• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Banding sebagai dasar (metode) perbandingan

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 59-65)

1.6 Kerangka Teori

1.6.5 Sastra Banding sebagai dasar (metode) perbandingan

Saya membandingkan representasi kehidupan masa kolonial dan perlawanannya dalam dua novel yang berbeda bahasa dan berbeda nasionalitas pengarangnya, yaitu novel Bumi Manusia, berbahasa Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 meskipun bersetting awal abad 1900 dan DSK karya Louis Couperus yang terbit dalam Bahasa Belanda untuk pertama kalinya pada tahun 1900. Metode perbandingan dilakukan dengan menerapkan pendekatan pascakolonial karena satu novel dapat dikatakan berasal dari pengarang pihak-terjajah dan yang lain dari pengarang pihak-penjajah. Penelitian ini diharapkan memperkaya kajian kesusastraan pada umumnya. Diungkapkan oleh Aziz (2001: 162) bahwa kemunculan kesusastraan pascakolonial telah membuka

49 objek kajian sastra bandingan ke arah bermacam-macam karya sastra yang berasal dari geografis dan budaya yang berbeda.

Membandingkan dua karya sastra yang berasal dari pihak- pihak yang bertentangan (pengganti sebutan penjajah dan terjajah) akan menjadi hal yang penting bagi perkembangan kesusastraan maupun hubungan antarbangsa. Edward Said (1995: 22 -52) mengatakan bahwa mengabaikan atau melupakan pengalaman tumpang tindih atau saling ketergantungan wilayah-wilayah budaya tempat penjajah dan terjajah hidup berdampingan dan saling berperang melalui proyeksi maupun geografi, narasi, dan sejarah yang bertentangan berarti meninggalkan apa yang penting dari dunia di abad lampau. Menghubungkan dengan gagasan Goethe tentang Weltliteratur – hal yang penting bagi para sarjana kesusastraan komparatif pada awal abad keduapuluh – Said berpendapat bahwa berbicara tentang kesusastraan komparatif berarti membicarakan interaksi kesusastraan dunia antara satu dengan yang lain.

Rene Wellek dan Austin Warren (1990) mengemukakan tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum, dan sastra universal.

50 Guillen (1993) menyebutkan adanya tiga model perbandingan supranasionalitas atau perbandingan yang melampaui batas-batas negara: model A, B, dan C. Model A, studi fenomena dan kumpulan-kumpulan supranasional, imply internationality, yang mengisyaratkan adanya kontak genetis atau relasi lain antara pengarang dan proses terkait untuk membedakan ruang lingkup nasional atau premis-premis budaya umum. Ini berarti bahwa model ini mencari hubungan historis antara karya sastra-karya sastra yang dibandingkan. Hubungan itu bisa berarti sebuah karya adalah gubahan karya yang lain atau sebuah karya terpengaruh secara tematik. Model B, yang bebas genetis (genetically independent), mengisyaratkan bahwa karya sastra-karya sastra yang dibandingkan bebas dari hubungan sejarah penciptaan, bebas secara genetis. Adanya kemiripan antar mereka bukan disebabkan oleh pengaruh-mempengaruhi. Model lain muncul ketika fenomena bebas genetis memperbaiki supranasional yang sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip-prinsip dan maksud yang berasal dari teori sastra. Studi Barat-Timur menawarkan secara khusus keuntungan yang bernilai dan berpengharapan dalam penyelidikan yang didasarkan pada model C ini. Model C ini mengijinkan adanya dialog antara unity dan diversity yang menstimulasi komparatisme untuk memusatkan konfrontasi terbuka dari kritikan/sejarah dengan teori; atau pengetahuan mengenai puisi dan puitis. Model ini penting tidak hanya karena cocok dan memberi harapan pada perkembangan studi

51 membawa kita pada ambang peran teori sastra sebagai generator dari model-model investigasi.

Jost (1974) menyebut bahwa penyelidikan komparatif dibagi dalam 4 bidang dasar: pengaruh dan analogi; aliran dan trends; genre dan bentuk; dan motif, tipe dan tema. Sedikit berbeda dengannya, Kazim (1996) menambahkan satu bidang sehingga ada lima bidang kajian sastra banding: (1) Tema dan motif, (2) genre dan bentuk (form), (3) aliran (movement) dan angkatan, (4) hubungan karya sastra dan ilmu pengetahuan/agama/karya seni, teori sastra, sejarah sastra, dan teori kritik sastra.

Model B yang dipilih dengan alasan, meskipun satu sastra berasal dari Timur (Indonesia ) dan satu lainnya dari Barat (Belanda), keduanya membidik setting waktu dan tempat yang sama yaitu East (Hindia Belanda atau Indonesia tempo dulu). Hal ini dapat diartikan bahwa perbandingan tidak mempermasalah asal muasal kemiripan atau pengaruh-mempengaruhi kedua karya sastra. Sejarah penciptaan kedua novel tidak akan disinggung. Perbandingan difokuskan pada bidang yang terkait dengan tema dan motif kedua karya sastra. Bagaimana tokoh dan urutan cerita dibangun untuk mengemukakan tema resistensi pribumi terhadap kolonial.

Sasaran utama penelitian ini adalah pembacaan pascakolonial terhadap novel-novel (dua novel) yang bersetting penjajahan di Hindia Belanda, maka pada dasarnya perbandingan digunakan sebagai alat bantu (metode) agar tidak ada bahasan penting terlewatkan. Analisis perbandingan terhadap struktur

52 novel dan bagiannya: tema, penyajian, penokohan (dibatasi pada tema terkait wacana kolonial /permasalahan kolonialisme dan alur cerita, artinya pada representasi masa kolonial Hindia Belanda dalam kedua novel tersebut) dilakukan. Pembacaan pascakolonial yang diterapkan kemudian juga tidak melupakan cara perbandingan sehingga persamaan dan perbedaan kedua novel dalam merepresentasikan masa kolonial tidak terlewatkan. Bagaimana DSK

melihat ‘Timur’ dan Hindia Belanda; bagaimana BM melihat ‘Barat’ dan Hindia Belanda.

Karya Couperus, DSK dan karya Pramoedya, BM, adalah dua karya sastra memiliki kesejajaran untuk dibandingkan dan dibaca secara pascakolonial. Cara ini adalah langkah yang sangat relevan, sebagaimana pemikiran O’Reilly (2007: 117-118). Pertama, membandingkan dua karya sastra yang menanggapi sebuah periode atau peristiwa bersejarah; BM dan

DSK menanggapi sejarah kolonialisme di Indonesia akhir abad 20 dan awal abad 21. Kedua, membandingkan dua karya sastra, teks kolonial dan teks poskolonial yang memiliki setting/region yang sama dengan mendiskusikan masalah representasi dan perspektifnya dan kaitan antara keduanya.

Kedua novel juga dapat dipandang sebagai teks naratif sehingga teori teks naratif dan model analasisnya dapat digunakan. Representasi dalam kedua novel akan dibandingkan dan dihubungkan kaitan teksnya. Novel BM adalah wacana pascakolonial yang melakukan pelawanan terhadap kolonialisme. DSK

53 diterbitkan pada masa penjajah maka boleh dikatakan sebagai wacana kolonial (sebuah sebutan dalam kerangka teori pascakolonial). Akan tetapi, karena munculnya pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa novel tersebut juga melakukan kritik terhadap kolonisator sebagaimana Max Havelaar, maka tepat kiranya digunakan teori pascakolonial untuk menganalisisnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap BM.

Maman S. Mahayana (2008) mempersoalkan konsep sastra bandingan yang menekankan pada perbandingan dua/lebih karya sastra yang dituntut berasal dari dua negara atau nasionalitas. Pikiran tersebut muncul ketika peneliti menghadapi dua negara dengan bahasa yang sama, misal Malaysia dan Indonesia, Amerika dan Australia. Persoalan konseptual juga timbul bila peneliti membandingkan dua karya sastra dengan menggunakan dua bahasa yang berbeda tetapi keduanya berada dalam satu negara, misal sastra Sunda dan Batak atau karya sastra berbahasa Perancis dan Belanda di Belgia.

Maman S. Mahayana (Ibid.) juga mengingatkan peneliti agar kajian sastra bandingan tidak hanya berhenti dengan melihat persamaan dan perbedaan tekstual tetapi berlanjut pada masalah interpretasi budaya yang melahirkannya. Pada akhirnya kajian banding juga menelorkan persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan. Dalam hemat saya, pembacaan pascakolonial akan melengkapi idealisme perbandingan kedua karya sastra.

54 Perbandingan terhadap dua novel: DSK dan BM akan dilakukan untuk mempertajam penafsiran postkolonial atas kedua novel tersebut. Sebuah novel yang menggambarkan permasalahan kolonialisme maka novel itu dapat dilihat dalam kerangka kolonialisme (sejarah, budaya, agama/kepercayaan dan lainnya pada masa itu). Karenanya, isu-isu atau permasalahan kolonialisme (representasi dan pandangan/perspektif) yang muncul dalam kedua teks tersebut yang diamati. Berdasarkan pandangan-pandangan dan permasalahan antar kolonialisme Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) maka novel BM dan

DSK dibandingkan; bagaimana dua teks mengangkat permasalahan seputar wacana kolonial.

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 59-65)