• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baduy, Suku di Negeriku Tercinta

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 160-169)

Oleh: Encep Abdullah

Sekitar setahun yang lalu, tepatnya 29-31 Mei 2010, saya dan kawan-kawan dari Komunitas Belistra (Bengkel menulis dan sastra) FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, mengadakan acara perjalanan kebudayaan ke Baduy. Awalnya saya pribadi enggan untuk ikut, ya karena faktor finansial yang tidak mencukupi. Akan tetapi, kawan-kawan mengejek saya dengan sengit. Mereka bilang, "Masa, orang Banten belum pernah ke Baduy! Memalukan!" Gila, omongan mereka bikin saya sakit hati. Lantas saya pun berusaha mencari uang ke sana kemari supaya bisa ikut. Alhasil, saya mendapatkan uang itu.

Perjalanan pun dimulai. Kami berangkat dari kampus dini hari dan tiba di sana siang hari. Cukup melelahkan melalui jalanan naik turun dan berbelok-belok selama 5-6 jam di bus. Akhirnya kami pun sampai di singgahan pertama kami yaitu di Ciboleger. Bisa dibilang terminal kalo mau ke Baduy. Mobil kampus ditinggal di terminal itu. Kami pun siap berangkat setelah membereskan perlengkapan sebelum menuju Baduy Luar, tempat tujuan kami selanjutnya. Tentunya dengan berjalan kaki.

Perjalanan dari Ciboleger menuju Baduy Luar amat mengasyikkan. Banyak warga Baduy Luar yang lalu lalang berjalan naik turun dari kediamannya menuju pasar Ciboleger. Masyarakat

Baduy Luar adalah pemekaran dari masyarakat Baduy Dalam. Bagi mereka yang sudah tidak kuat atau ingin keluar dari Baduy Dalam, maka tempat mereka adalah Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar adalah masyarakat Baduy yang sudah terkontaminasi oleh masyarakat luar, masyarakat yang berkehidupan normal seperti pada umumnya. Masyarakat atau suku Baduy Luar, mereka boleh menggunakan kendaraan jika mau berpergian jauh. Masih boleh menggunakan listrik. Ya, walaupun tidak banyak sih yang menggunakan listrik di tempat itu. Mereka juga masih boleh menggunakan sabun dan pasta gigi ketika mandi. Dan adapun ciri- ciri dari masyarakat Baduy Luar adalah mereka mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Perjalanan dari Ciboleger ke Baduy Luar membutuhkan waktu kurang lebih selama 3 jam. Cukup melelahkan untuk awal pemberangkatan. Apalagi bagi yang belum terbiasa dengan berjalan kaki yang lumayan jauh ini, amat mengagetkan bagi tubuh kami. Sepanjang perjalanan ke Baduy Luar, suara gemericik air dari atas tebing masih terdengar di telinga dengan jelas. Kami masih mudah mendapatkan air untuk perjalanan pertama ini menuju Baduy Luar. Akan tetapi, pemandangan alam belum terlihat jelas karena kawasan menuju Baduy Luar atau Gajeboh ini masih berada di wilayah yang masih belum terjal. Masih berada di wilayah yang berdataran rendah, bisa juga dibilang agak tinggi sedikit.

Sesampainya di Gajeboh, kami menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar. Mereka amat terbuka dengan kedatangan kami, para pengunjung. Mereka menerima kami bermalam di rumah mereka yang sempit itu. Padahal kami berkuota kurang lebih 25

orang. Akan tetapi, rumah yang hanya terbuat dari anyaman bambu itu begitu kuat dan rekat. Rumah mereka amat sederhana untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka menerima kami dengan lapang dada, asalkan kami membawa makanan sendiri, kemudian kami makan bersama-sama dengan keluarga si empunya rumah. Kamilah yang membawa beras, bumbu-bumbu masakan, mie instant, dan sebagainya. Dan sebelumnya kami bareng-bareng memasak di dapur dengan penghuni rumah.

Sungguh, amat miris ketika melihat dapur mereka yang juga sekaligus dijadikan sebagai tempat tidur itu. Bayangkan saja jika kita tidur di dekat tungku api. Dengan arang-arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap. Amat sangat berbahaya bagi saya. Entahlah, mungkin mereka sudah terbiasa dengan hal yang seperti itu.

Bermalam di Baduy Luar pun telah usai ketika mentari pagi menyapa dari arah timur. Kami pun melanjutkan perjalan menuju Baduy Dalam atau kampung Cibeo.

***

Hawa perjalanan menuju Baduy Dalam sungguh amat terasa berbeda. Lebih terjal. Lebih tebing. Lebih menantang. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana pun lumayan jauh, yaitu 5 jam berjalan kaki. Bagi saya, 3 jam sebelumnya saja sudah bikin tubuh kami remuk. Apalagi yang lima jam begini. Sebenarnya yang bikin remuk badan kami adalah bukan berjalan kakinya, tetapi karena banyaknya perlengkapan yang kami bawa di dalam tas kami. Mulai dari makanan, minuman, baju-baju, dan perlengkapan lainnya yang

lumayan berat-berat. Meskipun begitu, mau tidak mau kami harus melewati semua itu. Kalaupun mau pulang dan tidak tahan dengan keadaan, lantas mau pulang dengan siapa. Sudah terlanjur jauh untuk pulang.

Saya amat tertegun selama perjalanan menuju Baduy Dalam. Sama halnya dengan Baduy Luar, masyarakat Baduy Dalam pun berlalu lalang berjalan naik-turun gunung. Mereka berjalan amat cepat sekali. Berbeda dengan kami. Cukup mengagetkan, ketika kami berhenti sejenak di beberapa titik untuk mengambil nafas. Kami melihat beberapa orang Baduy Dalam, mereka sudah dua kali bolak-balik naik turun gunung. Tetapi kami masih belum sampai juga ke tujuan. "Memang benar-benar gila!" gerutuku.

Melihat kaki orang-orang Baduy amat berbeda dengan biasanya. Kaki mereka besar-besar dan lebar. Baik perempuan maupun laki-laki, sama saja. Mungkin karena mereka sudah terlalu sering bolak-balik naik-turun gunung dengan berjalan kaki kali yah? Jadi, kaki mereka jadi mengembang seperti itu. Benar-benar unik.

Perjalanan yang kami lalui menuju Baduy Dalam baru setengah jalan, tetapi sudah bercucuran keringat begini. Kami melewati jembatan cinta. Ah, ada-ada saja orang yang menamai jembatan ini. Katanya, jembatan ini adalah jembatan perekat hati antara insan yang satu dengan insan yang lainnya. Entahlah, saya cukup tahu saja akan hal itu. Selain itu, kami juga melewati tanjakan tinggi dan panjang sekali. Naik tiada henti. Sudah tanjakan itu sempit, licin, dan terjal. Untung badan saya ringan, jadi tidak terlalu kesulitan bawa diri. Terkecuali beberapa kawan saya yang memiliki

berat badan berlebih. Mereka kesulitan untuk naik, harus menggunakan tali supaya sampai ke titik atas. Cukup melelahkan menarik orang-orang seperti mereka. Namun, perjalanan ini sudah mulai cukup berkesan bagi saya. Saya menanti apa yang akan saya alami setelah ini, apakah lebih menderita atau lebih menyenangkan? Saya belum menemukan jawaban.

Sambil memikirkan hal demikian, kami masih terus melanjutkan perjalanan. Kerja belum selesai, belum apa-apa.

***

Akhirrnya kami pun sampai juga di lokasi Baduy Dalam. Wah, terlihat pemukiman yang jauh lebih berbeda dari yang sebelumnya. Rumah-rumah mereka kebanyakan didirikan agak lebih tinggi. Jadi, kolong di bawah rumah mereka digunakan untuk menaruh kayu yang sudah dipotong-potong yang nanti dipakai untuk keperluan dapur.

Sama halnya dengan warga Baduy Luar, warga Baduy Dalam pun dengan tangan terbuka menyambut kedatangan kami. Budaya seperti ini patut kita contoh. Dari segi ramah tamah dalam menyambut tamu hingga cara menghidangkan makanan ke tamu. Kami pun sebagian istirahat sejenak, dan sebagian lagi menyiapkan hidangan makan malam, walaupun kami datang sore hari. Bermalam di masyarakat Baduy tidak boleh lebih dari satu malam. Terkecuali kita melakukan perjalanan ke luar dulu, lalu kembali lagi ke tempat itu. Maka kita masih boleh menginap lagi. Akan tetapi, jika kita bermalam secara berurut, misal lebih dari satu hari satu malam, maka

kita harus mengenakan pakaian adat Baduy Dalam atau adat setempat dan membantu mereka bertani atau bercocok tanam di kebun. Aturan yang sangat lucu bagi saya.

Selain itu, masih banyak lagi aturan hukum adat yang lainnya di Baduy Dalam, misalnya tidak boleh memakai sabun dan pasta gigi ketika mandi di sungai. Katanya, memakai sabun dan pasta gigi dapat mencemari keasrian lingkungan. Sepanjang sungai Baduy Dalam harus selalu bersih, tidak boleh kotor. Ada lagi aturan, tidak boleh mengaktifkan ponsel atau menggunakan lampu di malam hari. Terkecuali lampu itu memang benar-benar penting digunakan bagi pengunjung yang datang, misalnya ada keperluan di malam hari yang mendesak. Jika ada yang melanggar aturan, maka akan dihukum secara adat. Entah hukuman apa.

Ada kejadian yang menarik di malam hari. Ketika kami keluar di malam hari yang amat gelap, karena memang tidak ada cahaya lampu sedikit pun di situ. Kami melihat anak-anak kecil yang bermain di malam hari. Mereka berlarian di malam gelap gulita seperti itu, tetapi mereka tidak tersandung ataupun jatuh. Kami saja yang berjalan seperti orang buta, masih tersandung dan terjatuh. Gila memang. Penglihatan orang-orang Baduy begitu tajam meskipun malam amat gelap gulita seperti itu.

Ada hal menarik lagi di Baduy Dalam. Anak- anak kecil yang masih bau kencur, mereka sudah memegang golok, masing- masing ditaruh di pinggang sebelah kanan dengan menggunakan seikat tali. Ke mana pun mereka pergi, golok itu selalu mereka bawa.

Saya amat risih melihatnya. Tapi bagi mereka itu biasa saja. Lagi- lagi, aku harus berkata: Gila!

Anak-anak kecil itu kebanyakan memiliki perut buncit. Terlihat lucu. Saya mencari-cari penyebab kenapa perut mereka buncit seperti itu. Ternyata jawabannya saya temukan ketika saya dan kawan-kawan makan nasi bersama orang Baduy Dalam. Cara menanak beras ala orang Baduy Dalam cukup unik. Yaitu dengan cara tradisional. Menggunakan semacam tumpeng (kalau saya sendiri menyebutnya), entah apa namanya di Baduy. Butir-butir nasi yang sudah siap santap begitu besar-besar. Wajar saja anak-anak orang Baduy Dalam kebanyakan buncit. Apalagi katanya, budaya makan di sana itu sedikit lauk, tapi banyak nasi.

Cuaca di sana sangat dingin. Saya tak kuasa mandi di pagi hari. Seperti berhadapan dengan bongkahan es. Nafas kami pun mengeluarkan asap dingin. Ibarat di Eropa saja. Saya masih berdiam diri menatap air sungai. Benar-benar tidak berani mandi. Kawan- kawan saya sudah terjun ke sungai. Tinggal saya sendiri. Benar- benar dingin.

Usai mandi, kami pun bersiap-siap untuk mendatangi rumah puun setempat. Puun adalah pimpinan tertinggi adat yang berada di setiap kampung Baduy. Kami berdialog dengan beliau di depan rumahnya—bukan teras, melainkan di lapangan. Kami bertanya seputar adat Baduy Dalam. Puun pun menjawab dengan bahasa Indonesia yang lancar. Meskipun awalnya mereka hanya bisa berbicara bahasa Sunda, tetapi karena mereka sering dikunjungi oleh masyarakat luar, mereka akhirnya bisa fasih juga berbicara bahasa

Indonesia. Bahasa mereka adalah bahasa Sunda Wiwitan yang juga sekaligus dijadikan sebagai kepercayaan mereka, yaitu agama Sunda Wiwitan. Mereka beragama Islam. Namun nabi yang mereka percayai adalah Nabi Adam. Katanya, Nabi Adam adalah nenek moyang mereka hingga akhir zaman.

Menurut Puun, warga Baduy memang tidak suka dengan perubahan. Apalagi sudah masuk kawasan Baduy Dalam. "Hukum adat bagaimana pun yang berasal dari masyarakat luar akan kami tolak," katanya. Prinsip orang Baduy adalah: Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung, artinya Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Jadi hukum adat yang berlaku di Baduy sudah paten. Mereka tetap berpegang teguh kepada hukum nenek moyang mereka.

Dialog dengan Puun semakin menarik saja. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami tanyakan lagi tentang suku Baduy ini. Akan tetapi waktu yang membatasi. Matahari sudah berada tepat di tengah ubun-ubun kepala kami. Itu artinya kami sudah harus segera beranjak dari tempat ini supaya tidak terlalu malam sampai di Ciboleger—terminal bus. Kami pun berpamitan.

Perjalanan pulang dimulai. Rasanya amat menyenangkan mendengar kata pulang. Dalam bayangan, kami sudah rindu rumah kami. Rindu masakan khas kami. Perjalanan pulang pun dengan santai kami lalui. Tas-tas kami sudah enteng. Segala makanan berat sudah habis. Hanya tinggal beberapa saja. Air minum tinggal mengisi saja di beberapa titik sumber air gunung yang mengalir.

Alangkah menyebalkan sekali, ketika sudah setengah perjalanan pulang ke Ciboleger kami diguyur hujan. Jalanan becek, licin, dan sangat terjal. Banyak kawan-kawanku yang terjatuh. Sampai akhirnya kami harus menggunakan tali panjang, biar kami tidak terjatuh. Jika dikatakan sengsara, ini jauh lebih sengsara dibandingkan awal keberangkatan. Tapi bagi kami, terutama bagi saya, perjalanan ini tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya.

Ketika kembali ke rumah, saya langsung istirahat. Badan saya terasa remuk. Dua hari kemudian saya pun baru sadarkan diri dari tidur panjang saya. Saya rindu perjalanan itu.

Catatan: Suku Baduy terletak di wilayah pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.

23Oktober 2011

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 160-169)