris, India, dan lain-lain.

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 40-45)