• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objek Material

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 31-39)

1.3 Objek Penelitian .1 Objek Formal .1 Objek Formal

1.3.2 Objek Material

Objek material adalah novel BM (karya Pramoedya Ananta Toer dan terbit pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Lentera Dipantara) terbitan Hasta Prima tahun 1980, cetakan ke-tahun 2005 dan DSK (karya Louis Couperus dan terbit pertama kali pada tahun 1900). Buku DSK cetakan terdahulu juga dilihat untuk melihat adanya perubahan isi; ternyata tak ada perubahan isi.Buku tersebut adalah cetakan ketujuh terbitan L. J. Veen’s Uitgeversmaatschappij N.V., Amsterdam, tanpa tahun terbit. Buku ini diregistrasi di perpustakaan UGM pertama kali pada tahun 1971, juga terbitan tahun 2007 yang diterbitkan oleh Athenaeum, Polak en Van Gennep, Amsterdam.

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian: Teoretis dan Praktis

Penelitian memiliki tujuan praktis yaitu mengungkapkan hasil perbandingan isi novel-novel berlatar kolonialisme Belanda di Indonesia yang

21 ditulis oleh orang Belanda dan Indonesia : (a) menunjukkan struktur naratif novel De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (b) menunjukkan hubungan Penjajah-Terjajah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Jawa jaman kolonial Belanda dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (c) mengungkapkan konstruksi identitas kultural ideal dibentuk dipenuhi oleh subjek kolonial dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (d) mengungkapkan mimikri dan bentuk resistensi bangsa terjajah terhadap kolonialisme dalam novel De Stille Kracht dan Bumi Manusia melalui struktur naratifnya dalam kedua novel tersebut, (e) membandingkan poin-poin di atas dengan melihat perbedaan dan persamaannya.

Model pendekatan yang digunakan mengarahkan penelitian pada pembacaan pascakolonial, dengan menganalisis kedua novel menggunakan pemikiran Homi Bhabha: membahas pandangan-pandangan dan pertentangan-pertentangan kedua pihak (Timur-Barat/Penjajah-Terjajah) dalam kedua novel. Sebagaimana diungkapkan Homi Bhabha bahwa penjajah diperbudak oleh superioritasnya dan terjajah oleh inferioritasnya. Dalam hubungan keduanya berlangsung ajang kompetitif untuk menunjukkan jatidiri mereka; superioritas harus dipertahankan dari serangan Timur dan inferioritas harus dihilangkan sehingga mereka sama dengan Barat. Oleh karenanya, penelitian ini membaca novel DSK karya Louis Couperus dan novel BM karya Pramoedya Ananta Toer dalam kajian pascakolonial: pemikiran-pemikiran tanding superioritas Barat dan inferioritas Timur yang muncul dalam kedua novel, identifikasi dan

22 mimikri kawula kolonial, hibridisasi masa kolonial, dan juga isu-isu resistensi/perlawanan kolonial yang terkandung di dalamnya. Untuk membantu pemahaman terhadap kedua karya sastra, analisis struktural naratif dari Rimmon-Kenan (1993) digunakan. Analisis ini terutama untuk melihat bagaimana ruang, waktu, karakter dan peristiwa difokalisasikan atau diceritakan (alur) sehingga permasalahan penelitian terjawab. Dengan demikian, semua data yang berguna untuk pembacaan pascakolonial tidak terlewatkan. Selain itu, penggunaan struktur naratif diharapkan dapat menunjukkan bagaimana sebuah karya sastra dapat digunakan untuk merepresentasikan kehidupan masyarakat melalui teknik naratifnya.

Tujuan praktis penelitian adalah memberikan pemahaman bahwa perbedaan tanggapan dan pengungkapan mengenai masalah kolonialisme selalu muncul dalam karya sastra yang berbeda. Diharapkan penelitian ini memperkaya informasi mengenai hubungan karya sastra Indonesia dengan karya sastra lainnya, khususnya karya sastra Belanda. Penelitian diharapkan juga memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh kolonialisme dalam kehidupan masyarakat dan memberikan cermin pada bangsa-bangsa masa sekarang bahwa kolonialisme adalah hal buruk dan tidak boleh terulang lagi.

1. 5 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap BM telah banyak dilakukan, salah satunya sebagai akibat dari kebebasan publikasi terhadap BM. Beberapa hasil penelitian

23 disajikan di bawah ini. Dalam buku Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-Novel Mutahkhirnya karya Koh (1996) pembahasan terhadap BM

dilakukan bersama tiga novel lainnya (tergabung dalam tetralogi Bumi Manusia). Keempat novel dikaji dengan pendekatan ekstrinsik secara umum dan sosiologi sastra secara khusus. Dalam kajian ini latar belakang dan pemikiran Pramoedya terhadap permasalahan kemasyarakatan dan dunia serta perkembangan pandangan dunia digunakan untuk membahas tetralogi BM. Dihasilkan kesimpulan bahwa keempat novel mengedepankan perlawanan terhadap kuasa penjajah.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Savitri Scherer (1981) dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku tiga tahun kemudian. Menurut Scherer (2012: 142), BM telah melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan juga pertanyaan tentang siapa yang membuat hukum dan siapa yang diuntungkan dengan hukum itu. Lewat jurnal

Sosiohumanika, Noor dan Faruk (2003) mengemukakan bahwa Minke dalam

BM menjadi figur yang mewakili perlawanan pribumi, bermula dari tahap mimikri yang dilaluinya dalam sistem pendidikan kolonial.

Penelitian secara intertekstualitas pascakolonial terhadap tokoh Nyai Ontosoroh dalam BM (Pramoedya) dan Nyai Dasima dalam Nyai Dasima

karya G. Francis pernah dilakukan oleh Katrin Bandel (2003). Disebutkan dalam penelitian tersebut, Nyai Ontosoroh adalah respon terhadap Nyai Dasima.Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan yang menjadikan

24 status nyai sebagai pengetahuan dan kesadaran baru, berbeda dengan Nyai Dasima yang digambarkan lemah dan tergantung pada laki-laki. Pembahasan terhadap BM bersamaan dengan Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi

dilakukan dengan cara pasca-kolonial oleh Pamela Allen (2004).Novel Pramoedya tersebut dikaitkan dengan permasalahan kolonial: pemindahan tempat, identitas dan hibridisasi atas Nyai Ontosoroh dan tokoh Minke. Pembahasan BM juga dilakukan oleh Tineke Hellwig yang termuat dalam buku In The Shadow of Change (2003). Novel tersebut dibahas bersama-sama dengan 24 novel-novel Indonesia yang lain, seperti Gadis Pantai, Layar Terkembang, Burung-Burung Manyar. Secara garis besar penelitiannya menggunakan pendekatan kritik feminis dengan menerapkan pembacaan secara diakronis. Pembahasan terhadap novel Bumi Manusia dilakukan dengan melihat kedudukan wanita dalam masyarakat kolonial Belanda.

Dalam artikel berjudul “Life is not a scientific manual” Geert Onno Prins (2008), membandingkan DSK (1900) dan Passage to India (1924) karya E.M. Foster. Prins menyimpulkan bahwa kedua novel masing-masing memiliki tiga tema: drama Mrs. Quested, drama koloni, persahabatan (Passage to India) dan perjuangan antara nasib dan hasrat, perselisihan tak teratasi Barat dan Timur, antara wanita dan laki-laki (DSK). Konfrontasi antara Timur dan Barat menjadi benang merah yang membedakan kedua novel tersebut: Foster mempercayai persahabatan antara Barat dan Timur yang

25 hanya dapat terwujud melalui demokrasi, sedangkan Couperus tampak masih meragukan keberhasilan persahabatan antara Barat dan Timur.

Pembahasan ringkas terhadap DSK terdapat dalam Europa Buitengaats

(D’haen, 2002). Hampir semua masalah yang sering dianggap sebagai bumbu sastra Indis (Hindia Belanda), seperti pergundikan, percabulan sampai materialisme, dibahas dalam novel DSK. Hal ini menjadikan DSK semacam ikhtisar sastra tentang Hindia Belanda. Dengan buku ini tampaknya Couperus ingin memperjelas masa-masa kolonialisme abad ke-20 dan prediksi bahwa kekuasaan Belanda ditakdirkan untuk berakhir. Dengan cara ini Couperus melakukan kritik yang lebih jauh terhadap kekuasaan kolonial dibandingkan dengan Multatuli dalam Max Havelaar. Kritik tentang tingkah laku orang-orang Belanda di Asia yang sudah terdengar sejak zaman VOC,tetapi tidak pernah menjadi hal yang vokal (penting). Pokok pikiran tentang Verlichting (Pencerahan) pada akhir abad ke -18 awal abad ke-19 menimbulkan kesadaran pada beberapa orang bahwa kepentingan penduduk pribumi tidak cukup mendapatkan perhatian. Juga berkat Max Havelaar dan diskusi tentangnya pokok pembicaraan ini muncul dalam agenda politik, tetapi baru sekitar pergantian abad mulai ada suatu perubahan yang hakiki. Dasawarsa pertama abad itu berfungsi sebagai pedoman bagi politik Belanda.

Dalam buku Indische Spiegel (Nieuwenhuys, 1978) Couperus diulas sebagai pengarang yang pintar dalam menampilkan realita dan suasana Jawa masa itu yang mistis dan misterius. Dalam menampilkan karakter tokohnya,

26 iajuga dinilai pandai menempelkan hidung di atas bibir orang lain. Pendapat ini muncul setelah Nieuwenhuys (1978) memperkirakan tokoh dalam DSK

adalah gambaran tokoh nyata, pribadi di sekitar kehidupan pengarang. Misalnya tokoh Van Oudijck adalah gambaran pamannya yang menjadi residen di Pasuruan. Nieuwenhuys (Ibid.) juga memperkirakan bahwa Labuwangi adalah Pasuruan, tempat Couperus dan istrinya menginap di rumah kakak iparnya seorang residen Pasuruan. Novel ini dibahas dalam kaitannya dengan kehidupan/pengalaman pengarangnya dan juga orang-orang di sekelilingnya.

Terdapat penelitian yang mengaitkan setting tempat novel DSK dengan lokasi sebenarnya di Pasuruan, misal ruang tamu residen, perempatan dengan jam kota di tengahnya, perahu-perahu Madura di kanal, hotel dan kampung Tosari, stasiun Pasuruan. Karin Peterson (2009), dalam bukunya In Het Voetspoor van Louis Couperus, menyertakan gambar-gambar dalam kutipan teks novel.8

Artikel berjudul “Louis Couperus (1863-1923): De magie van het onuitsprekelijke” dalam Paradijzen van weleer (Beekman, 1998) memberikan ulasan dari sudut pandang yang hampir serupa dengan ulasan sebelumnya. Ketakutannya terhadap Hindia Belanda yang gelap, pada harimau, pada hantu-hantu pada masa dia kecil banyak mempengaruhi kisah DSK. Menurut Beekman (1998), buku-buku yang dibaca oleh Couperus juga memberi

8

In Het Voetspoor van Louis Couperus /Menapak Jejak kaki Louis Couperus; contoh gambar dan kutipan, silakan lihat dalam lampiran gambar.

27 pengaruh pada karya-karyanya, misalnya studi Van Hien yang diantaranya berbicara tentang jiwa-jiwa yang negatif, misal gendruwo atau gandarwa.

Ulasan atas DSK oleh peneliti Indonesiadari sisi sejarah dapat dibaca dalam artikel “Studi Interdisipliner terhadap Sastra Hindia-Belanda” yang termuat dalam buku Sastra Interdisipliner oleh Margana (2003). Meskipun ada beberapa keganjilan dalam menampilkan warna lokal, Couperus dinilai Margana cukup berhasil menampilkan dan mengkritisi suatu keaslian sejarah (Historical authenticity).

Penelitian terhadap novel The Hidden Force, terjemahan dari DSK,

dapat dilihat dalam tulisan berjudul “The secrets and danger: interracial sexuality in Louis Couperus’s ‘The Hidden Force’ and Dutch colonial culture around 1900” dalam Domesticating, Race, Gender, and Family Life in French and Dutch Colonialism (Pattynama, 1998). Pendekatan yang digunakan adalah mengombinasikan historiografi kolonial (colonial historiography) dan analisis semiotik dengan menambahkan mode pembacaan kontrapuntal yang diajukan Edward Said. Karya sastra ini dinilai Pattynama seringkali menyajikan perbedaan antara terjajah dan penjajah secara kiasan/metafora sebagai rahasia/bahaya yang tak terduga yang menyelubungi masyarakat jajahan Belanda di Hindia Timur. Tertanam dalam narasi utama yang mengeksplorasi tatanan masyarakat umum kolonial, hal ini menyingkap bagaimana arti perlawanan dihubungkan dengan ras/suku, gender/jenis kelamin, dan persilangan seksual dengan batas-batas yang diatur oleh keluarga.

28 Beberapa pembicaraan ringkas/resensi tentang DSK muncul dalam

www.studenten.samenvatting. Novel ini dipandang berhasil melukiskan suasana Timur yang mencekam dan misterius dengan setting dan jalinan cerita di dalamnya.

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 31-39)