• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

2. Konflik

a. Pengertian Konflik

Istilah konflik berasal dari bahasa latin “conflege” yang berarti “saling memukul”. Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya (D. Hendro Puspito OC, 1989: 247). Maswadi Rauf (2001: 2) mengemukakan bahwa konflik dapat diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok.

Menurut Abu Ahmadi (1975: 93) konflik pada dasarnya adalah usaha yang disengaja untuk menentang, melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. Namun ada istilah lain yang mempunyai arti atau makna yang sama dengan istilah konflik ialah istilah pertikaian.

Menurut Soerjono Soekanto ( 1990: 98-99) pertentangan atau pertikaian (konflik) adalah suatu proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannnya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.

Menurut Ramlan Surbakti (1992: 149) konflik mengandung pengertian ”benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dengan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.

Alo liliweri MS (2005: 146) mengemukakan bahwa konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok atau kelompok yang berbeda etnik (suku bangsa, ras, agama, golongan) karena diantara mereka memiliki pebedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Seringkali konflik itu dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih etnik (individu dan kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.

Dari berbagai pendapat tentang pengertian konflik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan, pertikaian, dan perbedaan pendapat antara dua orang atau kelompok tentang tuntutan terhadap suatu nilai tertentu antara pihak-pihak yang sedang berselisih, sehingga menimbulkan usaha untuk menjatuhkan pihak lawan guna mencapai perubahan yang dikehendaki kelompoknya.

Konflik yang terjadi antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi disebabkan karena adanya keinginan bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah Palestina. Bangsa Yahudi menganggap Palestina merupakan tanah leluhur mereka yang telah dijanjikan Tuhan dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Tanah Palestina telah di tempati oleh bangsa Arab Palestina sejak berabad-abad lamanya. Keinginan dari bangsa Yahudi untuk datang dan menetap di tanah Palestina selalu mendapat tentangan keras dari bangsa Arab Palestina, karena bangsa Arab Palestina menganggap bahwa Palestina merupakan tanah air mereka. Konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi, juga melibatkan negara-negara Arab dan Inggris yang merupakan pemegang mandat di Palestina kala itu. Pemerintahan Inggris membantu dan mendukung gerakan yang dilakukan bangsa Yahudi. Sehingga terjadi konflik antara bangsa Arab Palestina yang mendapat bantuan negara-negara Arab dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari pemerintahan Inggris.

b. Sebab-sebab Timbulnya Konflik

Menurut Soerjono Soekanto (1990: 107-108) yang menunjukkan sebab atau akar dari konflik adalah:

1) Perbedaan antara individu-individu atau kelompok

Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan suatu konflik diantara mereka.

2) Perbedaan Kebudayaan

Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.

3) Perbedaan Kepentingan

Perbedaan kepentingan individu atau antar kelompok baik itu berwujud kepentingan politik, ekonomi, sosial dapat pula menjadi sumber adanya konflik.

4) Perubahan Sosial

Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Karena perubahan ini menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai.

Menurut Abu Ahmadi (1975: 93), konflik biasanya ditimbulkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan.

Konflik yang terjadi antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat bantuan dan dukungan dari Inggris disebabkan karena adanya kepentingan bangsa Yahudi di Palestina. Bangsa Yahudi yang tersebar ke seluruh dunia menganggap bahwa tanah Palestina merupakan tanah tuhan yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi. Bangsa Yahudi juga menganggap Palestina adalah negeri leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Sehingga menimbulkan semangat nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya yaitu Palestina. Semangat nasionalisme bangsa Yahudi juga didorong adanya paham Antisemitisme (anti bangsa Yahudi) di Eropa sehingga menimbulkan pengusiran terhadap kaum Yahudi dan perasaan Superioritas dari bangsa Yahudi (merasa unggul dibandingkan bangsa lain). Gerakan bangsa Yahudi selalu mendapat rintangan dari bangsa Arab Palestina, karena bangsa Arab Palestina menganggap bahwa tanah Palestina merupakan tanah air mereka yang sudah mereka tempati berabad-abad lamanya.

c. Bentuk Konflik

Soerjono Soekanto (1990: 111-112) menyebutkan bahwa konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain :

1) Konflik pribadi

Konflik ini berupa pertentangan antar individu yang terjadi dalam suatu hubungan sosial.

2) Konflik rasial

Konflik ini terjadi karena perbedaan pada ciri-ciri fisik, perbedaan kepentingan dan kebudayaan diantara kelompok atau golongan.

3) Konflik antara kelas-kelas sosial

Konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikan dengan buruh.

4) Konflik politik

Konflik ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat maupun antara negara-negara yang berdaulat.

5) Konflik yang bersifat internasional

Konflik ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara. Mengalah berarti mengurangi kedaulatan negara dan itu berarti kehilangan muka dalam forum internasional.

K. J. Holtsi (1988: 174) menyebutkan ada enam bentuk utama dari konflik, antara lain :

1) Konflik wilayah terbatas di mana terdapat pandangan yang tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian khusus wilayah atau hak-hak yang dinikmati oleh suatu negara di atau dekat wilayah negara lain.

2) Konflik yang berkaitan dengan komposisi pemerintah. Tipe konflik ini sering mengandung nada tambahan ideologis yang kuat, maksudnya adalah menjatuhkan suatu rezim dan sebagai gantinya mendirikan satu pemerintahan yang cenderung lebih menguntungkan kepentingan pihak yang melakukan intervensi.

3) Konflik kehormatan nasional, di mana pemerintah mengancam atau bertindak untuk membersihkan pelanggaran tertentu yang telah diduga.

4) Imperialisme regional, di mana suatu pemerintah berusaha untuk menghancurkan kemerdekaan negara lain, biasanya demi suatu kombinasi tujuan ideologi, keamanan dan perdagangan.

5) Konflik pembebasan atau perang revolusioner yang dilakukan satu negara untuk membebaskan “ rakyat negara lain , biasanya karena alasan-alasan etnis atau ideologis.

6) Konflik yang timbul dari tujuan suatu pemerintah untuk mempersatukan suatu negara yang pecah.

Menurut Ramlan Surbakti ( 1992: 243 ) konflik dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik non kekerasan. Konflik yang mengandung kekerasan biasanya terjadi dalam masyarakat negara yang belum memiliki konsensus bersama tentang dasar, tujuan negara dan lembaga pengatur atau pengendali konflik yang jelas. Pemberontakan, sabotase merupakan contoh konflik yang mengandung tidak kekerasan. Konflik yang terwujud non kekerasan biasanya terjadi pada masyarakat yang telah memiliki dasar tujuan yang jelas sehingga penyelesaian konflik sudah bisa ditangani melalui lembaga yang ada. Konflik non kekerasan biasanya berwujud perbedaan pendapat antar kelompok atau individu dalam rapat, pengajuan petisi kepada pemerintahan, dan Polemik melalui surat kabar.

Konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi merupakan konflik politik yang berujung pada tindakan kekerasan dalam wujud pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Arab Palestina terhadap bangsa Yahudi yang melakukan imigrasi besar-besaran ke Palestina dan pemerintahan Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina yang mendukung gerakan yang dilakukan kaum Yahudi. Pemberontakan yang dilakukan bangsa Arab Palestina dihadapi oleh pemerintah Inggris dengan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.

d. Cara Penyelesaian konflik

Ada sejumlah cara penyelesain konflik yang lazim digunakan. K.J Holtsi (1988: 185) menyebutkan ada tiga prodoser pokok untuk mengatur kompromi dan

keputusan, yaitu: (1) Perundingan bilateral dan multilateral di antara berbagai pihak yang terlibat langsung; (2) Mediasi, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam proses perundingan; (3) Keputusan, di mana suatu pihak independen memutuskan suatu penyelesaian melalui jenis imbalan tertentu.

Menurut D. Hendropuspito OC (1989: 250-256) cara penyelesaiaan konflik yang lazim dipakai yakni:

1) Konsolidasi

Konsiliasi berasal dari kata latin “conciliation” atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai.

2) Mediasi

Mediasi berasal dari kata latin mediation, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang perantara (mediator)

3) Abitrasi

Arbitrasi berarti dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan, Arbitrasi baerbeda dengan konsiliasi dan mediasi.

4) Paksaan (Coerion)

Paksaan ialah suatu cara menelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik fisik atau psikologis. Bila paksaan secara psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh.

5) Detente

Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegangan antara dua pihak yang bertikai.

Menurut Mawasdi Rauf (2001: 8-12) penyelesaian konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah : (1) semakin mendalamnya

konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik ; (2) semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik yang berakibat konflik semakin mendalam dan meluas, bahkan menimbulkan disintergrasi masyarakat yang dapat menghasilkan dua kelompok masyarakat yang terpisah dan bermusuhan. Ada dua cara penyelesaian konflik yaitu :

1) Secara persuasif, yaitu menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mecari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Pihak-pihak yang berkonflik melakukan perundingan, baik antara mereka saja maupun manggunakan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator atau juru damai.

2) Secara koersif, yaitu menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat konflik.

Cara penyelesaian konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari Inggris yang memegang mandat di Palestina sering diupayakan secara koersif yakni dengan menggunakan kekerasan fisik. Kedua belah pihak yang berkonflik terlibat peperangan guna mempertahankan kepentingan masing-masing. Penyelesaian konflik secara persuasif atau perundingan antara kedua belah pihak juga sudah diupayakan, seperti di tahun 1936 mengeluarkan Misi Peel, Misi ini mencoba mendekati bangsa Arab Palestina akan tetapi tidak berhasil. Kemudian Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Konferensi London tahun 1939 dengan mendatangkan delegasi Yahudi dan Arab Palestina karena tidak menghasilkan suatu kemufakatan sehingga konferensi dibubarkan.

e. Akibat Konflik

Menurut Soerjono Soekanto (1990: 112-113) akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya pertentangan atau konflik adalah :

1) Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan bertambah erat. Mereka bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya.

2) Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.

3) Perubahan kepribadian para individu. Pertentangan yang berlangsung di dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa tertekan, sehingga merupakan penyiksaan terhadap mentalnya.

4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu bentuk konflik yakni peperangan telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, baik dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa raga manusia.

5) Akomodasi, dominasi dan takluknya salah-satu pihak. Apabila kekuatan fihak-fihak yang bertentangan seimbang maka mungkin timbul akomodasi. Ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan fihak-fihak yang mengalami bentrok, akan menyebabkan dominasi oleh satu fihak terhadap lawan. Kedudukan fihak yang didominasi tadi adalah sebagai fihak yang takluk terhadap kekuasaan lawannya secara paksa.

Menurut D. Hendropuspito OC (1989: 249), konflik fisik berupa bentrokan antara individu dengan individu, kerabat dengan kerabat, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan agama yang satu dengan yang lain, umumnya mendatangkan penderitaan bagi kedua pihak yang terlibat, seperti korban jiwa, material dan spiritual serta berkobarnya kebencian dan balas dendam. Apabila konflik terjadi di suatu negara yang terdiri dari berbagai suku

bangsa dan bersifat separatif, konflik juga menghambat persatuan bangsa serta integrasi sosial dan nasional.

Akibat dari konflik bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari pemerintah Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina yang sering berujung pada peperangan antara kedua belah pihak adalah jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak. Seperti, pada tahun 1929 terjadi perselisihan antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi di Tembok Ratapan. Dalam kerusuhan tersebut tercatat 133 orang Yahudi tewas dan 339 orang cedera. Sementara di pihak muslim Palestina, tercatat 110 orang tewas dan 232 orang luka-luka. Pada tahun 1948 terjadi perang Arab-Israel (Yahudi) yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa juga membawa penderitaan bagi bangsa Arab Palestina yang mengungsi ke Libanon, Yordania, Syiria dan negara-negara tetangga lainnya. Mereka meninggalkan rumah dan harta benda untuk hidup di kamp-kamp pengungsian. Konflik bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi masih berlangsung sampai saat ini.