• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lacan (Psikoanalisis) dan konsep mimikri Bhabha 12

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 52-59)

1.6 Kerangka Teori

1.6.4 Lacan (Psikoanalisis) dan konsep mimikri Bhabha 12

Menanggapi indoktrinasi kemurnian ras dan pengejekan masyarakat, terjajah yang mengalaminya akan melakukan perlawanan atau malahan peniruan (mimikri). Homi Bhabha telah mengadopsi teori Lacan dalam pembahasannya mengenai hubungan terjajah-penjajah.Pada diri terjajah maupun terjajah ada hasrat dalam ketidaksadaran manusia sehingga mereka saling mencari pemenuhan agar menjadi utuh.Rengganis (2000) menyimpulkan adanya dua cara pemenuhan.Pertama, sebagai pernyataan bahwa subjek berhasrat untuk menjadi sasaran hasrat ‘Yang Lain', yakni berhasrat untuk menjadi objek bagi hasrat ‘Yang Lain’. Kedua, sebagai pernyataan bahwa hasrat subjek adalah hasrat ‘Yang Lain’, dan bahwa asal-usulnya adalah dari lokus ‘Yang Lain’. Teori mimikri Lacan diilustrasikan dalam analogi pertahanan biologis seranggasehingga dalam resistensi

12

Diramu dari pembacaan Homi Bhabha (1994), Bart Moore-Gilbert (1997), Irsyadul Ibad (2012), Rengganis (2004).

42 tergambar mimikri (Bhabha,1994: 120-121; Baart Moore-Gilbert, 1997: 133). Hasrat juga menjadi bagian dari ketidaksadaran dalam teori Lacan.

'Hasrat' Lacan berasal dari pembacaannya atas teori Freud; Freud mencurigai bahwa kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat yang berasal dari ruang ketidaksadaran. Meski demikian, dengan adagiumnya 'dimana ada id, selalu ego berpatroli' (Wo Es War, Soll Ich Werden), Freud dinilai tetap meletakkan kesadaran sebagai pengontrol ketidaksadaran. Lacan menolak adagium itu, ego berkuasa atas id; baginya seluruh eksistensi manusia dikontrol dan dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Dia juga menandai konsep Freud 'need-demand-desire' ke dalam kerangka “yang Real-yang Imajiner-yang Simbolik”. Ketika bayi memasuki tahap 'demand' (sesuatu yang tak dapat atau tak mungkin terpenuhi), dia menyadari kehadiran 'sang liyan' yang ingin dihilangkannya. Kemustahilanpada permintaan mendorongnya memasuki tahap 'Yang imajiner”. Pada tahap ini, bayi melihat dirinya (ego) eksis melalui citra cerminal. Namun, 'ego' yang dilihatnya di cermin, yang diakuinya sebagai dirinya itu sebenarnya berasal dari kesalahan mempersepsi citra cerminal, artinya gambaran tentang diri si “aku” tidaklah sama dengan kenyataannya. Hal ini berarti bahwa ‘tahap-cermin’yang melekat secara anatomis ke dalam perkembangan tak utuh dengan sendirinya menempatkan hubungan ganda imajiner; tahap ini menjadi dasar hubungan antar pribadi (dengan sang liyan) sekaligus prasyarat narsisisme primer dan sumber perilaku agresif (Kurzweil, 2004).

43 'Citra cerminal' ini yang selalu dibawa bayi untuk mengidentifikasikan sang liyan. Bertolak dari tahap ini bayi akhirnya memasuki tahap keinginan pada kepemilikan identitas; keinginan tersebut disebut sebagai 'hasrat' (desire). Disimpulkan Ibad, “Bentuk hasrat lain adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah, dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan.”13 Karenanya, identitas selalu dikonstruksi seputar citra ideal yang bersifat imajiner.

Bhabha menggunakan konsep demand dan desire dalam mengartikan hubungan terjajah dan penjajah; dia menganalisis bagaimana aktor yang ambil bagian dalam relasi itu dibentuk oleh wacana kolonial. Homi Bhabha mengikuti konsep Lacan menyebut bahwa penjajah memiliki demand for recognition; demand for recognition is negotiated at an unconcious level.

Pada area ini (Bhabha dalam Sarup: 2002) ada tuntutan narsistik yang bila ditolak menimbulkan terjadinya paranoya; penolakan menyebabkan penjajah merasa bahwa terjajah membencinya. Dengan kata lain penjajah telah diperbudak oleh rasa superioritasnya.

Demand didefinisikan Lacan (via Ibad, loc.cit.) sebagai sesuatu yang tak dapat atau tak mungkin terpenuhi.Bhabha berpendapat “although there is a surveillance, fixity is not achieved” (meskipun ada pengawasan, kepastian tak tercapai) (Sarup, 2002: 161), artinya tuntutan untuk diakui tidak terpenuhi.Kondisi ini dilukiskan Bhabha dengan meminjam konsep Lacan

13

44 tentang cara kerja hewan yang bermimikri. Mimikri oleh hewan digunakan sebagai tindakan pertahanan/perlindungan diri dengan cara menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Bagi Lacan (dalam Bhabha, 1994), mimikri kolonial analog dengan pertahanan serangga; mereka dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi tinggi dengan alam sekitarnya, sebut misalnya bunglon dan gurita yang berubah warna sepertilingkungan sekitarnya, atau ikan dan katak di kutub utara yang membeku padat di musim dingin agar tetap hidup. Bahkan, ada seekor katak ini meniru suara katak jantan lain yang memanggil pasangannya dan begitu katak betina muncul, dia ‘menerkamnya’. Lacan mengartikan bahwa dalam peniruan (mimikri) muncul efek kamuflase dan resistensi terjajah yang berada dalam level ketidaksadaran.

Hasrat dapat dipahami sebagai keinginan pada kepemilikan identitas. Sebagaimana menurut psikoanalisa Lacan, bayi selalu melihat yang lain untuk “kepenuhannya” sehingga menjadi yang utuh. Hasrat dilahirkan oleh adanya kekurangan (lack); konsep lack ini mendapat sebutan sebagai ibu kandung hasrat.Identitas dalam pandangan Lacan terbentuk dalam ruang sosial, dengan demikian identitas diri yang menandakan keberadaan di antara yang lain juga menandakan perbedaan dengan yang lain. Hasrat subjek kolonial muncul dari kekurangan. Bhabha (Jefferess, 2008: 36) berpendapat bahwa subjek kolonial selalu bergerak mengitari poros stereotip dan dalam tindak pengingkaran dan fiksasi, subjek kolonial dikembalikan pada narsisme imajiner dan identifikasinya pada ego ideal adalah 'putih' dan 'utuh'.

45 Akhirnya dalam relasi penjajah dan terjajah yang tidak setara,

Otherness menjadi objek hasrat dan ejekan; otherness menghadirkan artikulasi perbedaan yang terisi dalam keaslian dan identitas. Sebaliknya, Bhabha mengatakan hasrat terjajah adalah menduduki tempat sang Tuan. Dia berusaha memenuhi citra ideal tertinggi, citra superioritas yang dimiliki sang Tuan. Untuk memenuhi “kepenuhan diri” dia selalu melihat pada pribadi yang lain. Akhirnya, bila si Putih diperbudak oleh superioritasnya, si Hitam diperbudak oleh inferioritasnya.

Perbudakan inferioritas memicu mimikri dalam diri si minder. Mimikri kolonial adalah hasrat untuk sesuatu diperbarui, the Other yang dapat dikenali sebagai subjek berbeda; yang hampir sama tetapi tak sepenuhnya sama. Menyinggung lagi tentang ambivalensi, rupa-rupanya wacana mimikri juga dikonstruksi seputar ambivalensi: ada kesamaan sekaligus perbedaan, meniru sekaligus mengingkari. Lacan (dalam Bhabha, 1994) mengingatkan mimikri seperti kamuflase; ia bukanlah harmonisasi dari represi perbedaan, tetapi sebuah bentuk persamaan/kemiripan. Hasil dari mimikri adalah identitas tambal sulam/ belang-belang dan karena bukan harmonisasi, maka mimikri menjadi ancaman: mengungkapkan ambivalensi wacana kolonial dan mengacaukan otoritas wacana kolonial.

Pengertian mimikri kolonial selanjutnya diperkenalkan Homi Bhabha (1994) sebagai konsep yang berisi tindakan yang tidak sekedar meniru-niru, tetapi juga mengandung 'perlawanan'. Jacques Derrida (dalam Bhabha, 1994)

46 menegaskan bahwa tingkah laku meniru bukanlah sekedar menjiplak sebuah fenomena, ide, atau sosok yang ada, tapi juga membentuk 'sesuatu' dengan membayangkan (membawa 'fantasme') tentang sesuatu yang asli dan merupakan asal muasal. Dalam tindak mimikri yang membentuk 'sesuatu' maka sebenarnya hal asli, otentik tak dapat dikontrol lagi. Pribadi baru yang terbentuk selalu “hampir sama, tetapi tak sepenuhnya sama”.

Di atas telah disinggung bahwa pengawasan tidak menjamin tercapainya fixity. Permintaan subjek penjajah untuk diakui (demand for recognition) adalah gagal justru karena adanya mimikri, adanya penyesuaian. Pribumi meniru pemikiran dan pendapat penjajah, dia mengangguk-angguk mengiyakan, “Ya, ya..!”. Penjajah merasa diakui keberadaan dan menjadi puas. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pribumi tidak melakukan hal seperti yang dilakukan, dia merasa terganggu dan terancam. Pihak kolonial pun merasa dirongrong otoritasnya, tetapi mereka tidak memahami kondisi ini.

Mengenali mimikri, bagi Bhabha (Bart Moore-Gilbert, 1997: 130-140), harus didekati dari dua kubu: yang ditiru dan yang meniru dan pengertian mimikri dapat digambarkan sebagai pertahanan yang mirip dengan teknik kamuflase dalam medan peperangan. Lebih lanjut Moore- Gilbert (1997) menyebut, persepsi Bhabha tentang transitive resistance diilustrasikan dalam dua cara.Cara pertama, subjek terjajah diberdayakan dalam pergaulan/pengawasan penjajah (colonizer's gaze). Cara ini nampak sebagai proses hibridisasi dan mimikri sebagainama untuk pembalikan strategi proses

47 dominasi. Yang terjajah dan terdiskriminasi menjadi mata kekuasaan. Carakedua, subjek terjajah menolak panggilan diberdayakan dan mendestabilkan otoritas kolonial dalam cara berbeda secara efektif. Artinya mereka berusaha menghindari permintaan penjajah yang ingin diakui dominasinya atas mereka dengan cara mengiyakan, dan dengan tersenyum mengakui keunggulan pikiran penjajah, atau dalam istilah lain ABS (asal bapak senang). Penjajah pun dibingungkan dengan kondisi ini karena The Othertidak melakukan hal-hal yang disetujui.

Bhabha (1994: 86) mengungkapkan bahwa dalam area antara mockery

dengan mimicry, proses perbaikan dan misi sivilisasi terancam oleh pandangan penggantian dari disipliner ganda mimikri kolonial yang bersifat ambivalen; kolonisatorberkeinginan untuk mereformasi atau mencipta The Other yang dapat dikenali sebagai subjek yang berbeda, yang sama tetapi tak persis sama (almost the same, but not quite). Lebih jauh Bhabha mengungkapkan bahwa efek mimikri pada otoritas kolonial adalah mendalam dan mengganggu karena mimikri pada saat yang sama dapat menjadi kemiripan dan ancaman. Ambiguitas mimikri akhirnya juga menimbulkan gangguan identitas The Other.

Mimikri dapat diartikan sebagai tanda dari artikulasi ganda, atau sebuah strategi kompleks dari perbaikan, pengaturan dan disiplin yang melekat pada strategi dominan untuk perbaikan, pengaturan dan disiplin. Strategi tersebut menetapkan The Other sebagaimana hal itu memvisualisasikan

48 kekuatan kolonial (Bhabha, ibid., 86). Mereka yang sudah mirip dengan pihak yang lebih tinggi statusnya, seperti Minke yang berpakaian Belanda dan bersekolah di Belanda dan lancar berbahasa Belanda, seakan memiliki posisi status yang sama dengan mereka. Minke adalah subjek yang sudah dikuasai oleh pihak Belanda; dia biasa berpikir dengan pikiran orang Belanda. Mimikri ini juga menyiratkan kelemahan kedudukan si pelaku mimikri; perilaku mimikri dilakukan karena yang ditiru dianggap meer (lebih) dan si peniru adalah minder (kurang).

Dalam dokumen DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR (Halaman 52-59)