• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Usaha-Usaha Yang Dijalankan Inggris Dalam Membantu

3. Pada Pasca Perang Dunia II

Pada tanggal 31 Agustus 1945 Presiden Truman mengajukan permintaan kepada perdana menteri Inggris Clement Attle, untuk memasukan 100.000 pelarian Yahudi ke Palestina. Dalam tanggapannya, Inggris mengusulkan untuk membentuk komisi penyelidik Inggris-Amerika guna mempelajari masalah Yahudi, jadi mengalihkan sebagian dari beban tanggung jawab Inggris kepada Amerika. Anjuran Inggris ini diterima baik oleh Washington. Kedua pemerintah membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota-anggota yang bukan pegawai kedua negara itu.

Komisi gabungan itu mengadakan dengar pendapat di London dan Washington, mengunjungi kamp-kamp orang terlantar di Amerika, Jerman Barat dan Austria serta melakukan perjalanan ke negara-negara Arab. Setelah mengadakan peninjauan di Amerika, Eropa, dan negara-negara Arab, maka pada tanggal 20 April 1946 panitia tersebut mengajukan usul-usul mengenai penyelesaian masalah Yahudi itu. Kesimpulan dari usul-usul itu adalah sebagai berikut: (1) Palestina diletakkan dibawah perwalian PBB, sementara itu pemerintah mandat yang sekarang diteruskan, (2) Pemasukan 100.000 Yahudi korban Nazi dan Fasis diteruskan dan (3) Pembatalan peraturan untuk membatasi penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 26-27).

Amerika Serikat dan Inggris tidak menerima atau menolak rekomendasi tersebut. Kemudian kedua pemerintah itu membentuk sebuah komisi Inggris-Amerika baru yang terdiri dari pejabat tinggi untuk mencari jalan bagi pelaksanaan rekomendasi itu. Sebagai hasilnya panitia ini telah mengajukan suatu rencana yang terkenal dengan Grandy Morrison Plan.

Pokok pikiran yang dipakai oleh komisi Inggris-Amerika ini untuk memecahkan masalah Palestina adalah pembagian Palestina seperti yang pernah dikemukakan Misi Peel dahulu. Lebih jelas komisi ini mengusulkan supaya di Palestina dibentuk suatu negara Federal yang terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi. Sedangkan masalah pemindahan kaum Yahudi ke Palestina bergantung atas persetujuan bersama, pihak Arab dan pihak Yahudi

Sudah tentu karena penyelesaian ini berdasar atas pembagian, rencana Grady Morrison itu tidak dapat diterima oleh bangsa Arab. Pihak Yahudi sendiri rupanya sangat kecewa dengan usulan penyelidikan Inggris-Amerika ini. Setelah gagalnya usaha panitia penyelidikan Inggris –Amerika itu, Lembaga Arab menuntut kepada pemerintah Inggris untuk membuka suatu perundingan untuk menyelesaikan masalah Palestina, dengan sugesti harapan bahwa apabila didalam perundingan itu tidak bisa juga dicapai persetujuan, maka baiklah masalah itu dimajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Usulan lembaga Arab ini diterima baik oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1946 berlangsunglah konferensi antara pemerintah Inggris dan wakil-wakil negara-negara Arab. Dalam konferensi itu pemerintah Inggris memajukan rencana yang berdasar atas (1) pembagian Palestina (pembentukan suatu negara ini terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi ), (2) pembukaan terus pintu Palestina kepada imigran Yahudi dan (3) diteruskanya mandat Inggris atas Palestina.

Rencana Inggris ini ditolak oleh pihak Arab. Kemudian pihak Arab memajukan usulan balasan yang berdasar atas pokok-pokok yang tersebut ini : (1) kemerdekaan Palestina, (2) penghapusan mandat, (3) turutnya bangsa Arab dan Yahudi yang telah menjadi warga negara Palestina dalam pemerintahan yang baru atas dasar perimbangan jumlah penduduk, (4) jaminan yang cukup terhadap gologan-golongan kecil (minoritas) mengenai agama dan hak-hak sipil, demikian juga terhadap tempat-tempat suci, (5) pemberhentian imigrasi ke Palstina dan (6) larangan menjual tanah dari orang-orang Arab kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 28).

Usulan pihak Arab ini ditolak oleh Inggris. Kalau sekiranya Inggris memang benar-benar jujur dan betul-betul hendak ingin menyelesaikan masalah

Palestina, sudah selayaknya usul pihak itu diterima, karena usul ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan rencana Inggris yang telah ditetapkan dalam naskah putih Inggris 1939. Hal ini menunjukan bahwa Inggris tidak menghendaki berdirinya negara Palestina merdeka, tetapi Inggris lebih mendukung pihak Yahudi yang ingin mendirikan tanah airnya di tanah Palestina.

Inggris memajukan usul balasan sebagai berikut (1) pemindahan Yahudi ke Palestina diterusakan menurut kesanggupan Palestina untuk menerimanya, dengan ketentuan bahwa 200.000 orang Yahudi harus dimasukan ke Palestina dalam masa dua tahun dan (2) Palestina akan merdeka dalam masa lima tahun, dengan syarat harus terdapat persetujuan antara bangsa Arab dan Yahudi mengenai undang-undang dasar. Usul Inggris yang baru ini ditolak oleh pihak Arab. Dengan kata lain konferensi ini mengami kegagalan (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 29).

Pada tahun 1946, presiden Amerika Serikat Harry S Truman terus menekan Inggris agar memberikan izin masuk bagi 100.000 Yahudi korban Nazi Hitler di Jerman. Inggris tetap menolak, tentunya demi kepentingan politik dan ekonomi di Timur Tengah. Disisi lain, Yahudi mulai melakukan pemberontakan dan perlawanan melalui aksi terorisme terhadap kepentingan Inggris, seperti kelompok Irgum dan Lehi atau Stern Gang. Pada tahun tersebut, Stern Gang melakukan aksi pengeboman di King David Hotel. Dilaporkan, aksi teror ini telah menewaskan sebanyak 91 orang yang terdiri atas 41 orang Arab, 28 orang Inggris, 17 orang Yahudi serta korban lain. Setahun kemudian, mereka kembali melemparkan bom ke Semiramis Hotel dan berhasil membunuh 22 muslim dan membantai 254 penduduk Deir Yasin. Mereka juga membunuh Count Folke Bernadotte, seorang wakil khusus PBB di Palestina. Bangsa Yahudi benar-benar telah menciptakan masalah berskala internasional dan menjadi biang masalah di Palestina (Abu Bakar, 2008: 246).

b. Masalah Palestina Dalam PBB dan Berdirinya Negara Israel

Terdorong oleh tekanan Amerika Serikat dan karena terdesak dalam persengketaannya, baik oleh pihak Arab maupun oleh pihak Yahudi ditambah pula oleh keadaan keamanan Palestina yang makin hari makin buruk, akhirnya

pemerintah Inggris memutuskan akan mengajukan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam keterangan dimuka balai rendah Inggris pada tanggal 18 Februari 1947, Mr Bevin menteri luar negeri Inggris mennyatakan sebagai berikut “Ternyata bahwa mandat tidak dapat diteruskan lagi di Palestina dan bahwa masalah Palestina mau tidak mau harus diserahkan kepada PBB” (Daliman, 1998: 144).

Pada tanggal 2 April 1947, Inggris membawa masalah Palestina ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inggris memohon seksi khusus Majelis umum untuk menangani masalah ini. Majelis yang bersidang antara 28 April dan 15 Mei 1947, membentuk komisi khusus PBB bagi Palestina (UNSCOP). Komisi ini, yang terdiri atas sebelas negara untuk mempelajari masalah Palestina dan mengemukakan pendapatnya kepada sidang umum yang akan datang. Panitia itu terdiri dari negara-negara kecil yaitu Austria, Kanada, Chekoslovakia, Swedia, Uruguai, Guatemala, India, Iran, Belanda, Peru dan Yugoslavia dibawah pimpinan delegasi Swedia.

Pada bulan September 1947 panitia istimewa PBB untuk Palestina memajukan laporannya kepada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan komisi menyarankan pembentukan segera Palestina yang bersatu secara ekonomi dan merdeka dan akan melewati masa transisi dibawah pengawasan PBB. Disini aklamasi berakhir dan laporan itu kemudian dibagi ke dalam rencana mayoritas dan rencana minoritas. Rencana mayoritas yang disokong oleh Kanada, Cekoslovakia, Guatemala, Belanda, Peru, Swedia dan Uruguay mengusulkan untuk membagi Palestina menjadi negara Arab, negara Yahudi, dan meletakkan Yerusalem (Baitul Maqdis) dibawah perwalian PBB.

Rencana minoritas disokong oleh India, Iran dan Yugoslavia mengusulkan negara federasi Palestina yang terdiri atas dua negara yaitu negara Arab dan negara Yahudi, masing-masing mendapat otonomi lokal. Imigrasi ke negara Yahudi akan diizinkan selama tiga tahun sampai mencapai daya serapannya, yang akan ditetapkan oleh tiga wakil Arab, tiga wakil Yahudi dan tiga dari PBB. Negara-negara Arab lebih setuju pada rencana minoritas ini karena dianggap memuaskan kehendak dasar mereka, yaitu sebuah negara merdeka dengan

mayoritas Arab dan pembatasan imigrasi Yahudi. Zionis, walau keberatan menerima rencana mayoritas. Hal ini tidak memuaskan para ekstrimis, namun setidak-tidaknya menjanjikan kemerdekaan negara Yahudi (George Lenczowski, 1993: 248-249).

Pada tanggal 8 Oktober 1947 dengan tidak diduga-duga sama sekali, Uni Soviet menyatakan pendiriannya mengenai penyelesaian masalah Palestina ini, yaitu menyokong rencana pembagian Palestina. Pernyataan Uni Soviet ini menimbulkan keheranan dan kekecewaan yang amat besar dikalangan bangsa Arab. Adapun faktor-faktor yang menjadi Back Ground dari pada politik Soviet ini, diantaranya sebagai berikut Pertama, Rusia ingin supaya secepatnya kekuasaan Inggris lenyap dari Palestina dengan tujuan bahwa vaccum di Palestina itu kalau-kalau dapat diisinya. Kedua, Rusia yakin bahwa rencana pembagian itu tentu tidak akan diterima oleh bangsa Arab. Dengan demikian suatu pertempuran bersenjata pasti akan terjadi antara bangsa Arab dan Yahudi. Didalam keadaan kacau nanti Rusia akan mengambil kesempatan untuk mengirim pasukan-pasukannya ke Palestina, untuk membantu Yahudi Palestina pada taraf pertama dan untuk menjadi pelopor dari pada infiltrasi politiknya pada taraf kedua. Ketiga, dengan diletakkannya Yerusalem atau Baitul Maqdis dibawah pengawasan internasional, Rusia ingin mengambil kesempatan untuk menanam kukuhnya disana dengan legitimasi PBB. Pendeknya dengan jatuhnya Palestina kedalam kekuasaan Yahudi, Rusia hendak mencoba mempergunakannya sebagai batu loncatan kedaerah-daerah pedalaman Timur Tengah yang lain yang kaya minyak ataupun dengan tempat-tempat yang strategis.

Disusul pada tanggal 21 Oktober 1847 Mr. Herschel Jonson wakil tetap Amerika Serikat dalam PBB dalam suatu rapat panitia Ad Hoc sidang umum PBB menyatakan bahwa pemerintahan Amerika Serikat menyokong rencana pembagian Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi. Pada hari itu juga enam orang dari wakil-wakil negara Arab mengeluarkan suatu statement dimana mereka menyatakan keheranannya terhadap sikap Amerika Serikat mengenai penyelesaian masalah Palestina yang tidak adil. Dengan tercapainya persetujuan antara kedua negara besar ini, sudah dapat dikatakan bahwa rencana pembagian

Palestina itu akan mendapat persetujuan sidang umum PBB (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 32-34).

Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama memberi suara dukungan terhadap resolusi mengenai pembagian dengan penyatuan secara ekonomi. Kesepakatan seperti ini tidaklah biasa. Inggris mengumumkan pihaknya tidak akan menerima tanggung jawab menjalankan rencana apapun yang tidak bisa diterima baik pihak Arab maupun pihak Yahudi. Perwakilan Inggris mengatakan pada komite Majelis Umum bahwa pasukannya akan segera dievakuasi tidak lebih dari tanggal 1 Agustus 1948. Disetujui bahwa mandat tersebut akan berakhir pada tanggal tersebut, tapi dipikirkan bahwa usul pengakuan bagi negara Arab dan Yahudi tersebut tidak akan diberikan hingga dua bulan kemudian. Selama masa itu, bagaimanapun PBB yang akan bertanggung jawab dan Majelis Umum memintan pada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan seperlunya untuk mengimplementasikan rencana pemisahan tersebut (Philip G. Jessup, 2006: 353).

Pada bulan November 1947 usul-usul UNSCOP mengenai penyelesaian masalah Palestina diperdebatkan dalam panitia Ad Hoc sidang umum PBB mengenai rencana mayoritas dan minoritas. Pada tanggal 25 November 1947 panitia ini menyetujui rencana pembagian Palestina yang diusulkan oleh rencana mayoritas dari UNSCOP. Pada tanggal 29 November 1947, tanggal kemenangan dalam sejarah bangsa Yahudi, Majelis Umum memutuskan pembagian Palestina berdasarkan kesatuan ekonomi seperti yang dilaporkan oleh rencana mayoritas Hasilnya dikeluarkanlah resolusi PBB No. 181 tahun 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian yaitu negara Arab dan Yahudi.

Negara Arab mencakup bagian tengah dan bagian timur Palestina, dari Lembah Esdraelon ke Beersheba, Galilea Barat dan sepanjang Mediterania dan Gaza Selatan serta sepanjang perbatasan Mesir sampai Laut Merah. Negara Yahudi mencakup Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke selatan Yaffa dan sebagian besar Negeb. Yerusalem dan Bethlehem tidak termasuk dalam kedua negara, dan berada dibawah pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwalian PBB. Majelis Umum juga

memperhatikan keputusan Inggris untuk mengakhiri mandat pada 1 Agustus 1948. Menetapkan pendirian kedua negara dalam waktu dua bulan setelah kepergian Inggris. Membentuk Komisi Palestina PBB ( UNPAC) United Nations Palestine Commission terdiri dari anggota-anggota dari 5 negara, untuk melaksanakan resolusi dan meminta Dewan Keamanan untuk membantu pelaksanan resolusi memerintahkan menafsirkan setiap upaya untuk mengubah rencana pembagian ini dengan kekerasan sebagai ancaman perdamaian (George Lenczowski, 1993: 249).

Pada acara pemungutan suara yang dilakukan, resolusi tersebut praktis tidak menemui hambatan yakni tercatat 33 negara mendukung, 13 menolak dan 10 abstain, sedang satu anggota tidak menghadiri sidang. Adapun negara-negara yang menyetujui rencana pembagian Palestina itu ialah Australia, Belgia, Bolivia, Brazilia, Rusia Putih, Kanada, Kostarika, Chekoslovakia, Denmark, San Domingo, Equador, Prancis, Haiti, Guatemala, Islandia, Liberia, Luxemburg, Belanda, New Zealand, Nikaraguai, Norwegia, Panama, Paraguai, Peru, Philipina, Polandia, Swedia, Ukraina, Afrika Selatan, Uni Soviet, Amerika Serikat, Uruguai dan Venezuela.

Negara yang menolak ialah Mesir, Afganistan, Kuba, Yunani, India, Iran, Irak, Suria, Libanon, Pakistan, Saudi Arabia, Yaman,dan Turki. Negara yang abstain ialah Argentina, Chili, Tiongkok, Kolombia, El Savador, Ethiopia, Honduras, Mexico, Inggris dan Yugoslavia. Sedangkan anggota yang tidak menghadiri sidang adalah Siam (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 38).

Bangsa Arab merasa sangat kecewa terhadap Amerika Serikat karena kehadiran atau pengaruhnya membantu mengumpulkan suara yang cukup untuk menyokong pembagian Palestina itu. Amerika Serikat juga dicela “berkianat” terhadap banyak janjinya bahwa tidak akan ada keputusan tentang Palestina yang diambil tanpa persetujuan kedua belah pihak yang terlibat. Bangsa Arab meragukan kesahihan daya mengikat resolusi pembagian Palestina 29 November 1947 itu dari segi hukum. Mereka berargumentasi bahwa berdasarkan piagam PBB, majelis tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan yang mengikat tetapi hanya untuk memberikan rekomendasi.

Dalam sidang 29 November 1947 itu telah dibentuk United Nations Palestine Commission ( UNPAC), untuk melaksanakan keputusan PBB itu. Pada Desember 1947 mulailah terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi. Keadaan ini menyebabkan UNPAC tidak dapat melaksanakan tugasnya (Daliman, 1998: 150). Menghadapi kekerasan antara bangsa Arab Palestina dan Yahudi ini, pada 1 Januari 1948 Inggris menyatakan bahwa karena Arab dan Yahudi tidak menyetujui penyelesaian, ia tidak akan membantu PBB dalam melaksanakan rencana pembagian Palestina, akan mengakhiri mandatnya pada 15 Mei 1948, dan akan menentang masuknya komisi Palestina PBB ke negara ini (George Lenczowski, 1993: 251).

Pada bulan Februari 1948 Inggris sudah melakukan evakuasi dari sebagian besar daerah yang bagi orang-orang Yahudi, seraya menyerahkan daerah-daerah itu kepada penguasa-penguasa Yahudi. Inggris telah pula memberikan bantuan-bantuan yang lengkap dengan segala persenjataan kepada kaum Yahudi. Pelabuhan Tel Aviv jatuh ke tangan Yahudi, dimana ribuan imigran-imigran baru serta sejumlah senjata-senjata dan perlengkapan perang yang tak terhitung banyaknya telah masuk(Chefik Chehab, 1980: 14-15).

Oposisi Arab juga mempengaruhi Amerika Serikat. Pada 19 Maret Amerika Serikat menyatakan didepan Dewan Keamanan PBB bahwa bila pembagian Palestina tidak dapat dilaksanakan, Palestina seharusnya diawasi oleh perwalian sementara PBB. Berarti dalam masalah ini Amerika serikat mencoba menjilat ludahnya kembali yang sebelumnya setuju terhadap rencana pembagian Palestina. Keadaan Palestina pada waktu itu terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi, rupanya telah membuat pendirian Amerika Serikat manjadi goyah. Perubahan politik ini mendatangkan protes dari Zionis. Sidang khusus Dewan Keamanan lainya pada 16 April dan 15 Mei 1947 memperbincangkan proposal Amerika Serikat, namun gagal menghasilkan kesepakatan. Soviet, khususnya bersikeras atas pelaksanaan resolusi pembagian 29 November 1947. Akhirnya Majelis Umum menyarankan penunjukan mediator dan PBB bagi Yerusalem (George Lenczowski, 1993: 251).

Pada tanggal 14 Mei 1948 Inggris secara resmi mengakhiri mandatnya atas Palestina kemudian menarik pasukan terakhir dari negara ini. Pada hari yang sama Dewan Nasional di Tel Aviv memproklamasikan negara Yahudi Israel, dengan Chaim Weizmann sebabagai Presiden dan David Ben Gurion sebagai perdana menteri dengan berpijak pada legitimasi resolusi No. 181 pada 29 November 1947. Deklarasi itu di dihadiri sekitar 37 orang Yahudi. Satu hal menarik bahwa di antara 37 orang hanya seorang Yahudi lahir di Palestina, 35 kelahiran Eropa dan seorang lagi kelahiran Yaman (Abu Bakar, 2008: 252).

Beberapa jam kemudian negara baru itu diakui oleh presiden Truman atas nama pemerintah Amerika Serikat kemudian diikuti pula oleh Uni Soviet dan negara-negara barat lainnya, seperti Inggris dan Prancis sebagai sebuah negara merdeka. Dengan pengakuan negara-negara besar ini negara Israel mempunyai kedudukan yang kuat dalam dunia internasional. Selanjutnya negara baru Israel tersebut berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Dengan berdirinya negara Israel tanggal 14 Mei 1948 di negara Palestina, maka perjuangan rakyat Palestina makin bertambah sulit. Apalagi negara Israel selalu mengintai untuk meluaskan daerahnya. Negara Arab waktu itu tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara (M Riza Sihbudi dan Achmad Hadi, 1992: 61).