• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahameru Love Never The End

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 54-63)

Oleh : Avisa Guritna

Perjalanan menuju puncak abadi para dewa dimulai dari Surga Kecilku. Tempat di mana aku terlahir dan tumbuh. Pada Sabtu malam, 25 Juni 2011. Dengan diantar oleh sang bapak tercinta, sampai di Terminal Tirtonadi Solo. Jam di HP-ku menunjuk angka 11. Bus yang kutunggu pun tiba. Lalu aku naik, setelah kuciumi tangan bapak dengan ta’dzim. Bismillaah. Hatiku sempat gerimis. Bagaimana nanti jika alam tak bersahabat denganku? Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu denganku? Nyaris mataku hujan. Aku coba buang pikiran-pikiran negatif itu. Kubayangkan hal-hal yang baik. Ku berharap bisa kembali pulang dengan selamat. Mata kupejam. Lalu aku pun terlelap di kepulauan kapuk. Sementara itu, teman- teman yang lain ada sekitar 50 orang, berangkat dari Jakarta siang tadi dengan naik kereta api ekonomi, Matarmaja. Aku akan bertemu dengan mereka di Stasiun Kota Baru Malang.

Di hari Ahad, 26 Juni 201. Saat adzan subuh berkumandang, aku sampai di Terminal Bungur Asih Surabaya. Agak lama aku menunggu angkutan kota berwarna kuning. Akhirnya datang juga. Tak sampai sepuluh menit, sampailah aku di jembatan Waru. Setelah memberikan uang dua ribu perak, aku pun turun. Lalu kulanjutkan lagi perjalananku. Menuju Stasiun Kereta Api Sidoarjo. Dengan membayar uang tiga ribu perak sampailah aku di depan Ramayana Sidoarjo. Lalu aku berjalan kaki sekitar 15 menit. Sampailah di

Stasiun Kereta Api Sidoarjo. Aku mendekat ke loket. Mengantri untuk membeli tiket kereta api menuju kota Malang. Kuserahkan uang empat ribu perak pada petugas loket kereta api. Dan aku pun mendapatkan selembar tiket kereta api Penataran Jurusan Malang. Pukul setengah enam pagi, kereta tiba. Setelah sekitar 2 jam, akhirnya sampailah aku di Stasiun Kota Baru Malang. Teman-teman dari Jakarta sudah datang sebelum aku tiba di stasiun. Mereka tinggal menunggu kehadiranku saja.

Lalu tak berselang lama, perjalanan pun dilanjut menuju Dusun Tumpang. Tak ada satu jam, sampailah di Dusun Tumpang. Di sana beristirahat sejenak. Kemudian dilanjut menuju Ranu Pane. Kali ini perjalanan dengan naik mobil Jeep. Sebelum jam 12, aku dan rombongan sudah berangkat menuju Ranu Pane. Perjalanan sedikit terhambat karena harus berhenti agak lama di pos perijinan, sebelum masuk Ranu Pane. Langit siang ini nampak begitu cerah. Teriknya nyaris membakar kulitku. Setelah adzan dhuhur berkumandang perjalanan baru dilanjut kembali. Ini adalah untuk pertama kalinya aku naik Jeep. Jalanan menuju Ranu Pane begitu mendebarkan dadaku. Ada tanjakan. Ada turunan. Ada kelokan. Ada jalan mendatar. Lengkap sudah. Pemandangan yang tampak pun begitu mempesona. Menawan hatiku. Ada pohon buah apel yang sedang berguguran. Sepertinya setelah berbuah. Tinggal beberapa saja yang buahnya masih nampak ada. Pohonnya pendek-pendek. Aku ingin sekali memetik buahnya yang masih ada itu. Hijaunya daun pun tampak seperti karpet yang terhampar. Wwoooww, subhanallah. Luar biasa indah nian karya cipta-Nya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam sampailah di Base Camp Ranu Pane.

Sore hari menuju Ranu Kumbolo. Aku berjalan bersama Dimas, Rita, Adul, Ferdy, dan Tanto. Merekalah tim kecil perjalananku. Jalanan masih datar. Sudah ada truk-truknya, kita tinggal mengikutinya saja. Aku nampak ngos-ngosan ketika jalanan mulai menanjak. Diantara kami berenam akulah yang paling payah. Bentar-bentar minta break, berhenti, dan minum. Kami pun berhenti sejenak saat POS 1 terlewati. Melepas penat, minum, dan beristirahat. Dingin yang bercampur keringat membuatku tak nyaman. Tak berlama-lama di POS 1. Langkah pun dilanjutkan lagi menuju POS 2. Tanjakan dan turunan pun menjadi medannya. Hijaunya dedaunan di rimba raya, membuatku tertegun dan memuji indah ciptaan-Nya. Sesekali aku terjatuh, kepalaku sedikit berkunang. Sementara Rita, Adul, dan Ferdy asyik berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi ria. Saling menghibur dan menyemangati. Dan aku lebih banyak terdiam daripada melepas suara. Entah kenapa suaraku tak mampu keluar. Dan akhirnya POS 2 pun terlewati. Berhenti sejenak. Lalu dilanjut munuju POS 3. Tak terasa senja pun pergi, berganti malam. Rintik hujan sempat menemani perjalanan kami. Dingin dan pekatnya keringat berpadu menjadi satu menimbulkan aroma yang khas dan rasa yang tak jelas. Aku tak suka ini.

Setelah POS 3 terlalui, malam pun semakin gelap. Sempat nyaris tersesat pula saat mendekati Ranu Kumbolo. Alhamdulillaah, tak lama kami pun menemukan jalan menuju Ranu Kumbolo. Sementara Tanto telah jalan duluan dan sampai di Ranu Kumbolo lebih awal. Sekitar pukul tujuh barulah aku, Rita, Ferdy, Adul, dan Dimas menyusul Tanto sampai di Ranu Kumbolo. Dinginnya.

Menusuk pori-pori tubuhku. Tubuhku menggigil. Pakaianku basah. Dimas dan kawan-kawan membangun istana kami. Tak lama kemudian selesai sudah. Lalu kami pun memasuki istana itu. Ranu Kumbolo malam ini berselimutkan kabut. Bertemankan dingin dan pekatnya malam. Serta badai yang bergemuruh. Setelah makan malam bersama dengan Chef Kang Ferdy, aku pun terlelap dalam buaian mimpi. Bersama sahabat terbaik. Hingga pagi pun menyapa.

Matahari masih tampak malu-malu menghadirkan dirinya di tengah-tengah kami, para pendaki. Sementara kabut putih enggan pergi dan masih tetap ingin menemani kami. Gigiku bergerak ke atas bawah, bertabrakan, dan menimbulkan bunyi gemeretak. Bulu kudukku pun berdiri. Ku paksakan diri bangun pagi. Bermain-main dengan airnya Ranu Kumbolo. Segar sekali rupanya. Ferdy nampak sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Tak lama kemudian bersiaplah kami untuk sarapan pagi dengan menu khas Ferdy. Ferdy juga membuat agar-agar hijau dengan bertaburkan santan. Tak ketinggalan, kopi susu pun menemani sarapan pagi kami di Ranu Kumbolo. Yummy. Alhamdulillah... nikmat sekali. Setelah sarapan usai, kami pun bersiap meninggalkan Ranu Kumbolo. Melanjutkan perjalanan ke Kali Mati. Packing pun dimulai. Dimas dan kawan- kawan merobohkan istana kami. Sementara aku terduduk di depan view Ranu Kumbolo yang cantik. Menikmati pagi hari yang sungguh luar biasa.

Sekitar jam 10.00 pagi, packing pun usai. Setelah foto-foto bersama, doa pun dimulai. Dimas yang memimpinnya. Lalu kami bersiap berangkat menuju Kali Mati. Melewati tanjakan cinta. Setelah tanjakan cinta usai, kami pun berhenti sejenak. Kuamati

tanjakan cinta dari tempatku duduk, benar-benar menanjak. Aku telah melewatinya tanpa kesakitan yang berarti. Walau dengan ngos- ngosan. Dan setelah tanjakan cinta lalu istirahat, kami pun memasuki hutan belantara. Kemudian ada Oro-Oro Ombo. Pemandangan yang begitu mempesonaku. Setelah itu ada pula Lembah Edelweis. Namun sayang, edelweisnya masih kuncup. Belum bermekaran. Setelah itu sampailah di Base Camp Kali Mati. Base Camp terakhir kami sebelum mencapai puncak.

Sekitar jam 12.00 siang kami sampai di Kali Mati. Rintik hujan menemani. Dimas dan yang lainnya mendirikan istana tempat kami berteduh. Sementara aku menungguinya sambil terduduk di bawah pohon. Dan tak lama kemudian, selesai sudah istana yang mereka buat. Kali ini, istana kami tak sempurna. Bocor di sana-sini, hingga tidur kami pun tak lelap dan kebasahan. Hujan tak lagi rintik. Tapi semakin membesar. Dinginnya menjalari ke tubuhku. Aku mulai tak betah. Sementara yang lain pada ngobrol, aku asyik dengan duniaku sendiri yang kubuat. Menunggu dini hari tiba sungguh sangat lama. Membosankan. Hingga akhirnya dini hari yang kutunggu pun tiba.

Jam setengah satu. Summit pun dimulai. Berdoa bersama. Lalu berangkatlah kami menuju Puncak Mahameru. Malam ini begitu cerah. Setelah seharian hujan mengguyur Kali Mati. Summit pun berjalan dengan lancar. Hingga setelah antrian selepas itu, Rita kesakitan. Perutnya tak bersahabat. Sesuatu harus dikeluarkannya. Hingga harus berhenti sejenaklah kami. Menunggui Rita yang sedang membuang zat sisa yang tak berguna lagi bagi tubuhnya. Rombongan lain pun mendahului kami yang sedang berhenti.

Sementara Tanto masih tetap berjalan di depan, tak berhenti. Setelah sekian lama menunggui Rita yang membuang hajatnya, akhirnya perjalanan pun dilanjut lagi. Kali ini sebentar-sebentar berhenti. Bukan karena aku saja yang hendak break sejenak, tapi juga Rita. Rombongan kami jadi yang paling belakang. Dengan langkah tertatih, kususuri belantara. Udara yang dingin menusuk pori-pori tubuhku. Pekatnya malam menambah jantungku berdebar. Untung saja malam ini langit cerah ceria. Begitu banyak bintang bertaburan. Pemandangan yang luar biasa indahnya. Setelah Arcapada, kami pun melewati tanjakan pasir yang begitu luasnya. Pasir yang ada batu- batunya. Aku teringat akan Padang Maghsyar yang luas. Tempat kita nanti berkumpul setelah hari kiamat tiba. Di sini, di tanjakan pasir itu, pipi-pipiku sempat basah oleh buliran-buliran kristal bening yang terjatuh dari kelopak mataku.

Ketika itu, Tanto sudah berada jauh di depan rombongan kecil kami. Sementara Adul berada di belakang Tanto. Sedangkan Rita masih terduduk di belakangku bersama Ferdy. Dimas berada agak jauh di depanku. Tubuhku gemetar. Nyaliku menciut. Sungguh aku benar-benar takut. Aku ingin duduk sebentar, namun aku malah terjatuh. Hingga akhirnya aku hanya berdiri saja sambil menggigil kedinginan dan gemetar ketakutan. Sementara buliran-buliran kristal itu terus berjatuhan ke pipi-pipiku.

Aku sempat berteriak ke Ferdy dan Rita yang agak jauh di belakangku. “Aku takut.” Kali ini aku merasa begitu dekat dengan kematianku. Aku tidak kuat. Aku takut. Aku menangis. Aku terjatuh. Berkali-kali. Aku coba bangun. Terjatuh lagi. Berulang kali. Hingga Dimas mendekatiku dan menenangkanku. Masih terasa berat. Dan ini

merupakan medan terberat bagiku. Aku masih saja sering terjatuh dan terjatuh lagi. Aku nyaris putus asa. Tapi entah kenapa akhirnya aku mampu juga melanjutkan perjalanan ini. Walau harus dengan tertatih, banyak berhenti, dan terjatuh. Hingga ketika nyaris sampai di puncak, tinggal beberapa langkah lagi, suara itu, teriakan dari atas itu, aku tak begitu jelas mendengarnya. Dan aku pun tak begitu paham, apa yang terjadi. Yang aku tahu, tiba-tiba saja orang-orang di sekitarku, orang-orang yang telah berada di depanku berhamburan ke bawah. Mereka begitu panik. Semuanya turun lagi. Kecuali mereka yang telah sampai di puncak, termasuk Tanto.

Aku masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi. Lidahku terasa kelu. Aku tak mampu untuk bertanya pada Dimas yang ada di dekatku. Tangisku pecah. Aku takut. Takut sekali. Mereka semua cepat-cepat turun. Melesat ke bawah. Aku malah menangis. Aku benar-benar takut. Aku kira hari kiamat telah tiba. Mereka semua berhamburan ke bawah. Dan batu-batu itu, batu-batu itu pun ikut berjatuhan, jika tak hati-hati akan mengenai orang-orang yang berada di bawah. Pemandangan yang begitu mencekamku. Dan akhirnya aku pun turut melesat ke bawah, walau tak mampu secepat mereka. Alhamdulillah. Aku selamat. Hingga bisa rehat sejenak. Masih di lautan pasir itu namun sudah ke bawah. Ketika melesat turun, ternyata hanya butuh waktu tidak sampai satu jam, sedang saat naik, terasa lebih lama. Sampai di sini, kepanikanku sudah mulai mereda. Dan aku sudah mulai tahu kenapa tadi harus segera turun. Ternyata Mahameru bergerak, mengeluarkan apinya. Atau kita sering menyebutnya wedhus gembel. Begitu yang kudengar dari mereka.

Saat rehat di lautan pasir itu, langit sudah mulai nampak terang. Bromo pun terlihat. Bromo juga sedang bergerak, sama seperti Mahameru. Lukisan di langit nampak sempurna. Inilah karya indah sang maestro. Sang maha indah. Luar biasa, subhanallah. Aku begitu menikmati saat-saat rehat itu. Walau kakiku terasa tak bersahabat. Matahari mulai menampakkan dirinya. Sementara kami, bersiap melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati. Aku tak mendapatkan Mahameru yang sempurna seperti yang ada di dalam mimpiku. Namun tak apa, aku tetap mensyukuri dan bahagia karenanya. Perjalananku menuju Kali Mati agak terhambat. Kakiku benar-benar sakit sekali. Aku lebih banyak break. Hingga akhirnya tertinggal dengan rombongan kecilku. Hanya berdua saja dengan Dimas. Aku hampir tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan ini. Namun pelan-pelan aku tetap berjalan.

Sekitar pukul 09.00 pagi, sampailah aku dan Dimas di Kali Mati. Ferdy, Adul, Tanto, dan Rita sudah menanti. Aku langsung saja merebahkan diriku di tenda. Sementara yang lain sibuk packing. Setelah packing usai, kami langsung menuju Ranu Kumbolo. Tiba lagi di Ranu Kumbolo sekitar pukul 13.00 siang. Rehat sejenak. Setelah itu, perjalanan pulang menuju Ranu Pane pun dimulai. Sekitar pukul dua siang aku meninggalkan Ranu Kumbolo. Perjalanan turun kali ini tidak begitu berat. Aku tak banyak break. Namun jalannya pun agak pelan. Hingga sebelum adzan maghrib berkumandang kami telah sampai di Ranu Pane. Menikmati malam di rumah makan seorang penduduk. Hingga pagi tiba kami bersiap pulang.

Setelah sarapan nasi goreng buatan sang ibu baik hati itu dan setelah pamit, kami melanjutkan langkah dengan menumpang truk sayur. Lalu angkutan umum. Setelah sampai di terminal, Dimas melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Sementara aku ke Stasiun Belimbing melanjutkan perjalananku menuju Surabaya. Hari ini hari Rabu tanggal 29 Juni. Aku mendapatkan kado terindah. Semeru. Kado terindah di hari lahirku kali ini. Alhamdulillah. Walau tak sempurna, namun lelah ini telah tergantikan. Allah, syukur kuhaturkan pada-Mu. Alhamdulillah. Engkau selamatkan aku dari maut yang begitu dekat denganku kala itu. Bapak, ibu, adik, matur nuwun doanya. Dimas, Rita, Adul, dan Ferdy, terimakasih atas kebersamaannya. Larva Outdoor, terimakasih atas eventnya. Semoga masih ada kesempatan lagi untuk kaki ini menjejak di Mahameru- Mu. Cinta dan rinduku padamu tak kan pernah berakhir. Sampai nanti.

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 54-63)