• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Bangsa Arab Palestina Setelah Berdirinya Negara

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Reaksi Bangsa Arab Palestina Setelah Berdirinya Negara

1. Bangsa Arab Palestina Kehilangan Palestina

Pada tanggal 29 November 1947, dengan diakui resolusi PBB No. 181 tentang pembagian tanah Palestina, menjadikan ratusan warga Palestina tiba-tiba tidak berwarganegara ditanahnya sendiri. Menurut resolusi ini, menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian, yaitu 55 persen untuk orang Yahudi dan 45 persen untuk Arab. Rencana pembagian itu diterima oleh kaum zionis, bahkan setelah itu pasukan-pasukan bersenjata Yahudi langsung terjun mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukan bagi negara Yahudi, sementara bangsa Arab Palestina menolak rencana tersebut. Sebelum rencana itu dilaksanakan, bangsa Arab Palestina langsung terjun menghadapi tentara-tentara

Yahudi yang berusaha merampas kampung-kampung warga Palestina, bangsa Arab Palestina berjuang sebagai gambaran dari keinginan mereka mengusir pengungsi-pengungsi Yahudi Eropa yang berdatangan ke tanah Palestina.

Perang bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi pun tidak dapat terelakkan lagi. Para sukarelawan dari negara-negara Arab direkrut untuk mempertahankan Palestina, dan setelah Januari 1948 detaseman bersenjata Arab mulai memasuki Palestina dan menyerang perkampungan Yahudi. Hingga 1 Februari bentrokan ini telah menelan korban lebih dari 2.500 orang, dan tiap hari korban lainnya berjatuhan. Komisi Arab Palestina pada tanggal 6 Februari 1948 menyatakan bahwa setiap usaha Yahudi atau negara lain atau kelompok negara untuk membentuk negara Yahudi di wilayah Arab merupakan penindasan akan dilawan dengan kekerasan sebagai upaya membela diri (George Lenczowski, 1993: 251).

Pada 14 Mei 1948 Dewan Kebangsaan Yahudi di Tel Aviv memprokamirkan negara Zionis Israel, sebelumnya diawali dengan tindakan pengusiran terhadap bangsa Arab Palestina dari kampung-kampung halamannya. Liga Arab memutuskan untuk mengirimkan tentara ke Palestina untuk menyelamatkan bangsa Arab Palestina dari kekejaman bangsa Yahudi. Negara-negara Arab muslim Timur Tengah secara serentak menolak keberadaan Negara-negara Israel di Palestina. Mesir, Yordania, Syria, Libanon, Irak dan kelompok-kelompok pejuang Palestina segera berkosolidasi untuk menghadapi tantangan Israel, sekutu Amerika Serikat (Abu Bakar, 2008: 253). Saat perang berakhir bulan Desember 1948, negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina tidak berhasil mengalahkan Israel. Dengan demikian intervensi militer negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina itu juga gagal menyelesaikan persoalan.

Sebagai akibat kekalahan Arab itu terjadi suatu tragedi yang sampai sekarang belum dapat diatasi. Rakyat Arab Palestina tidak hanya gagal mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara, tetapi juga kehilangan wilayah, terpecah dalam berbagai kelompok dan tersebar di banyak negara, sebagaian besar sebagai pengungsi (Kirdi Dipoyudo, 1982 :118). Pada akhir perang itu penduduk Yahudi

Palestina memiliki suatu negara nasional Israel dan menguasai wilayah yang lebih luas daripada yang dimaksud dalam resolusi pembagian PBB No. 181 tahun 1947. Israel mendapatkan sekitar 50 persen tanah lebih banyak dibandingkan yang telah dibagi menurut keputusan PBB, termasuk seluruh tanah Galilea, tanah berpantai, serta bagian barat laut Yerusalem, dan hanya meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza (Harun Yahya, 2005: 104-105).

Dari Pencaplokan wilayah teretorial penduduk Palestina, menimbulkan akibat lebih dari 750.000 orang Arab Palestina meninggalkan segalanya yang mereka miliki, seperti rumah, tanah dan harta benda lainnya dan memilih keluar dari negaranya. Sehingga menimbulkan masalah pengungsian dari penduduk Arab Palestina secara besar-besaran dan cukup tragis. Sekitar sepertiga dari mereka tinggal di Tepi Barat, sepertiga lainnya di Jalur Gaza, dan sisanya menempati pengungsian di negara-negara Arab tetangga, khususnya Yordania, Suriah dan Libanon. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dan diluar kamp, namun tanpa kewarganegaraan.

PBB telah mencatat bahwa terdapat 726.000 yang melakukan pengungsian atau sekitar dua pertiga dari total penduduk Israel berkebangsaan Palestina, akibat kebrutalan negara Zionis. Sementara, 25.000 orang Palestina terdaftar sebagai pengungsi kasus perbatasan. Sumber Arab bahkan mencatat ada hampir satu juta rakyat Palestina sebagai pengungsi. Intelejen Israel mencatat 800.000 telah kehilangan harta benda serta rumah mereka alibat kebrutalan zionis Israel pada perang Arab Pertama 1948. Rakyat Arab Palestina pecah menjadi beberapa kelompok, yaitu 623.000 orang di Tepi Barat, 277.000 orang di Jakur Gaza, 120.000 orangdi Israel, 127.000 orang di libanon, 94.000 orang di Yordania dan 78.000 di Suriah. Antara mereka itu sekitar 940.000 orang terdaftar sebagai pengungsi (lihat tabel 3) (Kirdi Dipoyudo, 1981: 99).

Tabel 3: Rakyat Arab Palestina Tahun 1949 Negara Pengungsi Bukan Pengungsi Jumlah

Israel Jalur Gaza Tepi Barat 37.600 245.000 357.000 82.400 32.000 265.600 120.000 227.000 623.000

Yordania Libanon Suriah 94.000 127.800 78.200 94.000 127.800 78.200 Jumlah 940.000 280.000 1.320.000 Sumber : Kirdi Dipoyudo, Timu Tengah Pusaran Strategi

Dunia, 1981 hal. 100.

Masalah pengungsian Arab yang tragis merupakan sumber gangguan yang berkepanjangan bagi pemerintahan-pemerintahan negara Arab sehingga menyulitkan dan membahayakan posisi mereka. Di satu pihak, mereka tetap menuntut hak pengungsi untuk kembali ke kampung halamannya. Sikap ini membuat mereka menolak mempelajari setiap proyek pemukiman jangka panjang yang konstruktif. Namun, mereka tidak mampu menyokong tuntutan mereka dengan kekuatan senjata sehingga akhirnya tidak berdaya memecahkan masalah itu. Di pihak lain, struktur sosial dan ekonomi mereka terganggu oleh membanjirnya pengungsi sehingga dana masyarakatnya dialihkan untuk menolong keselamatan hidup pengungsi. Kebijakan negara-negara Arab terhadap pengungsi ini tidak seragam. Yordania, misalnya memberi kewarganegaraan kepada pengungsi, Mesir berada di pihak ekstrim dengan melarang memberi hak bekerja kepada pengungsi sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. PBB sendiri tidak mampu mencurahkan lebih dari $ 50.000.000 setahun bagi para pengungsi, apalagi pada saat yang sama, organisasi pengungsi internasional harus memberi dana bagi orang-orang di Eropa. Dengan demikian, bangsa Arab Palestina semakin sengsara.

Pada musim panas 1949 komisi perukunan PBB untuk Palestina merancang perundingan dengan delegasi Israel dan Arab di Lausanne (Swiss) guna mencapai kesepakatan atas masalah pengungsian. Namun, hingga tahun berganti tahun, konperensi tersebut menemukan jalan buntu karena sikap Israel dan Arab tidak dapat di kompromikan. Israel menolak masuknya kembali pengungsi sebelum dicapainya perjanjian perdamaian secara resmi, sedangkan delegasi Arab bersikeras menyatakan bahwa prinsip utama setiap penyelesaian

perdamaian ialah diterimanya kembali semua pengungsi di kampung halamannya (George Lenczowski, 1993: 258).

Ditolak masuknya para pengungsi di kampung halamannya, ditambah lagi oleh stabilitas politik negara-negara yang menjadi tempat pengungsian yang kurang stabil mengakibatkan penderitaan bagi para pengungsi Arab Palestina. Misalnya, Pengungsi di Libanon merupakan pengungsi yang paling mengalami pederitaan akibat perang saudara di negeri tersebut selama 15 tahun. Namun mereka hidup di lingkungan yang memberi keleluasaan tertentu secara politik di bandingkan pengungsi Palestina di negara Arab lain. Nasib pengungsi di Suriah sangat tergantung pada masa depan proses perdamaian Israel-Suriah. Pengungsi Palestina di Yordania yang merupakan terbesar (37 persen dari presentasi keseluruhan pengungsi Palestina di luar negeri), secara politik jauh lebih stabil dan tidak terlalu gelisah dengan hak kembali ke kampung halamannya. Pengungsi Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat merupakan pengungsi yang paling menderita karena hidup dibawah pendudukan Israel serta hidup dalam kepungan tentara Israel (Mustafa Abd Rahman, 2002: 250).

Orang-orang Arab Palestina yang tersebar itu harus berjuang mati-matian untuk kelangsungan hidup mereka. Penderitaan yang dialami oleh para pengungsi Palestina juga masih terasa hingga saat ini. Sebagai akibat fragmentasi penyebaran itu, rakyat Arab Palestina mengalami suatu kemunduran sebagai bangsa. Perhatian mereka untuk soal-soal politik menjadi minim dan gerakan nasional Arab Palestina merana. Dalam sengketa Arab-Israel mereka dilihat sebagai pengungsi-pengungsi yang hak-haknya diperjuangkan negara-negara Arab (Kirdi Dipoyudo, 1981: 100).

2. Nasionalisme Palestina Hidup Kembali

Kegagalan negara-negara Arab dalam menyelesaikan permasalahan Palestina, ditandai dengan kekalahan-kekalahan perang melawan negara Zionis Israel, telah menimbulkan kesadaran dikalangan bangsa Arab Palestina, bahwa masalah Palestina hanya bisa diselesaikan oleh bangsa Palestina sendiri. Para pemuda Palestina yang hidup di daerah-daerah pengungsian mulai menyadari

eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Kondisi hidup sulit sebagai pengungsi serta kesadaran bahwa hak dan milik serta tanah air mereka telah dirampas oleh kaum Zionis Israel dengan bantuan negara-negara Barat. Kondisi itu telah membangkitkan kesadaran semangat Nasionalisme.

Biarpun terpecah dan tersebar dalam pengungsian di berbagai negara, orang Arab Palestina tetap merasa terikat merindukan negara asal mereka. Mereka merasa dirinya sebagai orang Palestina, yang pada suatu ketika akan kembali ke tanah air mereka. Biarpun orang Arab Palestina merana, nasionalisme Palestina tetap hidup dan lambat laun berkembang lagi, terutama setelah kalangan mereka muncul pemimpin-pemimpin baru yang menjadi perintis gerakan nasional Palestina baru. Mereka ini memperjuangkan pembebasan negeri mereka dari kekuasaan Israel dan dalam rangka itu berusaha mengobarkan semangat nasional dan menyusun suatu kekuatan sosial (Daliman, 1998: 161-162).

Semangat Nasionalisme telah membangkitkan semangat perjuangan bangsa Arab Palestina untuk membebaskan tanah air mereka dari kekuasaan dan pendudukan Zionis Israel, sehingga muncul organisasi perlawanan terhadap negara Zionis Israel, seperti:

a) Al Fatah

Al Fatah atau Fatah yang dalam bahasa Arab berarti ”penaklukan” merupakan kebalikan dari akronim Haradat al-Tahrir al-Falastin atau Gerakan Pembebasan Palestina. Organisasi ini dibentuk oleh para warga Palestina yang tinggal di Kuwait pada tahun 1958. Tokoh utama berdirinya organisasi ini adalah Yasser Arafat (Musthafa Abd. Rahman, 2002: xxv-xxvi). Fatah memiliki tujuan untuk untuk memerdekakan setiap jengkal wilayah Palestina dari penjajahan Israel. Organisasi ini menjadi organisasi pertama yang punya agenda besar dan mendapat dukungan elit-elit politik Arab secara umum untuk mengusir penjajah Zionis Israel dan mendirikan sebuah negara Palestina merdeka.

Fatah didirikan oleh sekelompok warga Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir; seperti Yasser Arafat, Halil Wasir (nama perjuangannya Abu Jihad), Saleh Halif, dan Hani Hasan. Para mahasiswa Palestina yang menempuh studi di Mesir merasa bahwa mereka seringkali hanya

dimanfaatkan oleh Gamal Abdul Nasser demi tujuan politiknya, seperti ketika mereka dipaksa membawa bendera Pan Arabismenya Nasser untuk melawan Israel dan imperialisme Barat dalam Perang Suez 1956. Namun, Mereka menganggap Nasser tidak mungkin memperjuangkan masa depan tanah Palestina. Mereka kemudian berpaling ke Kuwait, dan bergabung bersama dengan Organisasi yang baru tumbuh, yaitu Fatah (Musthafa Abd. Rahman, 2002: xxv).

Pada awalnya perjuangan Fatah menggunakan cara kekerasan (non kooperatif), banyak anggota Fatah yang berasal dari Ihwanul Muslimin sebuah organisasi jihad Islam yang tumbuh di Mesir tahun 1928. Operasi-operasi militer yang dilakukan Fatah sering memancing timbulnya bentrokan antara tentara Arab dan tentara Israel. Presiden Nasser dari Mesir yang merasa khawatir dengan perkembangan militerisasi Fatah, pada tahun 1964 Naseer mengumpulkan 13 pemimpin Arab dalam KTT Arab pertama. Dalam pertemuan puncak itulah pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) digulirkan oleh para pemimpin Arab, mereka sengaja mendirikan PLO dengan maksud agar menyaingi sekaligus mengendalikan beberapa organisasi perlawanan Palestina yang telah ada termasuk Fatah. Rezim-rezim Arab khawatir apabila organisasi perlawanan itu tumbuh besar akan merusak stabilitas wilayah Arab. Oleh karena itu diciptakan PLO yang nantinya diharapkan menjadi organisasi alternatif yang tidak merugikan kepentingan Arab.

Bahkan Fatah dengan pemimpinnya Yasser Arafat bergabung dalam PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), kemudian Fatah berubah menjadi organisasi yang moderat. Fatah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab moderat, seperti Arab Saudi, Kuwait dan Aljazair. Di dalam Fatah sendiri kemudian muncul kelompok radikal atau garis keras yang antara lain dipimpin oleh Abu Nidal dan kelompok yang dipimpin oleh Abu Musa (M. Riza Sihbudi, 1991: 76).

b) PLO (Palestine Liberation Organization)

Pada 2 Juni 1964 para pemimpin Arab menggelar konferensi tingkat tinggi di Kairo, Mesir. Melalui konferensi ini lahirlah PLO (Palestine Liberation Organization atau Organisasi Pembebasan Palestina). Keanggotaan Organisasi PLO mencakup hampir semua organisasi gerilyawan dan organisasi massa seperti

serikat buruh, pelajar, guru, perempuan , penulis, perkumpulan pembisnis dan sejumlah LSM. Meskipun sebagai organisasi milik bangsa Palestina, kantor PLO berpusat di Yordania. Kiprah PLO semakin berpengaruh ketika Yasser Arafat yang berasal dari organisasi Al Fatah, menduduki kursi kepemimpinan. Melalui kepemimpinan Arafat, Palestina sebagai sebuah bangsa mulai diakui di mata dunia internasional (Abu Bakar, 2008: 264).

PLO didirikan oleh para pemimpin Arab dengan maksud agar dapat menyaingi dan sekaligus mengendalikan beberapa organisasi perlawanan Palestina yang telah ada. PLO dianggap sebagai payung dari organisasi perlawanan. Di dalamnya ada Fatah, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Demokratik untuk pembebasan Palestina (PDFLP), Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina-Komando Umum (PFLP-GC), Al-Saiqah, Front Pembebasan Arab (ALF) dan lainnya. Tetapi dalam kegiatan operasinya, organisasi-organisasi itu tidak selalu sependapat dengan kebijakan PLO. Sehingga dalam PLO timbul kelompok-kelompok radikal yang ingin menggunakan kekuatan senjata untuk menyelesaikan masalah Palestina dan kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Palestina dengan cara diplomasi. Termasuk kelompok radikat antara lain PFLP, PFLP-GC, Al-Saiqah, ketiga kelompok ini mendapat dukungan dari Suriah. Termasuk kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Palestina dengan cara diplomasi antara lain PDFLP dan Fatah. PDFLP mandapatkan dukungan dari kaum komunis Arab dan Uni Soviet.

Perbedaan pendapat ini sedikit banyak mempengaruhi pejalanan hidup PLO, PLO sempat terancam pecah ketika kelompok ”radikal”di bawah George Habash (pemimpin PFLP) membentuk organisasi baru, yaitu front penyelamat Nasional (NST). Pembentukan NST merupakan reaksi terhadap tindakan Arafat yang menandatangani ”Persetujuan Amman” dengan raja Hussein dari Yordania pada Februari 1985. Persetujuan antara lain berisi kesepakatan kerjasama ini, ditentang keras oleh kelompok George Habash. Mereka menganggap hal itu akan mengurangi keberadaan Palestina. Namun, sewaktu diadakan sidang Parlemen Palestina (PNC) ke-18 di Aljazair, April 1987, George Habash bersedia

membubarkan NSF, setelah Arafat bersedia membatalkan ”Persetujuan Amman” (M. Riza Sihbudi, 1991: 76).

Sesuai dengan namanya, PLO memperjuangkan pembebasan palestina dan membentuk negara demokrasi dengan persamaan kedudukan bagi semua penduduk tanpa membedakan ras maupun agama, karena PLO ingin membentuk negara Palestina yang nantinya menjadi negara sekuler dan demokrasi. Dalam melaksanakan pejuangannya PLO bergerak dalam bidang politik dan militer. Dalam bidang politik untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa perjuangan melawan zionis Israel adalah suatu perang pembebasan adil yang harus dilancarkan rakyat Arab Palestina dengan dukungan negara-negara Arab. Dalam bidang militer untuk menyiapkan rakyat Palestina bagi perang pembebasan nasional dan pemimpinnya. Dalam perjuangan militer PLO memiliki tentara pembebasan Palestina dan organisasi-organisasi gerilyawan. Pada tahun 1974, PLO diakui oleh Liga Arab dan kebayakan negara Arab sebagai satu-satunya wakil sah seluruh rakyat Arab Palestina. PLO mempunyai kantor pewakilan di semua negara Arab dan di berbagai negara lain. Pejabat-pejabatnya di beri status diplomatik. Wakilnya di New York diterima PBB sebagai peninjauan dan bekerja sama dengan delegasi –delegasi Arab untuk hak-hak rakyat Arab Palestina (Kirdi Dipoyudo, 1982: 87-88).

c) Hamas

Hamas merupakan akronim dari bahasa Arab yaitu "Harakat Al Muqawamah Al Islamiyyah” atau Gerakan Perlawanan Islam. Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyyah disingkat Hamas didirikan oleh Syekh Ahmad Isma’il Yassin kepala pusat Islam (Islamic Center) di Gaza. Syekh Ahmad Isma’il Yassin juga dikenal sebagai pemimpin spiritual Hamas. Hamas adalah sebuah pergerakan rakyat Palestina yang berusaha untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajahan Zionis Israel yang menjadikan Islam sebagai asas pergerakan. Hamas resmi dideklarasikan pada 14 Desember 1987. Setelah dideklarasikan, Hamas segara memperoleh simpati di tengah bangsa Palestina. Hal ini sangat terkait dengan ketokohan sang pemimpin yaitu Syekh Ahmad Isma’il Yassin (Abu Bakar, 2008: 268).

Hamas memang dideklarasikan pada tahun 1987, akan tetapi keberadaannya di Palestina dengan nama yang lain telah ada sebelum tahun 1948, yang mana keberadaannya dianggap sebagai keturunan dari Jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928. Sebelum Hamas dideklarasikan pada tahun 1987, gerakan ini telah ada di bumi Palestina dengan nama “ Al-Muraabitun ‘ala Ardhi Al-Isra” dan “Harakah Al-Kifah Al-Islami”. Syekh Ahmad Isma’il Yassin mendirikan pergerakan Hamas bersama sahabat-sahabatnya dari unsur Ikhwanul Muslimin yang juga berjuang untuk Palestina seperti DR. Abdul Aziz Rantisyi, DR. Mahmud Zhihar dan lainnya (http://lamanislami.blogspot.com/2009/08/10).

Munculnya Hamas disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor dalam negeri dan regional. Menjadi faktor dalam negeri adalah karena semakin ganasnya penjajahan Zionis Israel terhadap Palestina yang disertai tindakan-tindakan mereka yang memancing amarah warga Palestina. Adapun yang menjadi faktor regionalnya (seluruh kawasan Arab) adalah akibat dari kekalahan Perang 1967 dan berubahnya ide perlawanan menjadi perjanjian damai, ditambah lesunya semangat kebangkitan Islam pada masyarakat Palestina. Semuanya ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap munculnya pergerakan Hamas.

Tujuan utama Hamas adalah untuk kemerdekaan bangsa dan warga Palestina dari penjajahan Zionis Israel, mendirikan Negara berdasarkan Islam, dan membangun pendidikan muslim guna mewujudkan cita-cita. Dalam anggapan Hamas , keberadaan negara Zionis Israel harus ditolak kerena mereka tidak lebih dari sekedar penjajah di negeri Palestina (Abu Bakar, 2008: 268-269).

Hamas berusaha melakukan perlawanan terhadap penjajahan Zionis Israel yang didukung oleh kekuatan penjajah Amerika Serika dan sekutunya. Untuk menyukseskan tujuan itu diperlukan perlawanan bersenjata jihad dengan mengikut sertakan bukan saja muslim Palestina tapi muslim seluruh dunia. Gerakan militer dalam pandangan Hamas merupakan sebuah strategi untuk menghadapi rencana Zionis Israel dalam eksistensi di dunia Arab dan Islam secara keseluruhan. Hamas meyakini bahwa cara tersebut bisa mencegah peluang ekspansi Israel terhadap dunia Arab dan Islam (http://bloraku.com/2009/08/10)

Lahirnya Hamas telah memicu kematangan tekad pelawanan Palestina terhadap kolonialis Zionis Israel. Aksi massa Palestina pun terus meluas di sejumlah daerah, kemudian dikenal gerakan intifadhah. Gerakan ini tidak hanya melibatkan pemuda Palestina Tetapi juga kaum ibu, gadis, dan anak-anak. Mereka menggelar aksi demonstrasi, pemogokan, dan pemboikotan secara massal sehingga sangat meresahkan dan merugikan kepentingan Zionis Israel

D. Sikap Negara-Negara Timur Tengah Terhadap Pembentukan