• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

Syifa Enwa , Okti Li, Nenny Makmun ,dkk

A Memorable

(2)

A Memorable Journey

Oleh: Syifa Enwa,Okti Li,Nenny Makmun ,dkk Copyright © 2012 Syifa Enwa,Okti Li,Nenny Makmun ,dkk

Penyunting Ika Safitri

Sampul depan dan isi Akh Taufiq Diterbitkan oleh Versi Ebook : PSP

www.pena-santri.blogspot.com Versi Cetak : Dar-insyirah

(3)

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Setiap manusia yang ada di bumi ini pasti sering melakukan sebuah perjalanan. Entah perjalanan karena suatu pekerjaan, untuk silaturahim, menuntut ilmu, atau hanya sekedar rekreasi untuk mendapatkan suatu hal yang menyenangkan. Namun, tentunya tidak semua perjalanan berkesan dan membekas di lubuk hati pada setiap orang yang melakukannya. Terkadang, perjalanan itu berlalu begitu saja dan mudah dilupakan.

Meski demikian, setiap orang juga pasti memiliki sebuah perjalanan yang berkesan. Sebuah perjalanan yang membekas dalam hati karena terdapat sebuah pengalaman berharga dan unik di dalamnya. Dan yang terpenting, adalah hikmah yang dapat diambil dari sebuah perjalanan tersebut. Seperti halnya pada kumpulan catatan perjalanan di dalam buku ini.

Buku ini merupakan kumpulan kisah dari 25 peserta yang tulisannya terpilih dari sekitar 60-an peserta event menulis “Catatan Perjalanan” yang diadakan komunitas Hamasah dan komunitas Penasantri. Catatan perjalanan yang disuguhkan tentu berbeda-beda.

(4)

Membaca kumpulan catatan perjalanan ini, pembaca seolah dibawa untuk mengikuti dan merasakan perjalanan yang sedang terjadi. Menyusuri indahnya alam Indonesia, mengetahui segala seluk-beluk masyarakat daerah tertentu, menjelajahi belahan bumi yang lain,bahkan sebuah perjalanan yang merupakan pengalaman pertama. Semuanya tentu memiliki pengalaman seru dan unik yang berbeda.

Terlepas dari semua itu, satu hal terpenting yang pasti kita dapatkan dari sebuah perjalanan adalah hikmah atau pelajaran. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sana. Rasa syukur atas karunia Ilahi atas ciptaan alam yang disuguhkan saat menikmati perjalanan. Rasa empati, terkadang muncul dalam sebuah perjalanan di saat menyaksikan orang-orang yang kurang beruntung dari kita. Bersabar, ketika kita dihadapkan pada sebuah kesulitan atau rintangan dalam sebuah perjalanan. Belajar memperbaiki diri, saat melihat negeri orang lebih maju daripada tanah air tercinta. Tentunya, masih banyak lagi hikmah yang dapat kita ambil dalam sebuah perjalanan.

(5)

Daftar isi

kata pengantar 3

Daftar isi 5

Perjalanan Umrah yang Berkesan 7

Unforgettable Moment in Tongging 11

Da’il Authaana Waghtarib 17

Semeru dan Sebuah Asa 23

Jogja, I’m in Love 33

Ombak yang Tak Bersahabat 39

Orang Tua : Do’a Masa Depan 45

Cikuray, Maaf Tak Kuinjakkan Kaki di Puncakmu 49

Mahameru Love Never The End 55

Dieng, Percikan Surga di Tanah Tua Jawa 65

Menjalin Persaudaraan di Lahat 69

Catatan Pelangi Tanah Bandung 75

Wisata ke Patung Budha (Giant Buddha) 83

Satu Hari Menjelajah Tanah Karo 89

Menjelajah Kebun Raksasa 97

Perjalanan itu Berakhir (Guntung) 103

Nge’bolang’ ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) 113

Untuk Kedua Kalinya 123

Indahnya Perjalanan ke Serambi Mekah 131 Selusin Tahun Melancong di Tiga Negara Macan Asia 143

Makassarku, Kemenanganku 149

(6)

Tiga Catatan satu Perjalanan 163

Baduy, Suku di Negeriku Tercinta 169

Lebak Harjo, Keajaiban yang Ditemukan 179

(7)

Perjalanan Umrah yang Berkesan

Oleh: Syifa Enwa

Aku masih juga belum percaya bahwa kesempatan itu datang cepat. Bukan kesempatan menunaikan haji tapi umrah. Umrah yang harus sangat disyukuri sebab tidak semua orang mendapat kesempatan itu selama hidupnya. Terngiang satu ayat, “Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?”

Perjalanan selama 9 jam ke Jeddah berjalan mulus. Penerbangan panjang tapi terasa ringan, mungkin karena suasana hati yang penuh rasa syukur. Urusan imigrasi dan bagasi di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, juga lancar.

Perjalanan diteruskan dengan bus tinggi karena di bagian bawah bus dipenuhi koper dan tas. Begitu masuk bus, aku harus naik beberapa anak tangga. Bus dengan pendingin udara terlihat mewah dan nyaman. Menurut pemandu, bus-bus mewah itu dikelola salah satu perusahaan pangeran kerajaan Saudi Arabia. Perjalanan terasa lancar karena melalui jalan tol yang membelah gurun berbatu. Bus berhenti sekali di satu supermarket untuk memberi kesempatan ke toilet.

(8)

***

Menjelang tengah malam tiba di Madinatul Munawaroh. Langsung ke Masjid Nabawi. Masjidnya sudah ditutup. Jadi semuanya shalat di halaman masjid yang berlantai indah. Udara begitu dingin saat tengah malam, khas gurun. Suhu gurun saat siang sangat panas, tapi ketika tengah malam dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Sampai di hotel yang terletak di dekat Masjid Nabawi, koper dan tas sudah menumpuk di depan kamar masing-masing. Waktunya istirahat. Tidak begitu terasa jetlag karena perbedaan waktu dengan Indonesia hanya 4 jam.

Sebelum waktu shalat subuh semuanya dibangunkan melalui telepon hotel. Shalat pertama di Masjid Nabawi begitu menenangkan. Hati terasa damai. Aku juga mengunjungi Raudhah dan Masjid Quba.

Perjalanan dari Madinah ke Mekah dipenuhi kumandang, "Labbaik Allohumma Labbaik..." yang membuat hati begitu terharu dan membuat mata berlinang.

(9)

menggumpal. Aku melakukan sujud syukur di masjid yang agung itu.

Setelah melaksanakan shalat sunah dua rakaat, aku bersama banyak orang di sana melakukan thawaf mengelilingi ka’bah. Shalat sunah lagi lalu melakukan sa’i, berlari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah 7 kali.

Terbayang perjuangan, kerja keras Ibu Siti Hajar yang berlari di antara dua bukit itu untuk mencari makanan dan minuman bagi dirinya dan bayinya. Akhirnya Allah membantu perjuangan keras seorang ibu itu dengan memancarkan sumber air yang sekarang dikenal dengan air zam-zam. Setelah sa’i ada tahallul, memotong sejumput rambut.

(10)

Aku juga mengunjungi tempat untuk melempar jumroh saat musim haji dan ke Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adam dan Hawa setelah berpisah lama.

(11)

Unforgettable Moment in Tongging

Oleh : Nurlaili Sembiring

Memasuki daerah dengan penduduk yang mayoritas bersuku Batak, berbalut udara yang cukup dingin dan suasana yang sangat asing kurasa seakan membawa jiwa ke ranah dunia yang tak biasa. Sebab ini merupakan kali pertama aku menjejakkan kaki ke daerah yang disebut Sipiso-piso dan juga Tongging yang merupakan daerah pegunungan di Berastagi, Sumatera Utara. Di daerah ini beberapa di antara kami memang telah pernah menapak jejak, walaupun bagi sebagian yang lain, ini adalah pengalaman pertama. Jalan yang menikung tajam, dengan tebing dan jurang yang terjal dan siap melahap setiap tubuh tanpa kompromi. Di sanalah kurasakan betapa hebatnya kekuasaan atas alam ciptaan-Nya. Bagaimanapun hanya sebuah kepasrahan manusia yang harus menjadi pelajaran paling berarti, bahwa tak layak sebuah kesombongan merangkul keangkuhan rasa. Karena kita tiada daya apapun atas kuasa-Nya.

(12)

begitu indah. Sungguh nikmat yang luar biasa dalam jalinan ukhuwah.

Dingin semakin merasuk ketika waktu berdetak semakin malam hingga pagi menjelang. Tepat pukul 2 dini hari semua di antara kami sibuk berberes ria demi mempersiapkan segala keperluan di tempat yang dituju. Tapi sayang, rencana yang bermula berangkat pukul 3 pagi terpaksa mundur hingga berjam-jam. Kesal, ya tentu kekesalan juga sempat merasuk jiwa-jiwa berhati di antara kami. Dikarenakan bus yang kami charter tak jua datang hingga jam yang kami janjikan tiba. Namun… keoptimisan kami untuk dapat menatap keindahan alam di Tongging tak menyurutkan niat kami untuk berangkat. Segala daya dan upaya kami lakukan untuk dapat segera berangkat termasuk menghubungi sopir yang bersangkutan hingga mengunjungi basecamp bus tersebut. Hingga kepastian atas keberangkatan pun mampu menenangkan hati dan jiwa kami. Tak sabar rasanya menatap dan merasakan suasana asri di lokasi. Ah, betapa indahnya.

(13)

Kebahagiaan merengkuh kami pada rasa saat perjalanan dalam sebuah bus yang menyatukan hati-hati kami dalam bingkai ukhuwah dan jalinan persahabatan. Inilah kami para petualang yang tetap semangat demi menaklukkan suasana di akhir pekan yang ceria, setelah menghabiskan waktu tiga hari lamanya bergelut dalam UAS di kampus. 23 orang dalam 1 bus sudah cukup bagi kami untuk menghangatkan suasana di pagi hari yang hening dan dingin. Apalagi bus yang mengangkut kami full AC hingga suasana yang kami arungi semakin dingin mencekam, namun kembali hangat dalam bingkai persahabatan.

Sesampainya di lokasi tepat pukul 09.00 pagi, di mana perut sudah mulai minta untuk segera diisi. Maka kami pun segera mencari tempat persinggahan yang asyik, demi mengisi perut yang kosong. Tapi dasar manusia super narsis, di setiap sudut jalan tak lepas dari jeprat-jepret kamera. Yah… namanya juga pengalaman pertama. Jadi sah-sah saja rasanya jika harus menjadi manusia super narsis sesaat.

(14)

Setelah mengisi perut dan berfoto-foto ria sejenak, kami pun tak lagi pikir panjang untuk turun dan menaklukkan jalan nan terjal tersebut untuk meraih air terjun tersebut. Tak heran memang bila lokasi ini dikatakan Sipiso-piso, sebab jalan tersebut memang begitu tajam dan siap menerkam setiap nyawa atas kehendak-Nya. Bermodal Bismillah kami arungi setapak demi setapak jalan nan berliku lagi terjal tersebut demi mencapai dasar yang dituju. Sempat terbayang, bagaimana jika bencana mendekap kami di sini, maka tak ada jalan untuk meminta pertolongan selain kepada-Nya. Seperti inikah gambaran kita kelak di padang mahsyar? Ketika hanya amal yang dapat menolong kita dari setiap ujian yang terlewat. Ada yang bergemuruh dalam hati, nadi berdenyut lirih dalam sebuah janji untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Bukan hal mudah menuju dasar air terjun tersebut. Stamina yang mantap dengan kemauan keras untuk menaklukkan rasa lelah menjadi salah satu faktor yang harus dikalahkan, pada diri setiap petualang. Bagi akhwat, mungkin memang butuh perjuangan keras menjalani hal ini, tapi di sanalah sebuah pembelajaran dan pengalaman baru mulai kutempuh. Bagiku… perempuan tak hanya soal fashion dan kosmetik atau kelemahlembutan semata. Bukan pula hanya berteman air mata setiap kali menghadapi masalah. Tetapi sebuah ketangguhan juga harus dimiliki. Perempuan harus kuat dan tangguh sebab hidup tak pernah membedakan kita dalam setiap ujian-Nya.

(15)

mungkin aku takkan sanggup sampai pada dasar air terjun tersebut. Bermenit-menit waktu yang kami butuhkan demi mencapai tujuan, hingga dingin terasa merasuk jiwa setelah percikan air terjun tersebut mengenai raga meski jarak kami berkisar 5-10 meter dari air tersebut. Namun kelelahan hilang sesaat setelah merasakan sejuknya suasana di sana diselingi berfoto-foto ria.

Tak banyak waktu yang terlewat di sana, kami pun segera mendaki demi mencapai basecamp kembali. Sebab perjalanan kami belum usai, kami jua harus menempuh jarak menuju Tongging yang merupakan pecahan dari Danau Toba. Awal menatap pulau tersebut dari puncak Sipiso-piso, aku memang merasa seperti menatap Danau Toba yang memang belum pernah kukunjungi. Hanya saja sering kulihat di video klip lagu Karo, TV, dan juga foto-foto yang ada ^_^.

Tujuan selanjutnya adalah Tongging. Dengan 2 buah angkutan berwarna merah dan putih (kayak bendera aja) kami arungi setiap ruas jalan menuju arah yang dituju. Membutuhkan waktu ½ jam menuju lokasi hingga tibalah kami di lokasi. Subhanallah, kembali terucap dalam hati ketika menatap pulau yang begitu indah. Sungguh tak ada lukisan terindah selain lukisan-Nya. Menaiki sebuah kapal kecil menjadi salah satu pilihan kami dalam mengarungi pulau tersebut. Menatap keindahan di tengah pulau terasa begitu damai meski ketakutan jua tak dapat dipungkiri dengan cuaca yang sedikit diguyur hujan.

(16)

rona yang terpancar dari tengah lautan yang berpendar dengan suasana langit yang sedikit dirintiki hujan membuat mata tak kuasa beralih pandang. Pegunungan yang menjulang tinggi menjadi santapan mata yang tak dapat terelakkan. Oh, manusia… nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan??? Kami sangat bersyukur diberi kesempatan oleh-Nya untuk menyaksikan lukisan indah ciptaan-Nya. Sungguh tiada arsitek sehebat Dia.

(17)

Da’il Authaana Waghtarib

1

Oleh : Mursalim

Hari ini, aku akan mengadakan perjalanan menuju ibu kota. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kota metropolitan yang kata orang-orang terkenal dengan berbagai macam bentuk tindak kejahatan lengkap ada di sana, kini akan kukunjungi. Ngeri rasanya jika aku teringat dengan apa yang diberitakan media tentang kejam dan sadisnya Jakarta. Tapi aku tak peduli dengan itu semua. Karena meski begitu keadaannya, banyak juga orang yang sudah berhasil mengubah kondisi ekonomi keluarganya dengan merantau ke sana. “Jika kamu ingin cepat kaya,” begitu kata teman ibuku kepada beliau. “Pergilah ke Jakarta,” sarannya. “Di sana banyak uang. Aku ini cuma seorang penjual gorengan aja sebulan bisa meraup keuntungan jutaan rupiah,” katanya meyakinkan. Dengan semakin bertambahnya penduduk dari hari ke hari, tak heran jika ibu kota yang tercinta itu sekarang menjadi semakin macet saja.

Aku bersama tiga temanku, Wawan, Roni, dan Hary pergi jauh-jauh ke Jakarta bukan untuk mencari sesuap nasi. Melainkan untuk menimba ilmu dari salah satu universitas di sana. Dari universitas itulah sebagian besar dosen kampus yang mengajar kami dulu dilahirkan.

1

(18)

“Kalian mendaftarlah di universitas itu!” begitu kata salah satu dosen kami menyarankan.

“Maa fil muqaami lidzii ‘aqlin wa dzii adabin min raahatin. Tidak ada kata istirahat bagi orang yang berakal dan beradab. Fada’il authaana waghtaribi. Tinggalkanlah kampung halaman dan jadilah orang asing,” lanjut beliau dengan menukil syair Imam Asy-Syafi’i yang kami pelajari dalam maaddah Al-Qira’ah2 pada semester empat lalu.

“Saafir tajid ‘iwadhan ‘amman tufaariquhu. Merantaulah niscaya kamu akan mendapatkan ganti terhadap apa saja yang kamu tinggalkan. Wanshib fainna ladziidzal ‘aisyi fin nashabi. Berlelah-lelahlah! Karena nikmatnya hidup itu berada dalam kelelahan,” kata beliau melanjutkan bait syair selanjutnya. “Innii ra`aitu wuquufal maa`i yufsiduhu. Sesungguhnya saya melihat bahwasanya diamnya air itu merusaknya. In saala thaaba wa in lam yajri lam yathibi. Jika air itu mengalir, maka jadi baiklah air itu. Begitu sebaliknya, jika air itu diam, maka air itu tidak akan baik.”

Kata-kata beliau itu membakar semangat kami. Dan pada hari ini, kami adalah air. Air yang tidak tinggal diam saja di tempat asalnya. Air yang kini tengah bergerak ke kota yang sangat padat penduduknya dengan naik kereta api ekonomi.

Kereta api yang kini kami naiki ini memang murah. Tiap orang hanya perlu membayar ongkos tiket sebesar tiga puluh tujuh

(19)

rupiah saja. Dengan ongkos semurah itu bisa sampai Jakarta yang jaraknya kurang lebih hampir mencapai lima ratus kilometer dari kota Solo. Sehingga sering terdengar di telinga kalau kereta api ekonomi merupakan kereta api yang paling merakyat.

Seumur hidupku, baru kali ini aku naik kereta api. Kubaca tulisan di tiket. Tertulis gerbang 6 No.16A. Aku sempat bingung, “Gerbong kereta itu dihitung mulai dari mana, Akh? Gerbong enamnya yang mana, Akh?” tanyaku pada Wawan yang sudah pernah naik kereta api.

“Gerbong kereta itu dimulai dari belakang lokomotif. Belakang lokomotif yang merupakan kepalanya kereta itu adalah gerbong satu. Untuk gerbong selanjutnya hitung saja secara berurutan!” jelas Wawan panjang lebar. “Nah, gerbong kita di situ,” tunjuk Wawan ke salah satu gerbong.

Dialah yang menjadi guide sekaligus amir safar kami. Karena di antara kami hanya dialah yang sudah pernah ke Jakarta.

(20)

“Air… air… air…. Aqua… Aqua… Aqua… Aqua…. Mizone… Mizone… Mizone…. Pocary… Pocary… Pocary…. Yang haus… yang haus… yang hauuus,” teriak seorang bapak-bapak sambil membawa sebotol Aqua di tangan kanannya. Sedang tangan kiri memegang berbagai macam minuman yang dipanggul di atas bahunya.

“Pop Mie… Pop Mie… Pop Mie…. Mi ayam, mi baso…. Ngopi… ngopi… ngopi, Mas… ben ora ngantuk3,” teriak seorang wanita yang berumur kira-kira tiga puluhan.

“Masya Allah… di mana suaminya ya? Kok seorang istri malah jualan di kereta?” kata Rony lirih.

“Nasi… nasi… nasi…. Makan, Mas? Ada ayam, ada telur,” seorang ibu-ibu menawariku.

“Tidak, Bu,” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Pecel… pecel… pecel… pecel… pecel… pecel….” “Wingko… wingko… wingko… wingko Jogja….” “Salak… salak… salak pondoh… manis… manis….” “Nasi rames… nasi rames… nasi rames….”

“Get… get… get… get… getuuuk….”

Teriakan para penjual itu bersahut-sahutan, semakin menambah keramaian kereta ini. Teriakan-teriakan itu menjadikan kereta ini ibarat pasar. Cuma bedanya, pembeli di sini hanya duduk manis saja menunggu barang yang diinginkannya, tidak perlu repot-repot mencari kesana-kemari.

3

(21)

Waktu sudah memasuki waktu shalat Maghrib. “Shalli anta awwalan yaa, Hary!”4 kata Wawan kepada Hary untuk shalat duluan. Habis Hary shalat, aku pun shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ qashar. Seumur hidupku, baru kali inilah di atas kendaraan aku shalat dengan tayammum karena tidak ada air untuk wudhu. Ada air, tapi hanya untuk minum saja. Setelah aku shalat, tiba giliran Wawan. Dan yang terakhir shalat adalah Rony.

Aku melihat keanehan dalam kereta ini. Aku yakin, penumpang kereta ini sebagian besar adalah muslim. Tapi, mengapa aku tak melihat satu pun di antara mereka mengerjakan shalat? Apa karena mereka sedang berhalangan? Untuk wanita, aku bisa berhusnuzhan, mungkin saja mereka berhalangan. Namun, untuk laki-laki, aku tidak bisa berhusnuzhan. Yang berhalangan itu hanya khusus untuk wanita saja.

“Limaadzaa haa`ulaa`i laa yushalluun?”5 sengaja aku bertanya dengan bahasa Arab agar tak ada penumpang lain yang tersinggung.

“Rubbamaa haa`ulaa`i laa ya’rifuun fiqhash shalah fis safar,”6 kata Hary.

4

Kamu shalatlah dulu, wahai Hary.

5

Mengapa mereka tidak mengerjakan shalat?”

6

(22)

“Na’am shahiih…”7 kata Rony membenarkan jawaban Hary. “Rubbamaa haa`ulaa`i lam yata’alamut tayammum, fayazhunnun annash shalah laa tashihhu illaa bil wudhuu’ faqath.”8

“Wa rubbamaa haa`ulaa`i laa ya’rifuun annaa haadzad diin yusrun. Laa ‘usra fiihi wa laa masyaqqah,”9 tambah Wawan.

Mungkin benar dengan apa yang sudah teman-temanku sampaikan. Mungkin saja mereka belum mengenal tayammum sebagai pengganti wudhu di saat air tidak ada. Mungkin saja mereka belum mengenal shalat jama’ qashar. Mungkin saja mereka belum mengenal rukhshah yang berwujud tayammum dan shalat jama’ qashar, cara shalat yang boleh dikerjakan dengan menggabungkan dua shalat dan meringkasnya.

Kereta pun terus melaju di tengah kesunyian malam. Barang-barang berharga seperti HP dan dompet telah kami simpan di tempat yang aman. Satu per satu dari kami mulai terserang kantuk yang sangat. Akhirnya kami pun tertidur. Kira-kira sebelum waktu shalat shubuh tiba, kami telah sampai di Jatinegara, salah satu stasiun yang terletak di Jakarta Timur. Itu menunjukkan bahwa kini kami telah sampai di Jakarta. Kami pun turun dari kereta. Segera aku beritahu

7

“Ya… benar.”

8

“Mungkin saja mereka tidak mengenal tayammum, sehingga menurut mereka, shalat itu tidak sah kecuali hanya dikerjakan dengan berwudhu saja.”

9 “Dan mungkin saja mereka tidak mengetahui bahwa agama ini itu mudah. Tidak ada

(23)

kedua orang tuaku, kakak, dan adikku lewat SMS bahwa kini aku telah menginjakkan kaki di Jakarta. Sungguh benar apa yang pernah dikatakan oleh Imam Syafi’i dalam syairnya, “Fada’il authaana

waghtaribi.”10 Kini, kami benar-benar menjadi orang asing di kota ini. Tak ada seorang pun yang mengenal kami di sini.

(24)

Semeru dan Sebuah Asa

Oleh : Sabrina NH

Aku menghela napas dan melihat sekeliling. Gumpalan awan seputih kapas mengelilingi lembah di bawahku. Relief-relief bumi tersembul dari balik awan. Gugusan gunung di kejauhan, lembah hijau di bawahku. Seakan tidak percaya aku bisa sampai di sini.

Hari Pertama: Jumat, 17 Juni 2011

Kompas, konsumsi, headlamp, baju hangat, dan benda-benda penting lain kupastikan sudah berada di dalam carrier. Yup, kalau mau mendaki gunung peralatan itu penting. Sebab, kalau logistiknya tidak benar, nyawa kita taruhannya.

Pukul 05.30 WIB. Setelah berpamitan pada keluarga, aku pun berangkat. Diantar bapak dengan motor, kami menuju sekolah. Aku dan rekan-rekan Smalapala yang akan mendaki Gunung Semeru memang janjian berkumpul di sekolah.

(25)

Karena harus packing ulang, upacara keberangkatan yang sedianya dilakukan sejak pagi molor menjadi pukul 09.00 WIB. Setelah upacara keberangkatan selesai, kami pun saling berpamitan. Lalu kami dan tim gunung berangkat.

Dari sekolah yang terletak di tengah kota menuju terminal bus Bungurasih, berdelapan (mbak Lisa, mbak Mela, mas Wisnu, mas Doni, Nauval, Afi, Nisa, dan saya) dengan tas carrier segede bantal, kami harus mencarter mikrolet menuju ke terminal.

Setengah jam kemudian kami sampai. Alhamdulillah, baru saja keluar dari mikrolet, di depan kami lewat sebuah bus jurusan Malang. Yup, untuk menuju ke Semeru dengan kendaraan umum, harus ke terminal Arjosari, Malang. Dari sana, lanjut naik mikrolet AT menuju Tumpang. Di Tumpang, kita harus mengurus perizinan dulu di kantor TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Untuk mengurus perizinan, siapkan fotocopy KTP dan surat keterangan sehat. Tak lupa membayar biaya per orang dan Rp5.000,00 per kamera. Setelah itu, kita akan mendapat surat pengantar dan buku kecil mengenai TNBTS.

Tepat waktu dhuhur, kami sampai di terminal Arjosari. Karena sudah siang, kami langsung menuju salah satu warung. Makan siang dulu, dong! Kami shalat dan makan secara bergantian karena harus menjaga carrier yang kami letakkan di warung.

(26)

atau AMG. Usut punya usut, ternyata nama-nama tersebut merepresentasikan jurusannya. AT adalah Arjosari-Tumpang, AMG adalah Arjosari-Mergosono-Gadang. Selalu ada huruf A, yang merupakan singkatan dari Arjosari, karena mereka berangkat dari Arjosari. Waktu tahu alasannya begitu, kami langsung tertawa.

Perjalanan dengan mikrolet ini rasanya cukup jauh. Kami menghabiskan waktu dengan ngobrol ngalor-ngidul di mikrolet. Setelah sampai Tumpang, kami turun dan melanjutkan naik jeep. Untuk selanjutnya jeep ini akan membawa kami langsung ke Ranu Pani, desa tertinggi di Jawa (2200 meter di atas permukaan laut).

Di sepanjang jalan menuju Ranu Pani, kami selalu menemui pemandangan sangat indah di kiri-kanan jalan. Kebun apel, bukit-bukit perkebunan. Jalan sempit yang kami lewati dengan jurang di kiri-kanan kami seakan menyuguhkan pemandangan yang berbeda di setiap belokan. Dan puncak keindahan itu adalah saat kami melihat Bromo dan lautan pasirnya dari kejauhan, dengan asap yang mengepul dari kawahnya. Waaah, keren! Pemandangan yang tak kalah indah juga adalah saat desa Ranu Pani mulai terlihat di kejauhan, di kaki gagah Gunung Semeru yang sedang mengepulkan asap.

(27)

Nah, karena di sana ada pos perizinan (lagi), kami pun harus lapor. Bedanya dengan yang di Tumpang, di sini kami harus mengisi daftar barang bawaan. Daftarnya banyak dan detail. Misalnya saja, harus dihitung bawa baju berapa atau bawa kopi berapa. Kami juga harus menyerahkan surat pengantar yang kami terima dari kantor TNBTS tadi.

Karena kami sampai di sini menjelang malam, maka kami tak diizinkan mendaki dan harus bermalam dulu di Ranu Pani (batas waktu berangkat mendaki hanya sampai pukul 17.00 WIB). Jadilah kami mendirikan tenda. Tapi di Ranu Pani juga ada pondok pendaki. Jadi yang sedang malas mendirikan tenda bisa bermalam di sana.

Hari Kedua: Sabtu, 18 Juni 2011

Pagi-pagi aku terbangun karena mendengar bunyi gerimis. Setelah keluar, eh, ternyata bukan gerimis. Tapi embun yang menetes. Ini uniknya Ranu Pani, saking banyaknya embun sampai bisa turun seperti hujan. Bisa dibayangkan dinginnya?

(28)

Pertama, jalannya aspal dengan perkebunan di kanan-kiri. Habis jalan aspal, mulai deh masuk hutan. Alhamdulillah jalannya tidak terlalu naik. Tapi dasar sayanya yang manja, baru sebentar saja kaki kanan sudah sakit. Walhasil harus diolesi balsam dan tukar carrier dengan mbak Lisa. Perjalanan dilanjutkan.

Di track ini, medan yang kami lalui adalah hutan model hutan hujan tropis. Semak-semak tumbuh subur. Bahkan tak jarang kami menemui kanopi alam yang dibentuk pepohonan rendah. Indah....

1,5 jam berjalan, akhirnya pos 1 kami temukan. Di pos yang terletak di kiri jalan ini, kami hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan. Baru di pos 2, yang kami temui 2 jam setelahnya, kami istirahat agak lama. Rintik hujan menemani kami shalat dan makan siang itu. Para pendaki lain yang juga rehat sejenak pun menjadi teman ngobrol. Walhasil, kami menemukan banyak teman baru di sini. Kami pun melanjutkan perjalanan. Pos 3. Kami lewati pos ini begitu saja karena letaknya yang terlalu dekat dengan pos 2, hanya 30 menit.

(29)

Angin danau yang lembut membelai tubuh kami yang sedang mengistirahatkan kaki. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan danau biru jernih yang dikelilingi hutan dan bukit. Sungguh sepi, layaknya tanpa peradaban di sini. Sinar matahari sore memantul, membuat semua permukaan berwarna keemasan. Ranu Kumbolo, sepotong surga di Semeru.

Untuk mendirikan tenda, ternyata kami harus memutar ke sisi lain danau. Kami kembali memasuki hutan di kanan danau. 30 menit kemudian, pemandangan lain kami jumpai. Masih di Ranu Kumbolo, namun dengan puluhan tenda berdiri di tepinya.

Tak membuang waktu, kami pun mendirikan tenda pula. Susu hangat dan mie panas mengisi perut, menjadi pengantar tidur kami.

Hari Ketiga: 19 Juni 2011

Aku terbangun kedinginan. Suhu Ranu Kumbolo memang ekstrim. Saking ekstrimnya, bisa turun salju di sini. Kata orang kalau kita bangun pagi-pagi di sini, kita akan melihat semua permukaan berwarna putih karena embun yang membeku menjadi salju. Jadi setelah matahari muncul dari balik bukit, aku baru berani berjalan-jalan keluar. Tapi tetap saja embun yang membasahi kaki terasa sangat dingin menggigit.

(30)

memancing, beberapa wajah lainnya muncul dari balik tenda, lalu keluar menikmati hangatnya sinar mentari.

Sarapan dengan oatmeal dan berkemas-kemas. Kami harus mengejar waktu sampai ke Kalimati. Pukul 10.00 WIB semuaberes. Kami melangkah meninggalkan Ranu Kumbolo.

Tanjakan Cinta, nama bukit setelah Ranu Kumbolo, merupakan jalur kami selanjutnya. Mitos yang beredar, barang siapa menaiki tanjakan ini dan memikirkan terus sang pujaan hati, maka nantinya akan bisa bersanding abadi dengan kekasihnya.

Tanjakan berhasil kami lalui. Medan selanjutnya menunggu di depan: Oro-oro Ombo.

Apa nama bagi suatu padang yang penuh dengan rerumputan tinggi yang menguning, kalau bukan Afrika? Begitulah pemandangan di Oro-oro Ombo.

Kami menuruni jalan melipir bukit, lalu turun ke padang. Sungguh, berjalan di atas tanah berpasir dengan ilalang setinggi pinggang ini bagaikan menjadi petualang di Afrika!

Tapi yang namanya Semeru memang tidak ada habisnya. Setelah ‘danau Titicaca’ di Ranu Kumbolo, Afrika kecil di Oro-oro Ombo, dan sekarang hutan Cemoro Kandang.

(31)

tidak terlalu rapat. Di hutan ini, kami sempat istirahat agak lama. Bersama rombongan pendaki yang lain, kami menikmati cemilan. Inilah enaknya di gunung, persahabatan mudah tercipta. Walau aslinya tidak kenal, tapi begitu bertemu pasti saling menyapa. Bisa langsung klop, bahkan bisa bercanda dan saling meledek segala.

Sudah hampir pukul 2 siang. Hutan sudah kami lewati. Savanna membentang di depan, dengan background pepohonan di seberang padang, berdiri menunduk di kaki Mahameru. Kalimati menunggu di depan.

Pukul 14.00 WIB sampai juga kami bertiga di Kalimati. Mulailahkami berfoto ria. Apalagi di sana ada bunga edelweis, bunga putih cantik yang abadi. Tapi jangan memetik bunga ini! Bunga edelweis termasuk bunga yang dilindungi. Di Semeru, biasanya di Ranu Kumbolo,petugas memeriksa apakah pendaki membawa edelweis atau tidak. Jika membawa, maka pendaki tersebut harus mengembalikan bunga tersebut ke tempat dia memetiknya.

Puas berfoto, kami mendirikan tenda dan memasak. Mie kuah menjadi teman kami menanti maghrib. Setelah maghrib, kami harus tidur untuk menghimpun tenaga karena tengah malam nanti, kami akan mulai mendaki ke puncak.

Hari Keempat: Senin, 20 Juni 2011

(32)

barang-barang yang berguna jika kita nanti tersesat. Seperti makanan, penerangan, pakaian hangat, dan jas hujan. Karena untuk ke puncak, medannya tidak memungkinkan untuk membawa carrier.

Barisan kami beriringan membelah padang dengan anginnya yang mendesau keras. Sinar bulan menerangi jalan setapak mendatar di depan kami. Setelahnya, kami memasuki hutan bernama Arcopodo. Jalur di sini lumayan ekstrem karena banyak terdapat jalan yang sempit dengan kanan-kiri jurang. Dengan kemiringan

hampir 45̊ pula! Namun itu semua belum apa-apa dibanding jalan yang benar-benar mendaki ke puncak.

Jalan menuju puncak adalah jalan berpasir yang mendaki tegak lurus. Tekstur tanahnya juga gembur. Diinjak sedikit, pasirnya langsung merosot ke bawah, membawa kaki kami juga merosot ke bawah. Kalau kata senior, naik satu langkah dan turun dua langkah.

Jalur ini memakan waktu paling lama. Kami mulai memasuki jalur ini pukul tiga malam dan saat matahari sudah muncul, kami tetap saja belum sampai puncak. Berkali-kali aku istirahat karena lelah. Akibatnya, aku tertinggal di belakang.

(33)

Kami kembali melangkah. Tapi aku sudah terlanjur paranoid. Akhirnya aku bertanya pada seorang pendaki yang baru saja turun dari puncak.

“Mas, dari sini ke puncak butuh waktu berapa lama kira-kira?” tanyaku hopeless.

“Deket, Mbak. Cuma 15 menit,” jawabnya.

Mataku langsung melotot. Lima belas menit? Lima belas menit dibandingkan perjalanan dari jam 1 sampai jam 7?

Aku langsung semangat meski naik satu langkah turun satu langkah. Lima belas menit! Hanya itu yang ada di pikiranku saat itu. Kurang lima belas menit!

Dan tanah datar itu muncul juga di hadapanku. 08.00 WIB. Puncak Semeru, Mahameru, 3676 meter dpl. Tanah tertinggi di Jawa.

(34)

Jogja, I’m in Love

Oleh : Eka Nur Susanti

Jogjakarta, sebuah kota yang membuatku kagum. Aku selalu merindukan setiap sudut kota Jogja. Entah mengapa, aku bisa memiliki rasa seperti ini. Mungkin ada banyak hal di Jogja yang memiliki daya magnet tersendiri hingga aku selalu merasa ingin balik ke Jogja. Sepertinya pepatah yang mengatakan ‘rumput tetangga lebih hijau’ berlaku padaku. Dalam pandanganku, Jogja lebih segalanya dari kota kelahiranku sendiri. Meskipun dalam kenyataannya ada beberapa hal dimana kota kelahiranku lebih dari Jogja.

Saking terkagum-kagumnya dengan pesona Jogja, membuatku tak menolak jika ada yang mengajakku pergi ke Jogja, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Sekitar pertengahan bulan Juli 2011 aku dan dua orang temanku melakukan perjalanan ke Jogja. Ala backpacker pun menjadi pilihan perjalanan kami meskipun bukan backpacker yang sebenarnya.

(35)

sesungguhnya yang selama ini hanya aku temui di layar televisi. Selain asing, aku juga merasakan keasyikan menikmati perjalanan. Dibandingkan menggunakan alat transportasi lainnya, kereta api memberikan lebih banyak pengalaman. Di kereta api kita bisa bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kita seperti menemukan keluarga baru meskipun baru kenal karena saking lamanya bersama dalam tempat yang sama. Berbagi pun menjadi kegiatan kami. Mulai berbagi tempat duduk, bekal makanan, hingga pengalaman. Inilah yang membedakan kereta api dengan alat transportasi lainnya.

(36)

membuat kita lebih bisa untuk sholat berjama’ah. Namun selama di Jogja, terdapat beberapa masjid yang kurang memuaskan. Salah satunya adalah masalah kamar mandi yang kurang terjaga kebersihannya. Sepertinya mereka lupa dengan hadist yang mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka hanya tahu ada hadis yang mengakatakan demikian, namun mereka tidak menerapkannya dalam kehidupan. Tak perlu mencari siapa yang salah dalam hal ini. Masalah ini adalah masalah bersama yang harus dihadapi bersama tanpa saling menyalahkan. Itulah sebagian hal yang aku temui di Jogja.

Berbicara tentang Jogja, tak pernah lepas dari tempat wisata dan Malioboro. Kedua hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan domestik maupun internasional. Beberapa daftar tempat wisata di Jogja di antaranya adalah Candi Prambanan, Candi Borobudur, taman wisata Purawisata, Keraton Jogja, dan masih banyak lagi. Dari sekian tempat wisata tersebut, hanya satu yang kita kunjungi yaitu Keraton Jogjakarta. Inilah satu-satunya tempat wisata yang murah dan banyak memberikan pengetahuan bersejarah. Hanya dengan Rp3.000,00, kita bisa mengetahui peninggalan-peninggalan Jogja dan juga para pemimpin Jogja (Sultan) terdahulu beserta keturunannya. Sungguh tempat yang menyenangkan.

(37)

khas Jogja yang melimpah ruah dan bisa didapatkan dengan harga murah. Mulai dari aksesoris, pakaian, miniatur, makanan, dan hal-hal yang menjadi ciri khas Jogja bisa kita bawa pulang sebagai buah tangan. Di Malioboro inilah, kepintaran kita dalam menawar harga serendah mungkin sangat dibutuhkan. Jadi, bagi yang kurang mahir dalam hal tawar-menawar harus ekstra hati-hati karena bisa jadi kita rugi karena kurang mahir menawar.

Selama di Jogja, aku dan kedua temanku menggunakan transportasi berupa bus trans Jogja. Ini pertama kalinya aku menggunakan transportasi semacam ini karena di daerahku sendiri belum ada transportasi ini. Transportasi ini sangat murah dan juga aman. Ongkos bus trans hanya dipatok Rp3.000,00 dan kita tak perlu membayar lagi jika harus ganti jurusan. Keadaan bus ini juga sangat aman dan menyehatkan. Tak ada para perokok di sini yang menjadi masalah umum transportasi di Indonesia. Dan keamanannya pun lebih terjamin dibandingkan dengan transportasi pada umumnya karena di sini tak ditemukan pencopet yang meresahkan penumpang.

(38)

cukup membantu karena aku juga tak begitu hafal daerah-daerah Jogja jika ditempuh dengan jalan kaki atau transportasi umum. Selama ini aku tak pernah melakukan perjalanan seperti ini. Sebelumnya, perjalananku ke Jogja hanya mengikuti rombongan yang sudah ada pemandu wisatanya yang mengarahkan kemana kita pergi tanpa kita tahu sendiri.

(39)

Ombak yang Tak Bersahabat

Oleh : Azma Zarqaa

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya kalau aku akan bertugas di sebuah pulau terpencil yang belum pernah aku kunjungi. Konsisten untuk bersedia ditempatkan di mana saja itulah yang membuat aku berada di tempat itu. Sebuah kecamatan yang terletak di seberang laut tempat di mana sekarang aku mengabdi, penuh dengan kenangan yang tidak akan terlupakan.

***

Suatu hari ketika hendak berangkat tugas dengan menggunakan boat sebagai transportasinya karena tidak ada kapal menuju ke sana. Kebetulan jadwal boat yang berangkat hari itu sedang rusak dan sebagai gantinya kami menaiki boat yang lebih kecil dari biasanya dan juga sudah sangat tua. Perasaan kami tidak karuan ditambah dengan cuaca di langit yang hitam mendung dan tidak bersahabat. Tetapi demi menjalankan tugas mau tidak mau tetap berangkat juga. Jadilah aku dan tujuh orang temanku ketika itu berangkat dengan boat yang belum pernah kami naiki sebelumnya. Oh ya, sebelum melanjutkan ceritanya akan ku perkenalkan satu persatu ketujuh orang temanku ini.

(40)

terbahak-bahak. Habis, kalau ngomong kocak terus, gaya bahasanya itu lho yang bikin nggak tahan.

Kak Santi, juga seorang bidan. Orangnya rame, suka ceplas-ceplos, tapi asyik. Biasanya kalau sudah naik boat, ia akan langsung tidur pulas. Takut mabuk.

Kak Uul, gadis manis bermata empat (dua mata asli, dua kaca mata), seorang perawat gigi, orangnya teliti dan paling tidak pernah nyenyak tidur kalau di sana. Takut dengan kegelapan katanya. Maklum, di sana listrik cuma hidup 6 jam ketika itu.

Kak Wati, seorang dokter umum. Kalau ngomong tidak pernah lupa dengan kata-kata “cuaapek dechh” nya. Tapi orangnya asik dan nyenengin.

Bang Is, seorang perawat. Orangnya narsis abis. Hari itu pakaiannya kayak bajak laut, pakai kaca mata hitam dan kain penutup kepala. Benar-benar narsis, tapi orangnya baik hati dan suka menolong walaupun suka iseng.

Bang Am, seorang perawat juga. Orangnya sabar, baik, dan bicaranya selalu pelan dan lembut tapi tidak pernah serius. Dan kalau di boat selalu mabuk, katanya nggak tahan dengan bau mesinnya.

(41)

Dan terakhir aku, sang putri bungsu seorang ahli gizi, yang baru saja ditempatkan di daerah terpencil itu. Paling junior umurnya, paling lugu, polos, dan dianggap anak bawang. Yang selalu dijadikan bahan ceng-cengan, diledekin, dikata-katain, diisengin, dikeroyok, dihajar (bohong.com, mereka nggak sejahat itu kok, tapi lebih sadis lagi hehe), yang pasti karena ada aku pegawainya jadi rame (ya jelas lah, bertambah satu orang).

Nah, sudah pada tau kan teman-teman yang menemani perjalananku. Kita lanjutkan ceritanya ya.

Ketika menaiki boat kecil itu sempat merasa was-was dan khawatir juga kami semuanya.

“Eh, yang bener aja kita naik boat ini?” kata kak Susan khawatir.

“Iya nih, boatnya kecil banget, mana kelihatannya nggak kuat lagi,” kak Inur ikut menimpali.

“Nggak apa-apa kok. Boat ini biar kecil tapi kuat.” Seru Bang Am menenangkan. Dan akhirnya mulailah boat kami berlayar di lautan yang luas. Subhanallah… sejauh mata memandang hanya hamparan air biru yang terlihat dan langit biru yang menjulang menambah indah ciptaan yang Maha Kuasa. Betapa keMaha-an Allah begitu besar, betapa kecilnya kita.... Subhanallah, sejuknya hati ini memandangnya.

(42)

bercerita dengan teman via telepon sampai signalnya hilang ditelan laut.

Tiba-tiba kekuatan angin dan ombak besar membuat boat oleng ke kanan dan ke kiri. Kami semua merasa ketakutan dan panik. Keringat dingin mulai membanjir. Sebuah sensasi yang sangat-sangat tidak enak mulai bergelayut diperutku. Mual dan sepertinya aku akan muntah. Dan… Hoeeek!! Suara seseorang di sampingku, ternyata Kak Santi sukses dengan aksinya. Sepertinya aku menunggu giliran. Oh tidak, aku tidak menginginkannnya. Sebisa mungkin aku tahan dan berdoa semoga goyangan yang mengocok perutku ini bisa berhenti secepatnya. Tapi ternyata goyangan itu masih terus saja, ombak sepertinya benar-benar tidak bersahabat. Semua mulut berkomat- kamit berzikir. Hatiku juga tak putus-putusnya berzikir dan berdo’a.

“Allahu Akbar!!!” Kak Santi menjerit kencang dan terisak. Papan boat yang menjadi pegangannya patah karena sudah rapuh. Bisa kubayangkan betapa paniknya Kak Santi, ia tidak bisa tidur seperti biasanya naik boat. Semua muka pucat pasi. Panik dan khawatir.

(43)

Kak Inur berusaha cuek dengan keadaan. Dia memilih tempat yang agak nyaman dan aman duduk di atas dek tempat pawang mengemudi boat. Tempat itu cuma muat tiga orang, satu pawang (pengemudi) boat, satu bapak-bapak, dan satu lagi kak Inur yang menempatinya. Kak Wati tampak jelas di wajahnya yang pucat rasa kecemasan dengan mata yang basah seperti habis menangis. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar menangis. Begitupun Kak Uul, sesekali menjerit kencang ketika boat lagi-lagi oleng diterjang ombak dan angin kencang, sampai–sampai air laut masuk ke dalam boat mungil kami dan membasahi kaus kaki dan sebagian rokku. Jantungku berdegup kencang sambil tak henti-hentinya berzikir. Boatnya serasa hampir terbalik. Masya Allah, benar-benar menegangkan.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya membasahi kami yang sudah kotor dengan air laut dan boat yang tidak beralaskan apapun. Awak boat mengambil langkah sigap mulai mengembangkan terpal yang akan di jadikan atap dadakan buat kami berteduh, walaupun sudah nyaris basah semua.

Pengap dengan terpal, duduk berdesakan, tubuh yang basah, badan menggigil kedinginan, dan ditambah rasa gatal membuatku benar-benar merasa tidak nyaman. Di tambah lagi dengan bau mesin boat yang membuatku pusing, hingga sensasi tak nyaman itu kembali datang. Oh tidak… ya Allah… aku kuat… aku kuat.

(44)

hati yang lara dan menghilangkan ketakutan yang mendera. Bang Am langsung mengambil ancang-ancang untuk tidur. Aih, tak peduli lagi dengan orang di sekitarnya, yang penting bisa tidur. Aku tetap di posisi seperti semula berpegangan di tiang boat dan dindingnya.

(45)

Orang Tua : Do’a Masa Depan

Oleh : Riyadi Marshall

Waktu itu aku telah kelas 3 MTs di kampungku dan saat itu aku harus menentukan kemana aku akan melanjutkan sekolah setelah ini. Banyak guru-guru di sekolah yang menginginkan agar aku sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang begitu favorit di kabupaten tempat aku tinggal (Sumenep) karena mereka melihat dari kemampuanku dalam belajar. Setelah aku mempersiapkan diri sebaik mungkin agar aku lulus tes di MAN yang aku impikan, ternyata orang tuaku menginginkan agar aku sekolah di pesantren (mondok). Aku bersikeras untuk tidak mau mondok karena sepengetahuanku pesantren itu penuh peraturan yang mengekang, tidak boleh bawa HP dan sebagainya. Orang tuaku tetap menginginkan agar aku mondok di sebuah pesantren di Sumenep yang bernama Annuqayah. Karena aku tetap menolak, orang tuaku meminta pertimbangan guru ngajiku (kyai) tentang pendidikan yang terbaik untukku. Hingga suatu hari aku di panggil oleh kyai ke kediamannya. Setelah sampai di kediamannya aku diperintahkan untuk duduk. Lalu Pak Kyai bertanya kepadaku,

“Kamu mau melanjutkan sekolah di mana setelah selesai sekolah di MTs?” tanya pak kyai.

“Di MAN Pak Kyai,” jawabku.

(46)

“Tidak, Pak Kyai.”

“Jadi itu kemauan kamu?”

“Iya, Pak Kyai.”

“Kamu ini jangan menentang kemauan orang tua karena orang tua tidak mungkin menjerumuskan ke jalan yang tidak benar,” jelas Pak Kyai.

“Tapi aku tidak ingin mondok.”

“Kalau kamu tetap tidak mau mengikuti kemauan orang tua kamu dan tetap berangkat kemana yang kamu mau, jangan pernah pamit kepada orang tuamu dan kepada saya,” tegas Pak Kyai.

Aku bingung harus menjawab apa karena aku takut tidak ada petunjuk dari orang tua dan kyai. Aku berkata pada Pak Kyai kalau aku mau mengikuti kemauan orang tuaku yaitu mondok. Sejak saat itu pupus sudah harapanku untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang aku impikan.

(47)

kakakku yang pertama, sedangkan kakakku yang kedua sudah 1 tahun lebih dulu mondok di Annuqayah. Sampai di pelabuhan Aenganyar kami menaiki kapal menuju pelabuhan Talebbung. Setelah sampai, kami menaiki mobil menuju Pondok Pesantren Annuqayah. Selesai sowan ke pengasuh, orang tua mendaftarkanku ke kantor pesantren dan memilih kamar. Orang tua dan kakakku pulang. Kini aku telah berada di pondok pesantren tempat yang begitu asing bagiku. Karena saat itu pesantren sedang ada acara haflatul imtihan, aku mengajak teman satu kampungku yang lebih dulu mondok untuk pergi ke bazar agar tidak jenuh. Aku senang karena saat itu pesantren belum begitu aktif, namun saat menjelang malam rasa tidak kerasan mulai mengganjalku. Aku berusaha untuk bersabar.

Setelah acara haflatul imtihan selesai dan liburan semester telah berlalu, peraturan pesantren kembali aktif. Selepas maghrib sampai jam 21.00 ada kegiatan Madrasah Diniyah. Setiap sore ada ajian kitab dan jam olahraga dibatasi. Mulai saat itu rasa tidak kerasanku muncul kembali, tapi aku berusaha untuk sabar menghadapi. Jika punya saudara di pondok santri putri boleh mengunjungi, aku pun sering mengunjungi kakakku. Dia selalu memberi motivasi kepadaku untuk tidak menyesal berada di pondok.

(48)
(49)

Maaf Tak Kuinjakkan Kaki di Puncakmu

Oleh : Irwan Sanja

Setiap aroma pucuk daun teh menyeruak menembus dinding penciumanku, selalu kuingat sebuah perjalanan yang sangat berkesan dan takkan terlupakan. Kembali kukuliti kepala untuk mengeluarkan isinya yang memuat sebuah catatan perjalanan membelah sebuah gunung untuk menaklukkan puncaknya. Gunung itu terletak di kabupaten tempat tinggalku yaitu Garut. Nama lengkap gunung itu adalah Gunung Cikuray.

Walau secara periode catatan perjalanan ini sudah usang, namun secara pengalaman, catatan perjalanan ini masih menggebu ingin kuceritakan. Bahkan, jika suatu saat nanti aku sudah memiliki cucu pun, catatan perjalanan ini sungguh tak akan pernah kubiarkan menguap di ingatanku. Perjalanan ini terjadi kala kain putih abu-abu melekat di usiaku, waktu kejadiannya pada bulan Mei 2003.

08:08

(50)

Setelah semua berkumpul di alun-alun Garut, kami naik angkot warna biru ke abu-abuan jurusan Cilawu. Jelas kami tidak ingin mencarter angkot, kami menganggap kami bukan rombongan. Kalau mencarter angkot dan kami ini bukan rombongan, jelas harga ongkosnya bisa cukup mahal. Maka kami putuskan untuk menganggap kami perorangan dengan naik angkot yang berbeda-beda, dan kami bertemu di pemberhentian yang sama.

Tarif ongkos dari alun-alun menuju pemberhentian yaitu di desa Dayeuh Manggung pada waktu itu sekitar Rp1.500,00 (kalau sekarang sekitar Rp4.000,00). Sesampainya di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju kaki Gunung Cikuray, tepatnya di tempat pabrik pengolahan daun teh untuk menjemput teman kami yang tinggal di sana. Lumayan, dapat pemandu gratis, walau sebenarnya dia juga teman pramuka kami. Perlu waktu setengah jam untuk menempuh perkampungan tersebut dari jalan raya tempat kami turun dari angkot tadi. Namun, itu tidak jadi masalah, karena perjalanan setengah jam yang tentu saja menanjak bisa terobati setelah beristirahat sejenak di rumah teman kami. Di sana terlihat aktivitas pengolahan daun teh menjadi serbuk-serbuk teh siap seduh dan secangkir mendarat ke tiap tenggorokan kami dengan aroma alami yang menyegarkan.

(51)

Garangnya mentari tak mampu mengalahkan kesejukan udara-udara yang dikeluarkan oleh stomata hasil fotosintesisnya. Tepat ketika mentari bertengger di ubun-ubun, kami tiba di tempat yang biasanya suka didirikan tenda oleh para pendaki puncak. Di dekat tempat ini ada objek wisata IPTEK, walau tidak cukup terkenal dan dijadikan rekomendasi. Namun ketika aku SD, pernah satu kelas mengadakan tur ke sana. Di tempat itu tertanam beberapa tower pemancar TV. Tentu saja ada operator-operator yang bekerja di sana. Sehingga kita akan merasa aman dan nyaman mendirikan tenda di sekitarnya. Tower pemancar TV tersebut berada di ¾-nya gunung. Itu artinya perjalanan kami menembus puncak tinggal ¼-nya lagi.

Oh iya, aku sampai lupa menceritakan mengapa kami begitu cepat sampai tower TV tersebut. Biasanya kalau berjalan kaki, para pendaki bisa sampai ke tower tersebut menjelang sore. Namun, kami sengaja menumpang truk pengangkut teh yang akan mengambil petikan teh di perkebunan sekitar tower TV untuk dibawa ke pabrik pengolahan teh. Lumayan, dengan menumpang truk tersebut kami bisa menyimpan tenaga sepanjang setengah perjalanan.

19:32

(52)

sungguh itu sangat menyiksa. Namun, buaian nyanyian alam cukup mempan membuat kami lelap walau dengan posisi tidur yang tak beraturan.

Dini hari pun mengusir mimpi kami. Langit terlihat cerah nan rupawan. Kami semua berjamaah mendirikan shalat malam, bermuhasabah mensyukuri nikmat Tuhan atas keagungan ciptaan-Nya.

08:08 Keesokan Harinya

Tiba saatnya kami melanjutkan perjalanan menuju tempat yang sesungguhnya, yaitu puncak Gunung Cikuray. Akan tetapi, tiba-tiba muncul sendi-sendi keegoan. Melihat barang bawaan yang banyak seperti melihat musuh. Sebagian laki-laki memutuskan agar yang perempuan tidak usah ikut dengan alasan takut tidak kuat dan bisa menjaga barang bawaan kami. Tentu saja mereka berdua (kebetulan teman pramuka perempuan yang ikut hanya dua orang) membantah. Mereka berdua merasa sebagai perempuan kuat, itu sebabnya mereka ikut menjadi anggota pramuka. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan alot, mereka berdua mengalah. Aku sendiri memilih tidak ikut naik ke puncak untuk menjaga perasaan kawan perempuan kami.

(53)

walau setengah hati menjaganya. Aku pun tidak bisa mencegah mereka berdua dan akhirnya kubiarkan diri ini sendiri menyulam sunyi.

Senja pun hadir di pelupuk mata. Suara aungan anjing gunung memerindingkan bulu roma. Kupejamkan mata sambil tiduran di atas hamparan kain tenda yang belum dipasang kembali habis dijemur. Sayup-sayup terdengar suara keenam pendaki memanggil kami. Kukira malan ini aku akan tidur sendirian ditemani teror suara hewan-hewan liar.

Itulah salah satu catatan perjalanan dalam sejarah kehidupanku yang tak kan pernah terhapus dari ingatanku. Walaupun bukan sebuah catatan perjalanan yang sangat menyenangkan, namun ada sebuah pengalaman dan perjalanan yang bisa kupetik. Belajar dari pengalaman tersebut, maka aku akan berbagi tips. Siapa tahu pembaca tulisan ini ada yang mau mencoba mendaki Gunung Cikuray. Berikut tips yang bisa saya berikan.

Bawalah

perlengkapan

kemah

seperlunya.

Jangan

membawa barang yang mubadzir seperti panci dan barang

yang sekiranya tidak penting untuk dibawa dan

menghambat perjalanan.

Mendakilah ketika musim kemarau.

(54)

Mahameru Love Never The End

Oleh : Avisa Guritna

Perjalanan menuju puncak abadi para dewa dimulai dari Surga Kecilku. Tempat di mana aku terlahir dan tumbuh. Pada Sabtu malam, 25 Juni 2011. Dengan diantar oleh sang bapak tercinta, sampai di Terminal Tirtonadi Solo. Jam di HP-ku menunjuk angka 11. Bus yang kutunggu pun tiba. Lalu aku naik, setelah kuciumi tangan bapak dengan ta’dzim. Bismillaah. Hatiku sempat gerimis. Bagaimana nanti jika alam tak bersahabat denganku? Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu denganku? Nyaris mataku hujan. Aku coba buang pikiran-pikiran negatif itu. Kubayangkan hal-hal yang baik. Ku berharap bisa kembali pulang dengan selamat. Mata kupejam. Lalu aku pun terlelap di kepulauan kapuk. Sementara itu, teman-teman yang lain ada sekitar 50 orang, berangkat dari Jakarta siang tadi dengan naik kereta api ekonomi, Matarmaja. Aku akan bertemu dengan mereka di Stasiun Kota Baru Malang.

(55)

Stasiun Kereta Api Sidoarjo. Aku mendekat ke loket. Mengantri untuk membeli tiket kereta api menuju kota Malang. Kuserahkan uang empat ribu perak pada petugas loket kereta api. Dan aku pun mendapatkan selembar tiket kereta api Penataran Jurusan Malang. Pukul setengah enam pagi, kereta tiba. Setelah sekitar 2 jam, akhirnya sampailah aku di Stasiun Kota Baru Malang. Teman-teman dari Jakarta sudah datang sebelum aku tiba di stasiun. Mereka tinggal menunggu kehadiranku saja.

(56)

Sore hari menuju Ranu Kumbolo. Aku berjalan bersama Dimas, Rita, Adul, Ferdy, dan Tanto. Merekalah tim kecil perjalananku. Jalanan masih datar. Sudah ada truk-truknya, kita tinggal mengikutinya saja. Aku nampak ngos-ngosan ketika jalanan mulai menanjak. Diantara kami berenam akulah yang paling payah. Bentar-bentar minta break, berhenti, dan minum. Kami pun berhenti sejenak saat POS 1 terlewati. Melepas penat, minum, dan beristirahat. Dingin yang bercampur keringat membuatku tak nyaman. Tak berlama-lama di POS 1. Langkah pun dilanjutkan lagi menuju POS 2. Tanjakan dan turunan pun menjadi medannya. Hijaunya dedaunan di rimba raya, membuatku tertegun dan memuji indah ciptaan-Nya. Sesekali aku terjatuh, kepalaku sedikit berkunang. Sementara Rita, Adul, dan Ferdy asyik berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi ria. Saling menghibur dan menyemangati. Dan aku lebih banyak terdiam daripada melepas suara. Entah kenapa suaraku tak mampu keluar. Dan akhirnya POS 2 pun terlewati. Berhenti sejenak. Lalu dilanjut munuju POS 3. Tak terasa senja pun pergi, berganti malam. Rintik hujan sempat menemani perjalanan kami. Dingin dan pekatnya keringat berpadu menjadi satu menimbulkan aroma yang khas dan rasa yang tak jelas. Aku tak suka ini.

(57)

Menusuk pori-pori tubuhku. Tubuhku menggigil. Pakaianku basah. Dimas dan kawan-kawan membangun istana kami. Tak lama kemudian selesai sudah. Lalu kami pun memasuki istana itu. Ranu Kumbolo malam ini berselimutkan kabut. Bertemankan dingin dan pekatnya malam. Serta badai yang bergemuruh. Setelah makan malam bersama dengan Chef Kang Ferdy, aku pun terlelap dalam buaian mimpi. Bersama sahabat terbaik. Hingga pagi pun menyapa.

Matahari masih tampak malu-malu menghadirkan dirinya di tengah-tengah kami, para pendaki. Sementara kabut putih enggan pergi dan masih tetap ingin menemani kami. Gigiku bergerak ke atas bawah, bertabrakan, dan menimbulkan bunyi gemeretak. Bulu kudukku pun berdiri. Ku paksakan diri bangun pagi. Bermain-main dengan airnya Ranu Kumbolo. Segar sekali rupanya. Ferdy nampak sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Tak lama kemudian bersiaplah kami untuk sarapan pagi dengan menu khas Ferdy. Ferdy juga membuat agar-agar hijau dengan bertaburkan santan. Tak ketinggalan, kopi susu pun menemani sarapan pagi kami di Ranu Kumbolo. Yummy. Alhamdulillah... nikmat sekali. Setelah sarapan usai, kami pun bersiap meninggalkan Ranu Kumbolo. Melanjutkan perjalanan ke Kali Mati. Packing pun dimulai. Dimas dan kawan-kawan merobohkan istana kami. Sementara aku terduduk di depan view Ranu Kumbolo yang cantik. Menikmati pagi hari yang sungguh luar biasa.

(58)

tanjakan cinta dari tempatku duduk, benar-benar menanjak. Aku telah melewatinya tanpa kesakitan yang berarti. Walau dengan ngos-ngosan. Dan setelah tanjakan cinta lalu istirahat, kami pun memasuki hutan belantara. Kemudian ada Oro-Oro Ombo. Pemandangan yang begitu mempesonaku. Setelah itu ada pula Lembah Edelweis. Namun sayang, edelweisnya masih kuncup. Belum bermekaran. Setelah itu sampailah di Base Camp Kali Mati. Base Camp terakhir kami sebelum mencapai puncak.

Sekitar jam 12.00 siang kami sampai di Kali Mati. Rintik hujan menemani. Dimas dan yang lainnya mendirikan istana tempat kami berteduh. Sementara aku menungguinya sambil terduduk di bawah pohon. Dan tak lama kemudian, selesai sudah istana yang mereka buat. Kali ini, istana kami tak sempurna. Bocor di sana-sini, hingga tidur kami pun tak lelap dan kebasahan. Hujan tak lagi rintik. Tapi semakin membesar. Dinginnya menjalari ke tubuhku. Aku mulai tak betah. Sementara yang lain pada ngobrol, aku asyik dengan duniaku sendiri yang kubuat. Menunggu dini hari tiba sungguh sangat lama. Membosankan. Hingga akhirnya dini hari yang kutunggu pun tiba.

(59)

Sementara Tanto masih tetap berjalan di depan, tak berhenti. Setelah sekian lama menunggui Rita yang membuang hajatnya, akhirnya perjalanan pun dilanjut lagi. Kali ini sebentar-sebentar berhenti. Bukan karena aku saja yang hendak break sejenak, tapi juga Rita. Rombongan kami jadi yang paling belakang. Dengan langkah tertatih, kususuri belantara. Udara yang dingin menusuk pori-pori tubuhku. Pekatnya malam menambah jantungku berdebar. Untung saja malam ini langit cerah ceria. Begitu banyak bintang bertaburan. Pemandangan yang luar biasa indahnya. Setelah Arcapada, kami pun melewati tanjakan pasir yang begitu luasnya. Pasir yang ada batu-batunya. Aku teringat akan Padang Maghsyar yang luas. Tempat kita nanti berkumpul setelah hari kiamat tiba. Di sini, di tanjakan pasir itu, pipi-pipiku sempat basah oleh buliran-buliran kristal bening yang terjatuh dari kelopak mataku.

Ketika itu, Tanto sudah berada jauh di depan rombongan kecil kami. Sementara Adul berada di belakang Tanto. Sedangkan Rita masih terduduk di belakangku bersama Ferdy. Dimas berada agak jauh di depanku. Tubuhku gemetar. Nyaliku menciut. Sungguh aku benar-benar takut. Aku ingin duduk sebentar, namun aku malah terjatuh. Hingga akhirnya aku hanya berdiri saja sambil menggigil kedinginan dan gemetar ketakutan. Sementara buliran-buliran kristal itu terus berjatuhan ke pipi-pipiku.

(60)

merupakan medan terberat bagiku. Aku masih saja sering terjatuh dan terjatuh lagi. Aku nyaris putus asa. Tapi entah kenapa akhirnya aku mampu juga melanjutkan perjalanan ini. Walau harus dengan tertatih, banyak berhenti, dan terjatuh. Hingga ketika nyaris sampai di puncak, tinggal beberapa langkah lagi, suara itu, teriakan dari atas itu, aku tak begitu jelas mendengarnya. Dan aku pun tak begitu paham, apa yang terjadi. Yang aku tahu, tiba-tiba saja orang-orang di sekitarku, orang-orang yang telah berada di depanku berhamburan ke bawah. Mereka begitu panik. Semuanya turun lagi. Kecuali mereka yang telah sampai di puncak, termasuk Tanto.

(61)

Saat rehat di lautan pasir itu, langit sudah mulai nampak terang. Bromo pun terlihat. Bromo juga sedang bergerak, sama seperti Mahameru. Lukisan di langit nampak sempurna. Inilah karya indah sang maestro. Sang maha indah. Luar biasa, subhanallah. Aku begitu menikmati saat-saat rehat itu. Walau kakiku terasa tak bersahabat. Matahari mulai menampakkan dirinya. Sementara kami, bersiap melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati. Aku tak mendapatkan Mahameru yang sempurna seperti yang ada di dalam mimpiku. Namun tak apa, aku tetap mensyukuri dan bahagia karenanya. Perjalananku menuju Kali Mati agak terhambat. Kakiku benar-benar sakit sekali. Aku lebih banyak break. Hingga akhirnya tertinggal dengan rombongan kecilku. Hanya berdua saja dengan Dimas. Aku hampir tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan ini. Namun pelan-pelan aku tetap berjalan.

(62)
(63)

Dieng, Percikan Surga di Tanah Tua Jawa

Oleh : Bardatin Lutfi Aifa

Menarik, eksotik, berbaur mistik. Tiga kata yang menggambarkan Dieng. Siapa yang tak kenal dengan dataran tinggi yang terhampar di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo ini? Pesona alam Dieng yang sungguh memukau menggugah jiwa petualang saya untuk menjelajahinya.

(64)

Kawasan Dataran Tinggi Dieng dibagi menjadi dua zona yang masing-masing mencakup beberapa tempat wisata. Zona 1 meliputi Kompleks Candi Arjuna, Museum Kaliasa, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Theater, serta Telaga Warna. Sedangkan zona 2 meliputi Sumur Jalatunda, Kawah Sileri, dan Telaga Merdada.

Di antara sekian tempat, Telaga Warna menjadi pilihan utama saya. Saya hanya perlu membayar Rp5.000,00 untuk bisa memasuki kawasan wisata ini. Dinamakan Telaga Warna karena warna airnya yang beralih-alih antara hijau dan biru dikarenakan kandungan belerang di dalamnya. Tiga kali kunjungan saya ke sana, momen terbaik saya dapatkan saat kunjungan terakhir. Saya sebut yang terbaik karena kala itu mentari bersinar sangat terik, membuat air telaga benar-benar tampak berwarna-warni sesuai namanya. Ya, ternyata bila sedang berselimut kabut, Telaga Warna hanyalah kumpulan air berwarna hijau tua. Jadi saat terbaik untuk mengunjungi Telaga Warna adalah saat musim kemarau. Pantulan sinar mentari juga membuat permukaan telaga berkilap keperakan. Riak air telaga berpadu dengan burung-burung yang terbang rendah sungguh menyuguhkan pemandangan yang eksotik.

(65)

menunjukkan jalan setapak tersebut. Saya yang kala itu ditemani seorang teman yang juga doyan berpetualang iseng dan nekat menjajal jalan setapak tersebut. Dan pemandangan yang kami dapatkan sungguh luar biasa. Ada satu tempat serupa pantai mungil berlatar tebing di sana, berhiaskan kumpulan pohon cemara. Decak kagum beriring kalimat tasbih sontak terlantun. Di sepanjang jalan setapak pun pemandangannya tak kalah eksotis. Bagi penyuka fotografi seperti saya bisa mendapatkan berbagai sudut terbaik untuk mengabadikan keindahan Telaga Warna.

Sekilas tampak, telaga yang mulanya berasal dari sisa kaldera yang telah mati ini seolah mengeluarkan buih-buih bak air mendidih. Tapi coba celupkan tangan di airnya, kita akan mendapati airnya sangat dingin dan tentu saja berbau belerang yang menyengat.

Di kompleks Telaga Warna ini terdapat tiga buah gua yaitu Gua Jaran, Gua Semar, dan Gua Sumur yang kesemuanya merupakan gua pertapaan. Terdapat pula Telaga Pengilon persis di seberang Telaga Warna. Namun sayangnya jalan setapak menuju ke sana tidak dapat dilalui, sehingga saya hanya bisa menikmatinya dari kejauhan.

(66)

sederhana yang berkecukupan. Dan juga nikmatnya berbagi dengan sesama.

Tak jauh dari Telaga Warna, terdapat Dieng Plateau Theater yang memutar film dokumenter mengenai sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng serta fenomena budaya masyarakatnya. Salah satu fenomena yang sangat terkenal adalah fenomena anak berambut gimbal yang dipercayai merupakan titipan dari penguasa alam gaib dan membawa keberuntungan. Awalnya anak terserang demam yang sangat tinggi disertai mengigau saat tidur. Gejala ini tidak bisa diobati hingga akhirnya akan normal sendiri tetapi rambut anak menjadi gimbal. Rambut ini baru bisa dipotong setelah adanya permintaan dari anak itu sendiri, dan proses pemotongannya pun menggunakan ritual tersendiri.

Selain Telaga Warna dan Dieng Theatre masih terdapat tempat-tempat lainnya yang masih bisa dikunjungi. Namun bila waktu sudah melewati dhuhur, lebih baik segera bersiap untuk turun. Hujan orografis sering mengguyur dataran tinggi ini selepas dhuhur. Dan bila hujan telah turun, hampir dapat dipastikan kabut segera mengikut.

(67)

Menjalin Persaudaraan di Lahat

Oleh: Saepullah

Siapa sangka dan siapa kira aku menjadi seorang suami dari wanita berdarah Lahat, Sumatera Selatan. Mendengar nama Lahat, pasti yang akan terbayang adalah sebuah daerah dimana banyak terdapat perampokan bila melewati daerah tersebut. Ya, itulah kenyataannya. Lahat pada era sebelum tahun 2000-an memang terkenal dengan aksi perampokan bila melewati hutan di daerah Lahat ini. Yang menjadi sasaran adalah pengendara kendaraan bermotor, apakah itu bus, mobil, atau sepeda motor. Selalu terkena yang namanya perampokan dari daerah ini. Apakah benar itu adanya? Lalu mengapa bisa orang-orang daerah ini mempunyai sifat yang jahat seperti itu? Baiklah untuk menjawabnya aku akan menceritakan sebuah catatan perjalanan yang kualami saat aku harus menerima wanita pilihan hatiku untuk kusunting menjadi istriku.

(68)

mundur. Mobil tersebut perhitungannya tidak pas hingga bagian mobil rombonganku tersebut tercium oleh mobil tersebut. Kontan saja kami agak tersinggung oleh kejadian tersebut. Namun demikian temanku yang mempunyai mobil tersebut tidak mempermasalahkan kejadian tersebut. Orang yang menabrak pun meminta maaf. Dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan karena kondisi kami saat itu sangat mepet. Kami hanya mengikhlaskan kejadian tersebut.

Kejadian dalam perjalanan lainnya yaitu sungguh menakjubkan ketika kami sampai. Aku melihat begitu banyak orang yang bekerja disana mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan muda-mudi di sana semuanya bersatu padu untuk melancarkan resepsi pernikahanku dengan calonku tersebut. Awalnya aku berpikir bahwa ini wajar dalam setiap agenda resepsi memang selalu seperti ini. Dan kemungkinan itu hanyalah orang yang akan dibayar. Aku pun tidak memikirkan kembali hal tersebut karena aku masih berkonsentrasi untuk acara ijab qabul pada keesokan harinya. Aku dan rombongan pun diberi tempat berteduh di tempat pamannya dari istriku. Aku dan rombongan pun istirahat sejenak untuk menghilangkan lelah.

(69)

berwarna putih dan mengandung air dalam setiap teksturnya. Umbut sawit dan terong aku pikir tidak usah dijelaskan karena kita semua sudah tahu dilihat dari namanya. Namun yang unik dari terongnya disini adalah berbentuk bulat kecil-kecil. Sangat jarang (bahkan bisa dikatakan tidak ada) ditemui di kota besar seperti di Jakarta. Nah, masakan unik lainnya yaitu rebung masam. Masakan ini memiliki kemiripan dengan steak, namun disini terdapat kuahnya. Jadi bisa dikatakan steak berkuah. Itu seputar masakan yang kurasakan saat menjelang akad nikahku.

Oke, kita lanjutkan cerita perjalanan yang kualami disini. Akad nikahku cukup dilaksanakan di masjid dekat rumah calon mertuaku. Tak ada perayaan khusus setelah akad nikahku. Hal ini karena aku dan calon istriku yang minta untuk tidak dirayakan. Namun demikian para warga banyak yang berdatangan ke masjid untuk menyaksikan akad nikah antara aku dan calon istriku. Aku merasakan sebuah acara yang berbeda dari tempat di manapun. Acara ini sungguh besar dan membuatku takjub akan sakralnya acara pernikahanku dengan kehadiran orang yang merestui. Setelah aku mengucapkan ijab qabul dan resmi menjadi suami dari istriku, maka warga makan di masjid tersebut dan setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Rombonganku pun kembali ke Jakarta hingga aku tinggal seorang diri di Lahat ini.

(70)

pembubaran panitia. Karena kejadian orang saat kulihat awal kedatangan yang banyak tersebut ternyata terdapat panitia dari warga daerah Lahat tersebut. Warga antusias menjadi panitia dan bersama-sama mensukseskan sebuah acara dari salah satu warganya. Dalam kesempatan ini adalah mertuaku yang mempunyai acara pernikahan anaknya denganku. Sebuah makna kekeluargaan yang kental.

(71)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal

 Sangat baik dalam sikap patuh pada tata tertib atau aturan dan mengerjakan/mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan, mengikuti kaidah berbahasa tulis yang baik

Pemungutan bunga cengkeh dilakukan dengan cara memetik tangkai bunga dengan tangan, kemudian dimasukkan kedalam kantong kain atau keranjang yang telah disiapkan,

• Sewaktu memesan part pengganti untuk selang bahan bakar, selang pemakaian umum dan selang vinyl yang standard, pakailah nomor part borongan yang dicantumkan pada parts

v) Menyediakan air untuk hewan ternak yaitu berbasis pada analisis kebutuhan, kesempatan dan sistem pengelolaan air setempat. w) Melakukan kegiatan rehabilitasi sumber air

.. Kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan area isi, keterampilan dan sikap. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui

Tidak adanya leukosit dalam sediaan hapus pulasan Gram sampel urine bersih yang dibuat seperti di atas merupakan bukti yang baik bahwa urine tidak terinfeksi.Spesimen urine

Berdasarkan data Bloomberg nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan spot kemarin ditutup di level Rp 13.441 akibat sentimen negatif dari pemaparan