• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Usaha-Usaha Yang Dijalankan Inggris Dalam Membantu

1. Pada Awal Mandat Sampai Tahun 1939

Pada tanggal 25 April 1920, panglima-panglima tentara sekutu yang berkonferensi di San Remo Italia menetapkan bahwa Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Ketetapan ini menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Piagam Lembaga Bangsa-Bangsa mengenai sistem mandat. Dengan menyingkirkan sama sekali adpis-adpis komisi King Crane, konferensi memutuskan untuk meletakan Palestina di bawah mandat Inggris (Daliman, 1998: 134).

Menurut Piagam Lembaga Bangsa-Bangsa, bahwa bangsa-bangsa yang tadinya di bawah kekuasaan Turki, yang telah mencapai suatu taraf kemajuan dengan mana mereka layak untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa itu diletakkan di bawah mandat untuk sementara waktu. Kewajiban negara

yang diserahi mandat adalah semata-mata memberi adpis dan bantuan, sehingga bangsa-bangsa itu sanggup berdiri sendiri.

Komisi King Crane adalah suatu komisi yang dibentuk oleh sekutu setelah Perang Dunia I berakhir, untuk menyelidiki pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan bangsa Arab. Di dalam laporan komisi King Crane diperingatkan membuka pintu untuk pemindahan kaum Yahudi ke Palestina. Demikian Juga di peringatkan perbedaan antara hak kaum Yahudi untuk membangun tempat kediaman di Palestina dengan keinginan mereka untuk mendirikan negara disana. Selanjutnya komisi tersebut menegaskan bahwa mendirikan negara Palestina membahayakan hak-hak dari anasir-anasir yang bukan Yahudi, baik mengenai agama maupun yang mengenai hak-hak sipil (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 11-12).

Untuk menjalankan pemerintahan mandat dan melaksanakan janji Balfour, pemerintahan Inggris pada tahun 1920 mengangkat Sir Herbert Samuel seorang Yahudi Inggris dan orang yang punya peranan penting di dalam mendeklarasikan perjanjian Balfour, diangkat sebagai komisaris Inggris yang pertama di Palestina dan mengggantikan administrasi militer. Herbert Samuel segera mendirikan sebuah kantor sipil di Palestina yang beranggotakan oleh kaum Yahudi, menerima bahasa Ibrani menjadi bahasa resmi, disamping bahasa Inggris dan Arab. Herbert Samuel juga telah memberikan peluang kepada kaum Yahudi untuk berindustri, serta menyerahkan kementerian pelajar kepadanya (Ahmad Shalaby, 1991: 83).

Dalam kondisi demikian, bangsa arab Palestina telah sadar bahwa tanah mereka sedang dijajah oleh bangsa Eropa Kristen sekaligus diancam Yahudi. Sebagai akibatnya, ketegangan muslim dan Yahudi pun tidak terelakkan. Pada tahun 1920, muslim di bawah komando Musa an Nabil melakukan penyerangan terhadap kelompok Yahudi di Yerusalem sehingga menewaskan 5 orang dan mencederai 211 orang. Sementara di pihak muslim pun 4 orang tewas dan 211 luka-luka. Selang setahun kemudian, di Yafa muncul aksi kekerasan susulan. Dalam aksi ini, 47 orang Yahudi tewas dan 147 luka-luka. Sementara, di pihak muslim ada 48 orang tewas dan 73 orang cedera (Abu Bakar, 2008: 243).

Inggris pada tanggal 27 Februari 1921 juga telah mengeluarkan undang-undang yang memperbarui syariat Utsmani (bangsa Turki) yang mengatur segala

hal yang berhubungan dengan tanah kosong dan menetapkan tentang pencaplokan tanah kosong dari orang yang tidak punya hak kepemilikan. Maksud dari semua itu tidak lain bahwa pemerintah berusaha untuk menguasai tanah dari para petani sebagai langkah awal untuk dihadiahkan kepada Yahudi (Ismail Yaghi, 2001: 44). Akibatnya ribuan petani Arab yang memiliki tanah itu secara waris mewaris selama ratusan tahun terusir setelah orang-orang Yahudi yang menguasai tanah mareka.

Pada tanggal 24 Juli 1922 Inggris mengajukan proyek mandatarinya kepada Liga Bangsa-Bangsa sebagaimana yang diinginkan oleh Zionis. Liga Bangsa-Bangsa memutuskan penempatan Palestina di bawah Mandat Inggris serta mensahkan dokumen mandat yang telah di susun oleh Inggris yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi zionisme yang pada waktu itu diwakili oleh seorang Yahudi Amerika, yakni Benyamin Cohen. Inggris berhasil mendapatkan legalitas negara untuk menjalankan pemerintahan mandatnya.

Dengan diserahkannya mandat Palestina kepada pemerintah Inggris maka mulailah kaum Yahudi dari berbagai dunia secara besar-besaran pindah ke Palestina. Selama tahun pertama mandat itu dasar-dasar negara Yahudi Jewish nasional home (rumah nasional Yahudi) didirikan dengan tegas. Imigrasi Yahudi mulai meningkat hingga mencapai puncaknya tahun 1925. Dari 7.400 orang pada tahun 1923 menjadi 12.800 orang pada tahun 1924 dan 23.800 orang pada tahun 1925. Dengan demikian penduduk Palestina bertambah dengan amat cepat, sehingga merupakan suatu bahaya bagi bangsa Arab (M. Nur El Ibrahimy, 195 : 15). Tahun 1925 adalah tahun yang menarik, pada tahun ini membanjirlah imigran Yahudi ke Palestina terutama para pengungsi dari Polandia. Merupakan awal gelombang imigrasi yang terkenal sebagai Aliyah keempat, yang membuat Tel Aviv menjadi sebuah kota yang relatif padat penduduknya. Menurut catatan-catatan resmi, jumlah imigran Yahudi ke Palestina pada tahun 1920 sampai 1929 adalah 100.000 orang (Harun Yahya, 2005: 53). Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1920-1929 dapat di gambarkan sebagai berikut (lihat tabel 1):

Tabel 1: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1920-1929

Tahun Jumlah Orang Yahudi yang Pindah 1920 (Sept-Okt) 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 5.514 9.149 7.844 7.421 12.856 33.801 13.081 2.713 2.178 5.249

Sumber: Harun Yahya, Palestina Zionisme dan Terorisme Israel, 2005, hal. 54.

Herbert Samuel bekeja sekuat tenaga untuk menarik simpati dan minat orang-orang Yahudi agar berhijrah ke negeri Palestina. Dia telah menggunakan pemerintahan Inggris yang ada didalam kekuasaannya untuk memberi segala kemudahan, dispensasi dan kesempatan-kesempatan hidup terhadap para imigran Yahudi itu. Didirikanlah perumahan-perumahan dan pabrik-pabrik untuk mereka dan berlatih menggunakan senjata-senjata modern (Ahmad Shalaby,1991: 84).

Orang Yahudi yang pindah ke Palestina itu tidak datang dengan badan bulat saja, akan tetapi bersama mereka mengalir pula dolar atau kapital raksasa dari kapitalis-kapitalis Yahudi di seluruh dunia. Mereka membeli tanah sebanyak-banyaknya, mendirikan berbagai perusahaan, membuka rumah-rumah tambang dan koloni-koloni sehingga dapat dikatakan seluruh lapangan ekonomi dan keuangan diduduki mereka, hal ini sangatlah membahayakan bangsa Arab. Semua ini terjadi dengan bantuan Inggris, kerena Inggris ingin melaksankan janji Baulfournya kepada kaum Yahudi.

Pemerintahan Inggris menetapkan undang-undang tentang larangan pembukaan tanah baru. Barang siapa melanggar akan dihukum dan dirampas

tanahnya. Karena pada undang-undang Utsmani (Turki) membolehkan petani memiliki tanah yang telah dibukanya setelah membayar uang ganti yang seharga (Ismail Yaghi, 2001: 78). Pada kesempatan yang sama, pemerintah Inggris juga mulai menekan kaum Arab dengan menaikkan berbagai macam cukai yang tinggi. Suplai air untuk tanah-tanah kepunyaan warga Arab Palestina dikurangi. Pemilik-pemilik tanah yang bukan warga Palestina diintimidasi agar menjual tanah dan harta bendanya kepada kaum Yahudi saja. Dibuat suatu larangan bagi orang-orang Arab untuk kembali ke negara Palestina dan bagi mereka dilarang memanggul senjata atau memilikinya (Ahmad Shalaby, 1991: 84).

Herbert Samuel adalah Figur orang yang begitu rela dan tepat janji kepada gerakan Zionis. Antara tahun 1920-1925 Samuel telah mengerahkan segala tenaganya untuk mencari jalan keluar yang efisien untuk memotivasi orang-orang Yahudi, dan sangat memperhatikan mereka dengan mendengarkan segala perkataan para pemimpin mereka, dan memenuhi segala keinginannya dan kesukaannya. Dia juga menyusun segala rencana yang cocok untuk memprovokator dan mempermudah hijrah mereka. Jumlah orang Yahudi meningkat pesat sejak diberlakukannya undang-undang Herbert Samuel, dari lima puluh lima ribu orang sampai seratus delapan ribu. (Ismail Yaghi, 2001: 44).

Pemerintah Inggris terus menekan rakyat Palestina agar gerakan Zionisme menguasai ekonomi Palestina dan menghancurkan rakyatnya. Pada tahun 1926 keluarlah undang-undang tentang pecabutan kepemilikan. Dengan undang-undang ini diperkenalkan kepada petugas perundang-undangan untuk mengambil hak kepemilikaan tanah jika diperlukan untuk proyek. Dengan itu pula orang-orang Yahudi dengan bantuan pejabat tinggi Inggris bisa menguasai tanah walaupun sepetak. Berdasar itu pula petugas perundang-undangan bisa merampas tanah milik orang yang tidak mau diberi harga murah dan kemudian diserahkan kepada pejabat Yahudi (Ismail Yaghi, 2001: 79).

Perpindahan orang Yahudi yang diorganisir oleh Zionis atas bantuan Inggris dengan mantap mengubah keadaan demografi Palestina dan telah menjadi sebab terpenting berkepanjangannya konflik. Peningkatan penduduk Yahudi secara langsung membuktikan kenyataan bahwa kekuatan penjajahan, kekuatan

hukum atas tanah tersebut, datang untuk merampok hak-hak penduduk Arab Palestina. Bangsa Yahudi di Paletina berhasil membuat undang-undang dan segala peraturan yang sesuai dengan cita-cita mereka dalam berbagai aspek, mereka menikmati fasilitas istimewa dan hak otonom.

Melihat keadaan yang demikian, semangat kebangsaan Arab bertambah lama bertambah meluap sehingga pada tahun 1929, muncul aksi kekerasan orang Arab Palestina kepada orang Yahudi terkait masalah Tembok Ratapan pada perayaan Yon Kippur. Tembok Ratapan adalah tempat suci orang Yahudi juga merupakan tempat suci bagi kaum muslim, walaupun nilainya kurang penting dibandingkan bagi kaum Yahudi. Tembok Ratapan diyakini kaum muslim sebagai tempat Muhammad menambatkan kudanya selama Isra Mikraj. Tembok Ratapan menjadi tempat suci orang Yahudi karena letaknya sangat dekat dengan tempat kudus di Temple Mount, yang merupakan tempat Maha Kudus (bagian dari Kenizah Allah) dalam Yudaisme. Kepercayaan di kalangan orang Yahudi, yaitu mereka berdoa di Tembok Ratapan karena percaya bahwa di tempat itulah Yang Ilahi Hadir (Shekhinah) bertakhta diatasnya dan pintu surga persis di atasnya, sejak ratusan tahun yang lalu orang-orang Yahudi yang berdoa di tempat itu menyelipkan sepotong kertas di antara celah dinding batu. Mereka mengirim surat kepada Tuhan menyampaikan keluhan, harapan, dan berterima kasih (Trias Kuncahyono, 2008: 207-210). Aksi kekersan pun semakin meluas di sejumlah kota di Palestina terutama di Hebron. Aksi kekersan di Hebron pada Agustus 1929 itu meninggalkan bekas yang tidak terhapus pada kedua belah pihak. 133 orang Yahudi terbunuh oleh orang-orang Arab Palestina dan 339 terluka. Dalam meredam serangan tersebut, polisi Inggris menewaskan 110 orang Arab dan 232 terluka. Peristiwa mengerikan ini tidak merugikan orang Arab dalam hubungannya dengan Inggris, tapi tentu saja mengeraskan sikap permusuhan orang Yahudi kepada orang Arab Palestina (Karen Armstrong, 2006: 174).

Pada awal tahun 1930-an Gerakan Zionis di tanah Palestina berhasil mendapat persetujuan pemerintah protektoral Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke tanah Palestina secara besar-besaran. Imigran yang terbesar pada waktu itu berasal dari Jerman, karena pemerintah Jerman kala itu gencar-gancarnya

mendengungkan gerakan anti Semitisme. Sebagai contoh pernyataan Glubb, seorang sejarawan Inggris menyebutkan, pada tahun 1932 imigran Yahudi Jerman ke Palestina tercatat sebanyak 9.000 orang. Pada tahun 1933, saat Adolf Hitler berkuasa dan memimpin Nazi jumlah imigran Yahudi Jerman meningkat beberapa kali lipat menjadi 33.000 orang. Tahun berikutnya, kembali bertambah menjadi 40.000 orang. Tahun 1935, meningkat sangat besar menjadi 61.000 orang. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang keras dari bangsa Arab Palestina terhadap pemerintah protektoral Inggris (Herry Nurdi, 2009: 47). Di bawah ini adalah Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939 sebagai berikut (lihat tabel 2):

Tabel 2: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939

Tahun Jumlah Orang Yahudi yang Pindah 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1938 1937 1939 4.944 4.075 9.553 30.327 42.359 61.854 29.727 10.536 12.868 16.405 Sumber: Harun Yahya, Palestina Zionisme

dan Terorisme Israel, 2005, hal. 55.

Pada tahun 1931, Dunia Islam mulai menaruh konsentrasi terhadap masalah Palestina, hingga digelarlah Konferensi Umat Islam di Yerusalem. Dalam konferensi ini hadir 22 delegasi dari berbagai daerah, termasuk diantaranya M. Rasyid Ridha dari Mesir, Shakib dari Arslan dari Libahon, Muhammad Iqbal dari Pakistan, Syaukat Ali dari India, Abdul Aziz ats Tsalibi dari Tunisia, Djia ad Din al Thabathaba’i dari Iran, dan Syukri al Kutili dari Syiria. Konferensi Umat Islam

ini terhitung sebagai langkah maju, meskipun pada saat itu keberuntungan belum memihak muslim. Sebab negara mereka juga dalam cengkraman Inggris. Berbagai putusan hasil konferensi pun tidak dapat diimplementasikan karena Inggris selalu memberi tekanan. Pada tahun 1932, muslim Palestina berhasil mendirikan Partai Kemerdekaan, tetapi akibat tekanan Inggris partai ini tidak dapat bertahan lebih dari setahun (Abu Bakar, 2008: 244-245).

Pada tahun 1935 partai-partai politik Palestina dengan maksud untuk membulatkan perjuangan nasional telah bergabung dalam suatu front yaitu panitia Arab tertinggi. Pada tanggal 26 November 1935, panitia ini memajukan suatu nota kepada pemerintah Inggris, berisi tuntutan-tuntutan sebagai berikut : (1) Membentuk suatu pemerintahan nasional yang bertanggung jawab kepada parlemen. (2) Menghentikan sama sekali pemindahan kaum Yahudi ke Palestina. (3) Melarang penjualan tanah kepada kaum Yahudi.

Sebagai jawaban atas nota Arab ini, menteri jajahan Inggris mengusulkan sebagai langkah pertama menuju pemerintahan demokrasi, supaya dibentuk suatu dewan Legislatif yang terdiri dari 28 anggota: 5 dari kalangan pegawai, 2 dari kalangan pedagang, 11 dari kalangan Islam di antaranya 8 dipilih dan 3 diangkat, 7 dari golongan Masehi diantaranya 5 dipilih dan 2 diangkat. Akan tetapi usul ini ditolak Inggris (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 16). Mereka juga mulai menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyuarakan hak keadilan kepada pemerintah Inggris. Mereka mulai menempatkan Inggris sebagai musuh Palestina.

Pada bulan April tahun 1936 Panitia Arab tertinggi memajukan lagi pada pemerintah Inggris tuntutan-tuntutannya seperti yang telah dimajukannya pada bulan November 1935. Pada kali ini tuntutan-tuntutanya itu diiringi dengan suatu pemogokan umum di seluruh Palestina. Pada tanggal 5 Mei 1936 pemogokan ini berubah menjadi bentrokan. Antara rakyat dengan alat-alat kekuasaan negara terjadi bentrokan dan perkelahian yang menumpahkan darah. Untuk memadamkan pemberotakan bersenjata ini, pemerintah Inggris disamping menurunkan kekuatan polisi biasa, telah menurunkan pula pasukan-pasukan polisi istimewa yang kebanyakan orang-orang Yahudi dan 100.000 tentara Inggris yang diperlengkapi dengan alat-alat senjata modern termasuk pesawat udara, tank, dan sebagainya.

Telah enam bulan pemberontakan berlangsung dengan sengitnya akan tetapi belum dapat dipadamkan, meskipun Inggris mempergunakan cara-cara kekejaman yang luar biasa (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 17). Untuk memadamkan pemberontakan itu, permintahan Inggris membujuk pemimpin spiritual Palestina Muhammad Amien Husein agar menginstrusikan kepada rakyat Palestina mengakhiri aksinya. Pemerintah protektoral Inggris waktu itu juga menjanjikan akan menyelesaikan masalah Palestina bila Amien Husein bersedia menggunakan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina. Amien Husein, dengan jaminan Inggris dan atas nama solidaritas dengan negara Arab, memenuhi permintaan tersebut dan aksipun kemudian berhenti.

Untuk meredakan perlawanan bangsa Arab Palestina yang menentang imigrasi Yahudi dan menuntut berdirinya negara Arab Palestina merdeka Inggris menggunakan kebijakan lain. Oleh karena dengan cara kekerasan fisik tidak membawa hasil, maka untuk menyelesaikan masalah Palestina, pemerintah Inggris mencoba meredakan suasana dengan cara-cara lain, diantaranya:

a) Mengirim Misi Peel

Reaksi resmi Inggris terhadap manifestasi nasionalisme Arab tetap tidak berubah. Setelah datangnya krisis yang bertubi-tubi, sebuah Komisi dikirim ke Palestina untuk melakukan penyelidikan. Pada tanggal 27 Agustus 1936 pemerintah Inggris mengirimkan ke Palestina suatu misi yang terkenal dengan Misi Peel, untuk menyelidiki sebab-sebab terjadi keributan dan mengajukan usul-usul kepada pemerintah Inggris mengenai masalah Palestina. Misi ini mencoba mendekati bangsa Arab akan tetapi tidak berhasil. Kaum pemberontak tidak mau meletakkan sejatanya.

Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Kaum pembrontak yang yang dipimpin oleh Fauzi Al Qauqji terus mengangkat panji-panji Jihad untuk mencapai kemerdekaan Palestina. Akan tetapi, atas seruan raja-raja Arab untuk menghentikan penumpahan darah dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dengan cara

damai, bangsa Arab terpaksa meletakkan senjata tanggal 13 Oktober 1936. Hasil dari usaha-usaha raja-raja Arab ini menimbulkan kepuasan dan kelegaan di pihak Inggris, karena berlarut-larutnya pemberontakan di Palestina bukan tidak mungkin akan mengancam kedudukan Inggris, tidak saja di Palestina akan tetapi juga di daerah-daerah Timur Tengah yang lain (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 18).

Setelah Misi Peel mengadakan peninjauan beberapa bulan di Paletina, misi ini menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Misi Peel ini mengusulkan supaya Palestina dibagi menjadi tiga daerah (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 19) :

1. Daerah tepi pantai sebelah utara (daratan rendah yang amat subur) mulai dari Tel Aviv dan daerah Galilea utara termasuk pelabuhan Heifa dan Akka, dijadikan negara Yahudi.

2. Daerah lain yang tidak termasuk dalam daerah yang tersebut diatas, digabungkan dengan Yordania menjadi satu negara Arab.

3. Tempat suci di Yerusalem, Betlehem dan Nazaret dengan suatu coridor ke Jaffa, merupakan daerah yang berlangsung dibawah mandat Inggris. Diusulkan juga supaya negara Arab dan negara Yahudi yang akan dibentuk itu harus terikat dengan pemerintah Inggris dengan dua perjanjian yang terpisah-pisah, dengan perjanjian kedua negara tersebut tetap berada dibawah mandat Inggris.

Pada waktu diumumkan usul Misi Peel, penolakan orang-orang Arab terhadap rencana pemisahan itu langsung terjadi, dan salah satu alasan mereka adalah pengalihan tersebut dilakukan secara paksa. Orang-orang Yahudi setuju pada rencana pemisahan tersebut, walaupun negara kecil yang diberikan pada mereka amat terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan mereka (Karen Amstrong, 2006: 179).

Pada tanggal 7 Juni 1937 usulan Misi Peel disampaikan kepada Panitia Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa. Panitia ini pada prinsipnya juga memperkuat usul untuk meletakan negara Arab dan negara Yahudi dibawah mandat Inggris dan menunda kemerdekaan negera-negara tersebut untuk sementara waktu. Panitia

Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa tersebut meminta kepada Pemerintah Inggris untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu buat melaksanakan prinsip pembagian Palestina itu. Untuk ini pemerintah Inggris membentuk suatu komisi dibawah pimpinan Woodhead (komisi Woodhead) untuk mempelajari rencana Misi Peel mengenai pembagian Palestina itu (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 20).

Sebagai reaksi atas rencana pembagian itu, di sana timbul lagi huru-hara yang lebih dasyat dari huru-hara yang terjadi pada tahun 1936. Pergerakan muslim Palestina semakin memuncak dalam sebuah aksi massal, hingga membuat kalang kabut Inggris di Palestina. Aksi ini di gelar tahun 1938 yang dikenal dengan nama ”Revolusi Kubra”. Akan tetapi Huru-Hara ini akhirnya dapat ditindas juga oleh Inggris dengan kekerasan dan kekejaman.

Pada bulan Oktober 1938 komisi Woodhead menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Menurut pendapat komisi ini bahwa penyelesaian masalah Palestina yang didasarkan atas pokok pikiran membagi-bagi Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena komisi Woodhead melihat ada tentangan yang amat hebat dari pihak Arab terhadap pembagian Palestina. Akhirnya pemerintah Inggris terpaksa mencabut kembali ketetapannya untuk membagi-bagi Palestina (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 21).

b) Konferensi London

Konferensi berlangsung di London ( Februari dan Maret 1939). Para delegasi Arab dan Yahudi mengadakan pertemuan terpisah karena delegasi Arab Palestina menolak duduk dengan delegasi Yahudi. Namun, konferensi ini tidak menghasilkan kesepakatan karena pihak masing-masing tetap teguh pada pendiriannya. Para delegasi Arab mengulangi tuntutan mereka atas kemerdekaan dan penghentian imigrasi Yahudi. Delegasi Yahudi menekankan diteruskannya pelaksanan imigrasi. Proposal Inggris yang bersifat kompromis ditolak kedua belah pihak sehingga konferensi dibubarkan tanpa menghasilkan suatu kemufakatan (George Lenczowski, 1993: 243).

Dalam konferensi itu delegasi Yahudi tidak hanya terdiri atas Zionis dan Agen Yahudi, tetapi juga para tokoh Yahudi yang terkemuka lainnya dari Inggris,

Amerika Serikat, dan Eropa. Delegasi bangsa arab Palestina terdiri dari wakil-wakil negara-negara Arab merdeka, yaitu Mesir (Amir Abd al Mun’in), Saudi Arabia (Amir Faisal), Yaman ( Saiful Islam Amir Husein), Irak (Nurl as Said) dan Yordania (Taufiq Abu Al Huda).

c) Naskah Putih Inggris Tahun 1939

Oleh karena pada waktu itu Inggris hampir diambang pintu Perang Dunia II dan menginginkan adanya ketentraman di Palestina, maka pada tanggal 17 Mei 1939 pemerintah Inggris mengeluarkan ”Buku Putih”(Naskah Putih) yang kesimpulannya ada sebagai berikut :

1) Dengan terang dan tegas bahwa pemerintah Ingris tidak mempunyai maksud untuk mendirikan negara yahudi di Palestina. Disamping ini pemerintah membantah anggapan bahwa pemerintah Inggris mepunyai maksud untuk menggabungkan Palestina kepada salah satu negara Arab.

2) Pemerintah Inggris bermaksud akan mendirikan di Palestina suatu pemerintahan yang merdeka yang terdiri dari Arab dan Yahudi, dengan kepentingan kedua belah pihak dapat terjamin. Pemerintah ini akan didirikan dalam waktu sepuluh tahun, atas dasar suatu perjanjian yang diikat dengan Inggris, dimana kepentingan dari kedua belah pihak dapat terjamin, baik mengenai strategi maupun mengenai perdagangan.

Untuk mencapai maksud ini, pemerintah Inggris berusaha supaya rakyat Palestina dapat turut serta dalam memikul tanggung jawab dalam sebagian besar jabatan-jabatan pemerintah. Apabila keamanan dan ketentraman sudah cukup terpelihara, akan diserahkan pada rakyat Palestina sendiri nanti departemen-departemen pemerintah dengan mendapat petunjuk-petunjuk dari penasehat-penasehat Inggris, di bawah pengawasan komisaris tinggi Inggris. Dari bibit-bibit inilah nanti akan dapat ditumbuhkan suatu dewan menteri. Sesudah lima tahun keadaan berjalan dengan baik, suatu komisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat Palestina

dan pemerintah Sri Baginda akan berkumpul untuk menyusun undang-undang dasar negara.

Apabila timbul sesuatu kejadian yang memaksa pemerintah Inggris untuk menunda pembentukan suatu pemerintah yang merdeka. Pemerintah Inggris harus bermusyawah lebih dulu, dengan wakil-wakil rakyat Palestina, Lembaga Bangsa-Bangsa dan negara-negara Arab, sebelum mengambil sesuatu keputusan untuk menunda pembentukan itu.

3) Ditetapkan untuk memberi keizinan kepada 100.000 orang Yahudi untuk pindah ke Palestina dalam masa lima tahun, yaitu antara tahun 1939 dan tahun 1944. Sesudah tahun 1944 dilarang sama sekali pemindahan orang-orang Yahudi ke Palestina.

4) Dilarang menjual tanah kepada orang-orang Yahudi di daerah-daerah yang padat penduduknya. Dan akan ditentukan beberapa daerah penduduk diberi izin untuk menjual tanah-tanahnya kepada