• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nge’bolang’ ke Masjid Agung Jawa Tengah

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 108-114)

Oleh: Nuurus Saadah

Saat-saat paling seru menjadi mahasiswa rantau adalah ketika mudik menjelang lebaran. Tradisi unik masyarakat muslim Indonesia (yang bukan muslim pun tak jarang pula ikut meramaikan). Pada tahun-tahun sebelumnya, aku lebih memilih untuk ikut rombongan OMDA FOKMA (Organisasi Mahasiswa Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Bahurekso, Kendal), paguyuban mahasiswa rantau dari tiap daerah di Institut tempat ku menuntut ilmu. Karena selain nggak ribet harus nenteng-nenteng barang ke terminal, suasana yang hidup juga ditawarkan ketika berada dalam bus. Tahun ini akan menjadi lebaran terakhirku di rantau orang dengan status mahasiswa S-1 (semoga). Lalu bertolak dari situ, aku ingin menimba pengalaman baru. Lantas aku dan Leni (seorang teman asal Kendal) memutuskan untuk tidak ikut dalam rombongan mudik FOKMA.

Libur kurang dua hari lagi, aku belum dapet tiket pulang (belum nyari lebih tepatnya). Lalu ketika menghadiri acara buka bersama di pesantren tempat aku tinggal, aku ditawarin Ita (adik tingkat kami yang dulu pernah tinggal di pesantren ini) untuk ikut mudik gratis yang diadakan oleh salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia. Tanpa basa-basi aku dan dua orang temanku (Leni -asal Kendal- dan Dewi -asal Solo-) mengiyakan. Tujuan kami adalah Semarang, lalu mampir ke Jepara untuk menengok salah satu sahabat kami yang sedang sakit.

Subuh hari selepas sholat berjama’ah dan berpamitan kepada ustadz pengasuh, kami bertiga (Aku, Leni, Dewi) berangkat menuju stasiun. Ita dan beberapa temannya telah terlebih dahulu berangkat. Kami berjanji untuk bertemu di stasiun tepat pukul 06.00 WIB sebelum kereta jurusan Bogor-Jakarta berangkat. Starting point mudik bareng tahun ini dimulai dari lapangan Jakarta Convention Center, Senayan. Di sinilah repotnya, kami harus menerobos macetnya Bogor, berjubelan di dalam kereta, dan harus sampai di Jakarta sebelum jam 09.00 WIB atau jika tidak mudik kami terancam gagal.

Macet! Meski masih pagi buta, Bogor ternyata sudah bangun dari tidurnya (atau malah mungkin tidak tidur? Entahlah!). Dua kali naik angkot harus kami lakukan untuk mencapai stasiun. Setelah sempat sedikit khawatir, akhirnya kami tiba di stasiun kota Bogor. Langkah kami bagai dikejar maling atau mungkin seperti maling yang dikejar polisi. Ah, aku tak ambil pusing. Yang penting kami harus segera masuk gerbong KRL ekonomi AC jurusan Jakarta yang ada di jalur enam.

Sip! Itu dia keretanya. Hup! Masuk. Eits, mana adik tingkat kami?

“Ada di gerbong paling belakang,” katanya lewat SMS. Padahal kami bertiga masuk di gerbong paling depan. Jadilah kami berjalan menyusuri gerbong kereta. Agak sedikit santai karena paling tidak kami sudah ada di dalam kereta. Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang yang menjajakan barang dagangannya, terutama koran dan makanan karena mungkin masih terlalu pagi untuk penjual

mainan atau yang lain. Pun pengamen, agaknya ini masih terlalu pagi bagi mereka. Meski satu gerbong, tapi kami duduk terpisah menjadi dua kelompok. Aku, Leni, dan Dewi duduk satu kelompok. Lalu Ita dan kedua temannya ada di kelompok yang kedua. Ini terpaksa kami lakukan karena tempat yang tidak memungkinkan.

KRL yang kami tumpangi menyediakan gerbong khusus untuk wanita. Kami beruntung, meski telat kami mendapat tempat di gerbong khusus. Paling tidak kami merasa sdikit aman. Kereta mulai berjalan menyusuri relnya. Beberapa dari penumpang terlelap dalam tidurnya, beberapa yang lain sibuk dengan korannya dan beberapa yang lain sibuk dalam pikirannya. Aku termasuk golongan ketiga. Aku tak mengantuk, aku alihkan pandanganku pada anak kecil yang sedang makan apel. Lalu ketika ada sepasang suami istri yang masuk, mataku beralih kepada mereka. Kasihan, mereka harus terpisah sementara karena pria tak boleh ada di gerbong khusus.

***

Akhirnya kami tiba di Stasiun Cawang, lalu menuju Lapangan Senayan dengan metromini. Sedikit kaget, meski aku sudah tiga tahun tinggal di Bogor, tapi aku jarang ke Jakarta. Menumpang sebuah metromini ternyata bukan pilihan yang tepat. Benar-benar mual aku dibuatnya, seenaknya saja bang supir nge-rem dan nge-gas. Kupikir dengan turun dari metromini selesai sudah perjuangan (penderitaan) kami. Tapi ternyata kami masih harus berjalan kaki. Benar-benar pengalaman baru yang berkesan. Perjalanan kami semakin lengkap ketika harus mencari-cari satu diantara puluhan bus

yang berjajar. Kami harus teliti. Jika kami salah naik bus, alih-alih sampai ke tujuan, yang ada malah nyasar ke daerah lain. Agak lieur melihat banyak sekali peserta mudik bareng kali ini. Entah karena ini kali pertama aku mengikutinya atau karena sudah terkuras tenaga untuk perjalanan Bogor-Jakarta.

Setelah diadakan checking, kami pun siap meluncur. “Semaranggg... i’m coming,” pekikku dalam hati. Sepanjang jalur pantura (pantai utara Jawa) kami disuguhi pemandangan indah ala Indonesia. Berselang-seling berjejeran pesawahan dengan padi yang menguning, rumah-rumah di perkampungan, pertokoan, dan pantai. Tepat pukul dua belas siang kami diberi waktu untuk sekedar ke kamar mandi, istirahat, dan sholat pada suatu terminal di Indramayu. Lalu mata kami kembali dimanjakan oleh sawah, laut, rumah, toko, dan bahkan hutan.

Ada yang unik ketika sampai di kota Brebes, kota yang dikenal dengan bawang merah dan telur asinnya. Hampir di setiap warung yang ada di pinggir jalan, tak kosong dari tiga komoditas utama yaitu bawang merah yang dijual diikat dengan daunnya, telur asin, dan labu atau waluh dalam bahasa Jawa. Padahal warung- warung itu berjarak tak seberapa jauh. Lalu aku jadi teringat kolak waluh buatan ibuku yang tak pernah absen menjadi menu buka puasa Ramadhan.

Ketika menjelang adzan maghrib kami tiba di kota Kendal. Berhenti pada SPBU untuk sekedar berbuka. SPBU tempat kami berhenti hanya berjarak kira-kira 2 km dari rumahku. Hmmm... pengen rasanya segera pulang, tapi kembali lagi ke niat awal. Niat

untuk menjenguk teman. Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan ke Semarang. Kendal-Semarang tidaklah jauh, jam tujuh seperempat kami sudah tiba di Stasiun Terboyo. Dua teman Ita sudah langsung pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan kami berempat, aku, Leni, Dewi, dan Ita berencana untuk menginap di Masjid Agung Jawa Tengah.

Dengan menumpang taxi, kami berempat meluncur ke MAJT di Jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, Kota Semarang. Selain istirahat, kami juga ingin beri’tikaf di sana mumpung di bulan Ramadhan. Kerlap-kerlip lampu di lingkungan masjid langsung menyambut kami turun dari taxi. Meski rumahku tak jauh dari Semarang, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di kompleks masjid yang pesonanya telah jauh-jauh hari sampai ke telingaku.

Sesudah menyerahkan beberapa lembar uang kepada sopir, kami langsung menuju kafetaria masjid mengobati rasa lapar dengan menu makanan khas Jawa. Seharian berpuasa merangkap melakukan perjalanan ternyata membuat kami dilanda lapar. Magrib tadi kami hanya berbuka dengan roti dan air meneral. Usai makan, kami juga membeli makanan untuk sahur besok. Kami harus sahur karena besok pagi, kami harus ke Jepara untuk menengok sahabat kami.

Setelah merasa cukup, kami berjalan menuju bangunan utama masjid sambil memuaskan mata. Bergantian melihat ke langit, lingkungan masjid, dan kerlip lampu di daerah pemukiman yang lebih rendah. Sampai di bangunan utama masjid, kami bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan menjaga barang. Kami

menjama’ ta’khir sholat maghrib dan isya’, lalu melanjutkannya dengan sholat tarawih. Ini adalah malam sepuluh terakhir. Meski bukan malam ganjil, tapi masjid sangat ramai pengunjung. Kami sempat bergabung mendarus Al Qur’an sebelum akhirnya sebagian kami tak lagi terjaga.

Di ruang utama masjid tidak diijinkan untuk tidur, maka kami mengusung barang-barang kami dan bergabung dengan beberapa orang yang beristirahat. Meski cukup banyak nyamuk yang mengganggu istirahat kami, toh akhirnya kami terlelap juga mungkin karena terlalu letih.

***

Kami terbangun tepat pukul dua. Usai sahur, mandi, dan berwudhu, kami kembali ke ruang utama masjid bergabung bersama puluhan jama’ah lainnya. Menunggu adzan berkumandang sambil berdzikir dan menderas Al Qur’an. Kadang-kadang diselingi dengan anggukan kepala beberapa jama’ah pertanda kantuk.

“Dug.. dug.. dug.. tek.. teretek.. tek..” Pukulan bedhug pertanda adzan segera berkumandang. Rindu sekali akan suara bedhug. Di Bogor tak pernah lagi kudengar suara khas menjelang panggilan sholat. “Allahu akbar” takbiratul ihram menjadi pertanda sholat telah dimulai.

Pada setiap ba’da subuh, kuliah subuh selalu menjadi agenda kami di pesantren. Jama’ahnya terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, serta mahasiswa di sekitar pesantren kami. Tak disangka, ternyata di

MAJT juga ada kuliah subuh. Terasa benar suasana Ramadhan meski kami sedang melakukan perjalanan.

Agenda berikutnya adalah hunting foto. Meski telah

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 108-114)